Mahasiswa UGM meninggal saat KKN di Maluku Tenggara – Masih perlukah ‘program pengabdian’ ini diadakan?

Sumber gambar, Getty Images/Yori Meirizan
-
- Penulis, Quin Pasaribu
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Program “pengabdian ke masyarakat” mahasiswa yang kerap disebut Kuliah Kerja Nyata (KKN) dinilai perlu ditinjau ulang karena membutuhkan dana besar tapi dilaksanakan dalam waktu sangat singkat.
Pro-kontra ini mencuat setelah dua mahasiswa UGM yang tengah menjalani KKN di Kabupaten Maluku Tenggara meninggal. Keduanya kehilangan nyawa setelah perahu yang mereka tumpangi terbalik akibat gelombang pasang dan angin kencang.
Nicholas Abby, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada, adalah salah satu yang memutuskan mundur dari program KKN ke Kalimantan Selatan gara-gara berbiaya jumbo. Ia pun memilih KKN di sekitar Yogyakarta.
“Selain itu, saya tidak mau merasa seperti pahlawan super yang datang ke suatu desa dan berpikir bahwa warga di luar Jawa harus kita tolong. Padahal mereka sudah hidup dengan caranya sendiri,” tuturnya.
Sementara itu bagi Humaidah, mahasiswa Universitas Padjajaran, kegiatan seperti KKN masih diperlukan karena bisa mempraktikkan ilmu mereka di tengah masyarakat.
Akhir dari Paling banyak dibaca
“Kami berharap setidaknya ada hal-hal yang membekas sehingga apa yang sudah kami rancang bisa dilanjutkan secara mandiri oleh masyarakat di tempat KKN,” ucapnya.
Pengamat pendidikan Ubaid Matraji mengatakan program KKN yang sekarang diberlakukan sudah ketinggalan zaman. Padahal, kata dia, yang namanya “pengabdian ke masyarakat” butuh waktu minimal satu tahun agar benar-benar berdampak.
“Kalau hanya dua bulan, bukan KKN, tapi pelesiran saja,” tuturnya.
‘Atas nama pengabdian, tapi kalau terpaksa buat apa?’
Nicholas semestinya terbang ke Kalimantan Selatan Juni lalu bersama kelompoknya yang berjumlah 30 orang. Di provinsi itu, mereka bakal menjalani program KKN selama 50 hari.
Di sana, mahasiswa sastra Perancis dari Universitas Gadjah Mada ini bakal “mengabdikan dirinya” sebagai pelajar terdidik. Dia diwacanakan “memberdayakan” masyarakat transmigran agar memahami teknologi digital.
Meskipun begitu, Nicholas mengaku tak tahu banyak apakah masyarakat di sana memang sangat membutuhkan kemajuan teknologi sehingga perlu dibuat melek digital.
Yang pasti, dalam batinnya dia menyimpan banyak keraguan.
“Saya dan beberapa teman khawatir kayak ada pandangan eksotisme terhadap orang-orang di luar Jawa dan selalu memandang bahwa mereka harus kita tolong karena mereka belum mengenal digital dan sebagainya,” kata Nicholas kepada BBC News Indonesia, Kamis (03/07).

Sumber gambar, Kompas.com
“Saya enggak mau berlagak jadi pahlawan super untuk warga di sana, karena mungkin kita malah yang banyak belajar dari mereka, daripada kita yang mengajari mereka sesuatu.”
“Kita juga bukan pemerintah yang bisa melakukan banyak hal dan sebegitu ideal,” ujarnya.
Keraguan Nicholas lainnya adalah soal biaya.
Pihak kampus, sambung Nicholas, memang menyediakan anggaran untuk program KKN mahasiswa, terutama keperluan transportasi.
Tapi gara-gara kebijakan efisiensi, dana yang dikucurkan jadi berkurang. Akibatnya masing-masing peserta KKN harus menambal kekurangan tersebut dengan kocek sendiri.
Dan, karena lokasi KKN berada di luar Pulau Jawa, sudah pasti nominalnya tak kecil. Seingatnya, total uang transportasi yang dibutuhkan kelompoknya sekitar Rp160 juta.
“Masak mau KKN harus mengeluarkan uang sebesar Uang Kuliah Tunggal (UKT)? Apalagi KKN ini kan berjalan pertengahan tahun, berbarengan dengan semester baru.”
“Jadinya harus bayar KKN, sedangkan besok mau kuliah bayar lagi? Secara ekonomi pasti berat,” kata Nicholas.
Setelah mempertimbangkan matang-matang, Nicholas memutuskan mundur dari program KKN ke Kalimantan Selatan.
Dia memilih untuk mengikuti KKN di sekitar Yogyakarta.
Meskipun baru akan mendaftar pada Oktober nanti, tapi Nicholas sudah punya bayangan akan seperti apa bentuk “pengabdiannya” tersebut.
“Karena saya anak sastra, mungkin kegiatannya ke arah sosial humaniora, jadi paling cuma sekadar sosialisasi atau bikin pojok baca. Itu saja sih, enggak muluk-muluk,” ujarnya.
Nicholas mengaku merasa asing dengan kata “pengabdian ke masyarakat”. Baginya kegiatan di akhir tahun kuliah ini tak lebih dari sekadar menuntaskan kewajiban saja.
Karenanya, dia meminta agar KKN sebaiknya ditunjau ulang.
“Masalah pengabdian ini, kalau akhirnya dilakukan dengan terpaksa, saya rasa juga buat apa?” ujar Nicholas.
“Selain itu kita cuma punya waktu dua bulan, apakah program kita bisa bertahan setelah kita pergi dari sana? Itu yang selalu saya pertanyakan.”
“Memangnya warga bisa berubah dalam waktu dua bulan, enggak juga kan?” ujarnya.
‘Saya harap apa yang kami lakukan berbekas di masyarakat’
Di Bandung, Jawa Barat, Humaidah bersama 17 orang dari kelompok KKN-nya bakal pergi ke Desa Citengah, Kabupaten Sumedang pada 10 Juli nanti.
Mahasiswa sastra Indonesia dari Universitas Padjajaran ini akan menetap di sana selama sebulan penuh untuk “memberdayakan” masyarakat setempat soal literasi digital.
“Program kerjanya bagaimana mengenalkan literasi dalam bentuk digital ke masyarakat atau anak-anak sekolah dasar,” ungkapnya antusias.
Sebelum berangkat, Humaidah mengaku sudah melakukan survei soal kondisi masyarakat dan lokasinya. Ia berharap, kegiatan mereka bisa klop dengan kebutuhan warga di sana.
Meskipun diakuinya, waktu 30 hari terlalu singkat untuk mencapai tujuan KKN mereka.
“Jadi kami berharap setidaknya ada hal-hal yang membekas sehingga apa yang sudah kami rancang, bisa dilanjutkan secara mandiri oleh masyarakat di sana.”

Sumber gambar, Yuli Saputra
Untuk KKN tahun ini, sambungnya, pilihan topik ditentukan oleh pihak kampus. Selain itu, kampus juga terlibat penuh dalam mendampingi para mahasiswa di lokasi KKN.
Terlepas dari semua itu, dia menilai KKN masih diperlukan kendati perlu ada inovasi agar bisa menjangkau daerah yang terpencil.
“Kalau dari Unpad, kebetulan fokusnya di Jawa Barat, belum ke daerah-daerah lain yang belum terjamah. Ada baiknya KKN ini supaya lebih terasa lagi oleh banyak orang, mungkin lebih disebarluaskan ke banyak daerah lagi,” kata Humaidah.

Sumber gambar, Yuli Saputra
Kalyca Humaira, mahasiswa program studi Televisi dan Film di Unpad juga merasa KKN tetap dibutuhkan. Menurutnya program ini penting untuk mengimplementasikan ilmu yang mereka dapat selama berkuliah.
Namun, menurutnya, bentuk “pemberdayaan” yang cocok untuk masyarakat saat ini adalah bagaimana mengenalkan teknologi di kehidupan sehari-hari.
“Menurut aku KKN yang cocok itu, kita bisa mengenalkan teknologi ke masyarakat, misal cara promosi UMKM yang mungkin mereka belum tahu, bahwa produk mereka bisa dijual online dengan branding visual dan logo kemasan bisa lebih menggaet banyak pembeli,” ujarnya.
Kalyca sudah merampungkan program KKN-nya pada awal tahun ini ke Desa Pamulihan, Kabupaten Sumedang.
Topik yang ia dan teman-temannya boyong ke sana soal Penerapan Teknik Inseminasi Buatan Pada Domba.
Meskipun tema itu jauh dari ilmu yang dipelajarinya, tapi Kalyca mengaku mendapat banyak pengalaman. Ia dan timnya juga membantu warga setempat membuat profil desa dalam bentuk video.
Satu-satunya kendala ketika KKN, rumah yang mereka huni reyot.
“Jadi sebelum KKN kan kami survei lokasi dan juga lihat-lihat tempat tinggal yang akan kami tempati nantinya. Waktu itu kondisi rumahnya memang sudah lama tidak dihuni. Kami enggak cek, misal saluran air, listrik, dan segala macamnya. Pas ditempati ternyata tidak sesuai harapan kami,” tutur Kalyca.
Apakah KKN masih relevan?
Pengamat pendidikan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan program KKN merupakan salah satu implementasi dari Tridharma Perguruan Tinggi dalam rupa pengabdian kepada masyarakat.
Selama satu atau dua bulan, mahasiswa tingkat akhir akan terjun ke komunitas untuk setidaknya memberikan solusi atas persoalan yang mereka hadapi.
Program KKN digelar karena mahasiswa dianggap sebagai orang terdidik—bisa berperan sebagai agen perubahan sosial atau fasilitator antara warga dengan pemerintah.
“Kalau kampus tidak melakukan pengabdian ke masyarakat, ya dia akan pincang, seperti berada di menara gading,” ujar Ubaid Matraji.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
“Mereka ini para intelektual, akademisi, ahli, tapi masyarakat sekitar kampus punya masalah kemiskinan misalnya, masak kampus diam saja?” sambungnya.
Hanya saja, menurut dia, pelaksanaan KKN saat ini sudah tidak lagi relevan dengan yang diharapkan.
Mayoritas mahasiswa memandang KKN sebagai sebuah kewajiban semata atau pelesiran. Sebab, waktu yang diberikan terlalu singkat.
Selain itu, kata Ubaid, mahasiswa tidak benar-benar mengetahui apa yang dibutuhkan oleh warga sekitar. Akibatnya, masyarakat tak merasakan dampak dari kehadian mereka.
“Jadi sebulan, dua bulan itu, enggak bisa ngapa-ngapain, kecuali hanya jalan-jalan. Omong kosong itu bisa melakukan pengabdian,” kata Ubaid.
“Teori dimanapun enggak bakal ketemu begitu. Melakukan perubahan, pengabdian sebulan, dua bulan, enggak mungkin.”
“Yang ada jadi kelihatan amal saja,” ujarnya.
Kalau kampus benar-benar ingin menjalankan pengabdian ke masyarakat, menurut Ubaid, maka paling tidak membutuhkan waktu setahun.
Sebab persiapannya pun harus matang, tidak bisa sekadar mengajukan program dan memaksa warga menjalankan kehendak mereka.
Ubaid mencontohkan program KKN ke suatu desa yang tak memiliki aliran listrik. Sebelum berangkat, katanya, para peserta KKN harus mendata terlebih dahulu kebutuhan masyarakat dan mencari potensi kekayaan alam di daerah tersebut.
Dari situ, para mahasiswa berkolaborasi dengan fakultas lain untuk merancang penerangan listrik alternatif.
“Misalnya bisa dengan penerangan listrik menggunakan tata surya.”
“Jadi kampus kirim mahasiswa yang punya keahlian di bidang energi, tapi apakah mereka saja cukup? Kan tidak,” kata Ubaid.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
“Butuh kolaborasi dengan fakultas sosial politik, misalnya. Karena membangun masyarakat itu tidak hanya soal energi, tapi bagaimana membangun kebersamaan, pengelolaan sumber daya, pengorganisasian,” paparnya.
“Semua itu tidak mungkin sebulan, dua bulan… yang ada mereka pergi, panel suryanya dicuri warga karena tidak dibangun kebersamaan,” kata Ubaid.
Sayangnya, menurut pengamatan Ubaid, rata-rata kampus di Indonesia tak ada yang melakukan KKN secara serius dan menjadikan program KKNnya sebagai alat pencitraan.
Sebagian kampus lain, mengganti KKN yang tadinya “pengabdian ke masyarakat” menjadi magang atau praktik kerja demi mendapatkan pengalaman langsung di dunia kerja karena dianggap tidak berdampak apa-apa.
Beberapa kasus mahasiswa saat KKN pun viral, di antaranya mereka diusir oleh masyarakat setempat gara-gara menyinggung fasilitas lokasi KKN yang minim.
Para peserta KKN dari Universitas Negeri Padang (UNP) sempat viral karena menyebut tidak ada air dan harus bayar untuk ngontrak di rumah warga.
Peristiwa serupa juga terjadi pada peserta KKN Universitas Jambi. Mereka diduga menghina nama kampung KKN mereka sehingga warga marah dan mengusir mahasiswa tersebut dari desa.
Ada juga insiden mahasiswa KKN yang diduga menjadi korban pelecehan seksual dan baru-baru ini meninggalnya dua mahasiswa KKN dari UGM di Kabupaten Maluku Tenggara, awal Juli ini.
UGM akan evaluasi internal
Dua mahasiswa UGM yang meninggal di Kabupaten Maluku Tenggara itu adalah Septian Eka Rahmadi, mahasiswa Program Studi Teknologi Industri, Fakultas Teknik yang berasal dari Sumbawa Besar, NTB dan Bagus Adi Prayogo, mahasiswa Fakultas Kehutanan yang berasal dari Bojonegoro, Jawa Timur.
Kecelakaan yang menimpa mereka terjadi saat tujuh mahasiswa KKN UGM melakukan perjalanan kembali dari Pulau Wahru usai mengambil pasir untuk program revitalisasi terumbu karang.
Dalam perjalanan kembali, salah satu perahu terbalik akibat gelombang pasang dan angin kencang.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Sekretaris UGM, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, mengatakan universitasnya akan melakukan evaluasi internal. Evaluasi itu mencakup perlindungan keamanan dan keselamatan mahasiswa selama KKN. Caranya, kata Andi, dengan meninjau ulang lokasi di daerah terpencil, termasuk kepulauan.
Meskipun titik lokasi tersebut sudah digunakan dalam program KKN sebelumnya, tapi perubahan cuaca yang ekstrem menjadi faktor risiko tambahan.
Pembekalan teknis, panduan keselamatan, serta alat pelindung diri telah menjadi bagian dari protokol KKN, namun prosedur ini akan terus diperkuat, sebutnya.
“Panduan, pembekalan, dan peralatan keselamatan memang telah diberikan, tapi ke depan akan diperketat, termasuk untuk lokasi-lokasi rawan,” ujarnya.

Sumber gambar, KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA
Sejarah KKN
Sebelum dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN), dulu program ini bernama Pengerahan Tenaga Mahasiswa.
Dikutip dari situs resmi UGM, pengiriman mahasiswa KKN pertama dimulai pada 1951. Kala itu UGM yang masih berusia dua tahun mengirimkan mahasiswa ke luar Jawa untuk menjadi guru dan mengajar di Sekolah Lanjutan Atas (kini SMA).
Kegiatan KKN pertama di Indonesia ini bermaksud untuk mengisi kekurangan guru di sekolah lanjutan di luar Pulau Jawa.
Saat itu ada 1.218 mahasiswa yang terlibat dalam pendirian 109 di SMA luar Jawa.
Kegiatan itu terpaksa dihentikan pada 1962 karena terjadi krisis ekonomi di Indonesia. Namun, mahasiswa UGM tetap melakukan pengabdian dan memberikan inovasi baru untuk kegiatan ini.

Sumber gambar, Getty Images/Yasser Chalid
Pada 1964, kegiatan pengabdian ini dilanjutkan dengan inovasi ke dalam empat bidang, yaitu bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, dan keteknikan.
Pada tahun 1971, kegiatan KKN ini dipatenkan sebagai kegiatan intrakurikuler yang bersifat pilihan oleh Kepala Direktorat Pendidikan Tinggi, Koesnadi Hardjosoemantri.
Koesnadi menunjuk tiga perguruan tinggi sebagai perintis dari kegiatan KKN ini, yaitu Universitas Andalas untuk wilayah barat, Universitas Gadjah Mada untuk wilayah tengah, dan Universitas Hasanuddin untuk wilayah timur.
Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan ini mewajibkan mahasiswa untuk tinggal selama minimal tiga bulan di desa yang telah ditetapkan.
Pada 1972, dilaksanakan rapat antar rektor universitas di Indonesia untuk membahas kegiatan KKN yang akan dijadikan sebagai bagian dari pendidikan di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan perintah dari Presiden Soeharto kala itu.
Kemudian, KKN menjadi sebuah program pendidikan nasional yang diikuti oleh 13 universitas di Nusantara, yaitu Universitas Syah Kuala, Universitas Sumatra Utara, Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas Padjajaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Udaya, Universitas Lampung, Universitas Hasanuddin, Universitas Sam Ratulangi, dan Universitas Pattimura.
Istilah KKN baru disahkan melalui Seminar Internasional Study Service Activities yang diadakan pada tanggal 17-18 November 1972.
KKN ini diklaim untuk membangun karakter dan jiwa mahasiswa yang mengabdi kepada negara sebagai wujud dari cinta tanah air.
Seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan KKN mengalami perkembangan. Mulai dari KKN Reguler, KKN Tematik, hingga KKN Internasional.
Wartawan Yuli Saputra di Bandung dan Tiyo di Yogyakarta berkontribusi untuk liputan ini