KUBET – Pemerintah dianggap glorifikasi Umar Patek bikin bisnis kopi – ‘Seratusan eks napi terorisme ulangi kejahatannya’

Pemerintah dianggap glorifikasi Umar Patek bikin bisnis kopi – ‘Seratusan eks napi terorisme ulangi kejahatannya’

Umar Patek meluncurkan bisnis kopi Ramu.

Sumber gambar, Reuters/Prasto Wardoyo

Keterangan gambar, Pemerintah dianggap terlalu mengglorifikasi pembangunan bisnis kopi Umar Patek, padahal 8 persen eks narapidana terorisme kembali ke kelompok jihadi karena berbagai permasalahan deradikalisasi.

Pemerintah dianggap terlalu mengglorifikasi bisnis minuman kopi yang dijalankan eks narapidana terorisme, Umar Patek. Pemerintah didesak memperkuat pengawasan karena setidaknya seratusan mantan peserta program deradikalisasi kembali mengulangi kejahatannya.

“Umar Patek dan beberapa figur lain itu hanya contoh kecil keberhasilan deradikalisasi yang diglorifikasi pemerintah, padahal lebih banyak kegagalan yang tidak disoroti,” ujar pengamat terorisme dari UIN Syarief Hidayatullah, Zaki Mubarak, Jumat (06/06).

Sejumlah eks narapidana terorisme (napiter) menceritakan pengalaman mereka mengikuti program deradikalisasi kepada BBC News Indonesia. Mereka juga berujar, tidak sedikit eks napiter menjadi residivis atau kembali bergabung ke kelompok teror.

“Setelah bebas, ada bantuan modal untuk usaha, setelah itu dilepas, tidak ada pendampingan yang berarti,” kata seorang mantan napiter, Arif Budi Setyawan.

“Tidak heran ketika bisnisnya gagal, ada eks napiter yang kembali ke kelompok teror karena mereka juga menawarkan uang,” ujarnya.

Zaki memperingatkan pemerintah, jika masalah ini tidak diperhatikan, radikalisme berisiko akan terus meningkat.

“Kalau dibiarkan, tinggal tunggu waktu kekerasan meningkat,” kata Zaki.

Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, juga menyebut mantan napiter yang tidak mapan secara ekonomi bisa menjadi pelaku tindak kriminal lainnya. Ujungnya, kata dia, mereka meningkatkan ancaman terhadap keamanan negara.

umar patek, hukum, terorisme

Sumber gambar, AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Umar Patek dipotret di Lamongan, Jawa Timur, Desember 2022.

Umar Patek dan glorifikasi keberhasilan deradikalisasi

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Pemberitaan mengenai Umar Patek riuh rendah pekan lalu, tatkala sang mantan napiter membuka bisnis kopi di Surabaya.

Sejumlah media massa memberitakan bisnis kopi perakit Bom Bali I itu sebagai “buah deradikalisasi”.

Pakar terorisme, Zaki Mubarak, menilai pemerintah kerap mengglorifikasi keberhasilan segelintir orang yang sudah mengikuti program deradikalisasi.

Dia menyebut kebiasaan itu ironis karena “banyak napiter lainnya tidak berhasil”.

Zaki berkata, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 menggelar program bantuan modal usaha. Tujuannya, “agar para napiter peserta deradikalisasi dapat melanjutkan hidup di jalan lurus”.

“Namun, pengawasan, dan pendampingan terhadap mereka setelah itu sangat minim,” kata Zaki.

“Ketika bisnis mereka gagal, mereka mau ke mana? Akhirnya, malah banyak yang kembali ke kelompok teror karena kelompok-kelompok itu juga menawarkan uang,” ucapnya.

Berdasarkan data BNPT pada 2023, 8% dari total 1.200 eks napiter yang sudah mengikuti program deradikalisasi dalam 10 tahun terakhir terpantau mengulangi kejahatannya, alias menjadi residivis.

Umar Patek ketika menjalani persidangan.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Potret Umar Patek tatkala menjalani persidangan dalam kasus Bom Bali I.

Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Ibnu Suhendra, mengakui bahwa residivis terorisme merupakan salah satu potensi ancaman.

Ibnu mengatakan, hingga tahun 2024, sebanyak 103 eks napiter kembali melakukan aksi teror atau terlibat aktivitas yang mengarah pada tindak pidana terorisme. Dari keseluruhan data itu, 13 di antaranya sudah sempat mengikuti program deradikalisasi.

Dua mantan napiter, Arif Budi Setyawan dan Syahrul Munif, menyebut terdapat napiter di sekitar mereka yang kembali bergabung ke kelompok teror setelah mengikuti program deradikalisasi.

Arif dan Syahrul pun menceritakan kepada BBC News Indonesia kesulitan yang mereka dan napiter-napiter lainnya hadapi sebelum, selama, dan setelah mengikuti program deradikalisasi.

Mereka berharap kisah ini dapat memberikan gambaran utuh bagi khalayak dan pemerintah.

Tantangan dimulai sejak dalam bui

Syahrul Munif bercerita bahwa tantangan deradikalisasi sudah ada sejak awal ia dijebloskan ke bui pada 2017, tiga tahun setelah kepulangannya dari Suriah.

Saat itu, Syahrul sebenarnya sudah mantap tak ingin kembali ke jalur teror.

Menurut Syahrul, pengalamannya bertempur untuk ISIS “membuka matanya” bahwa kelompok itu “melenceng” dari ajaran Islam yang ia pahami.

Tekadnya kian bulat setelah ia berinteraksi dengan sejumlah napiter lainnya di dalam penjara. Syahrul merasa pola pikir dia dan para napiter lainnya sangat berbeda.

“Waktu ditawari program deradikalisasi, saya mau. Pokoknya saya mau memperkaya ilmu buat membuktikan ketika saya keluar nanti, saya punya nilai,” tutur Syahrul.

Namun, para napiter lain yang masih memegang ideologi radikal menentangnya.

“Ibarat kata, mungkin kalau tidak ada peraturan atau sanksi di lapas, bisa jadi ada gesekan atau perkelahian. Sampai seperti itu mereka memandang saya murtad, sedangkan saya merasa harus menyuarakan dan menentang pemikiran yang menurut saya salah,” ucapnya.

Menurut Syahrul, banyak teman-temannya yang sebenarnya ingin ikut program deradikalisasi, tapi tak tahan melawan pengaruh kaum radikal di dalam penjara.

Eks napiter, Syahrul Munif.

Sumber gambar, Dokumentasi pribadi

Keterangan gambar, Syahrul Munif ditentang kelompok radikal di dalam tahanan ketika ingin mengikuti program deradikalisasi.

Zaki, pakar terorisme dari UIN Syarief Hidayatullah, juga sempat merasakan ketegangan serupa ketika berkunjung ke salah satu lapas sebagai akademisi yang membantu program deradikalisasi.

“Memang seharusnya orang-orang yang masih radikal itu dipisahkan, dialienasi, supaya tidak memengaruhi yang lain. Yang lebih penting, agar mereka tidak merencanakan serangan di dalam tahanan itu sendiri,” ujar Zaki.

Menurut Zaki, kesulitan mematahkan ideologi ini menjadi salah satu alasan peserta program deradikalisasi pemerintah tak pernah mencapai target.

Pada 2024, BNPT menyasar 1.591 mantan napiter untuk mengikuti program deradikalisasi.

Dari jumlah itu, baru 658 di antaranya yang sudah mengikuti deradikalisasi. Sisanya, 364 orang belum mengikuti, 422 orang tidak mau ikut, dan 147 orang belum diketahui keinginannya.

Tak hanya segi ideologi, tantangan juga kerap kali datang dari sisi ekonomi, menurut penuturan seorang mantan napiter lainnya, Arif Budi Setyawan.

Sama seperti Syahrul, Arif juga mengaku sudah memantapkan diri ingin mengikuti program deradikalisasi sejak awal masuk penjara pada 2014.

Arif mengeklaim bahwa sejak awal, pemikirannya memang tak terlampau radikal. Ia ditangkap karena keterlibatannya sebagai kurir senjata untuk kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

“Saya hanya terpapar, tapi masih punya rem. Keterlibatan saya juga hanya kurir. Itu pun sesekali, tidak terus-terusan. Ibaratnya statusnya jadi kayak freelance, bukan full time,” tutur Arif.

Setelah masuk penjara, Arif langsung mengaku “setia pada NKRI” dan mengikuti program deradikalisasi. Namun perwakilan dari MIT terus menggerecoknya.

“Mereka aktif datang ke lapas menawarkan bantuan finansial untuk keluarga saya. Saya tolak,” ujar Arif.

Eks napiter, Arif Budi Setyawan.

Sumber gambar, Dokumentasi pribadi

Keterangan gambar, Arif Budi Setyawan menolak tawaran bantuan finansial dari kelompok teror.

Arif menolak karena tak mau bernasib sama dengan napiter lainnya yang “takut” ikut program deradikalisasi karena tahu keluarganya masih bergantung pada bantuan kelompok teror.

Zaki mengatakan bahwa kelompok teror memang biasanya menawarkan bantuan finansial agar para napiter tidak ikut program pemerintah.

“Karena itu, pemberdayaan ekonomi juga menjadi faktor penting dalam program deradikalisasi,” kata Zaki.

‘Dikasih modal, lalu ditinggal’

Zaki mengatakan, program BNPT sebenarnya sudah lebih maju dari awal 2010-an, ketika deradikalisasi baru sebatas pendekatan ideologis.

“Orang mulai menyadari bahwa perubahan ideologi saja tidak efektif karena untuk kembali ke masyarakat, harus punya percaya diri. Untuk bisa percaya diri, mereka harus mapan secara ekonomi,” tutur Zaki.

“Kalau tidak, mereka malah akan menjadi masalah di masyarakat.”

Sejak saat itu, kata Zaki, BNPT mulai menggandeng berbagai institusi, seperti Kementerian Sosial, untuk menggagas program pemberdayaan ekonomi.

Para napiter yang mengikuti program deradikalisasi akan diberikan pelatihan dan modal untuk berwirausaha setelah bebas.

“Masalahnya, banyak napiter setelah dapat modal, dilepas begitu saja, padahal mereka membutuhkan pendampingan,” kata Arif.

Menurutnya, keadaan semacam ini banyak ditemukan di wilayah-wilayah yang jauh dari pemerintah pusat. Pada akhirnya, “banyak napiter kembali ke kelompok teror karena kelompok-kelompok itu menawarkan kepastian ekonomi.”

Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengelompokkan para napiter yang kembali ke kelompok teror menjadi tiga kelompok.

Pertama, mereka kembali ke posisi semula. Kedua, peran mereka berkurang, misalnya jika dulu menjadi pelaku teror, sekarang hanya menyumbang uang.

Ketiga, peran mereka bertambah, misalnya kalau sebelumnya hanya menyembunyikan informasi, kini mereka aktif melakukan teror.

“Namun, yang tidak kalah mengkhawatirkan sebenarnya kalau mereka malah masuk ke aksi kriminal lain, seperti narkoba atau tambang ilegal,” ucap Noor Huda.

BBC News Indonesia sudah berupaya menghubungi Direktur Deradikalisasi BNPT, Iwan Ristiyanto, untuk meminta tanggapan terkait dugaan ini, tapi belum mendapatkan respons.

Deradikalisasi mandiri

Syahrul dan Arif sepakat bahwa pada akhirnya, kekuatan dan koneksi para napiter sendirilah yang berperan besar dalam keberlanjutan hidup mereka setelah keluar dari penjara.

Arif bercerita bahwa tak seperti kebanyakan napiter lainnya, ia sudah menyusun langkahnya untuk masa depan sejak masih berada di balik jeruji besi.

Selama menanti remisi, Arif getol menyusun tulisan berisi refleksi diri selama di bui. Ia yakin tulisan itu bisa menambah daya tawar dirinya ketika bebas nanti.

Setelah bebas, Arif tak langsung dapat bantuan modal dari pemerintah.

“Saya bebas itu akhir tahun, jadi masih harus menunggu di tahun berikutnya untuk mendapatkan bantuan itu,” katanya.

Namun ternyata, sejumlah pihak dari Universitas Indonesia ingin membeli tulisan refleksi Arif selama dibui untuk penelitian internal. Uang hasil penjualan itu ia pakai untuk membeli komputer.

Dengan komputer itu, Arif mengetik ulang novel yang ia tulis tangan selama di penjara. Ia lantas membawa buku itu ketika menghadiri satu acara yang digelar BNPT beberapa tahun setelah dia bebas.

Di acara itulah, Arif bertemu dengan Noor Huda Ismail, tokoh yang dikenal sering membantu para eks napiter menata kembali kehidupan.

“Beliau tahu saya suka menulis. Akhirnya, dia biayai saya belajar sana sini, dan akhirnya bisa merilis buku, sampai saya bisa jadi saya yang sekarang,” tutur Arif.

Eks napiter, Arif Budi Setyawan.

Sumber gambar, Dokumentasi pribadi

Keterangan gambar, Arif mengaku dapat kembali ke dalam masyarakat berkat upayanya sendiri.

Sama seperti Arif, Syahrul juga mengaku dapat melanjutkan hidupnya karena kekuatan sendiri. Menurutnya, masa paling berat adalah ketika ia baru keluar dari penjara.

Saat itu, Syahrul hanya berharap dapat melanjutkan bisnis yang ia tekuni sejak sebelum bergabung dengan ISIS. Selama ia dipenjara, bisnis itu dilanjutkan oleh istrinya.

“Istri dipengaruhi keluarga besarnya sehingga saya tidak bisa bertemu dia,” kata Syahrul.

“Saya harus jual motor untuk memulai hidup baru.”

Perlahan, hubungan Syahrul dengan keluarganya membaik. Kini, Syahrul pun kembali menjalankan bisnis yang ia rintis sejak sebelum dipenjara.

Zaki dan Noor Huda juga melihat pola yang sama pada napiter-napiter lainnya. Zaki lantas mengambil contoh Umar Patek yang mengembangkan bisnis kopi dengan bantuan seorang pebisnis, bukan dari dana pemerintah.

“Ini yang terjadi pada napiter-napiter yang mapan, tapi bagaimana dengan napi-napi lain yang bisa dikatakan di kelas bawah?” tanya Zaki.

Lebih jauh, Noor Huda juga khawatir efisiensi anggaran yang diterapkan BNPT dalam rangka mengikuti arahan Presiden Prabowo Subianto akan berpengaruh terhadap program bantuan ekonomi bagi para eks napiter.

Zaki pun khawatir keadaan akan semakin genting mengingat ribuan anggota Jemaah Islamiyah baru saja mendeklarasikan ikrar setia kepada NKRI pada akhir tahun lalu.

“Dalam berbagai kesempatan, mereka mengutarkan harapan mereka agar pemerintah membantu pemberdayaan ekonomi mereka. Itu kan harus dipikirkan dananya,” ucap Zaki.

Menurut Zaki, pemerintah harus memikirkan masalah ini dengan serius. Jika tidak, keamanan negara akan terancam.

‘Narasi zero attack menyesatkan’

Melihat potensi ancaman yang masih tinggi, Noor Huda pun mendesak pemerintah agar tak terlalu menggembar-gemborkan narasi “zero attack“.

BNPT dan Densus 88 memang terus mengeluarkan narasi “zero attack” karena sejak 2022, tidak ada lagi serangan teror besar.

“Narasi itu menyesatkan. Ancaman itu selalu ada, hanya mungkin berubah bentuk, berubah pendekatan menjadi lebih halus,” kata Noor Huda.

Ancaman itu tak hanya datang dari peserta deradikalisasi yang kecewa, tapi juga para napiter yang sejak awal menolak program tersebut.

“Mereka yang masih dalam status ‘merah’ dan sudah bebas itu lebih banyak jumlahnya. Kalau ditambah dengan mereka yang kecewa, akan semakin kacau,” kata Zaki.

Noor Huda dan Zaki pun mendesak pemerintah memperkuat koordinasi antar-instansi untuk mengetatkan dan memperluas pengawasan program deradikalisasi.

Ketua BNPT, Eddy Hartono, juga sudah mengatakan bahwa pihaknya akan memperkuat kerja sama antarlembaga di tengah efisiensi anggaran yang berpengaruh pada program deradikalisasi.

“Solusinya adalah gotong royong kementerian/lembaga agar program mitra deradikalisasi dapat berjalan optimal,” katanya.

Syahrul, Arif, Noor Huda, dan Zaki memiliki harapan yang sama, yaitu agar pemerintah benar-benar memperkuat sinergi itu, bukan hanya omong kosong.

Zaki khawatir jika program deradikalisasi mandek, keamanan negara jadi taruhan.

“Kalau dibiarkan, tinggal tunggu waktu kekerasan meningkat,” katanya.

Tinggalkan Balasan