Jam tangan Rolex dari Presiden Prabowo untuk timnas sepak bola, wujud politisasi dan kesenjangan dengan cabang olahraga lain?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Nugraha Putra
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Usai meraih kemenangan 1-0 atas China di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026, tim nasional Indonesia diundang Presiden Prabowo Subianto untuk jamuan makan siang di kediaman pribadinya di Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (6/6). Pada acara itu, Prabowo menghadiahkan jam tangan merek Rolex kepada setiap pemain.
Prabowo mengungkapkan jamuan tersebut adalah “simbol dukungan terhadap kemajuan sepak bola nasional.” Ia berpesan agar pemain timnas “menjaga semangat juang untuk melangkah lebih jauh hingga panggung Piala Dunia.”
Ketua Umum PSSI sekaligus Menteri BUMN, Erick Thohir, menyatakan undangan Presiden Prabowo merupakan “apresiasi yang luar biasa” lantaran dihelat “bukan di Istana Merdeka melainkan rumah pribadi.”
“Jadi, mereka merasa kekeluargaan. Bapak Presiden juga menerima mereka sebagai keluarga. Karena kita tahu mereka juga banyak berkorban untuk Merah Putih kita. Dan Bapak Presiden apresiasi itu,” tutur Erick.
Kapten timnas, Jay Idzes, menyebut “Presiden Prabowo ingin merayakan [kemenangan atas China] bersama kami” dan “kami sangat bersyukur dan bersenang-senang.”
Akhir dari Paling banyak dibaca
Setelah perjamuan, para pemain pulang dan mengunggah konten “oleh-oleh” jam tangan dari Prabowo.
Jay Hubner, misalnya, melalui Instagram Stories memamerkan kotak berwarna hijau berisi arloji jenama Rolex.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Nugraha Putra
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Di media sosial, respons terkait peristiwa ini terbelah menjadi dua: ada yang pro dan kontra. Bagi mereka yang pro, undangan dari Prabowo—beserta jam tangan pemberiannya—merupakan wujud kepedulian terhadap timnas.
Suara kontra datang dari atlet cabang olahraga (cabor) lain yang merasa sepak bola terlalu diistimewakan di tengah terpaan efisiensi anggaran.
Dalam satu unggahan yang dilihat BBC News Indonesia, atlet tersebut mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai tidak adil serta menciptakan kesenjangan di antara cabor yang eksis.
Peneliti dan pengamat olahraga yang dihubungi BBC News Indonesia menilai “kritik tersebut bisa dibaca sebagai ketimpangan dukungan dan perhatian.”
Ia menambahkan sorot mata dari penguasa saat ini yang seolah cenderung banyak melirik sepak bola karena “kemungkinan melihat timnas sebagai ‘investasi’ politik, ekonomi, sosial, dan diplomatik.”
Kepala Kantor Kepresidenan, Hasan Hasbi, tidak memberikan balasan atas pesan yang dikirimkan BBC News Indonesia sehubungan pemberian jam tangan kepada punggawa timnas.
Nasib Kemenpora dan PSSI di tengah pengetatan anggaran pemerintah
Masa pemerintahan Prabowo dan Gibran Rakabuming ditandai dengan pemangkasan anggaran secara besar-besaran di semua lembaga maupun kementerian, tidak terkecuali Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang menaungi berbagai cabor.
Februari silam, Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, menegaskan anggaran kementerian yang ia pimpin kena potong hingga 50%, dari semula Rp2,3 triliun menjadi Rp1,03 triliun.
Semua program Kemenpora, kata Dito, “akan dilakukan proses penyesuaian pada saat anggaran berjalan.”
Meski begitu, Dito menampik apabila pengetatan anggaran ini bakal berdampak atas upaya peningkatan prestasi olahraga di Indonesia. Komitmen pemerintah, tandas Dito, “tidak berubah.”
“Pastinya arahannya adalah bagaimana dengan efisiensi ini persiapan atlet menuju Asian Games, Olimpiade, dan juga kualifikasi Piala Dunia tidak terganggu,” imbuhnya.
Dito menambahkan sumber pendanaan untuk pemenuhan prestasi bagi para atlet tidak sebatas dari pemerintah saja, melainkan pihak swasta dan masyarakat sipil yang diakuinya “antusias dalam mendukung olahraga,” sehingga “ini yang akan kita rangkul guna menguatkan potensi-potensi olahraga Indonesia,” tegasnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Kenyataan di lapangan berbeda.
Awal tahun ini, Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia memulangkan para atlet yang mengikuti pemusatan latihan nasional (pelatnas) di Pangalengan, Jawa Barat, imbas efisiensi anggaran.
Sebanyak 60 atlet tersebut direncanakan menjalani pelatnas dalam rangka persiapan menghadapi SEA Games maupun Asian Games. Kegiatan pelatnas ini membutuhkan dana kurang lebih Rp1,1 miliar setiap bulannya.
Dito membantah pembubaran pelatnas didorong efisiensi anggaran.
“Evaluasi menyeluruh terhadap pelatnas telah dilakukan per 31 Januari 2025. Dalam proses ini, terdapat jeda waktu pada Februari 2025 sebelum pelatnas kembali dilanjutkan,” ucapnya.
Pemerintah, terangnya, tetap memprioritaskan ajang olahraga seperti SEA Games, Asian Games, hingga Para Games. Setiap langkah yang ditempuh pemerintah, ujar Dito, “tidak akan mengganggu kesiapan atlet dan pelatih untuk mendukung prestasi olahraga nasional dengan strategi yang lebih terarah dan efektif.”
Di Malang, Jawa Timur, sejumlah atlet binaraga terpaksa makan ayam tiren—mati kemarin—untuk kebutuhan protein. Alasannya: dana yang tidak cukup. Mereka mengonsumsi ayam tiren selama hampir satu bulan, dengan per hari bisa menghabiskan 1,5 sampai 2 kilogram dada ayam.
Pada waktu yang sama, mereka dikejar untuk persiapan laga Porprov Jatim IX 2025, diselenggarakan Juni mendatang.
“Akhirnya solusi kita putuskan membeli ayam tiren untuk memenuhi kebutuhan protein kami,” ucap salah satu atlet.
Lantas bagaimana dengan PSSI selaku federasi yang mengurus timnas Indonesia?
April lalu, Dito memberikan bantuan dana dari pemerintah kepada 13 cabor yang dianggap “unggulan,” mulai dari bulu tangkis, menembak, atletik, panahan, dayung, angkat besi, judo, renang, balap sepeda, senam, surfing, akuatik, serta sepak bola. Totalnya Rp420 miliar.
Di antara belasan cabor yang masuk daftar, sepak bola memperoleh dana paling banyak, hampir Rp200 miliar.
Dito berkata bantuan bagi PSSI bersifat khusus sebab berstatus cabang olahraga strategis serta berpotensi tinggi—sesuai Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional.
“Terkhusus untuk PSSI, pemerintah memberikan dukungan kepada PSSI untuk program pembinaan di nasional dari kelompok U-17 hingga senior. Dengan tentunya target utamanya lolos ke Piala Dunia pada masing-masing level,” tutur Dito.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, mengatakan alokasi dana yang lebih besar ketimbang cabor lain merupakan “kepercayaan pemerintah” sehubungan dengan pengembangan sepak bola.
Dibanding 2024, anggaran dari pemerintah ke PSSI mengalami kenaikan signifikan.
Pada 2024, PSSI mendapatkan bantuan dana sebesar Rp127 miliar. Sedangkan untuk 2025, berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke PSSI menyentuh Rp277 miliar—mempertegas statement Kemenpora.
Artinya, PSSI memperoleh tambahan Rp150 miliar.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Instagram. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Instagram kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Instagram pesan, 1
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di InstagramBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Alokasi anggaran tersebut ditujukan guna persiapan timnas di kualifikasi Piala Dunia 2026, pelaksanaan pelatnas, dan program kerja asosiasi sepakbola. Sekitar 73% dari anggaran itu berasal dari pajak masyarakat.
Secara garis besar, total anggaran yang diperlukan PSSI pada 2025 mencapai Rp650 miliar. Erick mengaku PSSI sedang mencari pembiayaan dari pintu lainnya, mencakup sponsor swasta hingga penjualan merchandise maupun tiket.
“Kalau teman-teman melihat kemarin kenapa saya juga menandatangani tambahan sponsor dari sebuah mobil listrik itu bagian mendapatkan pendanaan lebih. Tidak tergantung hanya pendanaan dari pemerintah,” ujarnya, Februari silam.
‘Timnas Indonesia adalah investasi dan modal politik’
Peluit babak akhir pertandingan Indonesia melawan Filipina pada Juni 2024 dirayakan gegap gempita. Kemenangan dua gol, disumbang Thom Haye dan Rizky Ridho, atas Filipina mengantarkan Indonesia melaju ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia untuk pertama kalinya.
Pencapaian timnas Indonesia membikin akun resmi Piala Dunia 2026 (@fifaworldcup) mengunggah konten terkait hal itu, mendulang ratusan ribu sampai jutaan likes.
Lolosnya Indonesia ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026, pada saat bersamaan, menambah panjang ‘prestasi’ timnas di bawah era Shin Tae-yong, pelatih asal Korea Selatan.
Sebelumnya, STY, demikian ia populer dipanggil, membawa timnas Indonesia di berbagai level usia tampil penuh percaya diri di sejumlah kompetisi, dari Piala AFF 2020, SEA Games 2021, hingga Piala Asia 2023. Peringkat Indonesia di FIFA naik pula secara meyakinkan, tembus ke posisi 129—dari 173.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Instagram. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Instagram kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Instagram pesan, 2
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di InstagramBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Randy Aprialdi, selaku pemimpin redaksi Pandit Football, media analisis sepak bola, menjelaskan bahwa publik mengalami euforia yang cukup tinggi kala timnas berada di era kepelatihan STY—sebelum diberhentikan PSSI. Indikatornya, sebut Randy, “peningkatan pendukung timnas.”
“Bahkan menarik kelompok yang mungkin sebelumnya tidak suka sepak bola,” kata Randy kepada BBC News Indonesia, Senin (9/6).
Data mengenai peningkatan suporter timnas tidak tersedia. Namun, berdasarkan amatan BBC News Indonesia terhadap beberapa konten timnas yang dipasang di akun Instagram resmi, angka engagement-nya sangatlah masif. Begitu juga dengan posting-an yang diunggah para pemain lokal maupun naturalisasi.
Pada akhirnya, Randy mengatakan, prinsip sepak bola yang “memiliki psikologi massa terbesar” bekerja, dan ia menarik atensi para aktor-aktor penting.
“Makanya kemudian baik di era Joko Widodo sampai Prabowo semua selalu datang ketika timnas bermain. Kehadiran mereka seperti menjadi bentuk perhatian kepada timnas. Tujuannya, peluang mengambil hati,” ucap Randy.
Dari situ, harapannya, timnas—dan militansi suporter di dalamnya—mampu menyediakan “dukungan massa sekaligus ketahanan politik kepada pihak-pihak yang berkepentingan,” imbuh Randy, sembari menyebut nama Erick Thohir—di luar Prabowo—yang memanfaatkan antusiasme atas timnas Indonesia.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Instagram. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Instagram kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Instagram pesan, 3
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di InstagramBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Artikel ini memuat konten yang disediakan Instagram. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Instagram kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Instagram pesan, 4
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di InstagramBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Peneliti Ganesport Foundation, Dex Glenniza, menyatakan “prestasi” timnas Indonesia sekarang “lebih ke modal politik.” Apabila seluruh ekosistem sepak bola—pembinaan, kelompok perempuan—yang “berprestasi,” maka baru bisa “jadi modal sosial,” ujarnya.
“Namun, memperbaiki seluruh sepak bola itu susah, kan? Makanya yang gampang dan kelihatan saja, yaitu timnas Indonesia,” Dex memberi tanggapan kepada BBC News Indonesia, Senin (9/6).
Euforia atas timnas Indonesia, Dex melihat, turut dipicu hari-hari serba suram yang dihadapi masyarakat sehingga mereka “butuh pelarian untuk merayakan kemenangan.”
Makalah berjudul Populism and Sports in Latin America: Old and New Ways of Narrating the Nation (2021) yang ditulis Pablo Alabarces mengatakan seiring mekarnya popularitas sepakbola, para elite politik tidak hanya memanfaatkannya sebagai ruang untuk memperoleh visibilitas (‘keterlihatan’ di khalayak), melainkan alat dalam membentuk narasi identitas.
Sepak bola, terang Alabarces, dipersepsikan menjadi representasi dari rakyat, dengan para pemain yang bertanding serupa sosok pahlawan yang dinantikan.
Fenomena semacam ini tumbuh di Amerika Latin, dan berkontribusi dalam bagaimana cara memandang serta memaknai olahraga, utamanya sepak bola, sampai sekarang.
Dalam aspek politik lainnya, olahraga berbasis massa, seperti halnya sepak bola, adalah pijakan yang sempurna untuk memenuhi agenda politik tertentu bagi para elite, terang makalah berjudul Sports and Populism: A Contemporary Perspective (2023) yang disusun Paul Hong & G. M. Divakar.
Dengan memberikan dukungan kepada tim olahraga yang ada, dalam rupa pemberian dana, sebagai contoh, para politisi memanfaatkan ikatan emosional masyarakat yang sudah terbangun secara kolektif, sehingga timbal baliknya adalah terciptanya relasi yang dinamis dan strategis.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Instagram. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Instagram kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Instagram pesan, 5
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di InstagramBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Prabowo lebih dari sekali terekam hadir di Stadion Gelora Bung Karno untuk menyaksikan timnas kala kualifikasi Piala Dunia 2026 berlangsung. Ketika berhalangan, ia tetap mengunggah foto dirinya tengah menonton timnas lewat gawai.
Erick Thohir tak jauh berbeda. Ia lebih intens, mengingat posisinya sebagai orang nomor satu di federasi. Beberapa kali ia membawa kabar yang dipandang “baik” bagi pendukung timnas, dari keberhasilan naturalisasi pemain asing sampai perekrutan pelatih pengganti STY, Patrick Kluivert—legenda tim papan atas Eropa, Ajax Amsterdam dan Barcelona.
Bentuk “dukungan” kepada timnas Indonesia tidak sekadar muncul lewat “kehadiran” di stadion maupun media sosial. Pemerintah memasukkan target lolos Piala Dunia 2026 sebagai prioritas, dan itu direalisasikan dengan pemberian anggaran yang lebih banyak daripada cabang olahraga yang lain.
“Sepak bola, kali ini melalui timnasnya, adalah alat diplomasi budaya dan sosial untuk national branding dan reputasi internasional,” tandas Dex.
“Bidang lain seperti, misalnya, kerja sama ekonomi, budaya, dan lain-lain belum tentu bisa mempertemukan Indonesia dengan China dan Jepang dengan eksposur sebesar laga sepak bola antarnegara.”
Dex menyimpulkan bahwa kemungkinan “penguasa melihat timnas sekarang sebagai “investasi” yang berbentuk investasi politik, ekonomi, sosial, dan diplomatik.”
Fokus tidak hanya ke timnas, tapi ke masalah dasar lainnya
Jamuan makan siang dan pemberian jam tangan kepada para pemain oleh presiden adalah bentuk politisasi olahraga, ucap pemimpin redaksi Pandit Football, media analisis sepak bola, Randy Aprialdi.
“Semestinya presiden datang ke pertandingan saja sudah cukup, memperlihatkan ia mendukung timnas Indonesia,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Randy was-was politisasi itu dapat memecah konsentrasi para pemain jelang laga-laga krusial di masa mendatang, terlebih setelah timnas Indonesia dipastikan menjaga asa lolos ke Piala Dunia 2026 lewat jalur kualifikasi terakhir yang menentukan.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Lmo/tom
Dalam konteks yang luas, politisasi berlebih terhadap timnas Indonesia seperti mengalihkan perhatian atas masalah-masalah yang sifatnya lebih mendasar.
“Sepak bola Indonesia kalau dilihat dari aspek timnas memang harus kita akui ada peningkatan dan perkembangan,” ucap Randy. “Tapi, ini lebih ke kulitnya saja.”
Randy menyebut berbagai persoalan rentan terlupakan akibat “prestasi” timnas seperti pembinaan kelompok usia muda, kompetisi lokal, kualitas wasit, pemenuhan gaji, sampai sulitnya mengikis pengaruh mafia bola.
“Bicara soal blueprint sepak bola, kebanyakan membenahi aspek fundamental dahulu, baru ke yang lain seperti, katakanlah, naturalisasi. Di sini sebaliknya,” imbuhnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Lmo/tom
Mei lalu, kapten kesebelasan PSM Makassar, Yuran Fernandes, mengeluarkan kritik terhadap pengelolaan sepak bola Indonesia melalui Instagram Stories usai berlaga melawan PSS Sleman. Oleh Komisi Disiplin PSSI, Yuran justru dijatuhi hukuman larangan bertanding selama 12 bulan—belakangan dipotong menjadi 3 bulan.
Peneliti Ganesport Foundation dan pengamat sepak bola, Dex Glenniza, mengungkapkan negara yang terlalu fokus ke timnas sepak bola yang “tidak berprestasi” itu bisa jadi “jebakan untuk jangka panjang.”
“Apalagi melihat cabor lain lebih berprestasi,” tandasnya.
Bagaimana negara seharusnya melihat olahraga?
Pemberian bonus, terlebih jika dilakukan di momentum yang tepat, bisa “menunjukkan kepedulian,” terang Dex Glenniza. Itu bukan hal baru, tambah Dex, lantaran banyak negara atau daerah yang menempuhnya.
Posisi sepak bola sebagai olahraga dengan massa yang besar serta perputaran ekonomi yang menggiurkan, sebut Dex, membuat setiap langkah yang diambil para elite dapat dimaklumi. Ujung-ujungnya semua kembali tentang “modal politik.”
“Kalau dilihat dari prestasi dan kebanggaan negara, sepak bola tidak ada apa-apanya dibandingkan cabang olahraga lain yang lebih berprestasi seperti bulu tangkis, panjat tebing, atau angkat beban. Namun, karena sepak bola lebih populer, maka tak heran cabor ini banyak dimanfaatkan sebagai alat politik,” jelasnya.
Tapi, ketika ada kritik yang muncul menyoal “kesenjangan” perlakuan dari pemerintah, Dex membacanya sebagai “ketimpangan dukungan dan perhatian,” dan maka dari itu “wajar kalau cabor lain merasa kurang dihargai,” ucapnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Lmo/tom
Dex berharap pemerintah lebih bisa berlaku fair dengan, salah satunya, membuat riuh informasi mengenai prestasi dari cabang olahraga di luar sepak bola supaya publik mampu merasakan euforia serupa timnas.
“Artinya memang penghargaan [dari pemerintah] lebih condong ke popularitas alih-alih prestasi objektif,” ujar lulusan program studi magister keolahragaan ITB ini.
“Ada potensi kekecewaan dan demotivasi. Jangan sampai ini terjadi.”
BBC News Indonesia telah menghubungi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk meminta konfirmasi. Perwakilan dari Biro Humas Kemenpora, Mahayu Westri, menyatakan belum dapat memberi tanggapan resmi karena “masih menunggu arahan internal.”
Dex menjelaskan pemerintah sebaiknya memandang suatu olahraga tidak hanya dalam jangka pendek, sesuatu yang instan atau viral, tapi jangka panjang; bahwa ia melibatkan pembinaan terukur yang ditopang fasilitas, pelatihan, serta kesejahteraan atlet yang ideal.
Dex mencontohkan pemerintah dapat menggali dan memajukan cabang olahraga atletik di Nusa Tenggara, lalu angkat beban di Lampung, bulu tangkis di Jawa Tengah, bahkan sepak bola di Tulehu.
Dengan begitu, harapannya, pemerintah tidak kelewat “silau” akan popularitas olahraga tertentu dan meyakini semua cabor sama-sama “membanggakan.”
“Bikin standar penghargaan berbasis prestasi, bukan popularitas,” kata Dex.
“Lagian buat negara, popularitas seharusnya bisa diusahakan lewat para buzzer, kan?”