Trump perintahkan Kedutaan AS hentikan proses visa pelajar dan larang Universitas Harvard terima mahasiswa internasional, bagaimana nasib pelajar Indonesia?

Sumber gambar, Reuters
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah memerintahkan kedutaan-kedutaan AS di berbagai negara untuk menghentikan pembuatan jadwal wawancara pelamar visa pelajar guna memeriksa media sosial mereka.
Dalam salinan memo yang dikirim ke kantor-kantor perwakilan diplomatik, Menteri Luar Negeri Marco Rubio mengatakan penangguhan tersebut akan berlangsung “hingga panduan lebih lanjut dikeluarkan”. Tidak disebutkan secara rinci apa yang akan diperiksa dalam pemeriksaan media sosial tersebut.
Pemerintahan Trump telah meningkatkan pemeriksaan media sosial para pelajar untuk melihat apakah pelajar-pelajar itu memberi dukungan pada “aktivitas teroris”, menurut The Guardian.
Dalam laporannya pada bulan Maret, surat kabar tersebut mengaitkan pemeriksaan itu dengan penindakan aparat AS terhadap protes pro-Palestina di kampus-kampus AS.
Kebijakan pemerintah AS ini mengemuka setelah Trump melarang Universitas Harvard menerima mahasiswa internasional.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Langkah tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelajar Indonesia, baik yang sedang studi maupun akan berkuliah di perguruan tinggi tertua di AS itu.
Apa yang terjadi?
Pada Kamis (22/05) lalu, Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, mengumumkan pencabutan sertifikasi Program Mahasiswa dan Pertukaran Pengunjung (SEVP) yang dimiliki Harvard.
“Hendaknya ini menjadi peringatan bagi semua universitas dan institusi akademik di seluruh negeri,” tulis Noem di X.
Keputusan ini muncul di tengah gelombang protes terkait Gaza di kampus Harvard. Trump menuding universitas itu mengusung anti-Yahudi, lebih memihak mahasiswa asing, dan menyalahgunakan dana publik.
Trump juga mengecam program DEI (Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi) di Harvard.
Pemerintah Trump menuding terdapat gerakan di Harvard yang tidak sejalan dengan agenda mereka, khususnya dari mahasiswa yang berasal dari negara-negara yang dinilai tidak bersahabat dengan AS.
Harvard kemudian diberi waktu selama 72 jam untuk menyerahkan data siswa non-imigran yang terdaftar di kampus selama lima tahun terakhir.
Apabila ini dipenuhi, maka status SEVP Harvard akan dipulihkan.

Sumber gambar, AFP via Getty Images
Pihak universitas menggugat keputusan pemerintah Trump ini ke pengadilan federal.
Mereka menyebut langkah Trump bertentangan dengan Amandemen Pertama Konstitusi AS terkait perlindungan kebebasan berekspresi dan berkeyakinan dari campur tangan pemerintah federal.
Pada Jumat (23/05), Hakim Distrik AS Allison Burroughs mengeluarkan perintah penangguhan sementara atas pencabutan izin SEVP Harvard.
Harvard dijadwalkan menyampaikan argumen mereka di dalam sidang lanjutan pada Kamis (29/05) pekan ini.
Menurut data universitas, lebih dari 6.700 mahasiswa internasional terdaftar di Harvard pada tahun akademik lalu.
Jumlah ini mencapai 27% dari total mahasiswanya.
Per Senin (26/05), terdapat 84 pelajar Indonesia di Universitas Harvard yang mengambil berbagai program seperti ilmu bisnis, pendidikan, hukum, dan kedokteran, menurut KBRI Washington DC.
Mayoritas dari mereka mengambil studi pascasarjana atau S2.
Bagaimana nasib pelajar Indonesia di Harvard?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
BBC News Indonesia berupaya menghubungi sejumlah pelajar Indonesia di Universitas Harvard untuk menggambarkan situasi di sana menyusul kebijakan Trump.
Sebagian besar menolak untuk menyampaikan tanggapan. Mereka khawatir pernyataan yang dianggap mengkritik pemerintah AS secara terbuka dapat membuat visa mereka dicabut.
Bintang—namanya disamarkan untuk melindungi keselamatannya—mengatakan “semua orang kaget” atas langkah Trump.
“Ini benar-benar mengejutkan karena secara spesifik menargetkan mahasiswa asing,” ujar Bintang ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Selasa (27/05) dini hari waktu Indonesia.
Bagi Bintang, apa yang dilakukan pemerintah Trump tidak sejalan dengan nilai-nilai Harvard yang menjunjung tinggi keberagaman serta kebebasan berpikir dan berpendapat, termasuk bagi kelompok minoritas.
“Aku merasa Harvard itu sangat diverse [beragam] dan inclusive [inklusif]. Boston pun secara umum sangat beragam [masyaratnya],” ujarnya.

Sumber gambar, EPA
Bintang menyebut berbagai perkumpulan mahasiswa asing di Harvard—termasuk Indonesia—menanggapi serius langkah dari Trump ini, termasuk berdiskusi dengan ahli hukum untuk membahas apa yang mesti mereka lakukan.
Setiap hari, para mahasiswa Indonesia juga saling mengecek kabar satu sama lain secara berkala. Mereka juga saling memeriksa validitas visa satu sama lain.
Meski Harvard berupaya membantu sesuai kapasitas, pelajar Indonesia itu mengakui pihak kampus kewalahan melayani tumpukan pertanyaan dari mahasiswa asing.
“Jadi saat ini para mahasiswa saling memperhatikan satu sama lain,” ujar Bintang.
BBC News Indonesia telah menghubungi pihak Harvard Indonesian Students Association (HISA) untuk meminta tanggapan.
Mereka mengatakan “KJRI dan KBRI berkomunikasi erat dengan para mahasiswa Indonesia di Harvard.”
Sementara itu, Carolyn Sinulingga, selaku Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya KBRI Washington DC, mengatakan pihaknya bersama KJRI New York telah menjangkau para pelajar WNI.
“Sesuai dengan himbauan dari pihak universitas, para pelajar diharapkan menunda perjalanan ke luar negeri,” ujar Carolyn.
Selain itu, dia mengatakan KBRI Washington DC “mengimbau bagi para mahasiswa untuk tetap tenang dan menjaga komunikasi dengan pihak Harvard” dan perwakilan-perwakilan Indonesia di AS.
“Perwakilan RI di seluruh AS telah melakukan sejumlah langkah cepat untuk memberikan perlindungan bagi WNI para pelajar Indonesia di Harvard dan seluruh Amerika Serikat, khususnya untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan kepentingannya terjaga,” ujar Carolyn.
Bagaimana respons WNI yang hendak studi ke Harvard?
Gendis—yang meminta hanya nama depannya yang disebutkan demi melindungi keamanannya—berencana menempuh studi S2 di Universitas Harvard.
Dia secara telaten mempersiapkan semua berkas dan esai yang dibutuhkan dan berharap dapat resmi mendaftarkan diri pada Juni 2026.
“Saya mempersiapkan diri dari sekarang di sela-sela kesibukan bekerja dan mengurus anak,” tuturnya.
Menurut Gendis, seorang teman perempuannya yang sudah lebih dulu menempuh studi di Harvard menyebut situasi di AS saat ini kurang kondusif untuk dikunjungi.
“Dia mengatakan saat ini ada ketakutan, khususnya ketika berada di luar lingkungan kampus. Rasisme itu benar adanya,” ujar Gendis.
Gendis mengatakan dirinya akan tetap berupaya mengejar mimpinya untuk berkuliah di Harvard.
Meski begitu, dia mengaku sudah mempersiapkan berbagai skenario untuk menjaga diri, termasuk membatasi aktivitas di luar kampus.
“Takut, pastinya. Tapi saya akan berhati-hati dan benar-benar fokus untuk belajar saja kalau diterima. Lagipula pendidikan S2 itu kan tidak lama durasinya, jadi bisalah ditahan-tahan,” ujarnya.
Apa dampak langkah Trump?
Apabila putusan pengadilan federal nantinya berpihak kepada pemerintah Trump, mahasiswa Indonesia di Harvard tidak dapat meneruskan studinya dan dipaksa untuk pindah ke kampus lain.
Hal ini dipaparkan pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Idil Syawfi.
“Ini khususnya bagi mahasiswa yang studi menggunakan skema beasiswa dari Pemerintah Amerika Serikat seperti Fulbright maupun beasiswa yang disediakan oleh Harvard yang berasal dari dana negara,” ujar Idil kepada BBC News Indonesia pada Senin (26/05).
“Hal ini juga bisa berdampak bagi mahasiswa Indonesia yang menggunakan beasiswa dari LPDP—karena Harvard merupakan salah satu kampus yang diakui LPDP atau atas biaya sendiri.”
Selain itu, Idil menilai situasi di Harvard juga dapat terjadi pada kampus lain di AS, termasuk universitas-universitas terkemuka yang termasuk ke dalam Ivy League dan diakui LPDP.
BBC News Indonesia telah menghubungi pihak LPDP, tetapi hingga berita ini diturunkan yang bersangkutan belum memberikan respons.

Sumber gambar, EPA
Kepala Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Trina Fizzanty, menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi calon mahasiswa yang berencana melanjutkan studi ke AS apabila situasi di sana tetap tidak kondusif.
“Jika kondisi tetap tidak kondusif bagi mahasiswa asing di AS, sebaiknya [calon mahasiswa] dapat didukung dengan memfasilitasi untuk studi di negara lain yang mempunyai standar perguruan tinggi yang setara, sesuai bidangnya,” ujar Trina kepada BBC News Indonesia pada Senin (26/05).
“Pemerintah juga dapat memberikan jaminan bagi mahasiswa untuk belajar dengan tenang dan dukungan riset yang baik.”
Reza Idria, alumnus Universitas Harvard yang kini menjadi peneliti dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, mengharapkan pemerintah Indonesia dapat memberikan imbauan yang jelas kepada para pelajar di Harvard.
Reza juga menyoroti Indonesia yang saat ini tidak memiliki Duta Besar untuk AS. Jabatan itu terakhir dipegang Rosan Roeslani yang mundur pada 17 Juli 2023 untuk bergabung ke Kabinet Presiden Jokowi.
“Mungkin perlu delegasi khusus dari Indonesia untuk memberi keyakinan kepada pemerintah di sana [AS] bahwa mahasiswa Indonesia tidak ikut-ikutan dalam aksi-aksi yang mendelegitimasi kebijakan luar negeri AS,” ujarnya.
BBC News Indonesia juga telah mengontak Harvard Club Indonesia—sebagai perkumpulan alumni Harvard asal Indonesia—tetapi mereka mengatakan tidak dapat memberikan komentar.
Mantan diplomat senior, Makarim Wibisono, yang merupakan lulusan John Hopkins University dan Ohio State University, mengaku “sangat terkejut mendengar sikap yang disampaikan oleh Presiden Donald Trump”.
Menurut Makarim, Kemendikti Saintek memiliki peran utama dalam memahami situasi ini. Kementerian Luar Negeri juga dapat dilibatkan untuk melakukan klarifikasi dan lobi kepada pemerintah AS.
Meskipun Indonesia saat ini tidak memiliki duta besar di AS, Makarim menegaskan bahwa perwakilan Indonesia di sana, yang dipimpin oleh kuasa usaha (charge d’affaires), memiliki kapasitas untuk melakukan pendekatan dan lobi.
“Di sana ada sekitar 100 staf. Kuasa usaha sebagai wakil duta besar publik Indonesia di Amerika Serikat juga bisa melakukan pendekatan,” imbuhnya.
Bagaimana tanggapan pemerintah Indonesia atas situasi ini?
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan pihaknya “memantau dari dekat perkembangan kebijakan imigrasi AS”.
“Termasuk pelarangan terhadap Universitas Harvard untuk menerima mahasiswa asing,” ujarnya dalam pernyataan resmi yang diterima BBC News Indonesia pada Selasa (27/05).
Menurut Judha, kebijakan tersebut telah menimbulkan ketidakpastian bagi nasib mahasiswa internasional dari berbagai negara yang studi di Universitas Harvard, “termasuk mahasiswa asal Indonesia”.
“Sembari menunggu proses gugatan hukum oleh Universitas Harvard, perwakilan RI di Amerika Serikat telah menjalin komunikasi intensif dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Harvard dan menghimbau mereka untuk tetap tenang,” ujarnya.
Judha menegaskan perwakilan Indonesia di AS siap memberikan bantuan terhadap mahasiswa Indonesia yang terdampak.
Selain itu, Judha mengatakan pemerintah Indonesia telah menyampaikan keprihatinan terhadap masalah ini kepada Pemerintah AS dan “berharap terdapat solusi yang tidak merugikan nasib mahasiswa Indonesia di Universitas Harvard”.
“Mahasiswa Indonesia di AS selama ini telah banyak memberikan kontribusi penting bagi kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan di AS,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Sekjen Kemendikti Saintek, Togar Simatupang, mengatakan pemerintah Indonesia menghormati kebijakan dalam negeri pemerintah AS dan proses hukum yang berjalan di negara itu.
Pihak Kemendikti Saintek, sambung Togar, terus memantau perkembangan situasi melalui Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) di KBRI Washington.
Di sisi lain, Togar menyarankan kepada para pelajar Indonesia yang masih menempuh studi untuk tidak bereaksi berlebihan dan “harus punya rencana B”.
“Jadi begitu ada kebijakan [yang pasti], mereka sudah siap dengan alternatif, misalnya seperti pindah sekolah. [Tapi] menurut hemat kami, pasti mereka tidak akan ditelantarkan dan hak-haknya dijaga oleh pemerintah AS,” ujarnya.
Togar juga mengimbau calon mahasiswa baru untuk mulai mempersiapkan alternatif tujuan perguruan tinggi di tengah ketidakpastian ini.
“Mereka harus bisa mempertimbangkan alternatif. Masih ada beberapa universitas yang bagus dan satu level dengan Harvard, bahkan di luar AS,” ujarnya.
Selain itu, Togar juga mengimbau kepada pelajar Indonesia untuk menahan diri dan tidak ikut-ikutan berunjuk rasa demi menghormati pemerintahan setempat.