KUBET – Kisah sekelompok orang bisa punya rumah di Menteng Jakarta seharga di bawah Rp1 miliar

Kisah sekelompok orang bisa punya rumah di Menteng Jakarta seharga di bawah Rp1 miliar

Penghuni rumah Flat Menteng, Imanuel Gulo dan istrinya.
Keterangan gambar, Imanuel Gulo dan Bernike Ribka Siauli Famene Zega adalah pasangan muda yang tinggal di rumah flat Menteng, Jakarta Pusat.

Sekelompok warga kelas menengah berinisiatif membangun rumah flat di Menteng, Jakarta Pusat, yang harga tiap unitnya kurang dari Rp1 miliar—jauh lebih rendah dibanding harga pasaran properti di kawasan elite ini.

Ini adalah rumah flat pertama di Indonesia yang dibangun dan dikelola oleh koperasi perumahan. Konsep serupa akan direplikasi di sejumlah lokasi lainnya di Jakarta.

Melalui rumah flat tersebut, mereka menggugat hak atas hunian yang layak sekaligus mengkritik minimnya kebijakan pemerintah untuk warga kelas menengah.

Bagaimana mereka melakukannya dan akankah ini menjadi salah satu solusi hunian yang realistis bagi warga kelas menengah di Jakarta?

Kota Jakarta dipotret dari kawasan Menteng

Sumber gambar, Zenisme/Getty Images

Keterangan gambar, Menteng sejak lama dikenal sebagai kawasan elite.

Dari luar, rumah flat Menteng tampak sebagai bangunan modern empat lantai. Tidak ada tembok tinggi nan ekslusif yang menutupi pandangan. Sebaliknya, setiap pejalan kaki yang lalu-lalang bisa melihat halamannya dari balik pagar.

Setiap unit memiliki balkon dan jendela, memberi ruang untuk sirkulasi udara dan cahaya alami yang berlimpah.

Pepohonan yang rindang tumbuh di sekitar bangunan, menciptakan suasana sejuk dan tenang di tengah hiruk pikuk kota. Padahal, lokasinya benar-benar di pusat Kota Jakarta—hanya perlu berjalan kaki 15 menit dari Bundaran Hotel Indonesia.

Rumah flat juga bisa dijangkau transportasi umum seperti stasiun KRL, stasiun MRT, dan halte TransJakarta dengan berjalan kaki beberapa menit.

Baca juga:

Salah satu penghuninya adalah Imanuel Gulo, seorang pengacara berusia 32 tahun. Dia tinggal di unit seluas 53 meter persegi bersama istrinya, Bernike Ribka Siauli Famene Zega.

Ketika ditemui pada suatu sore akhir Juni lalu, Imanuel dan Bernike berulang kali mengucap syukur karena bisa tinggal di rumah flat Menteng.

“Tentunya hidup saya jauh lebih berkualitas di sini,” kata Imanuel kepada BBC News Indonesia.

Penghuni rumah Flat Menteng, Imanuel Gulo dan istrinya.
Keterangan gambar, Imanuel dan Bernike merasa memiliki hidup yang lebih berkualitas sejak tinggal di rumah flat Menteng.

Imanuel merantau ke Jakarta pada 2019. Seperti perantau pada umumnya, Imanuel memilih tinggal di kos-kosan. Dia berbagi kamar seluas 3×4 meter persegi bersama seorang temannya agar lebih hemat.

Jarak tempuh kos dengan kantornya berkisar 45 menit hingga satu jam. Pola hidup baru di Jakarta yang penuh polusi dan kemacetan membuat Imanuel stres.

garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

“Dua bulan pertama [di Jakarta] itu saya sudah berpikir, kalau saya ngekos dengan situasi yang seperti ini terus, stresnya akan berlanjut. Jadi saya sudah ada kepikiran untuk cari tempat tinggal yang layak,” kata Imanuel.

“Tapi pada akhirnya juga saya sadar, di Jakarta itu enggak mungkin bisa dapat hunian yang layak yang kita inginkan,” sambungnya.

Setelah menikah, Imanuel dan Bernike sempat tinggal di sebuah apartemen di kawasan Jakarta Timur. Lokasinya semakin jauh dari kantor Imanuel.

Imanuel menghabiskan waktu hingga tiga jam sehari di perjalanan, seperti jutaan warga Jabodetabek lainnya.

Pada 2023, dia diajak oleh rekan kerjanya untuk ikut inisiatif membangun rumah flat di kawasan Menteng. Dia langsung menerima ajakan itu tanpa pikir panjang.

Sebagai warga kelas menengah, Imanuel sebelumnya tidak pernah membayangkan akan tinggal di Menteng.

“Apalagi setiap lewat Menteng melihat rumahnya besar-besar dan mewah-mewah,” kata dia.

Ini menjadi titik awal Imanuel dan Bernike mewujudkan hal-hal yang dulunya hanya sebatas angan-angan.

Imanuel mengeluarkan biaya sekitar Rp700 juta untuk membangun unit yang kini dia tempati. Penghuni lainnya membayar nominal yang berbeda-beda dengan luas beragam pula.

Unit terkecil di rumah flat ini berukuran 40 meter persegi. Penghuni unit tersebut membayar Rp380 juta.

Hanya ada satu unit yang harganya melampaui Rp1 miliar. Luas unit itu 128 meter persegi dengan biaya Rp1,2 miliar.

“Kalau dibandingkan, harga ini kurang lebih sama dengan rumah di pinggiran Jakarta. Atau malah mungkin lebih mahal,” tutur Imanuel.

“Tapi, faktor lain yang membuat ini menjadi lebih murah dari segi kualitas hidup, kelayakan, kemudahan akses ke mana-mana. Itu yang menurut saya membuat [rumah flat] ini sangat-sangat murah,” katanya.

Jakarta

Sumber gambar, Dicky Kurniawan

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Biaya yang dikeluarkan Imanuel dan teman-temannya jauh lebih murah dibanding rata-rata harga properti di kawasan Menteng.

Menteng dikenal sebagai kawasan elite sejak dulu. Harga tanah di kawasan ini mencapai Rp100 juta per meter persegi. Harga properti yang dijual juga fantastis.

Merujuk pada situs Rumah123, misalnya, harga jual rumah di Menteng berkisar belasan sampai ratusan miliar rupiah.

Cuma high net worth individual (HNWI) atau individu dengan kekayaan bersih lebih dari US$1 juta (Rp16,2 miliar) yang bisa punya rumah di Menteng.

Menurut Global Wealth Report yang dirilis pada 2024, hanya ada 178.605 orang Indonesia yang masuk kategori itu. Jumlahnya setara 0,06% dari populasi.

Inisiatif rumah flat Menteng mendobrak itu, membuktikan bahwa warga kelas menengah punya peluang untuk mengakses “kemewahan” yang sama berkat kolektivitas sesama warga.

Baca juga:

Imanuel kini hanya butuh menempuh perjalanan selama lima menit menuju kantornya. Dia bisa memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga, berolahraga dan bersosialisasi.

“Dulu itu kami butuh waktu dua sampai tiga jam di perjalanan untuk pulang pergi dari tempat kerja, sehingga waktu untuk keluarga itu berkurang. Di sini, jauh lebih baik. Jadi bisa dibayangkan bagaimana berkurangnya beban itu,” kata Imanuel.

Imanuel dan Bernike kini bisa merayakan hal-hal sederhana dalam keseharian mereka: cahaya matahari yang berlimpah, udara yang mengalir tanpa penyejuk ruangan, rindangnya pohon, serta kicauan burung yang mampir.

Sayangnya, tak semua warga bisa menikmati hal-hal yang semestinya menjadi hak-hak dasar itu.

Apa itu rumah flat?

Rumah flat adalah hunian tapak dengan lantai maksimal empat yang dihuni oleh multi-keluarga, menurut Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 Tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta.

Peraturan ini menjadi titik terang untuk pengembangan konsep rumah flat di Jakarta. Konsep rumah flat telah lama diadvokasi oleh Rujak Center for Urban Studies, sebuah lembaga yang fokus pada isu-isu perkotaan.

Sebelumnya, hunian empat lantai seperti rumah flat akan dianggap ilegal secara aturan.

Rumah Flat Menteng
Keterangan gambar, Rumah flat Menteng mulai dibangun pada 2023

Rujak telah lama meyakini bahwa hunian empat lantai bisa menjadi solusi berkelanjutan di tengah krisis perumahan di Jakarta.

Konsep ini bisa meningkatkan kepadatan suatu ruang di tengah keterbatasan lahan yang tersedia. Apalagi, hampir 70% lahan di Jakarta didominasi oleh bangunan rendah (tiga lantai ke bawah).

Namun, Rujak juga berpandangan bahwa meningkatkan kepadatan tidak harus dijawab dengan hunian vertikal puluhan lantai yang berorientasi bisnis dan malah menciptakan sekat sosial di antara penghuninya.

Rumah flat Menteng dibangun atas dasar itu. Namun yang membedakan rumah flat adalah pengelolaannya yang dilakukan lewat koperasi.

Koperasi menjadi kunci mengapa para penghuni rumah flat Menteng bisa mendapatkan properti dengan harga jauh lebih rendah dari harga pasar.

“Rumah itu bukan barang komoditas. Rumah adalah hak, tapi tidak semua orang punya kemampuan yang sama. Koperasi mengedepankan kolektivitas, beda sama PT [perseroan terbatas] yang mengedepankan persentase,” kata Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja.

Keberadaan koperasi juga penting sebagai badan hukum yang menaungi rumah flat saat berurusan dengan lembaga lain atau pemerintah.

Hal lainnya yang menjadi kunci adalah: pemilik tanah yang bersedia berbagi ruang hunian.

Bagaimana ide awal rumah flat Menteng muncul?

Ide membangun rumah flat Menteng datang dari Marco Kusumawijaya, yang merupakan seorang arsitek sekaligus aktivis.

Marco memiliki tanah seluas 280 meter di Menteng. Tanah itu dia miliki sejak akhir 1990-an dengan status verponding. Verponding adalah status pertanahan yang dimiliki oleh pemerintah kolonial, lalu oleh pemerintah Indonesia diizinkan untuk ditebus.

Harga tebusan berbeda dengan harga beli. Setelah Marco menebus tanah itu ke Pemprov DKI, dia kemudian mengurus sertifikat hak milik.

Rumah milik Marco Kusumawijaya sebelum dibangun menjadi rumah flat

Sumber gambar, Istimewa/Detik.com

Keterangan gambar, Ini adalah rumah milik Marco Kusumawijaya sebelum dibangun menjadi rumah flat.

Tanah itu sempat dimanfaatkan oleh teman-teman senimannya. Marco baru mulai tinggal di rumah itu pada 2006. Pada masa pandemi, Marco merasa perlu merenovasi rumah itu.

“Ketika berpikir untuk membangun itu, saya mengingat kembali pikiran soal [hunian] empat lantai. Muncullah gagasan, kenapa tidak dibikin koperasi sekaligus mewujudkan gagasan lama itu?” kata Marco kepada BBC News Indonesia.

Marco meyakini kalau seluruh hunian di Jakarta dibangun dengan konsep empat lantai, kota ini tidak perlu hunian puluhan lantai. Menurutnya, itu seharusnya bisa menjadi solusi atas krisis perumahan di Jakarta.

Konsep koperasi yang diterapkan terinspirasi dari Kampung Akuarium, Jakarta Utara.

Kampung Susun Akuarium dibangun di lahan milik pemerintah, tapi pengelolaannya diserahkan kepada warga melalui koperasi.

Bedanya, rumah flat Menteng membentuk koperasi di atas lahan milik pribadi, lalu dibangun atas inisiatif warga sendiri, tanpa campur tangan pemerintah.

Kampung Akuarium, Jakarta Utara

Sumber gambar, Kompas.com/Kristianto Purnomo

Keterangan gambar, Kampung Susun Akuarium menginspirasi konsep koperasi yang diterapkan di rumah flat Menteng.

Marco kemudian mengajak lima keluarga lainnya untuk tinggal di rumah flat Menteng. Mereka membentuk koperasi dan menyusun perjanjian bersama-sama.

Rumah flat Menteng mulai dibangun pada 2023 dan akhirnya mulai dihuni pada awal 2025.

Prosesnya tentu saja tidak mudah. Mengingat ini adalah rumah flat pertama di Indonesia yang dikelola oleh koperasi, mereka tidak punya acuan untuk diikuti.

Setiap detil perjanjian dibahas bersama oleh para anggota koperasi. Namun, di sini pula ruang diskusi itu tercipta. Setiap anggota punya ruang untuk menyampaikan ide dan pendapatnya soal hunian yang akan mereka tinggali.

Ruang diskusi ini tidak dimiliki oleh pembeli properti dari pengembang-pengembang besar yang “terima beres”.

Bagaimana skemanya dan mengapa bisa lebih murah dari harga pasar?

Marco menyewakan tanahnya kepada para penghuni lainnya selama 70 tahun. Durasi sewa bisa diperpanjang.

Jadi, sertifikat hak milik atas tanah ini tetap dimiliki oleh Marco dan keluarganya. Tetapi, koperasi memegang sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas rumah flat yang dibangun.

Di rumah flat Menteng, Marco menetapkan harga sewa tanahnya sebesar Rp90 juta per tahun.

Itu artinya, lima penghuni lainnya akan patungan untuk membayar sewa tanah dengan total Rp7,5 juta per bulan kepada Marco. Harga sewa tanah disepakati untuk naik setiap lima tahun mengikuti inflasi.

Besaran sewa tanah yang dibayarkan setiap penghuni tergantung pada luas unitnya.

Selesai soal tanah, selanjutnya adalah soal bangunan.

Biaya konstruksi di rumah flat Menteng berkisar Rp8 juta per meter persegi. Ini lebih murah dari harga rata-rata. Sebagai perbandingan, biaya konstruksi gedung empat lantai di Jakarta berkisar Rp11,6 juta per meter persegi.

Biaya konstruksi bisa ditekan dengan sejumlah siasat. Misalnya, menetapkan bahwa setiap unit hanya memiliki satu kamar mandi, berapa pun luas unitnya.

Marco Kusumawijaya menjelaskan soal ide rumah flat kepada para peminat.
Keterangan gambar, Marco telah menyimpan gagasan soal rumah flat sejak puluhan tahun lalu.

Tentunya, mereka juga memperhitungkan biaya notaris dan pembangunan fasilitas bersama.

Berdasarkan perhitungan semua itu, para penghuni menyetorkan biaya-biaya tersebut yang dianggap sebagai simpanan wajib ke koperasi. Nilainya tergantung luas unit masing-masing penghuni.

Marco mengatakan, poin-poin itu yang membedakan rumah flat dengan properti komersil.

Pengembang akan memperhitungkan harga beli tanah, bunga dari pinjaman bank, biaya pemasaran, serta mengambil margin keuntungan dari pembangunan.

“Semua itu tidak ada di koperasi, sehingga karena itu kami bisa memangkas sampai setengah dari harga jual pasar,” kata Marco.

“Yang terjadi pada koperasi adalah kita membiayai hunian kita sendiri dan karena itu tidak ada biaya keuntungan,” jelas Marco.

Lalu, bagaimana jika suatu hari nanti penghuni rumah flat ingin pindah?

Untuk di rumah flat Menteng, ada klausul yang mewajibkan penghuni tinggal di rumah flat selama minimal lima tahun. Alasannya karena rumah flat dibangun untuk orang-orang yang memang membutuhkan hunian untuk ditinggali, bukan untuk investasi.

Setelah lima tahun, penghuni bisa pindah dengan cara mengembalikan unitnya kepada koperasi. Koperasi akan mengembalikan simpanan wajib dengan memperhitungkan inflasi.

Jadi, koperasi dapat mengontrol harga agar tidak rumah flat tidak melonjak mengikuti harga pasar. Itulah mengapa rumah flat tidak bisa dijadikan investasi. Dengan cara ini, mereka ingin melawan spekulan harga properti.

Penghuni juga bisa mewariskan unitnya.

Baca juga:

Bagi para penghuni rumah flat Menteng, skema ini dirasa menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Para penghuninya bisa memiliki hunian yang layak di tengah kota dengan harga terjangkau. Imanuel, misalnya, membayar sekitar Rp1,2 juta per bulan untuk biaya sewa tanah, iuran pengelolaan lingkungan dan simpanan wajib koperasi.

Lagi-lagi, nilai itu lebih murah dibanding biaya bulanan di apartemen yang dihuni kelas menengah.

Sementara bagi Marco sebagai pemilik tanah, uang sewa tanah menjadi pemasukan pasif walau nilainya tidak fantastis seperti harga tanah dan properti di Menteng.

“Yang kami sampaikan kepada teman-teman adalah kami perlu uang secukupnya saja untuk hidup bulanan,” tutur Marco.

Tentu saja muncul pertanyaan: Mengapa Marco tidak menjual saja tanah itu untuk mendapat profit yang jauh lebih tinggi?

Marco bilang, keuntungan tidak melulu bermakna moneter, tapi bisa juga berupa manfaat.

“Manfaatnya ya bisa memilih teman, bisa membentuk komunitas, itu jauh lebih luas dari keuntungan moneter,” jawab Marco.

Ditiru oleh pemilik tanah lain

Konsep rumah flat Menteng langsung menarik perhatian warganet di media sosial. Ini menarik sejumlah pemilik tanah untuk menerapkan konsep serupa.

Sejauh ini, sudah ada dua pemilik tanah yang serius untuk membangun rumah flat dengan pendampingan Rujak Center.

Lokasinya di Matraman, Jakarta Timur dan Pancoran, Jakarta Selatan. Ratusan orang sudah mendaftar sebagai peminat rumah flat sejak pendaftaran rumah flat pada Mei lalu.

Rencana awal pembangunan Flat Matraman

Sumber gambar, Rujak Center for Urban Studies

Keterangan gambar, Rencana awal pembangunan Flat Matraman

Galuh Madistra, pemilik lahan di Matraman, mengaku terinspirasi oleh konsep rumah flat Menteng.

Dia memiliki tanah seluas 686 meter persegi sebagai warisan dari orang tuanya.

Keluarga Galuh dulu tinggal di tanah itu, lalu mereka pindah ke Jakarta Selatan setelah kerusuhan 1998.

Galuh ingin tanah ini bermanfaat lagi. Pada akhir 2024, Galuh melihat informasi soal rumah flat Menteng di media sosial. Dia merasa tertarik dengan konsep yang ditawarkan.

“Karena kalau satu fungsi untuk hunian saja, tanah ini terlalu besar, dan kalau semuanya mau disewakan juga sayang. Kalau untuk tinggal di sini, orang akan sangat senang karena tanpa kendaraan pribadi pun sangat bisa hidup di sini,” kata Galuh ketika diwawancarai.

Dia membayangkan Flat Matraman akan menjadi hunian komunal yang ramah anak, ramah lingkungan, dan akan selalu mereka rawat bersama. Namun, juga ada area komersil yang bisa menjadi sumber pemasukan bagi koperasi.

Apakah konsep ini realistis sebagai solusi untuk kelas menengah?

Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute, Wendy Haryanto, mengatakan konsep rumah flat sangat bisa menjadi solusi bagi kelas menengah untuk memiliki hunian yang layak dan terjangkau.

Apalagi, jumlah penghuni pada konsep rumah flat tergolong kecil sehingga lebih mudah dikelola.

“Kalau bisa mengajak orang-orang yang punya rumah, yang enggak dipakai, untuk dikembangkan dengan cara yang memadai untuk kelas menengah nantinya akan mendorong pembangunan-pembangunan dengan skala yang lebih kecil ini,” kata Wendy.

Namun sebagai sebuah konsep baru, rumah flat masih menghadapi sejumlah tantangan.

Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center mengatakan bahwa pemerintah bahkan tidak memiliki kebijakan untuk bangunan dengan tinggi menengah seperti rumah flat.

Sementara itu, Marco Kusumawijaya mengatakan konsep rumah flat sejauh ini baru bisa menjangkau kelompok kelas menengah yang sudah bisa bekerja selama lebih dari 10 tahun.

Itu karena opsi pembiayaan yang masih terbatas sehingga calon pemiliknya perlu memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya pembangunan.

“Yang tidak bisa kami jangkau itu kan yang penghasilannya lebih kecil. Di situ seharusnya ada peran pemerintah,” kata dia.

Hanif Gusman, 31, adalah salah satu peminat rumah flat yang masih “pikir-pikir” karena itu.

Hanif telah tinggal di Jakarta selama sembilan tahun dan memilih menyewa apartemen di Jakarta Barat. Dia punya angan-angan untuk tinggal di dalam kota yang dekat dengan akses transportasi umum.

“Untuk mencari hunian di tengah kota itu agak susah. Kalau mencari rumah tapak di Jakarta sudah mahal banget. Untuk harga yang saya bisa, sudah jauh lokasinya,” kata Hanif.

Hanif Gusman
Keterangan gambar, Hanif Gusman adalah salah satu peminat rumah flat.

Hanif amat berharap ada solusi di tengah situasi serba salah yang dirasakan oleh warga kelas menengah. Begitu dia mendengar soal rumah flat, Hanif mendaftar sebagai peminat.

Hanif telah mengikuti sejumlah pertemuan membahas rumah flat dengan para pemilik tanah untuk mengenali konsepnya. Tapi, ada satu hal yang mengganjal.

“Ternyata di balik konsepnya yang bagus itu, yang menurut saya cukup memberatkan yaitu terkait biaya. Karena opsi pembiayaannya masih terbatas, jadi mau enggak mau calon penghuninya harus punya tabungan likuid dalam jumlah yang cukup besar,” tutur Hanif.

Konsep rumah flat tak bisa diakses menggunakan kredit pemilikan rumah (KPR).

Jadi, Hanif berharap ada opsi lainnya yang akan terbuka untuk konsep rumah flat ini.

Menggugat hak atas hunian yang layak dan terjangkau

Bagi Marco, rumah flat Menteng juga merupakan bentuk kritik terhadap pemerintah atas minimnya solusi perumahan yang adil bagi masyarakat.

Konsep ini telah digaungkan selama puluhan tahun, tapi kebijakan pemerintah soal soal ini masih minim.

Padahal, pemerintah memiliki tanah-tanah yang bisa dimanfaatkan untuk membangun hunian vertikal semacam ini.

Contoh unit rumah subsidi seluas 14 meter persegi.
Keterangan gambar, Contoh unit rumah subsidi seluas 14 meter persegi.

Marco juga mengkritik program-program subsidi pemerintah yang selama ini disalurkan lewat perbankan dan pengembang-pengembang besar. Akibatnya, hunian terjangkau yang bisa diakses oleh warga semakin jauh dari layak.

Rumah seluas 14 meter persegi yang beberapa waktu lalu viral itu adalah salah satu contohnya.

“Salah sekali menormalisasi pikiran untuk mengecil-ngecilkan rumah supaya terjangkau. Enggak, membuat terjangkau itu dengan cara mengubah sistem pengadaannya,” kata Marco.

Setidaknya, rumah flat Menteng membuktikan bahwa hunian yang layak dengan harga jauh di bawah rata-rata pasar ternyata bisa digapai lewat upaya kolektif warga.

Apa tanggapan pemerintah?

Terkait inisiatif rumah flat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan terbuka untuk mengkaji opsi-opsi kebijakan yang dapat membantu masyarakat kelas menengah.

Sejauh ini, Pemprov DKI mengakui bahwa program-program hunian yang ada masih fokus pada masyarakat berpenghasilan rendah.

“Pemerintah memikirkan semuanya, tapi ada prioritas dengan segala keterbatasannya,” kata Kepala Bidang Permukiman Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Provinsi DKI Jakarta, Retno Sulistyaningrum kepada BBC News Indonesia.

“Mungkin ke depannya dari segi pembiayaan belum, tapi dari segi perizinan mungkin bisa kita upayakan. Tapi arah perbaikan untuk semua pihak akan kami support,” ujar dia.

Kelas menengah Jakarta

Sumber gambar, Nur Photo/Getty Images

Kebijakan pemerintah yang lagi-lagi melupakan warga kelas menengah itu membuat Hanif Gusman kecewa.

Hanif merasa masyarakat kelas menengah dibiarkan untuk mencari solusi sendiri di tengah krisis perumahan.

“Saya berharap pemerintah concern dengan konsep rumah flat ini. Konsepnya sudah memudahkan banyak kalangan untuk punya hunian di tengah kota, saya harap pemerintah bisa membantu memberi opsi pembiayaan sehingga masyarakat bisa terbantu,” kata Hanif.

“Jangan lagi warga yang mencari solusi untuk membantu warga lainnya. Ini seharusnya menjadi concern pemerintah. Kan setiap warga itu berhak mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan