KUBET – Mahasiswa penggugat UU TNI diduga ‘diintimidasi’ anggota TNI – Mulai menelepon orang tua, hingga Babinsa datangi ketua RT

Mahasiswa penggugat UU TNI diduga ‘diintimidasi’ anggota TNI – Mulai menelepon orang tua, hingga Babinsa datangi ketua RT

Demonstrasi menolak Revisi Undang-Undang TNI.

Sumber gambar, Ryan Suherlan/NurPhoto via Getty Images

Keterangan gambar, Demonstrasi menolak Revisi Undang-Undang TNI.

  • Penulis, Faisal Irfani
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Dugaan intimidasi kepada mahasiswa yang menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK) memperlihatkan upaya tentara ‘pamer kekuatan’ agar ‘gugatan dicabut,’ kata peneliti dan aktivis hukum. Tindakan itu juga menunjukkan seolah tentara ‘lebih superior ketimbang sipil.’

Rentetan tindakan dugaan intimidasi oleh tentara ini disebut mengkhawatirkan karena memperlihatkan betapa proses demokrasi di Indonesia masih berada pada situasi yang rentan.

Walaupun UU TNI sudah ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto, hal itu tidak menjamin kebebasan menyalurkan argumen secara hukum—yang dilindungi konstitusi—terpenuhi dengan ideal.

Penilaian para peneliti dan aktivis menanggapi tindakan dugaan intimidasi terhadap tiga mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, juga insiden serupa lainnya.

Tiga mahasiswa UII, sebelumnya, melayangkan gugatan ke MK terhadap Undang-Undang TNI pada awal Mei lalu.

Salah satu mahasiswa, Abdur Rahman Aufklarung, alias Arung, mengaku orang tuanya ‘diintimidasi’ oleh seseorang yang mengeklaim dari Komando Resor Militer (Korem) di Mojokerto, Jawa Timur.

Korem adalah satuan teritorial TNI Angkatan Darat (AD) yang berada di bawah Komando Daerah Militer (Kodam).

Selain ‘diintimidasi’ melalui telepon, menurut Arung, seseorang yang mengaku sebagai petugas Babinsa meminta dokumen pribadinya. Babinsa (Bintara Pembina Desa) merupakan prajurit TNI Angkatan Darat yang bertugas di tingkat desa atau kelurahan.

BBC News Indonesia sudah menghubungi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, namun hingga artikel ini diterbitkan belum ada tanggapan.

Namun, Dandim 0815/Mojokerto, Letkol Inf Rully Noriza, membantah melakukan intimidasi, seraya menambahkan apa yang dilakukan Babinsa adalah pendataan dan merupakan “kegiatan rutin.”

‘Diintimidasi’ melalui telepon

Sang terduga pelaku menelepon ayah dari Arung yang tinggal di Mojokerto, Jawa Timur.

Dalam percakapan di telepon, pihak terduga pelaku mempertanyakan mengapa anaknya menggugat UU TNI ke MK.

“Tolong, lah, Pak, itu dinasehati anaknya,” kata tentara dari Korem Mojokerto, seperti dikisahkan ulang oleh ayah Arung.

dwifungsi ABRI, mahasiswa Universitas Islam Indonesia, UII, gugatan MK, Mahkamah Konstitusi

Sumber gambar, Dokumentasi Pribadi

Keterangan gambar, Mahasiswa penggugat UU TNI dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Dugaan intimidasi tak hanya dialami Arung, melainkan dua mahasiswa UII lainnya. Keduanya turut melayangkan gugatan terhadap UU TNI ke MK, satu tim dengan Arung.

Mirip yang dialami Arung, pelaku intimidasi mengaku dari MK.

Mereka mendatangi rumah orang tua dua mahasiswa UII tersebut—Handika Pradana dan Irsyad Zainul—yang masing-masing berada di Grobogan (Jawa Tengah) dan Lampung Timur (Lampung).

Mereka meminta data diri dua mahasiswa itu kepada ketua RT setempat.

Atas dugaan intimidasi ini, Arung mengaku “tidak takut.”

“Tidak ada keraguan untuk mengkritik kalau memang itu untuk kebenaran,” tandasnya.

Poster menolak Revisi Undang-Undang TNI

Sumber gambar, Ryan Suherlan/NurPhoto via Getty Images

Keterangan gambar, Poster menolak Revisi Undang-Undang TNI

Seperti apa metode dugaan intimidasi yang dialami tiga mahasiswa UII?

Dari kesaksian tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut, ada tiga metode dugaan intimidasi yang mereka alami, seperti diutarakan Abdur Rahman Aufklarung, alias Arung, salah-seorang mahasiswa yang mengajukan gugatan terhadap UU TNI ke MK.

Pertama, terduga pelaku mendatangi ketua RT (Rukun Tetangga) di tempat orang tua mereka tinggal.

Dalam menjalankan aksinya, mereka mengaku petugas dari Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alibi meminta salinan kartu keluarga para mahasiswa itu.

MK belakangan membantah pihaknya melakukan upaya verifikasi data penggugat.

Baca juga:

Kedua, terduga pelaku mendatangi kantor kepala desa untuk meminta salinan kartu keluarga.

Di sini, ada yang mengaku sebagai Babinsa. Mereka menyatakan cuma menjalankan tugas atas permintaan atasannya.

Ketiga, terduga pelaku menghubungi langsung keluarga mahasiswa.

Arung merasa kecolongan setelah tentara mengumpulkan data pribadinya, berbentuk copy Kartu Keluarga (KK), dari kantor desa tempat kelahirannya di Mojokerto, Jawa Timur.

Sebelum Arung, data pribadi dua temannya, Handika Pradana dan Irsyad Zainul, telah lebih dulu diminta oleh orang yang mengaku dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Orang tersebut menyambangi kediaman orang tua keduanya, masing-masing di Grobogan, Jawa Tengah, dan Lampung Timur, Lampung.

Poster demonstrasi tolak Revisi UU TNI (Ryan Suherlan/NurPhoto via Getty Images)

Sumber gambar, Ryan Suherlan/NurPhoto via Getty Images

Keterangan gambar, Poster demonstrasi tolak Revisi UU TNI.

Insiden itu terjadi pada 18 Mei 2025, dan “kami langsung berkomunikasi dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII,” cerita Arung saat dihubungi BBC News Indonesia, Sabtu (24/05) siang.

Arung lalu meminta ayahnya—kepala desa di Mojokerto—agar tidak memberikan informasi apa pun kepada orang tak dikenal.

Pada 21 Mei, ayah Arung mengaku dia mengetahui bahwa data anaknya ternyata sudah diambil personel Babinsa (Bintara Pembina Desa) atas perintah Komando Distrik Militer (Kodim) 0815/Mojokerto.

“Ayah saya curiga, dan akhirnya menelepon personel Babinsa. Dia tanya apakah data anak saya diambil. Si Babinsa menjawab, ‘Sudah diambil di hari Minggu (18/05), di kantor desa’,” ungkap Arung.

Baca juga:

Personel Babinsa tersebut “tidak mengetahui untuk apa data itu” dan ia “hanya menjalankan perintah,” tambah Arung.

Arung berkesimpulan tiga dugaan peristiwa intimidasi terjadi dalam satu waktu, yakni pada 18 Mei 2025.

Beberapa hari kemudian, 23 Mei 2025, Arung mengaku ayahnya “mendapat telepon dari orang Korem—Komando Resor Militer—082 Mojokerto.”

Penelepon mempertanyakan kenapa “Arung bisa melakukan gugatan UU TNI ke MK.”

“Tolong, lah, Pak, itu dinasehati anaknya,” ujar Arung menirukan tentara dari Korem yang menelepon ayahnya.

mahasiswa UII Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, UU TNI

Sumber gambar, Jauh Hari Wawan S/detikJogja

Keterangan gambar, Sivitas akademika FH UII serukan pernyataan sikap usai tiga mahasiswanya yang ajukan gugatan UU TNI diintimidasi, Senin (26/05)

Ayah Arung tak menggubris permintaan tersebut, menyatakan bahwa “itu adalah hak Arung sebagai warga negara.”

Permohonan uji formil atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang TNI yang ditempuh Arung terdaftar pada 5 Mei 2025.

Arung menggugat proses pembentukan undang-undang tersebut bersama tiga mahasiswa lain, semuanya dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Dari keempat pemohon, tiga mengalami dugaan intimidasi.

Sejak awal, keluarga tidak keberatan atas apa yang dijalani Arung lantaran “dapat menerapkan ilmu yang didapat di bangku kuliah dengan menguji undang-undang ke MK.”

Apa tanggapan Kodim Mojokerto?

BBC News Indonesia sudah menghubungi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, dan sampai berita ini diterbitkan belum ada tanggapan.

Kepada Kumparan, Dandim 0815/Mojokerto, Letkol Inf Rully Noriza, membantah jika pendataan itu bentuk dari intimidasi.

“Ini bahasanya ada intimidasi Babinsa. Artinya, informasi itu tidak benar,” kata Rully dalam keterangannya, Minggu (25/05).

Ia menjelaskan yang dilakukan Babinsa ialah pendataan terkait Geo Demo Konsos (geografi, demografi, dan kondisi sosial).

Menurut Rully, pendataan itu merupakan “kegiatan rutin” tiap tiga bulanan.

“Babinsa kami datang ke staf desa, ke staf kecamatan, ke instansi terkait,” tambah Rully.

Pada waktu yang sama, pendataan kerap dilakukan lantaran ada program gizi gratis yang kini sedang berjalan.

Di luar program gizi gratis, sambungnya, pendataan ditujukan kepada warga yang duduk di bangku kelas tiga SMA guna memberikan informasi sehubungan rekrutmen anggota TNI.

“Karena alokasi buat tentara lagi banyak saat ini. Jangan sampai ada oknum memanfaatkan situasi untuk melakukan penipuan, bayar masuk TNI. Suruh sosialisasi juga,” jelasnya.

‘Teror agar mahasiswa cabut gugatan’

Bagaimanapun, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, menduga rentetan intimidasi adalah “upaya meredam gerakan penolakan atas UU TNI.”

Militer, tambah Gina, “tidak tinggal diam dengan kritik dari masyarakat.”

Alhasil, bermacam upaya dilakukan, dari pengerahan massa yang menyebut aksinya “mendukung Revisi UU TNI,” menyambangi kampus-kampus yang menyelenggarakan diskusi penolakan revisi UU TNI, sampai melakukan profiling terhadap mereka yang menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga:

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

“Pengalaman saya, sebagai kuasa hukum pemohon [yang menggugat ke MK], tidak pernah ada mekanisme, misalnya, didatangi untuk dicek kemudian soal data pribadinya,” paparnya ketika dimintai tanggapan oleh BBC News Indonesia, Sabtu (24/05).

“Apakah benar yang bersangkutan tinggal di daerah ini, sebagai contoh, dan semacamnya,” lanjut Gina.

Gina menambahkan semua hal yang berhubungan dengan gugatan, termasuk profil penggugat, “diproses pula di pengadilan, di hadapan hakim, dan disertai alat-alat bukti.”

Ia kemudian menyatakan tindak-tanduk semacam ini—mendatangi keluarga serta meminta data pribadi—adalah “unjuk kekuatan” yang dimaksudkan untuk “memengaruhi penggugat agar mencabut gugatannya.”

MK sendiri menjelaskan “tidak pernah ada verifikasi identitas kepada pemohon,” ujar salah satu Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, pada Kamis (22/05) lalu.

“Enggak ada itu, ya. Jadi, tidak ada komunikasi apa-apa meminta identitas secara faktual. Enggak ada,” jawabnya.

Presiden Prabowo Subianto dalam rapat TNI-Polri (Bay Ismoyo/AFP via Getty Images).

Sumber gambar, Bay Ismoyo/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Presiden Prabowo Subianto dalam rapat TNI-Polri 2025.

Peristiwa intimidasi ini tidak membuat nyali Arung menciut.

Selama berpedoman dengan “mengikuti hukum positif di Indonesia,” ucapnya, kritik akan senantiasa diutarakan.

“Saya tidak takut. Tidak ada keraguan untuk mengkritik kalau memang itu untuk kebenaran,” katanya.

Dukungan terhadap Arung, Handika Pradana, dan Irsyad Zainul terus mengalir.

Pada Senin (26/05), Sivitas Akademika Fakultas Hukum UII menyatakan mereka mendukung upaya gugatan UU TNI ke MK oleh tiga mahasiswa tersebut.

Mereka turut menuntut agar pemerintah menjamin keamanan warga yang menggunakan hak konstitusionalnya.

“Pentingnya perlindungan terhadap hak mahasiswa untuk menyampaikan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dalam koridor akademis dan konstitusional,” kata Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FH UII, Muhammad Rayyan Syahban, membacakan pernyataannya.

Apa yang ditakutkan tentara soal gugatan terhadap UU TNI?

Penolakan terhadap Revisi UU TNI berpangkal pada kekhawatiran aturan ini dapat mengembalikan lagi dominasi militer di ranah sipil.

Setelah diketok menjadi undang-undang, hal itu tidak seketika lenyap, kata pegiat sipil.

Alasannya, beberapa pasal yang disebut akan membuka jalan bagi militer unjuk pengaruh lebih besar tetap dipertahankan.

Pasal yang disorot antara lain penambahan usia pensiun, perluasan jabatan di lingkup sipil, hingga operasi militer di luar perang.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, mengatakan dugaan intimidasi yang muncul setelah Revisi UU TNI disepakati, atau dalam konteks yang dialami para pemohon atau penggugat di MK, tak lepas dari apa yang disebutnya sebagai “situasi militer yang hendak mengamankan kepentingannya.”

mahasiswa UIN Walisongo, UU TNI, Babinsa

Sumber gambar, Istimewa

Keterangan gambar, Mahasiswa UIN Walisongo, Semarang (kiri) menemui seorang anggota TNI yang disebut hadir ketika diskusi soal militer berlangsung di kampus UIN Walisongo, Semarang, Senin (14/04). Foto mahasiswa tersebut diburamkan untuk melindungi identitasnya.

Gina membaca militer tidak berkenan ketika masyarakat sipil berusaha menggugat UU TNI lantaran “akan mengubah peta secara signifikan” andaikata “MK mengabulkan permohonan para penggugat”—bahwa proses legislasi UU TNI bermasalah dan harus diulang.

“Salah satu materi penting adalah berkaitan dengan, misalnya, usia pensiun,” jelas Gina. “Usia pensiun itu krusial. Ada banyak jenderal yang lagi menunggu [naik jabatan].”

Aspek lain, tambah Gina, dapat pula kena imbas, seperti halnya pengangkatan di lembaga sipil. Kalau gugatan ke MK diterima, ketentuan itu berpeluang lenyap.

Tahapan uji formil adalah pintu pertama yang disasar—dengan skenario dikabulkan MK—sebelum bergulir ke uji materiil (substansi undang-undang).

Dengan demikian, Gina mengatakan, militer sedang mengerahkan berbagai cara supaya kepentingan-kepentingan yang termaktub dalam UU TNI bisa dilindungi.

Menekan secara tidak langsung proses yang tengah berjalan di MK—melalui intimidasi kepada para pemohon—merupakan langkah yang mereka ambil, Gina menganalisa.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, berpendapat ancaman intimidasi yang datang silih berganti “seperti terorkestrasi” sekaligus “menghempaskan komitmen pemerintah untuk menjamin gugatan konstitusional yang ditempuh masyarakat sipil.”

“Jadi, sangat bertolak belakang, lah, dengan kenyataan yang ada,” tuturnya.

Peristiwa intimidasi, di lain sisi, imbuh Dimas, “merajarela sebab kultur impunitas di tubuh militer yang seringkali meniadakan pengusutan secara jelas dan fair.”

Ketika tidak ada efek jera, Dimas menerangkan, “sirkulasi kekerasan itu akan terus terjadi.”

TNI, tegasnya, “belum ada intensi memperbaiki kelembagaan secara lebih demokratis.”

Baca juga:

Apa dasar gugatan mahasiswa terhadap UU TNI ke MK?

Selain mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII), gugatan serupa diajukan mahasiswa Universitas Indonesia (UI).

Alif Ramadhan, salah-seorang mahasiswa UI yang melayangkan gugatan, menyebut proses pengesahan revisi UU TNI, pada 20 Maret 2025, sebagai hal yang mengecewakan.

Ia menilai pemerintah dan DPR berada dalam satu kubu, menempuh kesepakatan revisi aturan itu secara tidak transparan, seperti ketika keberadaan naskah akademik yang tidak jelas.

DPR, Alif menyebutnya, “tidak mewakili kepentingan rakyat.”

Ketika DPR tetap menyetujui Revisi UU TNI menjadi UU—Nomor 3 Tahun 2025—di tengah penolakan massa yang besar, Alif menyadari kemungkinan aturan itu dicabut sangatlah kecil.

“Maka, saya dan rekan-rekan sepakat menyusun draf uji formil ke Mahkamah Konstitusi,” terangnya kepada BBC News Indonesia, Jum’at (23/05) malam.

Panglima TNI bersama Kapolri (Aditya Irawan/NurPhoto via Getty Images).

Sumber gambar, Aditya Irawan/NurPhoto via Getty Images

Keterangan gambar, Panglima TNI bersama Kapolri di sebuah acara resmi di kompleks Monas, Jakarta.

Pada 21 Maret, gugatan itu resmi terdaftar dengan Nomor Perkara 45/PUU-XXIII/2025. Pemohonnya adalah tujuh mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, termasuk Alif di dalamnya.

Alif menyebut pendaftaran gugatan tersebut tak ubahnya “terapi kejut” kepada pemerintah lantaran hanya berjarak satu hari saja dari pengesahan Revisi UU TNI menjadi undang-undang.

“Ini bicara bukan hanya yang termuat di UU TNI. Kami melihat pembuatan undang-undang tersebut tidak sesuai regulasinya, dan dibiarkan begitu saja,” jelasnya.

“Saya khawatir ketika proses pembuatan undang-undang dibikin serampangan, berpengaruh juga terhadap dinamika bernegara.”

Alif tidak sendirian. Terdapat 16 permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI, mayoritas diajukan oleh mahasiswa dan beberapa di antaranya yakni koalisi masyarakat sipil. Seperti namanya, uji formil menyoroti bagaimana produk legislasi itu dibentuk.

Uji formil yang diambil Alif dan teman-temannya, sebagai contoh, mengkritisi ketidakterbukaan pemerintah dalam penyusunan Revisi UU TNI.

Baca juga:

Naskah akademik regulasi ini, tambah mereka, juga dianggap “tidak diperbarui,” yang mana apabila merujuk ketentuan yang ada, semestinya, disusun ulang dari tahap paling awal.

“Presiden mengajukan Revisi UU TNI tanpa disertai naskah akademik yang diperbarui, melainkan naskah akademik yang lama yang disusun pada periode 2020 sampai 2024,” kata salah satu kuasa hukum di persidangan.

“Padahal, Revisi UU TNI ini tidak masuk dalam daftar carry over—dibahas di periode berikutnya—sehingga seharusnya disusun ulang dari tahap awal, termasuk naskah akademiknya.”

Sementara uji formil yang dilakukan Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, gabungan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, dan Imparsial, tercatat dengan Nomor Perkara 81/PUU-XXIII/2025, memuat beberapa poin keberatan.

Tim koalisi memandang Revisi UU TNI sengaja menutup partisipasi publik, diproses dengan perencanaan yang menabrak ketentuan, hingga tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI pasca-1998.

Hal serupa bisa ditemukan di Nomor Perkara 74/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Arung dan beberapa mahasiswa lain dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII). Mereka mengatakan proses pembentukan UU TNI “tidak transparan dan tidak konsisten.”

Personel TNI di depan Gedung MK, Juni 2019 (Eko Siswono Toyudho/Anadolu Agency/Getty Images).

Sumber gambar, Eko Siswono Toyudho/Anadolu Agency/Getty Images

Keterangan gambar, Personel TNI di depan Gedung MK, Juni 2019.

Dari awal pembahasan hingga akhirnya disahkan, jelas mereka, “tidak ditemukan naskah risalah sidang pembahasan Revisi UU TNI di dalam website DPR RI.”

Dengan begitu, “tidak ada transparansi atau keterbukaan di tahap pembahasan Revisi UU TNI.”

“Kami melihat sejak awal proses revisi undang-undang ini sangat kacau dan kebut-kebutan,” tegas Arung.

“Tapi, yang kami sorot itu naskah akademiknya. Naskah akademiknya sangat tidak berkualitas.”

Per 26 Mei 2025, MK sudah menggelar sidang perbaikan permohonan untuk 10 perkara pengujian formil UU TNI.

Sedangkan enam perkara masih berada pada tahap sidah pemeriksaan pendahuluan kedua—kemungkinan minggu ini.

Baik Alif maupun Arung memandang proses gugatan, atau uji formil, ke MK merupakan jalan yang panjang dan memerlukan napas yang bertahan dengan ajeg.

Banyaknya gugatan serupa menggambarkan, ucap keduanya, produk hukum ini memang bermasalah.

“Dengan begini, banyak orang mau belajar dan mengawasi jalannya pemerintahan,” pungkas Arung.

Apa saja rentetan intimidasi seputar UU TNI?

Jejak intimidasi muncul secara cukup intens pada rentang Maret-April 2024, tepatnya saat sebelum dan sesudah Revisi UU TNI disahkan.

Tiga hari setelah Revisi UU TNI disetujui menjadi undang-undang, kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), lembaga advokasi HAM, disatroni dua kendaraan taktis yang disinyalir milik militer.

Kedua mobil sempat berhenti di depan kantor KontraS selama kurang dari lima menit.

Seorang tentara di dalamnya diketahui merekam kantor KontraS memakai ponsel.

Pihak TNI menolak dituduh mengarahkan personel untuk pengawasan atau memata-matai kantor KontraS.

Sebelumnya, kantor KontraS didatangi Orang Tak Dikenal (OTK) beberapa waktu usai penggerebekan rapat tertutup pembahasan Revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan—KontraS tergabung di dalamnya.

Salah satu pekerja KontraS turut mengalami teror digital yang, setelah ditelusuri nomornya, bermuara ke anggota intel Kodam Jaya.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, sadar betapa kritik maupun penolakan yang dikemukakan di tengah “penyempitan kebebasan sipil hari ini” memiliki risiko ancaman teror, baik fisik atau digital.

Meski begitu, ia masih tak habis pikir serangan terhadap sipil terjadi di “sebuah negara yang mengaku demokratis.”

“Idealnya, negara, melalui pemerintah, mampu menjaga ruang ekspresi warga sebagai bagian dari partisipasi publik dan cara warga mengawasi jalannya pemerintahan,” ucapnya kepada BBC News Indonesia, Senin (26/5).

demo revisi UU TNI

Sumber gambar, BAY ISMOYO/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Demonstrasi menolak revisi UU TNI beberapa waktu lalu

Pada waktu bersamaan, selain menyasar organisasi sipil, kampus turut menjadi saksi bagaimana kritik maupun penolakan atas revisi undang-undang dibalas dengan “kunjungan” para personel militer.

Di Purwokerto, Jawa Tengah, misalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dipanggil Kodim 0701 Banyumas sehari setelah mahasiswa melakukan protes tolak Revisi UU TNI, akhir Maret 2024.

Pihak BEM mengira tentara yang mendatangi kampus akan melakukan sosialisasi sehubungan revisi undang-undang. Ternyata tidak.

Pertemuan itu, pada akhirnya, menjadi ajang militer “meminta klarifikasi serta permintaan maaf atas aksi yang diselenggarakan mahasiswa dan masyarakat Banyumas.”

Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, mengatakan pertemuan tersebut ialah bentuk “pembinaan masyarakat” dan TNI tetap memegang prinsip “menghargai perbedaan pendapat.”

Masih di Jawa Tengah, intimidasi menimpa Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, April silam.

Waktu itu, mereka tengah mengadakan diskusi tentang militerisme di ranah akademik.

Acara berlangsung lancar hingga tiba forum mendapati satu orang tentara berada di luar kampus. Peserta diskusi merasa terintimidasi.

Baca juga:

Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) IV Diponegoro, Letkol Inf Andy Soelistyo, menegaskan TNI “tidak punya kepentingan di situ” dan keberadaan personel sebatas pengawasan rutin.

Peristiwa “kedatangan tentara” ini lantas tersebar luas di media sosial sekaligus menjadi pemberitaan media nasional berkat informasi yang diunggah oleh Justisia, lembaga pers mahasiswa UIN Walisongo.

Namun, tentara, sekali lagi, melakukan intimidasi terhadap sejumlah jurnalis mahasiswa yang memberitakannya.

Sejumlah aktivis pers mahasiswa UIN mengaku memperoleh “teror” dari tentara lewat panggilan telepon maupun chat di aplikasi percakapan.

Mereka diminta menurunkan konten dan menghapus segala berita ihwal kedatangan TNI di acara diskusi.

Demonstrasi menolak revisi UU TNI

Sumber gambar, Aman Rochman/NurPhoto via Getty Images

Keterangan gambar, Demonstrasi menolak revisi UU TNI

Salah satu mahasiswa bahkan mendengar tentara yang menghubunginya mengeluarkan ucapan “ancaman gugatan” memakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)—yang biasa dipakai membungkam kebebasan berpendapat.

Kapendam IV Diponegoro, Andy Soelistyo, membantah adanya instruksi untuk “menurunkan” berita. Ia menambahkan TNI menghormati “kebebasan bersuara dan berpendapat.”

Tak berselang lama dari insiden di UIN Walisongo, pemandangan serupa keluar di Universitas Indonesia (UI).

Aparat TNI mendatangi acara konsolidasi internal mahasiswa. Kedatangan tentara sempat diprotes mahasiswa di gelaran tersebut.

Baca juga:

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Markas Besar TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, membantah kalau tentara melakukan intervensi terhadap kegiatan mahasiswa yang sedang berlangsung.

Ia menegaskan keberadaan tentara di UI, saat itu, atas ajakan pribadi “seorang mahasiswa berinisial F” yang “sudah dikenal dekat” dengan personel bersangkutan.

Tentara yang datang ialah Komandan Distrik Militer Depok, Letkol Inf Imam Widhiarto.

Klaim TNI dibantah Direktur Hubungan Masyarakat UI, Arie Afriansyah, yang mengungkapkan tidak ada undangan untuk pihak luar serta mahasiswa berinisial F tidak mengajak tentara datang ke kampus.

Ratusan orang jadi korban kekerasan

Wajah intimidasi tak hanya dilakukan secara subtil, melainkan pula mendapati bentuknya dengan paling kasar ketika sipil dan militer bertemu di ruang-ruang demonstrasi massa.

Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut 191 orang menjadi korban kekerasan maupun penangkapan oleh aparat TNI-Polri pada 20-27 Maret 2025, tatkala protes penolakan Revisi UU TNI menggema di berbagai wilayah di Indonesia.

Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute yang banyak fokus mengkaji peran militer di Indonesia, Made Supriatma, mengatakan fenomena intimidasi dan kekerasan tentara berangkat dari perspektif “mereka lebih superior dari orang-orang sipil” lantaran “mereka pegang senjata.”

Tentara kian mendapatkan justifikasi manakala masyarakat sipil yang memprotes, katakanlah, Revisi UU TNI merupakan ancaman bagi “ketertiban umum,” dan sudah kewajiban tentara untuk “melindungi negara,” jelas Made kepada BBC News Indonesia.

“Justifikasi untuk melindungi negara itu apa? Karet sekali,” katanya

“Jadi, semua celah, legal loophole, itu mereka pakai semua, dan ditafsirkan seluas-luasnya.”

Demonstrasi menolak Revisi UU TNI (Ryan Suherlan/NurPhoto via Getty Images).

Sumber gambar, Ryan Suherlan/NurPhoto via Getty Images

Keterangan gambar, Demonstrasi menolak Revisi UU TNI.

Akar dari intimidasi aparat ini dapat dilacak dari era Orde Baru, mengutip makalah berjudul “Indonesian National Security During the Suharto New Order: The Role of Narratives of Peoplehood and the Construction of Danger” (2012) yang ditulis Lena Tan.

Kata riset itu, rezim militer Orde Baru membangun narasi sebagai “penyelamat bangsa, pemulih ketertiban dan kebenaran, serta penjaga Pancasila.”

Di tatanan realita, Orde Baru menerjemahkan berbagai gagasan tersebut dengan kontrol atas segala aspek kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, struktur politik yang dibangun Orde Baru lebih banyak menyentuh stabilitas, kontrol terpusat, sampai pembangunan yang berdimensi tunggal.

Ketika suara perlawanan, penolakan, atau ketidaksukaan terhadap apa yang dilakukan negara—Orde Baru—dikemukakan, maka yang terjadi berikutnya ialah penyingkiran.

Bagi Orde Baru, aspirasi individu atau kelompok yang dipinggirkan tidak lebih esensial ketimbang kepentingan negara.

Peran militer, tulis Lena, lalu memastikan nilai ideologi yang dibentuk Orde Baru bertahan—sekaligus teresapi—di kehidupan masyarakat.

Mereka menyebarkan narasi bahaya yang akan muncul andaikata, seperti contoh, masyarakat tidak mematuhi aturan negara.

Mereka menanamkan propaganda “ancaman internal” yang jika dibiarkan bakal merusak “kesatuan dan persatuan bangsa”—sebagaimana terjadi pada Madiun 1948 atau kudeta 1965.

Militer, pendek kata, tidak ingin dua hal sekaligus terjadi: masyarakat mempertanyakan kebijakan negara serta mengusik hegemoni tentara.

Dua dekade usai Soeharto tumbang pada 1998, partisipasi jauh militer—di luar barak—ternyata tidak benar-benar dapat dikikis dan kini seolah memperoleh kembali momentum untuk unjuk kekuatan maupun pengaruh.

Made Supriatma mengatakan “dwifungsi TNI sudah hadir secara gamblang di kehidupan nyata,” merujuk pada kebijakan ketahanan pangan, intimidasi di kampus-kampus, hingga pengisian di jabatan sipil—termasuk kasus terbaru saat tentara dipilih sebagai orang nomor satu di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Tinggalkan Balasan