Kesaksian staf KBRI soal perilaku pejabat pemerintah dan keluarganya di luar negeri – ‘Bukan tugas negara, tapi minta fasilitas’

Sumber gambar, Instagram Maman Abdurrahman
Sejumlah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di beberapa negara mengaku ada sebagian pejabat yang meminta agar keluarganya “dilayani”. Perangai seperti ini sudah “berlangsung bertahun-tahun”, ungkap mereka.
“Ada juga pejabat yang tidak menjalankan tugas negara atau dinas ke luar negeri tapi tetap meminta fasilitas dari KBRI,” kata salah-seorang staf KBRI kepada BBC News Indonesia.
Pengakuan ini mereka sampaikan kepada BBC News Indonesia menyusul terungkapnya peristiwa “permintaan fasilitas” oleh seorang pejabat menteri kepada KBRI dan KJRI di sejumlah negara.
Melalui surat resmi, sang pejabat meminta agar staf KBRI dan KJRI “mendampingi” istrinya dalam sebuah acara.
Pada Kamis (03/07) lalu, media sosial kembali ramai setelah surat berkop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengenai permintaan pada enam kedubes dan satu konsulat jenderal untuk mendampingi istri Menteri UMKM tersebar.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Walaupun dibantah oleh pejabat yang bersangkutan, terungkapnya masalah ini telah memicu amarah publik.
‘Walau bukan tugas negara, kami tetap layani’
BBC News Indonesia menghubungi sejumlah staf perwakilan Indonesia di negara- negara yang menjadi langganan destinasi pejabat-pejabat Indonesia.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Mereka menceritakan pengalamannya ketika harus melayani pejabat atau keluarganya.
Namun para staf KBRI dan KJRI di sejumlah negara itu meminta agar identitasnya tidak disebutkan demi keamanannya.
Salah satu staf menganggap praktek “melayani pejabat” itu sebagai suatu yang normal setelah bertahun-tahun bekerja di lingkungan tersebut.
Sebab pada dasarnya, para staf hanya menjalankan perintah, ujar salah-seorang di antaranya.
Ia pun menuturkan permintaan resmi merupakan tugas yang harus dijalani meski kegiatannya bukan tugas urusan kenegaraan atau kedinasan.
“Kami kan abdi negara yang diharapkan dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia,” ucapnya ketika dikonfirmasi mengenai tugas pokok dan fungsinya.
“Jadi ya apapun permintaannya, kami jalani dengan sepenuh hati. Jangan sampai ada yang merasa tidak diperhatikan oleh Perwakilan RI di luar negeri,” jelasnya.
Secara terpisah, staf lain mengungkapkan pejabat yang bertugas negara kerap membawa keluarganya.
Ketika pejabat bertugas, keluarga akan ditemani oleh persatuan dharma wanita untuk berjalan-jalan atau berbelanja. Si pejabat, lanjut dia, akan diajak jalan dan makan-makan setelah tugas selesai.
Ada juga pejabat yang tidak menjalankan tugas negara atau dinas ke luar negeri tapi tetap meminta fasilitas dari KBRI.
“Mereka itu ‘memakai’ jasa para staf bahkan di luar jam kerja, misal menemani dinner atau saat akhir pekan dipakai mengajak mereka jalan-jalan atau belanja. Pakai mobil KBRI karena enggak mungkin mereka sewa mobil di negara setempat,” ungkapnya.

Sumber gambar, Detikcom/Grandyos Zafna
Mengapa pengamat menilai surat berlogo kementerian itu bermasalah?
Pada Kamis (03/07) lalu, media sosial kembali ramai setelah surat berkop Kementerian UMKM mengenai permintaan pada enam kedubes dan satu konsulat jenderal untuk mendampingi istri Menteri UMKM tersebar.
Surat bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025 dengan keterangan Kunjungan istri Menteri UMKM Republik Indonesia itu menyebutkan istri Menteri UMKM Agustina Hastarini akan melakukan kegiatan misi budaya di Istanbul, Turki; Pomorie, Bulgaria; Sofia, Bulgaria; Brussels, Belgia; Paris, Prancis; Lucerne, Swiss; dan Milan, Italia.
Publik kemudian mempertanyakan surat tertanggal 30 Juni 2025 tersebut mengingat istri Menteri UMKM ini bukan pejabat publik dan tidak sedang menjalankan tugas kedinasan atau tugas negara.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat menyampaikan perwakilan Indonesia di luar negeri siap memfasilitasi dan memberikan dukungan bagi kunjungan pejabat sepanjang tugas resmi kedinasan atau kenegaraan.
Ahli hukum administrasi negara UGM Oce Madril menyampaikan penggunaan surat berkop kementerian atau lembaga negara untuk hal di luar tugas negara atau kedinasan merupakan sesuatu yang keliru dan dilarang dari sisi administrasi pemerintahan.
“Secara hukum administrasi, tidak ada yang bisa membenarkan itu,” ucap Oce kepada BBC News Indonesia.
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan kop surat kementerian atau lembaga negara bukan sekadar logo tapi memiliki nilai instruksi.
Hal ini kemudian yang berdampak untuk mau tidak mau menjalankan apapun yang tertulis dalam surat bagi pejabat dan keluarganya meski bukan tugas resmi kedinasan.
Apa tanggapan Menteri UMKM?
Sementara itu, Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman memberikan penjelasan usai mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat (04/07).
Dilansir dari Tempo, Maman mengaku tidak pernah memerintahkan jajarannya untuk membuat surat tersebut.
Kepergian istrinya, lanjut dia, untuk menemani anaknya mengikuti misi budaya di Eropa yang rutin dilakukan oleh sekolah.
Selama proses perjalanan, ia menyebutkan istri dan anaknya tidak menggunakan fasilitas negara dan seluruh biaya dibayarkan melalui rekening pribadi istri.
Tiket pesawat, akomodasi, transportasi hingga sopir sudah disiapkan melalui jasa perjalanan jauh sebelum keberangkatan.
Istri dan anaknya juga disebut sudah sampai negara tujuan pertama sejak 29 Juni 2025, sedangkan surat itu tertanggal 30 Juni 2025.

Sumber gambar, Detikcom/Istimewa
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti kemudian berbagi pengalaman ketika berada di luar negeri dan melihat ada staf KBRI sibuk menggeret koper pejabat yang sedang berbelanja di factory outlet.
“Mereka belanja seenak-enaknya dimasukin koper. Yang tukang geret, tukang cariin restoran pegawai kementerian yang jadi kayak pelayan.”
Untuk itu, Bivitri menegaskan penggunaan kop surat kementerian atau lembaga negara bukan sekadar logo tapi memiliki nilai instruksi.
“Mereka enggak bisa berdalih ini sebenarnya cuma pemberitahuan aja seperti fyi gitu. Karena penggunaan kop surat itu sebenarnya sudah mengandung perintah kalau kita bicara lembaga pemerintahan,” ujar Bivitri.
Budaya feodalisme, lanjut dia, yang masih melekat di kalangan pejabat dan para aparatur sipil negara membuat hal semacam ini bertahan dan mengakibatkan kejadian serupa berulang kali.
Meski ada aturan, para pegawai atau staf tidak kuasa menolak. Apalagi jika sudah berbekal ‘surat sakti’ tadi.
Menurut Bivitri, praktik ini semacam katebelece berhubungan dengan jabatannya yang secara tidak langsung memerintahkan orang lain untuk memberikan fasilitas tertentu.
Alasan dari Menteri UMKM bahwa tidak pernah meminta siapa pun membuat surat tersebut justru dinilai makin mempertebal budaya feodalisme, kata Bivitri.
“Di negara kita, ada juga kebiasaan bawahan ini semacam ingin memberikan servis,” ujarnya.
Ahli hukum administrasi negara dari UGM Oce Madril juga menegaska penggunaan surat berkop kementerian atau lembaga negara untuk hal di luar tugas negara atau kedinasan merupakan sesuatu yang keliru dan dilarang dari sisi administrasi pemerintahan.
Sebelumnya, penyalahgunaan kop surat kementerian untuk acara keluarga dilakukan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto.
Pada 2016, Fadli Zon yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR juga melayangkan surat berkop Sekretariat Jenderal DPR pada dubes Indonesia untuk Amerika Serikat dan Konsul Jenderal RI di New York agar menjemput dan mendampingi anaknya yang mengikuti pelatihan teater.
Di tahun yang sama, Rachel Maryam yang menjadi anggota DPR dari fraksi Gerindra juga mengirimkan surat serupa pada KBRI Paris yang memohon jasa penjemputan dan transportasi selama Rachel dan keluarga yang berjumlah enam orang berkunjung ke Paris.
Apa sebenarnya tugas pokok dan fungsi Perwakilan RI?
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat menyampaikan bahwa pada prinsipnya, Perwakilan RI di luar negeri, baik KBRI maupun KJRI memiliki tugas dan fungsi melaksanakan hubungan diplomatik dan memperjuangkan kepentingan negara.
“Salah satu tugas Perwakilan RI juga menjalankan fungsi memberikan pelindungan bagi WNI yang berada di luar negeri, termasuk memberikan bantuan hukum dan kekonsuleran,” jelas Rolliansyah.
Aturan jelas terkait tugas pokok dan fungsi Perwakilan RI ini diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 150 Tahun 2024 tentang Kementerian Luar Negeri dan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 6 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan di Luar Negeri.

Sumber gambar, Tempo/Dokumen Kemlu
Berikut tugas pokok mengacu pada aturan tersebut:
- melaksanakan hubungan diplomatik
- memperjuangkan kepentingan nasional Negara Republik Indonesia
- melindungi warga negara Indonesia
Lalu, di bawah ini merupakan fungsi dari Perwakilan RI:
- peningkatan dan pengembangan kerja sama politik dan keamanan, ekonomi, serta sosial dan budaya
- peningkatan persatuan dan kesatuan, serta kerukunan antar sesama warga negara Indonesia di luar negeri
- pengayoman, pelayanan, perlindungan, serta pemberian bantuan hukum dan fisik pada warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, dalam hal terjadi ancaman dan/atau masalah hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum internasional, dan kebiasaan internasional
- pengamatan, penilaian, dan pelaporan mengenai situasi dan kondisi negara setempat
- konsuler dan protokol
- perbuatan hukum untuk dan atas nama Negara dan Pemerintah RI dengan pemerintah negara setempat
- kegiatan manajemen kepegawaian, keuangan, perlengkapan, pengamanan internal Perwakilan, komunikasi, dan persandian
- fungsi lain sesuai dengan hukum dan praktek internasional

Sumber gambar, Tempo/Dokumen KBRI Bogota
Sejalan dengan tugas dan fungsi tersebut, lanjut Rolliansyah, perwakilan RI di luar negeri juga siap memfasilitasi dan memberikan dukungan bagi kunjungan pejabat dalam rangka tugas resmi kedinasan atau kenegaraan.
Ia menambahkan hal ini dilakukan untuk memastikan agar tugas-tugas tersebut dapat terlaksana dengan baik dan memberikan manfaat yang optimal bagi Indonesia.
“Bentuk bantuan yang diberikan tentunya akan disesuaikan dengan kebutuhan kedinasan dan dalam koridor kewajaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujarnya.
Ahli hukum administrasi negara dari UGM Oce Madril memahami tugas pokok dan fungsi perwakilan luar negeri ini juga berkaitan dengan pelayanan warga tapi punya batasan wajar.
Misalnya, memfasilitasi bertemu dengan stakeholder luar negeri, bertemu dengan kampus untuk kerja sama pendidikan antar negara, atau bertemu pengusaha luar negeri dalam konteks peningkatan kerja sama ekonomi.
“Tapi kalau kemudian menemani ke tempat wisata, itu sudah jadi tour guide. Menemani belanja dan mengantar ke sana kemari 24 jam, itu sudah pasti memberatkan. Dari sumber daya manusia pasti akan tersita, juga dari sisi anggarannya, dan pasti akan menelantarkan atau mengganggu fungsi lain di KBRI,” jelas Oce.
Dari mana anggaran untuk pejabat dan keluarganya?
Salah satu staf bercerita biasanya pejabat datang membawa istri dan anaknya. Selanjutnya, KBRI mulai mengakali supaya anggaran keluar seolah-olah bukan untuk jalan-jalan mereka.
Untuk itu, kemudian dibuatkan acara khusus yang biasanya berjudul ‘jamuan’ atau ‘sosialisasi’ agar anggaran yang terpakai itu laporannya jelas tetap untuk kegiatan KBRI.
“Padahal demi menjamu pejabat,” ungkapnya.
Ia kemudian menjelaskan, anggaran untuk kegiatan KBRI sebenarnya sudah diatur sesuai dengan masing-masing fungsi, yaitu ekonomi, politik, pensosbud (penerangan, sosial, dan budaya), hingga konsuler. Anggaran yang dipakai menjamu ini kadang diambil dari pos fungsi tersebut.
Namun, ada saja para pejabat dan keluarga yang sedang tidak menjalankan tugas negara tapi meminta fasilitas KBRI.
Bahkan, akomodasi dan makan kadang minta untuk KBRI yang membayar. Meski ada juga yang berkenan menginap di wisma dubes atau wisma tamu.
“Ini yang harus digarisbawahi sebetulnya adalah perlakuan khusus buat mereka kadang di luar tupoksi dan sampai pakai anggaran KBRI demi membuat jamuan seolah itu kegiatan KBRI padahal cuma buat menjamu mereka. Mereka menganggap dirinya tamu KBRI, jadi ya harus dilayani sebagai tamu,” tuturnya.

Sumber gambar, Tempo/Dokumen KBRI Lima
Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti juga menyoroti persoalan anggaran ini.
Di tengah efisiensi anggaran, lanjut dia, tidak layak meminta pelayanan pada sesama lembaga negara di luar tugas kedinasan.
Sebab, tiap lembaga sudah memiliki pos anggarannya masing-masing yang memang ditujukan untuk optimalisasi tugas pokok dan fungsinya.
“Kalau enggak salah, dana taktis namanya. Ini bisa digunakan tapi bukan untuk melayani kepentingan pribadi para pejabat negara. Kebiasaan buruk ini enggak boleh terjadi lagi,” kata Bivitri.
Apa solusinya?
Ahli hukum administrasi negara Oce Madril mengingatkan sudah ada panduan dalam undang-undang administrasi pemerintahan terkait larangan penyalahgunaan jabatan dan larangan benturan konflik kepentingan.
“Sifatnya top down. Jadi memang butuh kesadaran dari mereka yang jadi pejabat untuk tidak lagi mencari peluang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Kalau masih mencari peluang, berarti dia belum selesai dan tidak cocok dalam posisi pejabat negara,” jelas Oce.
“Sebab, yang terjadi hukum sulit diterapkan untuk pejabat tinggi dan ada kesulitan birokrasi sehingga ketika berhadapan dengan menteri atau istri menteri, yang di bawahnya seperti dirjen misalnya sistem pengawasannya jadi lemah,” imbuhnya.
Untuk itu, Presiden perlu turun tangan misal memberikan prosedur standar operasi yang jelas disertai panduan.
Selain itu, teguran dari Presiden juga patut dilakukan.
Sebab, secara resmi melalui surat telah meminta pihak lain untuk memfasilitasi ini merupakan salah satu penyalahgunaan jabatan yang dilarang dalam undang-undang.

Sumber gambar, Tempo/Imam Sukamto
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti juga menyampaikan “berat berharap pada moralitas pejabat.”
Menurut dia, pemerintah harus menunjukkan secara tegas ingin mengikis hal semacam ini agar tidak berulang.
Selain teguran atau peringatan, perlu dibuat suatu instruksi dalam rapat kabinet oleh Presiden agar tidak boleh ada lagi praktik pejabat meminta fasilitas.
Selain itu, ia juga mengusulkan ada instruksi presiden atau surat edaran untuk memberikan kewenangan pada Menteri Luar Negeri dan jajarannya untuk menolak permintaan fasilitas dari pejabat negara dan keluarga di luar tugas negara atau kedinasan.
“Tidak hanya verbal di rapat, perlu bikin aturan bisa inpres untuk seluruh jajaran kementerian agar tidak meminta fasilitas dan memerintahkan Kementerian Luar Negeri dan jajarannya untuk menolak permintaan fasilitas di luar tugas negara. Nanti dasar hukumnya jelas,” ucap Bivitri.