KUBET – Gereja Katolik dan kisah orang-orang asli Papua – ‘Mengapa kedukaan kami jarang dibicarakan di atas altar?’

Gereja Katolik dan kisah orang-orang asli Papua – ‘Mengapa kedukaan kami jarang dibicarakan di atas altar?’

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Uskup Timika, Bernardus Bofitwos Baru, berfoto bersama umatnya usai ibadah di Katedral Tiga Raja, Mimika, 15 Mei lalu.

  • Penulis, Abraham Utama
  • Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia

Berbagai peristiwa pada Mei 2025 memperlihatkan relasi antara Gereja Katolik dan orang-orang asli Papua, yang tidak hanya diwarnai harapan, tapi juga kekecewaan.

Awal Mei lalu, Robert Prevost, seorang imam Katolik yang pernah menjejakkan kaki ke Papua, ditunjuk menjadi pemimpin Vatikan. Kabar ini mendatangkan riang karena delapan bulan sebelumnya asa tentang kunjungan Paus Fransiskus ke Papua baru saja kandas.

Sepekan setelah pemilihan paus baru itu, Bernardus Bofitwos Baru—rekan Prevost di komunitas pastor tarekat Santo Agustinus—dilantik memimpin Keuskupan Timika. Dia menjadi orang asli Papua kedua yang memegang jabatan uskup dan akan memimpin lebih dari satu juta umat di wilayah pegunungan tengah Papua.

papua, katolik

Sumber gambar, Sekretariat Ordo Santo Agustinus

Keterangan gambar, Bernardus Baru, saat masih berstatus pastor, bersalaman dengan Paus Fransiskus. Robert Prevost, yang kini menjadi Paus Leo XIV, menyaksikan perjumpaan keduanya.

Naiknya Bernardus Baru menjadi uskup disambut suka cita umat Katolik asli Papua.

Namun tak lama setelah ibadah pelantikan Bernardus yang riuh rendah di Katedral Tiga Raja, Kabupaten Mimika, 14 Mei lalu, sekelompok orang muda Katolik masuk ke halaman gereja. Mereka membentangkan poster berisi tuntutan agar para pimpinan Gereja Katolik menentang proyek pemerintah “yang meminggirkan orang asli Papua”.

Malvin Yobe, satu dari orang muda Katolik itu, lalu dibawa dan ditahan selama beberapa jam di kantor polisi.

katolik, papua
Keterangan gambar, Sejumlah orang muda yang bergabung dalam kelompok Suara Awam Katolik membentangkan sejumlah poster tuntutan di halaman Katedral Tiga Raja, Timika, 14 Mei 2025.

Bernardus dilantik beberapa hari jelang peringatan 131 tahun kedatangan Gereja Katolik di Papua. Peringatan itu berlangsung ketika eskalasi konflik bersenjata di wilayah Keuskupan Timika memburuk—yang lagi-lagi, menewaskan warga sipil dan memicu gelombang pengungsian.

Bukan hanya dilanda konflik, umat Katolik di Keuskupan Timika juga dirundung kemiskinan ekstrem.

Berbagai data resmi menunjukkan fasilitas dasar seperti rumah sakit dan sekolah sangat minim di pegunungan tengah Papua, meski sumber daya mineral—emas, minyak, dan gas—terpendam dan telah dieksploitasi di kawasan ini.

Di tengah situasi itu, sebagian umat Katolik di Keuskupan Timika juga mengalami pergolakan iman. Mereka merasa ditinggalkan gereja.

Seorang umat Katolik di Distrik Agimuga, Mimika, menyebut relasi gereja dan orang asli Papua di kampungnya saat ini merenggang, tak seperti ketika konflik bersenjata berkecamuk pada 1977.

“Pada saat itu, almarhum Pastor Frankenmolen mengumpulkan umat yang menyebar [mengungsi] di seluruh hutan. Pastor jalan ke hutan selama sebulan,” ujar Martin Piligame, umat Katolik di Agimuga.

“Pastor Frankenmolen hidup dengan umat. Begitu banyak contoh pengalaman dan pengaruh yang dia tinggalkan,” kata Martin.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Perarakan umat Katolik dalam prosesi penahbisan Bernardus Baru menjadi Uskup Timika, pertengahan Mei lalu.

Seorang umat dari Kugapa, Distrik Bibida, Kabupaten Paniai, mengeluhkan hal serupa. Ironis, kata dia, karena sekitar satu abad lalu kampungnya menjadi salah satu titik kedatangan pertama para misionaris Katolik di pegunungan tengah Papua.

“Seharusnya gereja beranjak dari histori itu, bagaimana mereka bisa menghidupkan umat,” kata Lusi Zonggonau, umat Katolik asal Kugapa.

“Semestinya anak-anak di Kugapa dibawa ke pelayanan dan pembinaan agar ada yang menjadi pater atau suster. Tapi kenyataannya tidak begitu. Kami mundur, bukannya maju,” ujar Lusi.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Lusi Zonggonau, umat Katolik asal Kugapa, Paniai.

Soleman Itlay, salah satu pemuda asli Papua yang berunjuk rasa di halaman Katedral Tiga Raja Mimika, menekankan bagaimana para pemimpin gereja harus bersikap dalam relasi dengan orang-orang asli Papua yang menganut Katolik.

“Apa yang umat rasakan juga harus dirasakan para imam karena umat dan imam itu satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan,” ujarnya.

“Kalau tidak seperti itu, berarti para imam membangun gereja di atas pasir, bukan di atas batu karang.

“Jadi umat dan pemimpin gereja harus saling mendengarkan dan mengoreksi—saling mengisi kekurangan,” kata Soleman.

Uskup Bernardus Baru pada awal Mei lalu menyanggupi permintaan BBC untuk melakukan sesi wawancara, terkait harapan dan kekecewaan umatnya, pada 16 Mei.

Namun saat ditemui di tempat tinggalnya, di paroki Katedral Tiga Raja, Mimika, dia menolak kedatangan BBC. Dengan klaim tak pernah berkorespondensi dengan BBC, Bernardus Baru meminta kami meninggalkan kediamannya.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Uskup Timika, Bernardus Bofitwos Baru.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Satu hari sebelumnya, dalam khotbah di misa perdananya sebagai Uskup Timika, Bernardus Baru menyebut seluruh pihak di Papua, termasuk gereja dan pemerintah, “harus bersedia mendengarkan”.

“Banyak kebijakan yang dilakukan gereja, negara, dan masyarakat, berdasarkan mentalitas rasisme—superioritas,” ujar Bernardus.

“Sehingga banyak orang tidak mendapatkan perhatian yang maksimal, karena mentalitas ini masuk ke dalam kebijakan dan keputusan yang justru menindas, mengesampingkan yang lain, dan mengutamakan yang lain,” tuturnya di altar.

“Saya mengajak semua pihak, marilah kita buka pintu hati kita…membuka pastoran, gereja, seluas-luasnya agar datang dan bertemu dengan Tuhan.

“Membuka hati untuk mendengarkan mereka yang menjerit, yang menangis, yang tertindas, yang hak-haknya dirampas agar mereka dapat diajak untuk masuk, mendapatkan suka cita yang diberikan Tuhan,” kata Bernardus.

Di tengah konflik bersenjata, kemiskinan yang meluas, dan gelombang investasi, sebuah pertanyaan besar masih menanti jawaban: mampukah Gereja Katolik merealisasikan harapan umatnya di Papua?

Bakar batu, persembahan, dan kekecewaan

Prosesi pelantikan Bernardus Baru menjadi Uskup Timika digelar secara meriah dari 13 hingga 15 Mei lalu. Belasan uskup dari seluruh Indonesia hadir dalam prosesi itu, begitu pula Duta Besar Takhta Suci Vatikan, Pierro Pioppo.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, (Dari kiri ke kanan) Uskup Merauke Petrus Canisius Mandagi; Duta Besar Takhta Suci Vatikan, Pierro Pioppo; dan Uskup Manokwari-Sorong, Hilarion Datus Lega.

Sebelum ribuan umat Katolik mengikuti tiga ibadah penahbisan di Katedral Tiga Raja, mereka menjalani perarakan.

Sebagian umat dari komunitas adat Amungme dan Kamoro, yang merupakan penduduk asli Timika, memakai pakaian tradisional mereka. Di sepanjang jalan menuju gereja, mereka menari dan bernyanyi dalam bahasa ibu mereka.

Dalam perarakan itu ada juga kelompok umat dari Maybrat, sebuah kabupaten di wilayah Kepala Burung Papua, yang merupakan kampung halaman Bernadus Baru.

Di barisan depan perarakan berdiri perwakilan umat dari kelompok non-Papua dengan pakaian adat mereka. Di Papua, mereka ini biasa disebut sebagai komunitas Nusantara.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Puluhan umat Katolik dari Kabupaten Maybrat mengenakan pakaian adat mereka dalam perarakan Uskup Timika Bernardus Baru.

Tidak hanya umat, seluruh prosesi pelantikan Bernardus Baru juga melibatkan para pejabat lokal.

Johannes Rettob—Maret lalu dilantik menjadi Bupati Mimika usai pilkada panas yang berakhir di Mahkamah Konstitusi—memimpin kepanitiaan penahbisan Bernardus Baru.

Sejumlah kepala daerah dari kabupaten dan provinsi lain di Papua turut menghadiri ibadah pelantikan Bernardus. Bersama mereka, sejumlah pimpinan kepolisian dan militer duduk di bangku-bangku terdepan di Katedral Tiga Raja.

PT. Freeport Indonesia tidak hanya mengutus perwakilan mereka dalam ibadah penahbisan itu. Melalui Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme Kamoro, perusahaan itu menyumbang uang tunai sebesar Rp1 miliar untuk rangkaian pelantikan Bernardus Baru.

Ketika perarakan menuju katedral berlangsung, bakar batu dimulai pula di halaman belakang kantor Keuskupan Timika. Komunitas adat Moni, satu dari tujuh kelompok suku pegunungan tengah Papua, mengerjakan prosesi tersebut.

Bakar batu, dalam berbagai studi antropologi, disebut sebagai tradisi memasak secara kolektif pada masyarakat Melanesian di wilayah pegunungan.

Sebagai tradisi bernilai kultural—yang kini juga politis—bakar batu dilakukan untuk menghubungkan dan mempererat ikatan sosial-ekonomi antarkelompok adat di Papua.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Puluhan laki-laki menunggu batu-batu memanas, sebelum menumpuknya ke atas daging babi, sayur-mayur, dan umbi-umbian pada bakar batu di halaman Keuskupan Timika, 15 Mei lalu.

Daging babi, yang menjadi menjadi bahan utama dalam prosesi bakar batu, disumbang oleh sejumlah pejabat di Mimika. Di kabupaten itu, harga jual satu ekor babi belakangan menyentuh Rp40 juta.

Sementara umbi-umbian dan sayur-mayur yang turut dimasak pada bakar batu di Keuskupan Timika itu disumbang oleh para perempuan asli Papua, dari kebun-kebun milik mereka.

“Perempuan-perempuan ini dengan sendirinya masuk ke hutan, mengambil ubi, keladi, singkong, dan sayur yang begitu berlimpah,” kata Lusi Zonggonau, perempuan dari Suku Moni yang turut menjalani prosesi bakar batu itu.

“Ini tidak bisa diukur dengan uang. Kami persembahkan secara sukarela sebagai bentuk syukur atas berkat Tuhan: uskup yang baru terpilih dan para suster serta pastor yang datang,” ujar Lusi.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Dalam prosesi bakar batu, para perempuan menyusun tumpukan daun besar yang menjadi alas daging babi, sayur-mayur, dan umbi-umbian.

Lusi berkata, di gereja-gereja lokal setingkat stasi atau paroki, perempuan asli Papua memiliki keterikatan dengan iman Katolik mereka—dengan gereja. Relasi itu mengakar, kata Lusi, karena didasarkan pada adat.

Meski perekonomian rumah tangga di pegunungan tengah Papua bergantung hampir sepenuhnya pada hasil kebun, para perempuan asli Papua secara rutin membawa umbi-umbian dan sayur yang mereka tanam ke gereja.

“Mereka membawanya sebagai persembahan. Dengan begitu mereka merasa diberkati,” ujar Lusi.

Bukan hanya perempuan, puluhan laki-laki dari Suku Moni turut serta dalam bakar batu untuk Uskup Bernardus Baru. Para lelaki itu memotong daging babi, lalu membakar dan menumpuk batu panas yang memungkinkan proses memasak terjadi.

Wam—istilah lokal untuk masakan babi yang dimasak dalam prosesi bakar batu—secara turun-temurun telah menjadi bagian dari setiap seremoni komunitas adat di pegunungan tengah Papua.

“Memang keterikatan itu tidak nampak, tapi secara keimanan begitu dalam,” ujar Lusi.

“Kami menghayati agama secara pribadi. Kami juga memiliki ritual untuk alam, leluhur, dan Tuhan,” ucapnya.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Batu panas yang baru saja dibakar dipindahkan ke lubang berisi bahan makanann menggunakan batang-batang kayu.

Namun kedekatan orang asli Papua dengan gereja itu kini tak berbalas perhatian gereja, menurut Lusi. Dia berkata, para pastor Katolik sekarang lebih sering melayani umat di perkotaan. Kugapa, kampung asal Lusi, tidak masuk kategori itu.

“Di Kugapa banyak generasi muda. Bagaimana mereka bisa dibina supaya terarah, misalnya dengan bacaan Alkitab dan Mazmur?” ujarnya.

“Di sana kami belajar sendiri, bahkan saya yang harus turun untuk ikut melayani.

“Keuskupan Timika tidak menjangkau gereja-gereja kecil di sana,” kata Lusi.

katolik, papua, timika
Keterangan gambar, Prosesi bakar batu memakan waktu dua hingga empat jam.

Situasi ini, menurutnya, tak terjadi pada era misionaris Katolik dari Belanda. Kugapa, secara khusus, tercatat dalam awal sejarah Gereja Katolik di Tanah Papua.

Herman Tillemans, seorang pastor berkebangsaan Belanda, pada dekade 1930-an mengikuti ekspedisi yang digelar antropolog Hendricus Johannes Tobias Biljmer ke pegunungan tengah Papua—dulu Nugini Belanda.

Dalam perjalanan yang dimulai dari Kokonau (kini distrik di Mimika) itu, rombongan Tillemans dan Biljmer bertemu laki-laki dari Suku Moni bernama Auki Tekege.

Laki-laki lalu mengajak mereka bertemu sejumlah komunitas adatnya, termasuk orang-orang Moni, “yang tinggal jauh di pegunungan“.

Herman Tillemans, suku moni, papua

Sumber gambar, Wereld Museum

Keterangan gambar, Pastor Herman Tillemans memberi kerang kuwuk, yang bernilai kultural bagi banyak komunitas adat di Papua, kepada dua laki-laki Suku Moni, tahun 1948.

Sejak perjumpaan dengan Auki Tekege itu, Tillemans, yang saat itu bekerja di pusat misi Katolik di Kokonau, beberapa kali naik ke pegunungan, menjumpai orang-orang Moni dan Mee, di Modio (kini masuk Kabupaten Dogiyai) dan Kugapa.

Tidak hanya gereja, Tillemans juga membuka sekolah di Kugapa. Misi Katolik yang dipimpinnya mendatangkan guru-guru dari Kepulauan Kei, Maluku.

Seperti kisah yang dipaparkan Lusi, jejak Pastor Tillemans di Kugapa dan Paniai secara luas diakui dan dihormati umat Katolik dari Suku Moni dan juga Suku Mee.

“Tillemans adalah figur besar yang mendaki gunung, bersahabat, dan berusaha berbicara dalam bahasa suku-suku lokal,” tulis Joop Sierat, pastor asal Belanda yang pernah bekerja di Pegunungan Tengah.

“Tillemans adalah Tillemans, figur yang disebut dengan tarikan napas yang sama seperti ketika orang-orang menyebut Auki Tekege dan Saodekigi Zonggonao,” ujar Sierat.

Herman Tillemans, suku marind, papua, merauke

Sumber gambar, Wereld Museum

Keterangan gambar, Herman Tillemans di Papua Selatan, Oktober 1954. Setelah bertugas di pegunungan tengah, dia ditunjuk menjadi Uskup Merauke.

Auki Tekege, pada 2015, diakui oleh John Philip Saklil, Uskup Timika pertama, sebagai “figur penting yang mewartakan Injil ke wilayah adat Meepago, di pegunungan tengah”.

Sementara Saodekigi Zonggonao yang disebut Sierat adalah salah satu pemimpin komunitas adat Moni di Kugapa.

Bukan hanya era Pastor Herman Tillemans, Lusi Zonggonao menilai pelayanan para imam Katolik di Kugapa dan wilayah perkampungan di Paniai juga tak lagi seperti masa Pastor Natalis Henepetia Gobay.

Sebelum menjabat wakil uskup Timika hingga kematiannya pada 2015, pastor asli Papua itu melayani umat di kawasan Pegunungan Tengah.

“Dia hanya satu orang, tapi bisa menjangkau semua umat, dari Timika sampai gunung,” ujar Lusi.

“Pastor Natalis Gobay tidak hanya duduk di kantor. Dia rela berkendara dengan motornya berjalan ke pelosok-pelosok.

“Figur seperti itulah yang kami butuhkan,” kata Lusi.

Herman Tillemans, suku moni, papua

Sumber gambar, Wereld Museum

Keterangan gambar, Potret sebuah gereja Katolik di dekat Enarotali, Paniai, November 1954.

Masih di wilayah Keuskupan Timika, tepatnya di Distrik Agimuga, Mimika, laki-laki paruh baya bernama Martin Pigilame memendam tanya dan keluh kesah.

Pertengahan Mei lalu dia berada di Timika, tapi tak berniat mengikuti prosesi pelantikan Bernardus Baru menjadi uskup.

Pengalaman Martin menjadi pengurus Paroki Agimuga menebalkan keyakinannya bahwa “pimpinan Gereja Katolik semakin berjarak dari umat di Agimuga”.

Baca juga:

Agimuga dalam perjalanan sejarah merupakan lokasi migrasi orang-orang Amungme yang turun dari Nemangkawi Ninggok—gunung berbalut salju yang kekayaan emasnya ditambang Freeport sejak awal 1970-an.

“Orang tua saya berasal dari Lembah Noema,” kata Martin. Sepanjang pertemuan dengannya, mata Martin terlihat tajam. Raut wajahnya dingin, tapi tutur katanya begitu tertata.

“Mereka bersepakat untuk turun ke Agimuga dengan penuh harapan, bahwa begitu sampai di dataran terbuka mereka akan berkembang secara rohani, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan,” ujarnya.

“Namun sampai saat ini harapan itu tidak menemukan sasarannya,” kata Martin.

katolik, papua
Keterangan gambar, Martin Pigilame pernah menjadi pengurus Paroki Agimuga, tapi tak menyelesaikan masa jabatannya.

Agimuga, dalam Peristiwa 1977, menjadi salah satu episentrum konflik bersenjata antara militer Indonesia dan milisi pro-kemerdekaan Papua.

Konflik yang menimbulkan trauma di kalangan warga sipil itu meninggalkan pula jejak berupa lonceng di Gereja Katolik Malaikat Gabriel Kiliarma, yang diyakini masyarakat setempat sebagai selongsong bom.

Walau pada tahun-tahun itu warga Agimuga didera konflik bersenjata, pelayanan Gereja Katolik yang dijalankan pastor asal Belanda, Hans Frankenmolen, menyisakan kenangan tak terlupakan—setidaknya bagi Martin.

“Kehidupan bergereja pada masa itu memberi perubahan besar,” ujarnya.

“Umat yang tidak tahu sama apa-apa, mereka akhirnya bisa baca-tulis, menjahit, membuat kue untuk membuat usaha-usaha,” kata Martin.

“Kami mau situasi hari ini harus sama, dari sisi pelayanan gereja dan juga perubahan. Saat ini tidak seperti itu,” tuturnya.

katolik, pendidikan, papua

Sumber gambar, Wereld Museum

Keterangan gambar, Pelatihan menyetrika dilakukan kelompok biarawati kepada para perempuan asli Papua di Papua Selatan, antara tahun 1924-1932.
katolik, pendidikan, papua

Sumber gambar, Wereld Museum

Keterangan gambar, Seorang biarawati Katolik dipotret saat tengah mengajar di sebuah daerah di Papua Selatan, antara tahun 1924-1932.

Sejak awal kehadiran misionaris Katolik di Papua hingga era setelah Penentuan Pendapat Rakyat yang kontroversial pada 1969, para pemimpin gereja memiliki sederet “program pembangunan” yang dibiayai donor maupun yayasan keagamaan.

Dalam catatan teolog Karel Steenbrink, Keuskupan Jayapura, misalnya, dalam rentang 1963 hingga 1970 memiliki 42 program untuk pelatihan guru, membangun asrama pelajar, dan mengoperasikan penerbangan perintis Associated Mission Aviation.

Keuskupan Jayapura pada 1967 juga menggelar proyek bertajuk P-Lima di Moanemani, Paniai. Program itu juga berfokus pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan, koperasi, dan pendidikan.

Dalam seluruh programnya, pemberdayaan Keuskupan Jayapura menyasar orang-orang asli Papua.

katolik, papua

Sumber gambar, Jos Donkers

Keterangan gambar, Umat Katolik di Agimuga, dipotret sekitar tahun 1980.

Kekecewaan dan harapan seperti ini sebelumnya diungkap pula oleh sejumlah warga Agimuga. Maria, seorang peremuan dari distrik itu, bilang bahwa “tidak ada apa-apa di Agimuga, termasuk pula layanan ibadah di gereja.”

Yang paling disesalkan Martin Pigilame adalah yang dia tuding sebagai “pintu komunikasi tertutup dari pastor dan Keuskupan Timika”.

Martin menyebut umat jarang mendapat informasi tentang kegiatan rohani yang diadakan keusukupan. Lebih dari itu, keputusan tentang perubahan jadwal ibadah Minggu ke hari-hari lain disebutnya diputuskan tanpa dialog dengan umat di Agimuga.

Jika kondisi itu terus berlangsung, Martin khawatir orang-orang asli Papua di Agimuga akan meninggalkan gereja.

“Kalau pastor dan suster melampaui aturan, maka umat akan dengan sendirinya melangkah keluar,” kata Martin.

“Tuhan itu bukan ada di gedung, tapi di dalam pribadi setiap manusia.

“Maka setiap pergumulan dan perasaan manusia, itulah yang akan dinilai oleh Tuhan, bukan kehadiran kami di gereja,” tuturnya.

katolik, papua
Keterangan gambar, Bernardus Baru mengikuti perarakan sebelum menjalani ibadah pelantikan menjadi Uskup Timika, pertengahan Mei lalu.

Uskup Timika Bernardus Baru sebelumnya menyatakan kesediaannya melakukan sesi tanya-jawab dengan BBC—termasuk untuk menanggapi harapan dan keluh kesah umatnya.

Namun saat ditemui di tempat tinggal sementaranya di pastoran Katedral Tiga Raja, 16 Mei lalu, Bernardus mengatakan tidak pernah menjanjikan wawancara dengan BBC. “Saya tidak mau lagi berbicara dengan wartawan,” ujarnya.

Dalam rangkaian penahbisannya menjadi uskup, Bernardus Baru mengusung tema “Aku adalah pintu” atau ego sum ostium dalam bahasa Latin.

Saat berkhotbah di Katedral Tiga Raja, Timika, 14 Mei lalu, Bernardus menyebut akan menetapkan tiga prinsip “yang akan menjiwai langkah pastoral” Keuskupan Timika.

Tiga prinsip itu adalah “mendengarkan satu sama lain, terbuka terhadap dialog, dan bekerja sama untuk membangun cita-cita bersama”.

“Relasi kita bukan relasi antarbarang atau karena ada kebutuhan dan kepentingan,” kata Bernardus.

“Relasi kita karena cinta, saling membangun relasi demi kemanusiaan, persaudaraan, dan persahabatan, dan keilahian sehingga kita menjadi pintu untuk sesama,” ujarnya.

Gereja dan marginalisasi orang asli Papua

Gereja Katolik Roma mendirikan lima keuskupan di seluruh Papua, yakni di Manokwari-Sorong, Timika, Agats, Merauke, dan Jayapura.

Sejak Juli 1998, masing-masing keuskupan itu mulai mendirikan badan internal bernama Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP).

Katolik, papua

Sumber gambar, OFM Indonesia

Keterangan gambar, Sejumlah biarawan dan biarawati dari Ordo Fratrum Minorum melakukan aksi menuntut penghentian konflik bersenjata, tak lama usai peristiwa Paniai Berdarah pada 2014.

Setiap tahun masing-masing sekretariat ini mencatat, melaporkan, dan menyatakan sikap terhadap persoalan ekonomi, politik, sekaligus kekerasan yang terjadi di sekitar wilayah kerja mereka.

Pada 2021 misalnya, SKP Keuskupan Timika melaporkan dugaan intimidasi aparat militer dan pembunuhan tiga warga sipil di Intan Jaya ke Komnas HAM.

Dalam satu dekade terakhir, SKP Keuskupan Merauke juga mencatat dan mengadvokasi kepentingan warga asli Papua yang terdesak perusahaan kelapa sawit.

Pada Juli 2016, mereka mencatat bagaimana perusahaan mendatangi pimpinan marga di Kampung Muting, Merauke, bersama tentara dan polisi.

“Kepentingan bisnis perusahaan, dengan melibatkan aparat, sudah sering terjadi, diikuti intimidasi sehingga menimbulkan keresahan,” tulis SKP Keuskupan Merauke dalam laporan mereka.

Pastor Anselmus Amo, yang saat itu memimpin SKP Keuskupan Merauke, menyebut lembaganya tidak menentang perusahaan yang masuk ke wilayah adat.

“Kami hanya sebatas membantu, menolong, sekaligus mendampingi masyarakat,” kata Anselmus kepada Jubi, media massa berbasis di Jayapura, Agustus 2016.

“Karena masyarakat sendiri tak menginginkan hutannya digusur,” ujar Anselmus.

Pada Januari 2021, Anselmus membuktikan kata-katanya. SKP Keuskupan Merauke kala itu menerima dana “tanggung jawab masyarakat” dari PT. Tunas Sawa Erma.

Perusahaan kelapa sawit itu menginduk ke Korindo Group, yang lisensi pengelolaan hutan berkelanjutannya dicabut oleh Forest Stewardship Council pada 2021.

Namun Anselmus kala itu membantah lembaganya, termasuk Keuskupan Merauke, bakal berhenti kritis terhadap perusahaan yang merusak lingkungan dan merugikan warga asli Papua.

“Kami akan memberi perhatian kepada perjuangan hak masyarakat adat, Itu menjadi komitmen,” kata Anselmus ketika itu.

Katolik, papua

Sumber gambar, Istimewa

Keterangan gambar, Sejumlah orang muda Katolik melakukan “aksi diam” di halaman Katedral Tiga Raja, Timika, usai ibadah pelantikan Uskup Bernardus Baru.

Relasi antara perusahaan dan keuskupan di Tanah Papua bukan hanya terjadi di Merauke. Keuskupan Timika selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan Freeport, yang aktivitas ekstraktifnya berlangsung secara kontroversial.

Keuskupan Timika, melalui Koperasi Maria Bintang Laut yang mereka dirikan, sejak 2009 berkolaborasi dengan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme Kamoro milik Freeport.

Keuskupan Timika juga memiliki kerja sama di sektor pendidikan dan kesehatan dengan Freeport.

Dalam dinamika terbaru, para imam Katolik di Tanah Papua terlibat dalam advokasi warga asli Papua yang menghadapi ancaman perampasan lahan dan konflik bersenjata.

Konfregasi Misionaris Hati Kudus Yesus, misalnya, mempersilakan koalisi masyarakat sipil menggelar acara solidaritas nasional menentang proyek strategis nasional di Merauke, Maret lalu.

Yang terbaru, Pastor Katedral Tiga Raja Timika, Amandus Rahadat, secara terang benderang membahas konflik bersenjata di atas altar, saat dia memimpin ibadah 18 Mei lalu.

“Seberapa banyak senjata pun yang dimiliki TNI/Polri atau OPM, ingatlah senjata tidak menghasilkan damai, ini pendapat Gereja Katolik,” ujar Amandus.

“Petinggi negara ini, petinggi OPM dan TNI/Polri, ayo berdialog lah,” tuturnya.

garis

Cerita biarawati yang bekerja untuk orang-orang Papua pengidap kusta

Di Papua, biarawati Katolik sejak satu abad lalu sudah menjalani apa yang mereka sebut sebagai “pelayanan” kepada umat asli Papua.

Maria Renata adalah salah satu biarawati yang lebih dari satu dekade terakhir menjalani pelayanan tersebut. Suster kelahiran Timor Leste ini berasal dari Kongregasi Puteri Reinha Rosari.

papua, biarawati, katolik
Keterangan gambar, Biarawati Maria Renata.

Pada masa kecilnya, Maria melihat bagaimana sekelompok biarawati dari tarekat itu datang ke kampungnya, yang jauh dari Dili—kota terbesar di Timor Leste.

Pada masa itu, Timor Leste berada dalam administrasi Indonesia. Setelah 24 tahun dibayangi operasi militer Indonesia, Timor Leste meraih kemerdekaannya melalui proses referendum.

Tinggal serta bekerja untuk orang-orang yang tidak memiliki akses layak terhadap pendidikan dan kesehatan adalah dua hal yang membekas di pikiran Maria terkait para biarawati di kampungnya.

Dua hal itu yang membulatkan tekadnya mengucap kaul selibat—mengikuti jejak para biarawati Putri Reinha Rosari setelah lulus sekolah menengah atas.

“Mereka tidak hidup di kota, tapi ke desa dan daerah pedalaman,” kata Maria mengenang para biarawati yang dikenalnya.

“Dengan kesederhanaan, mereka masuk ke daerah seperti itu,” tuturnya.

Baca juga:

papua, biarawati, katolik
Keterangan gambar, Biarawati Maria Renata mengikuti prosesi pelantikan Uskup Bernardus Baru.

Dan jalan hidup seperti itulah yang akhirnya ditapaki oleh Maria. Dia pernah diserahi tugas melayani umat Katolik di Long Ayan, Kalimantan Timur, sebelum akhirnya dikirim ke Kabupaten Asmat, Papua Selatan.

Bukan di ibu kota Agats, Maria ditugaskan melayani orang-orang berpenyakit kusta di Kampung Mumugu, Distrik Sawa Erma. Kampung ini berjarak sekitar 200 kilometer dari Agats—jarak yang harus ditempuh hingga 10 jam dengan menyusuri sungai di atas perahu.

Di Mumugu, Maria dan rekan-rekan biarawatinya juga berada dalam rantai konflik bersenjata. Penyebabnya, kampung di perbatasan Nduga itu adalah salah satu episentrum pertempuran aparat Indonesia dan milisi pro-kemerdekaan.

“Para penderita kusta itu tinggal jauh dari kota, jauh dari masyarakat,” kata Maria.

“Walau mereka sakit, semua tangan, kaki, jari-jari ada yang sampai putus, tak bisa berjalan, tapi mereka berjuang dan tetap semangat.

“Mereka hadapi semua itu dengan sukacita. Mereka tidak pernah mundur,” ujar Maria.

papua, asmat

Sumber gambar, AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Potret dua anak bermain di sebuah sungai di Agats, Asmat. Masyarakat asli Papua di kabupaten ini terus-menerus dilanda penyakit, dari malnutrisi, malaria, hingga kusta.

Setelah empat tahun bekerja di Mumugu, Maria diserahi tugas baru di sebuah asrama seminari. Di tempat itu, dia diminta mendidik para pelajar yang berasal dari tujuh suku asli di sekitar Mimika.

“Ketika mendapat tugas ini, saya takut,” kata Maria. Dia membayangkan akan berada di tengah konflik bersenjata.

Namun dia menguatkan diri. Dia mengingat para biarawati yang bertahan di Timor Leste pada 1999. Saat itu kerusuhan pecah, usai hasil referendum menyatakan warga Timor Timur memilih memerdekakan diri.

“Saya katakan kepada diri saya sendiri bahwa saya ke Timika bukan untuk mencari hidup,” kata Maria.

“Apapun yang akan terjadi, saya pergi untuk melayani,” ujarnya.

Di tengah situasi penuh persoalan, apa yang diharapkan orang muda Katolik di Papua?

Gereja Katolik semestinya tidak hanya menganjurkan dialog, tapi juga menjadi pihak yang melaksanakannya. Ini dikatakan Malvin Yobe, pemuda Katolik yang sempat ditahan polisi karena membentangkan poster-poster tuntutan di Katedral Tiga Raja Timika, saat Bernardus Baru dilantik menjadi uskup.

Menurut Malvin, pemimpin gereja dan umat ibarat organ-organ dalam satu tubuh—satu kesatuan. Dalam istilah di komunitas Kristiani, dia mengibaratkan hubungan itu sebagai “gembala dan domba”.

katolik, papua
Keterangan gambar, Malvin Yobe, sempat dibawa dan ditahan di kantor polisi karena menggelar poster tuntutan dan melakukan “aksi diam” di halaman Katedral Tiga Raja Timika.

“Gereja itu sekedar bangunan. Jika ada pastor dan umat, barulah bangunan itu bisa disebut gereja sesungguhnya,” kata Malvin.

“Gereja ibarat tubuh manusia, dengan kaki, tangan, kepala. Jika salah satu tidak ada, maka tubuh tidak akan beres,” tuturnya.

katolik, papua
Keterangan gambar, Soleman Itlay.

Penangkapan Malvin saat “melakukan aksi diam” di halaman katedral, menurut Soleman Itlay dari Kaum Awam Katolik, semestinya tidak terjadi jika saluran komunikasi antara pemimpin gereja dan umat tidak tersumbat.

Apalagi, kata Soleman, Malvin dan rekan-rekannya tidak melakukan vandalisme, membakar ban, atau merusak bangunan gereja.

“Kami membawa suka duka umat itu dari kampung-kampung, yang tanahnya dirampas, hutannya dirampok, yang tidak mendapat hak-hak dasar pendidikan dan kesehatan,” ujarnya.

“Kami orang-orang kecil sangat sulit mendapatkan ruang, mendapatkan perhatian agar suka duka kami dibicarakan di atas mimbar gereja.

“Jadi apa salahnya kami membawa kisah umat yang ada jalan-jalan, di rumah sakit, di kampung, di honai-honai ke halaman gereja?” kata Soleman.

Tinggalkan Balasan