KUBET – ‘Kami tak lagi aman di sini’ – Umat Kristen Suriah dilanda ketakutan setelah serangan bom bunuh diri di gereja

‘Kami tak lagi aman di sini’ – Umat Kristen Suriah dilanda ketakutan setelah serangan bom bunuh diri di gereja

Perempuan meratapi korban serangan

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Serangan gereja di Damaskus memakan 25 korban jiwa.

    • Penulis, Lina Sinjab
    • Peranan, Koresponden BBC Timur Tengah

Peringatan: Artikel ini mengandung detail yang dapat mengganggu kenyamanan Anda

“Abangmu gugur sebagai pahlawan.”

Kalimat itu didengar Emad saat mengetahui abangnya, Milad, tewas dalam ledakan bom bunuh diri di sebuah gereja di Damaskus, ibu kota Suriah.

Saat kejadian, Milad dan dua orang lainnya berjuang mendorong pelaku bom bunuh diri keluar dari gedung gereja. Milad tewas seketika di tempat kejadian—bersama 24 jemaat lainnya.

Selain korban tewas, 60 orang menderita luka dalam serangan di Gereja Ortodoks Yunani Nabi Elia pada 22 Juni silam. Tempat ibadah itu terletak di pinggiran timur Damaskus, Dweila.

Serangan itu menjadi yang pertama kalinya terjadi di Damaskus sejak pasukan pemberontak yang dipimpin kelompok Islam menggulingkan Bashar al-Assad pada bulan Desember.

Penggulingan itu sekaligus mengakhiri perang saudara yang menghancurkan selama 13 tahun.

Bom bunuh diri ini merupakan serangan pertama yang menargetkan komunitas Kristen di Suriah sejak pembantaian pada 1860. Pada tahun itu, konflik pecah antara Druze dan Kristen Maronit di bawah kekuasaan Ottoman.

Pihak berwenang Suriah menuding kelompok Negara Islam (ISIS) sebagai dalang di balik serangan ini.

Kelompok ekstremis Sunni yang kurang dikenal, Saraya Ansar al-Sunnah, kemudian mengklaim bertanggung jawab atas serangan. Namun, pejabat pemerintah mengatakan operasi kelompok ini terkait langsung dengan ISIS.

Keluarga Emad dan Milad

Sumber gambar, LINA SINJAB

Keterangan gambar, Emad, paling kanan, diberitahu bahwa abangnya (di foto) bertindak sebagai pahlawan karena berusaha menghentikan pembom bunuh diri.

Milad tengah mengikuti kebaktian Minggu malam ketika seorang pria tiba-tiba melepaskan tembakan ke arah jemaat sebelum meledakkan rompi berisi bom.

Emad mendengar ledakan dari rumahnya. Selama berjam-jam, abangnya tidak bisa dihubungi.

“Saya pergi ke rumah sakit untuk mengidentifikasi jenazah, tapi saya tidak bisa mengenali abang saya. Separuh wajahnya hangus,” tutur Emad saat ditemui di tempat tinggalnya.

Hanya ada dua kamar tidur di rumah kecil itu. Emad tinggal di sana bersama beberapa kerabatnya.

Baca juga:

Emad yang berusia 40-an tahun punya postur tinggi kurus. Wajahnya yang tegas memancarkan guratan kehidupan keras.

Seperti abangnya, Emad bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu sekolah di permukiman miskin tersebut. Area ini memang banyak ditinggali para keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah dan kebanyakan memeluk agama Kristen.

Selama pemerintahan Bashar al-Assad, anggota berbagai komunitas minoritas agama dan etnis di Suriah percaya bahwa negara melindungi mereka.

Namun, pemerintahan baru yang dipimpin kelompok Islam—yang dibentuk para pemberontak yang menggulingkan Assad pada Desember lalu—dikhawatirkan tidak akan melakukan hal yang sama.

Di satu sisi, Presiden interim Ahmed al-Sharaa dan pemerintahannya berjanji untuk melindungi semua warga negara.

Akan tetapi, kekerasan sektarian mematikan baru-baru ini terjadi di wilayah pesisir Alawi. Hal yang sama menimpa komunitas Druze di sekitar Damaskus.

Perkembangan ini membuat orang-orang meragukan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan situasi.

Banyak anggota keluarga Emad yang menyuarakan sentimen ini.

“Kami tidak aman lagi di sini,” kata mereka.

Angie Awabde

Sumber gambar, LINA SINJAB

Keterangan gambar, Angie Awabde, 23, mengaku ingin angkat kaki dari Suriah setelah menjadi korban serangan di gereja.

Dua bulan sebelum wisuda, Angie Awabde, 23 tahun, terjebak dalam serangan di gereja. Dia mendengar suara tembakan sebelum ledakan besar.

“Semuanya terjadi dalam hitungan detik,” tuturnya sembari terbaring di ranjang rumah sakit.

Dia mengalami luka serpihan di wajah, tangan, dan kakinya, serta patah tulang kaki.

Angie kini sangat ketakutan dan merasa tidak ada masa depan bagi umat Kristen di Suriah.

“Saya hanya ingin meninggalkan negara ini. Saya sudah melewati krisis, perang, ledakan mortir. Saya tidak pernah menyangka sesuatu akan terjadi pada saya di dalam gereja,” ujarnya.

“Saya tidak punya solusi. Mereka yang harus mencari solusi, ini bukan tugas saya. Jika mereka tidak bisa melindungi kami, kami ingin pergi.”

Sebelum perang saudara selama 13 tahun, umat Kristen mencakup sekitar 10% dari 22 juta penduduk Suriah. Namun, jumlah ini menyusut drastis karena ratusan ribu orang memilih kabur ke luar negeri.

Selama perang, gereja-gereja memang tidak luput dari pemboman pemerintah Suriah dan pasukan sekutu Rusia. Namun, serangan berlangsung ketika tidak ada jemaat di dalamnya.

Ribuan umat Kristen juga terpaksa meninggalkan rumah mereka karena ancaman dari kelompok Islamis garis keras dan jihadis, seperti ISIS.

Pemakaman massal

Sumber gambar, Izettin Kasim/Anadolu via Getty Images

Keterangan gambar, Suasana pemakaman massal untuk korban serangan gereja pada 22 Juni 2025.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Di luar rumah sakit tempat Angie dirawat, deretan peti mati beberapa korban serangan gereja siap untuk dikebumikan. Orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat Suriah menghadiri upacara di bawah pengamanan ketat di gereja terdekat.

Dalam khotbahnya, Patriark Gereja Ortodoks Yunani di Suriah, John Yazigi, menegaskan “pemerintah memikul tanggung jawab penuh”.

Dia menyatakan bahwa telepon belasungkawa dari Presiden Ahmed al-Sharaa “tidak cukup bagi kami,” yang disambut tepuk tangan jemaat.

“Kami berterima kasih atas teleponnya. Tapi kejahatan yang terjadi sedikit lebih besar dari itu.”

Sharaa sendiri minggu lalu telah berjanji bahwa mereka yang terlibat dalam serangan “keji” itu akan dibawa ke pengadilan.

Sehari setelah pengeboman, dua tersangka tewas dan enam lainnya ditangkap dalam operasi keamanan terhadap sel ISIS di Damaskus.

Namun, langkah ini belum banyak meredakan kekhawatiran di sini tentang situasi keamanan, terutama bagi pemeluk agama minoritas.

Baca juga:

Suriah juga mengalami pengetatan kebebasan sosial, termasuk dekrit tentang cara perempuan berpakaian di pantai.

Selain itu, terjadi serangan terhadap pria yang mengenakan celana pendek di tempat umum, serta penutupan bar dan restoran karena menyajikan alkohol.

Banyak pihak di Suriah khawatir bahwa ini bukan kasus tunggal, melainkan tanda-tanda dari rencana yang lebih luas untuk mengubah masyarakat Suriah.

Archimandrite Meletius Shattahi, direktur jenderal badan amal dari Patriarkat Ortodoks Yunani Antiokia, merasa pemerintah tidak berbuat cukup banyak untuk menangani perubahan ini.

Dia merujuk pada video-video yang beredar secara daring yang menunjukkan para ulama bersenjata menyerukan Islam melalui pengeras suara di permukiman Kristen.

Shattahi menambahkan bahwa ini bukanlah “insiden individu”.

“Ini terjadi secara terbuka di depan semua orang, dan kami tahu betul bahwa pemerintah kami tidak mengambil tindakan apa pun terhadap [mereka] yang melanggar hukum dan aturan,” katanya.

Kelambanan tindakan inilah, menurut dia, yang diduga menyebabkan serangan di Gereja Nabi Elias.

Tinggalkan Balasan