KUBET – Gula di koperasi tentara – Bagaimana militer berbisnis di Indonesia?

Gula di koperasi tentara – Bagaimana militer berbisnis di Indonesia?

Sejumlah personel TNI diberangkatkan ke Papua.

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Sejumlah personel TNI diberangkatkan ke Papua.

  • Penulis, Faisal Irfani
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Sidang terbaru dugaan kasus korupsi impor gula yang menyeret nama mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, mengungkap bisnis yang melibatkan militer.

Dalam persidangan yang diselenggarakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (06/05), terungkap bahwa Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), yang terafiliasi ke TNI Angkatan Darat (AD), memperoleh dana sebesar Rp7,5 miliar dari operasi pengendalian harga gula pada 2015.

Waktu itu, Tom Lembong ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Rachmat Gobel sebagai menteri perdagangan. Tom menjabat selama kurang lebih satu tahun—sampai 2016.

Durasi yang cukup singkat itu ternyata meninggalkan masalah serius delapan tahun setelah Tom Lembong tak lagi duduk di kursi nomor satu Kementerian Perdagangan.

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengendus dugaan korupsi impor Gula Kristal Mentah (GKM) pada periode kepemimpinan Tom Lembong yang merugikan negara senilai Rp 578 miliar dan memperkaya pihak lain, tepatnya 10 perusahaan.

Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Tom Lembong dinilai melakukan tindakan melawan hukum tatkala menerbitkan Surat Pengakuan Impor/Persetujuan Impor Gula Kristal Mentah tanpa melewati rapat koordinasi antarkementerian.

Terdakwa kasus dugan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (kanan)

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Terdakwa kasus dugan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (kanan) mendengarkan keterangan saksi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (21/04).

Jaksa turut mengungkapkan bahwa kebijakan Tom Lembong direalisasikan ketika produksi Gula Kristal Putih (GKP)—hasil olahan GKM—di dalam negeri masih cukup.

Masalah lainnya, masih menurut JPU, Tom Lembong tidak menunjuk perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan serta stabilisasi harga gula.

Di sinilah Induk Koperasi Kartika—kini Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad)—berperan.

Bagaimana koperasi tentara bekerja dalam harga gula?

Selain Inkopad, Kementerian Perdagangan memilih Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskopol), dan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI-Polri guna mengendalikan harga gula melalui operasi pasar.

Keberadaan Inkopad dalam urusan gula dapat ditarik dari penandatanganan kesepakatan (MoU) antara Moeldoko dan Gita Wirjawan, masing-masing sebagai Panglima TNI serta Menteri Perdagangan, pada 2013.

Dua institusi ini setuju untuk memenuhi kebutuhan gula nasional demi terciptanya “perlindungan konsumen,” kata Gita Wirjawan. Kesepakatan ini bersanding dengan permufakatan lain, salah satunya, memperketat pengawasan di daerah perbatasan dalam rangka mencegah masuknya produk ilegal.

Sejumlah warga antre membeli telur ayam saat berlangsung operasi pasar di Pasar Tani Banda Aceh, Aceh, Rabu (23/04).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Sejumlah warga antre membeli telur ayam saat berlangsung operasi pasar di Pasar Tani Banda Aceh, Aceh, Rabu (23/04).
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Pada 2015, militer lagi-lagi berpartisipasi dalam arah kebijakan Kementerian Perdagangan yang dicetuskan Rachmat Gobel—pengganti Gita. Militer dikerahkan untuk mengawal operasi pasar demi merespons mafia beras yang dipandang “menyalahi aturan pemerintah” dan “membuat keresahan.”

Tidak sekadar beras, operasi pasar—yang diterapkan guna mengontrol harga bahan pokok—dengan kehadiran militer terjadi pula di sektor gula.

Jelang Natal 2015 dan Tahun Baru 2016, TNI, melalui Inkopkar (Inkopkad), melangsungkan agenda ini di 21 wilayah di Indonesia. Tujuannya yaitu menekan harga gula agar menyentuh di bawah Rp11.000 per kilogram di tingkat pengecer.

Posisi TNI dalam perkara gula tidak lenyap walaupun Kementerian Perdagangan berganti nahkoda, dan hal itu terlihat terang pada masa Tom Lembong.

Inkopkad mendapatkan izin impor Gula Kristal Mentah (GKM) sebesar 100 ribu ton dari Kementerian Perdagangan, selepas keluarnya instruksi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) untuk mendukung langkah-langkah menurunkan harga gula.

Karena hanya berstatus koperasi, Inkopad lantas menggandeng pihak kedua, entitas usaha bernama PT Angels Products, untuk pengolahan sekaligus pembiayaan impor.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menyatakan sebetulnya situasi PT Angels Products tidak ideal. Pasalnya, perusahaan ini secara hitam di atas putih tidak memenuhi kualifikasi impor sebab hanya memiliki izin mengelola gula kristal rafinasi.

Kesaksian mantan Kepala Bagian Hukum dan Pengamanan (Kabag Kumpam) Inkopad, Letnan Kolonel CHK Sipayung, menyuguhkan bagaimana skema bisnis Inkopad dan PT Angels Products dijalankan.

Gula Kristal Mentah (GKM) yang telah berubah menjadi Gula Kristal Putih (GKP), atau “gula pasir,” dibeli pedagang dari Inkopad untuk kemudian dijual dengan harga lebih tinggi.

Uang tidak langsung masuk ke kas koperasi, tapi berhenti di PT Angels Products. Bagian Inkopad adalah Rp75 untuk setiap satu kilogram gula yang didistribusikan ke pasar. Kalikan itu dengan kuota impor yang disediakan, maka jumlah keuntungan yang dibawa Inkopad akan terang benderang.

Sipayung membenarkan pernyataan salah satu hakim anggota di persidangan Tom Lembong, Alfis Setiawan, yang menyodorkan Rp7,5 miliar sebagai angka keuntungan Inkopad dari impor gula.

Uang yang dikumpulkan dari kegiatan impor dan operasi pasar ini dipakai untuk kesejahteraan prajurit, terang Sipayung.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, pada Rabu (9/5), untuk meminta konfirmasi. Hingga artikel ini tayang, tidak ada tanggapan.

Sementara kuasa hukum Tom Lembong menegaskan kliennya tidak memungut uang sepeser pun dari kebijakan impor ini, dan mengeklaim tidak ada kerugian yang dialami negara.

Geliat bisnis tentara sejak era Soeharto

Tentara berbisnis bukan barang baru. Indonesia memiliki sejarah yang kompleks mengenai itu.

Pasca-1965, Soeharto naik ke kursi kekuasaan, dikenal sebagai masa Orde Baru. Rezim Soeharto yang ditopang militer menjadikan tampuk kekuasaan kuat secara politik lantaran dibangun dengan jejaring hierarki yang terstruktur serta hanya patuh kepada satu komando: Soeharto seorang.

Peran militer di periode Soeharto tak cuma di barak; mereka ikut memasuki ruang-ruang sipil. Ini merupakan konsekuensi dari implementasi dwifungsi ABRI yang dirumuskan dalam beberapa seminar, yang secara umum menempatkan militer bukan sekadar penjaga kedaulatan negara, tapi juga di banyak aspek lainnya.

Bisnis termasuk sektor yang benar-benar diperah militer Orde Baru.

Richard Robinson, dalam bukunya yang berjudul Indonesia: The Rise of Capital (1986), menulis bahwa periode Orde Baru menjadi saksi masifnya ekspansi militer di kegiatan dagang, koperasi, serta yayasan.

Posisi militer yang krusial, tambah Robinson, membuat mereka hampir memperoleh akses tak terbatas ke sumber daya dan fasilitas negara, di samping kekuatan memengaruhi alokasi lisensi ekspor-impor, konsesi hutan, hingga kontrak karya.

Di level nasional, sebagaimana dipaparkan Robinson, ABRI—sekarang TNI—membangun kontrol efektif atas BUMN dan menjadikannya sumber pendapatan utama. Uang dari BUMN, kata dia, masuk ke neraca militer dan para elite-nya.

Sedangkan di tingkat daerah keterlibatan langsung militer dalam bisnis termanifestasi lewat komandan regional yang menjalin persekutuan dengan pengusaha lokal. Mereka seringkali menawarkan jasa berwujud penyelesaian konflik lahan, pengamanan demonstrasi buruh, sampai percepatan urusan birokrasi.

Kerjasama kedua pihak ini, disebut Robert Lowry dalam bukunya, The Armed Forces of Indonesia (1996), saling menguntungkan. Tentara, menurut Lowry, mendapatkan uang dan pebisnis berpeluang dijamin keamanan serta propertinya andaikata kerusuhan pecah.

Model bisnis lain yang menonjol yaitu pemasukan rutin yang dikirim dari perusahaan kroni Soeharto—mayoritas milik pebisnis keturunan Tionghoa—dan yayasan yang terafiliasi dengan The Smiling General.

Pendek kata, militer di Orde Baru mahir menjaga batalyon dan kepentingan ekonominya pada saat bersamaan.

Bulan madu tentara dengan pundi-pundi uang ini perlahan pudar seiring kolapsnya Orde Baru akibat krisis finansial dan gejolak politik, mengutip makalah bertajuk Military Business in Post-Suharto Indonesia: Decline, Reform and Persistence (2012) yang disusun Marcus Mietzner.

Militer tidak lagi mendapatkan uang dengan mudah lantaran sumber-sumber pemasukan mereka—kroni dan pengusaha lokal—banyak diterjang kebangkrutan.

Pengaruh dan daya tawar militer makin terlucuti bertepatan pengunduran diri Soeharto pada Mei 1998. Dengan tidak adanya Soeharto, militer kehilangan sang patron dan pelindung yang selama tiga dekade lebih telah menyediakan banyak karpet merah bagi tentara untuk berbisnis, mulai dari lisensi, kredit, hingga fasilitas ekonomi lainnya.

Pada waktu yang sama, tuntutan penghapusan dwifungsi—menjauhkan tentara dari urusan sipil dan mengembalikan ke barak–turut mengikis dominasi TNI sekaligus memperkecil peluang untuk memasuki pintu-pintu bisnis yang tersedia.

Di tengah situasi ini, militer lantas bersaing dengan aktor-aktor macam partai politik, anggota dewan, pengusaha, bahkan kepolisian dalam mencari kesepakatan bisnis yang ditawarkan negara.

Mietzner, masih dalam makalahnya, mengatakan bahwa sekalipun TNI tidak lagi punya cengkeraman kuat atas kepentingan bisnis, mereka tetap bersiasat untuk bertahan.

Ada dua cara yang ditempuh. Pertama, mempertahankan sumber pemasukan tentara yang masih ada dari upaya penghapusan, yakni koperasi dan yayasan. Kedua, melanjutkan bisnis “informal” seperti jasa pengamanan.

Bandul mulai berbalik sewaktu Joko Widodo memerintah selama 10 tahun.

Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai presiden, melantik dan mengambil sumpah jabatan Jenderal TNI Agus Subiyanto sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Istana Negara, Jakarta.

Sumber gambar, SETNEG

Keterangan gambar, Pada November 2023 lalu, Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai presiden, melantik dan mengambil sumpah jabatan Jenderal TNI Agus Subiyanto sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Istana Negara, Jakarta.

Pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi merangkul beberapa purnawirawan TNI di lingkar kekuasaannya, jelas Evan A. Laksamana dalam makalahnya, Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interest and Presidential Handholding (2019).

Apa sebab? Karena Jokowi “tidak punya mesin dan jaringan politiknya sendiri”, sebut Evan.

Hubungan Jokowi bersama militer bertambah intens pada periode 2019-2024, terutama selepas konfliknya dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kebutuhan untuk memperoleh dukungan politik dari militer, sebut Evan, makin relevan bagi Jokowi.

Prabowo Subianto dan Joko Widodo makan malam di Solo, Jawa Tengah, Minggu (03/11/2024).

Sumber gambar, SETNEG

Keterangan gambar, Prabowo Subianto dan Joko Widodo makan malam di Solo, Jawa Tengah, Minggu (03/11/2024).

Untuk kepentingan itu, menurut Evan, Jokowi menaikkan anggaran pertahanan hampir dua kali lipat dari 2014, menyetujui ekspansi teritorial, hingga mendorong militer aktif berpartisipasi dalam kegiatan di luar tugas dan fungsinya. Untuk poin terakhir, militer tercatat banyak menjalin kesepakatan dengan kementerian maupun BUMN.

Sekarang, apa yang sudah dimulai Jokowi diteruskan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Mencari celah, menyiasati larangan

Larangan TNI berbisnis diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004, merespons tekanan massa yang meminta tentara fokus untuk perkara pertahanan pada 1998. Sekitar 20 tahun setelahnya, TNI meminta pasal larangan itu dicabut.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, pada Agustus 2024, sepakat apabila larangan itu ditiadakan karena kebutuhan tentara bertambah tinggi, selama tetap profesional di pekerjaan utamanya.

Wacana penghapusan larangan berbisnis bagi TNI sempat menjadi poin yang ditentang keras oleh kelompok masyarakat sipil. Dalam Revisi Undang-Undang TNI yang sudah ditandatangani Prabowo pada April lalu, pasal larangan berbisnis tetap dipertahankan.

Meski begitu, celahnya tetap ada, kata peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh. Ini terjadi, sebagai contoh, pada kasus dugaan korupsi impor gula Tom Lembong.

“Sebenarnya, memang, kegiatan bisnis langsung militer itu memang tidak dalam bentuk mereka mendirikan korporasi, atau mengelola korporasi. Tapi, mereka memang bermain di ranah-ranah yang tidak terbuka,” jelasnya saat dihubungi BBC News Indonesia, Rabu (07/05).

Saleh memberi contoh koperasi yang terhubung dengan TNI. Dalam konteks kasus impor gula Tom Lembong, Inkopad sebenarnya ditujukan untuk merealisasikan kesejahteraan anggota.

“Tapi, ternyata, koperasi yang notabene memiliki kapasitas berbeda dengan perusahaan, dipaksa untuk berbisnis melampaui kapasitasnya. Misalnya, untuk ekspor-impor itu melampaui batas koperasi yang harusnya dilakukan perusahaan,” terang Saleh.

Pola lain yang diterapkan di luar koperasi, tambah Saleh, mewujud melalui penyediaan jasa keamanan yang datang dari berbagai kesepakatan dengan kementerian, BUMN, atau badan usaha swasta.

“Mereka [TNI] ada di dalam ekosistem dunia bisnis yang membuat mereka memiliki power. Akhirnya, mengharuskan dunia usaha sharing profit dengan mereka,” ucap Saleh. “Nah, ini yang terjadi, dan justru ini yang tidak bisa kita awasi, sebenarnya.”

Keterlibatan militer dalam dunia bisnis harus diminimalisir, tegas Saleh. Dari sisi tata kelola, keberadaan militer di bidang usaha yang diinisiasi pemerintah, misalnya, ditempuh tanpa melalui proses yang transparan.

“Karena cuma didasari atas perjanjian kerja sama,” katanya. “Ini membuat transparansi dan akuntabilitas [di] dunia bisnis bermasalah.”

Lalu yang kedua, dengan membuka pintu untuk militer berbisnis, menandakan terjadinya persaingan tidak sehat di dunia usaha yang bakal “memperumit dari iklim di dalamnya,” ujar Saleh.

Gejala militerisasi di ranah bisnis diperkirakan bakal masif bermunculan sejalan dengan keputusan Prabowo untuk menggerakan partisipasi tentara di banyak perkara sipil, dari Makan Bergizi Gratis (MBG) sampai ketahanan pangan.

Yang terbaru, TNI akan ditugaskan untuk memproduksi obat-obatan yang nantinya dikirim ke Koperasi Desa Merah Putih—program andalan Prabowo yang lain.

“Ini sudah menyimpang dari spirit pembagian urusan masing-masing lembaga. Dan sebenarnya yang menjadi problem di Indonesia saat ini itu ada upaya militerisasi terhadap kehidupan sipil,” pungkas Saleh.

Tinggalkan Balasan