Dugaan praktik curang beras premium – ‘Kok rakyat lagi yang kena?’

Sumber gambar, AFP via Getty Images
Beras premium yang beredar ditemukan tidak sesuai mutu karena diduga dicampur beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) dan dijual lebih mahal dari harga semestinya. Perlindungan konsumen disebut masih minim.
Sudah beberapa tahun belakangan, Henny Putri (39 tahun) memilih beras premium untuk keluarganya. Meski pernah sekali, ia tergoda untuk menjajal beras SPHP yang dijual di pasar murah pada tahun lalu.
“Sekali itu, kami beli karena sama mertua pergi ke pasar murah. Harganya memang murah, Rp12.000 sekilo. Kami beli lima kilo itu kena Rp55.000 jadinya. Tapi rasanya enggak pulen, enggak wangi, pera gitu. Udah lah sekali itu aja, kami balik lagi ke premium,” ujar Henny, warga Tanjung Mulia, Medan, ketika dihubungi Kamis (03/07).
Namun isu beras premium yang dicampur beras SPHP membuatnya merasa dirugikan sebagai konsumen. Sebab, harga beras premium yang biasa dibelinya seharga Rp85.000 untuk lima kilogram.
Baca juga:
Akhir dari Paling banyak dibaca
Hal senada disampaikan Minar (45) warga Slipi, Jakarta. Ia pernah beberapa kali memakai beras SPHP. “Waktu itu dapat bansos. Ya dipakai aja. Tapi enggak cocok memang rasanya,” tutur Minar.
Ia kemudian beralih ke beras premium karena dirasa enak, meski harganya cukup tinggi. “Semoga ada terus lah rezekinya ya. Tapi kalau sampai dicampur sama beras SPHP itu jahat banget. Karena kita beli harganya mahal itu,” ujarnya.

Sumber gambar, Dokumen Humas Kementerian Pertanian
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memaparkan, dalam jumpa pers pada Kamis (26/06), tentang temuan Kementerian Pertanian, Satgas Pangan Polri, Kejaksaan Agung, Badan Pangan Nasional, dan sejumlah instansi pengawasan lainnya.
Temuan itu, kata Amran, menunjukkan bahwa sebanyak 212 dari 268 merek beras premium tidak sesuai standar kualitas, berat, dan harganya.
Secara detail, dari pengujian 13 laboratorium di 10 provinsi, 85,56% beras premium tidak sesuai mutu, 59,78% dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 21% beratnya tidak sesuai.
“Di tempat-tempat penyewa SPHP yang dilakukan adalah, ini informasi dari mereka, 20% dipajang, 80 persen ini dibongkar kemudian dijual premium,” kata Amran.
Amran berkata, potensi kerugian konsumen akibat praktik curang ini mencapai Rp 99,35 triliun.
Bareskrim Polri lalu melayangkan surat pemanggilan pada 10 perusahaan produsen beras yang mereka duga melakukan pelanggaran dalam distribusi dan pengemasan beras.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Niti Emiliana, meminta pemerintah mengawasi secara ketat peredaran beras di pasaran. Tujuannya, agar kualitas dan kuantitas sesuai.
Pelaku usaha yang curang, kata Niti, juga harus ditindak tegas karena melanggar undang-undang perlindungan konsumen.
Selain itu, sistem distribusi beras subsidi ini perlu dievaluasi secara menyeluruh, menurut Andhyta Firselly Utami, analis di lembaga Think Policy. Dia berkata, pemerintah perlu memodernisasi distribusi itu dengan pelacakan berbasis teknologi sebagai bentuk transparansi.
Guru Besar IPB University, Dwi Andreas Santosa, menganggap kebocoran terkait beras SPHP yang memicu praktik curang ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Alasannya, penyaluran SPHP ini ada di bawah Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog.

Sumber gambar, Bloomberg via Getty Images
‘Kok kami rakyat lagi yang kena?’
Pilihan Henny Putri, warga Medan, menggunakan beras premium karena kualitas yang diyakininya bagus dan rasanya enak. “Pernah sekali pakai beras SPHP. Serba salah. Banyak air, kelembekan. Airnya biasa aja pun kering ambyar. Kami juga tambah masukin pandan biar wangi. Kalau premium enggak gitu,” jelasnya.
Akan tetapi, ketika mendengar pemberitaan mengenai beras premium yang dicampur beras SPHP beberapa hari lalu, Henny merasa dirugikan.
“Kami beli dengan harga segitu kan karena janjinya kualitasnya bagus. Iya, beras yang kami pakai ini rasanya sih enak-enak aja, tapi jadi khawatir juga,” ujar Henny.
“Enggak tenang gitu, karena udah keluar duit lumayan lho tapi ternyata ditipu kan ini. Kok kami rakyat lagi yang kena? Mana dengar juga harga beras mau naik. Pening lah kami ini,” ujar Henny.
Minar, warga Jakarta, yang sehari-hari bekerja sebagai asisten rumah tangga juga mengeluh jika upayanya membeli beras premium terbentur kasus beras campuran ini.
“Suami kerja ojol itu udah kena banyak potongan. Saya kerja juga buat tambah-tambah biar paling enggak makan sehari-hari ini bisa cukup dan layak buat anak juga. Paling enggak nasinya kemakan kan. Dengar berita begini, ini kita udah susah, makin dibikin susah lagi,” ungkapnya.

Sumber gambar, Getty Images
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Niti Emiliana, menyebut pemerintah semestinya menjamin perlindungan bagi konsumen dari potensi penggelembungan harga yang melebihi HET.
Perlidungan itu, kata dia, semestinya juga terkait kualitas dan kuantitas beras yang tidak sesuai standar serta proses distribusi yang macet dan menimbulkan kelangkaan di pasar.
Niti berkata, pengawasan pemerintah terhadap peredaran beras di pasaran perlu lebih ketat untuk menjaga kualitas dan kuantitasnya tetap sesuai.
Sanksi tegas juga patut diberikan pada produsen yang nakal sehingga menimbulkan kerugian pada masyarakat.
“Tidak ada posisi tawar bagi oknum penjual beras yang tidak sesuai standar yang dilakukan secara berulang mendulang keuntungan yang tinggi. Terhadap pelaku seperti ini, pemerintah harus menjatuhkan sanksi tegas,” ujar Niti.
Niti mengimbau masyarakat yang merasa dirugikan dengan dugaan praktik curang ini untuk melapor ke pemerintah dan berhak memperoleh ganti rugi yang sepadan.
YLKI membuka ruang pengaduan konsumen untuk permasalahan beras di pasaran ini.
Belum tepat sasaran
Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi menyebut penyaluran beras SPHP belum tepat sasaran. Dari hasil kajian dan pengawasan lembaganya, terdapat gerai atau toko yang alamatnya tidak sesuai dengan yang terdaftar.
“Ini tidak tepat. Kami sudah evaluasi dan akan lakukan perbaikan penyaluran ini,” kata Arief.
“Daftar gerai SPHP ke depannya akan dipertajam melalui verifikasi lebih komprehensif yang melibatkan juga dinas-dinas pangan di daerah. Datanya harus by name dan by address, disertai kontak yang jelas,” tutur Arief.
Arief mengakui temuan terkait adanya praktik curang ini. Salah satunya temuan itu adalah beras yang tidak sesuai aturan kualitas.
Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31 Tahun 2017 tentang Kelas Mutu Beras, persentase beras yang pecah dalam beras premium tidak boleh melebihi 15 persen.

Sumber gambar, Detikcom/Heri Purnomo
“Intinya ada yang ditemukan lebih dari 15%, bukan oplosan lah bahasanya,” kata Arief.
“Jadi, labelnya beras premium tapi kualitasnya tidak memenuhi. Kemudian timbangannya di kemasan lima kilogram, ternyata isinya di bawah. Itu tidak boleh. Lalu beras SPHP itu bukan untuk dipakai atau dijual lagi karena itu barang subsidi. Tidak boleh,” ucap Arief.
Dari temuan itu, Arief menyatakan Satgas pangan memberi kesempatan bagi perusahaan yang terindikasi untuk memperbaiki produk dalam 14 hari.
Belakangan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman melaporkan hasil ini pada Kapolri dan Jaksa Agung.

Sumber gambar, Bloomberg via Getty Images
Andhyta Firselly Utami, dari lembaga riset Think Policy, menilai kasus beras ini menunjukkan celah serius dalam tata kelola beras SPHP.
Langkah Kementerian Pertanian yang menyerahkan bukti ke penegak hukum ini disebutnya penting untuk memastikan akuntabilitas pelaku. Namun intervensi ini, lanjut Andhyta, harus disertai komitmen transparansi melalui pengawasan distribusi, reformasi sistem penyaluran subsidi agar langsung tepat sasaran.
Selain itu, dia menyebut edukasi kepada konsumen juga diperlukan.
“Sistem distribusi beras subsidi ini perlu dievaluasi secara menyeluruh dan modernisasi dengan pelacakan berbasis teknologi agar publik mendapatkan jaminan mutu secara adil,” kata Andhyta.
“Ada beberapa opsi, misalnya digitalisasi rantai pasok pakai QR code atau RDID, kartu pangan atau e-voucher, atau monitoring dashboard publik,” ujarnya.
Apakah kenaikan harga beras berhubungan dengan praktik curang?
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa justru mempertanyakan bagaimana beras SPHP ini bisa disalahgunakan, bahkan dicampur dengan varian beras premium.
“Kesalahannya pemerintah, SPHP kan pemerintah. Kalau SPHP dicampur ini, saya juga kok enggak yakin. Karena SPHP yang baru didistribusikan ini sangat kecil kan jika dibandingkan dengan total beras yang diperdagangkan di Indonesia,” ucap guru besar IPB University ini.
Berdasarkan data dari Badan Pangan Nasional, jumlah beras SPHP yang sudah disalurkan pada Juni 2025 ini baru terealisasi 181.100 ton. Stok beras per Januari hingga Juni 2025 tercatat mencapai 4,15 juta ton yang terdiri dari 2,6 juta ton yang diserap Bulog dari penggilingan dan sekitar 1,5 juta ton dari transfer stok tahun sebelumnya.
Walau begitu, apabila kasusnya terkait beras premium yang tidak memenuhi standar kualitas, Dwi menilai hal itu bisa terjadi. Ia pun menjelaskan beras dari penggilingan modern umumnya menghasilkan beras dengan tingkat beras pecah kurang dari 5 persen.
Terkadang ada yang kemudian mencampurkannya dengan menir, yaitu beras yang pecah atau patah dengan komposisi melebihi batas maksimal yang diatur untuk premium, tapi tetap dijual dengan harga premium.

Sumber gambar, Getty Images
Di sisi lain, pasar beras dianggap memiliki tantangan yang tidak pernah usai. Meski rantai distribusi kini kian singkat, Dwi menyebut margin perdagangan dan pengangkutan turun. Pada 2021, Badan Pusat Statistik mencatat margin ini berada pada angka 11,31 persen. Di 2024, margin ini menyentuh angka 18,72 persen.
Mengenai kenaikan harga beras, Dwi menjelaskan kondisi ini selalu terjadi tiap tahun. “Biasanya saat panen raya harga beras sempat tertekan sedikit. Tapi setelah itu, tidak ada panen ya harga beras akan naik seperti sekarang,” ujar Dwi.
Ditambah lagi, kebijakan pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah untuk gabah Rp6.500 itu juga berdampak. Meski di beberapa lokasi, Dwi menemukan saat ini harga gabah kering melejit sekitar Rp7.000 hingga Rp8.000. Akan tetapi, kenaikan ini memang diperlukan oleh para petani yang selama ini kerap menanggung kerugian.
Penampungan yang kini didominasi oleh pemerintah untuk stok juga membuat banyak persediaan gabah di petani kosong. Kondisi ini, lanjut Dwi, berakibat pada kenaikan harga.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi melakukan intervensi terkait kenaikan harga ini dengan menyiapkan bantuan pangan untuk 18,27 juta keluarga penerima manfaat.
Jatah masing-masing adalah 20 kilogram. Pendataannya mengacu pada Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). “Dapat 20 kilo ini karena dapat untuk bulan. Satu bulan itu 10 kilo,” kata Arief.
Kepercayaan masyarakat
Kasus serupa beberapa kali terjadi. Pada Februari 2025, beras oplosan berupa campuran beras demak dengan beras menir yang kemudian dilabeli beras premium dengan harga mahal terjadi di Depok. Perkara ini ditangani oleh kepolisian setempat.
Tidak hanya beras, minyak goreng dengan label MinyaKita juga sempat menghadapi persoalan besaran isi yang tidak sesuai. Misalnya, label menunjukkan takaran minyak satu liter, tapi isinya hanya 750-850 mililiter.
Bahan bakar minyak, pertamax, juga pernah ramai dibicarakan dioplos sehingga kualitasnya menurun.
Merujuk berbagai kasus itu, Ketua YLKI Niti Emiliana berpendapat pemerintah perlu merevisi Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
“Pemerintah juga harus dapat menjelaskan pada masyarakat yang merupakan konsumen terkait kualitas dan kuantitas komoditi yang dijual di pasaran karena ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat,” kata Niti.
Niti menambahkan, selama ini permasalahan menimpa barang yang berkaitan dengan kebutuhan primer masyarakat. Di tengah ekonomi masyarakat yang sulit, kenaikan harga yang tidak diimbangi kualitas bisa menimbulkan masalah.
“Kerugiannya menjadi berlipat bagi konsumen. Kenaikan harga dan kualitas yang di bawah standar.”