Dokter di Garut jadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual, korban diperkirakan lebih dari satu orang – ‘Saya merasa risih, USG berlangsung lama’

Sumber gambar, Hakim Ghani/detikJabar
Korban dugaan kekerasan seksual oleh seorang dokter kandungan berinisial MSF di Garut, Jawa Barat, diduga lebih dari satu orang. Seorang korban telah melaporkan tindakan cabul MSF kepada polisi.
Dalam satu laporan yang ditindaklanjuti polisi, korban dengan inisial AED yang berusia 24 tahun mengeklaim MSF melakukan kekerasan seksual terhadap dirinya.
“Tersangka secara paksa meraba-raba bagian tertentu korban, dan bagian tertentu lainnya di dalam baju, sehingga korban melakukan perlawanan,” kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan dalam jumpa pers, Kamis (17/04).
Hasil penyelidikan kepolisian menyebutkan dugaan perbuatan cabul itu dilakukan di rumah MSF.
Korban AED memberanikan diri melaporkan tindakan cabul MSF ke Polres Garut setelah beredar video di media sosial yang memperlihatkan saat tersangka memeriksa pasiennya di klinik.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Polres Garut telah menetapkan MSF sebagai tersangka kekerasan seksual dalam kasus tersebut pada Kamis (17/04).

Sumber gambar, Tangkapan video/CCTV Klinik Karya Harsa
Secara terpisah, Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengakui tindakan MSF telah mencederai nilai-nilai profesi kedokteran.
Tindakan asusila itu juga disebut telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis dan pelayanan kesehatan.
Terungkapnya kasus asusila ini juga memunculkan lagi pertanyaan seputar etika dan standar operasional dokter terhadap pasien di ruang pemeriksaan.
Kasus ini menyedot perhatian publik setelah beredar video di media sosial yang memperlihatkan perilaku MSF saat memeriksa kondisi kandungan pasiennya.
Dalam video tersebut, MSF menggerakkan alat ultrasonografi (USG) di bagian perut pasiennya dengan tangan kanan.
Tangan kiri dokter tersebut kemudian terlihat ikut memegang bagian atas perut pasien dan diduga menyentuh payudara pasien.

Sumber gambar, Detik.com
Setelah memunculkan kemarahan publik, Kepolisian Garut kemudian menangkap dan menahan MSF.
Ketika polisi masih melakukan penyelidikan kasus ini, muncul kesaksian orang-orang yang menyebut dirinya sebagai korban pelecehan seksual oleh dokter kandungan itu.
Dugaan pelecehan seksual ini terungkap ke publik tidak lama setelah masyarakat dikejutkan dugaan perkosaan oleh seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi, berinisial PAP, di Bandung, Jawa Barat.
Peringatan: Artikel ini memuat deskripsi dugaan pelecehan seksual yang mungkin membuat Anda tidak nyaman.
Kesaksian korban pelecehan seksual: ‘Saya merasa aneh dan risih’
Sejumlah perempuan yang mengaku menjadi korban kekerasan seksual MSF mulai berani bersuara.
Walaupun sebagian mereka belum melaporkannya kepada kepolisian, tetapi di antara mereka sudah mengungkapkan tindakan cabul MSF di media sosial.
Salah seorang di antaranya adalah perempuan berusia 28 tahun.
BBC News Indonesia memutuskan tidak menyebut identitas perempuan itu demi melindungi privasinya.
AK, begitu inisialnya, pernah memeriksakan kandungannya kepada dokter MSF.
AK memeriksakan kandungannya di Klinik Karya Harsa di Kota Garut, Jawa Barat, 10 Juni 2024.
Dia ditangani oleh dokter kandungan berinisial MSF.
“Waktu itu rencananya mau USG (ultrasonografi) untuk mengecek kandungan,” kata AK kepada BBC News Indonesia, Rabu (16/04).

Sumber gambar, Getty Images/iStock
Dalam kondisi hamil, AK mengaku saat itu mengalami keluhan-keluhan, termasuk di payudara kirinya.
Dia kemudian diminta berbaring di tempat tidur pasien. Sang dokter lalu menempelkan alat USG di bagian perutnya.
AK teringat bahwa tindakan medis itu berlangsung lama. “Tidak seperti biasanya saat saya diperiksa dokter yang lain,” akunya.
Alasan MSF, posisi bayinya tengkurap sehingga tidak terlihat di layar USG. “Sehingga [butuh] agak lama,” kata AK menyitir perkataan MSF.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Setelah selesai USG di perutnya, terduga pelaku berkata kepada AK, “mana payudaranya saya USG juga”.
“Di situ saya [merasa] agak aneh, dan [saya] nanya ‘gimana maksudnya, dok?'”
Dalam ingatannya, sang dokter lalu berkata: “Siapa tahu ada benjolan…”
AK kemudian mengikuti keinginan MSF. Selain tidak memahami masalahnya, dia semula percaya kepada terduga pelaku.
“Sebenarnya waktu mengeluhkan itu, tidak berpikir juga [bakal] diUSG payudara saya. Saya cuma mengeluhkan saja, siapa tahu ada resep dokter untuk peredah nyeri,” tambahnya.
Sang dokter lalu menggunakan alat USG untuk memeriksa payudara kirinya. Hasilnya, “aman tidak ada benjolan.”
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Namun yang membuat AK merasa “aneh” dan “risih”, lama kelamaan MSF menaruh pelumas (gel) untuk USG di payudaranya secara berkali-kali.
“Saya pernah ke dokter spesialis bedah, pernah diperiksa payudara, dan caranya tidak seperti itu,” katanya kepada BBC News Indonesia, melalui saluran telepon.
Tidak sampai di situ, sang terduga pelaku kemudian meminta agar payudara sebelah kanannya juga diperiksa.
“Dan dia melakukan hal yang sama, berulang.”
Proses ini, seingatnya, berlangsung antara 30 sampai 45 menit.
Saat dokter itu melakukan USG, suami AK berada tidak jauh darinya. Seperti dirinya, suaminya tidak menaruh kecurigaan.
Di tempat yang sama, ada pula asisten bidan atau perawat. Seingatnya, sang perawat sesekali melihat apa yang dilakukan MSF.
“Cuma si dokter itu, saat USG, menyuruh perawat membuat catatan kehamilan. Sehingga perawat tidak bisa apa-apa. Dia tidak terfokus ke pasien. Si perawat tidak stand by di samping saya,” jelasnya.
‘Pelecehan seksual secara verbal via WhatsApp’
Usai USG, MSF meminta foto dengan dia dan suaminya. Lalu dia meminta nomor WhatsApp miliknya.
“Buat kirim foto dan USG,” ungkap AK.
Melalui WhatsApp itulah, menurut AK, MSF melakukan apa yang disebutnya sebagai “pelecehan seksual secara verbal”.
MSF kemudian beberapa kali mengontaknya lewat saluran komunikasi itu. Si dokter juga menawarkan USG gratis.
“Tapi saya tidak mau kembali [diperiksa] ke situ.”
Tidak lama setelah dia dilecehkan secara seksual oleh MSF, AK mengaku sempat terpikir untuk mempersoalkannya ke publik melalui media sosial.
Namun AK mengaku “takut” terhadap sikap publik dalam melihat apa yang dialaminya. Dia lalu membatalkan niatnya tersebut.

Sumber gambar, Getty Images/iStock
Barulah setelah video yang memperlihatkan tindakan MSF terhadap pasien lainnya menjadi viral, AK memberanikan diri untuk mengungkap apa yang dialaminya.
Melalui akun Instagramnya, AK mengungkap perilaku sang dokter kandungan itu. Dukungan pun mengalir kepadanya.
“Sekarang yang saya harapkan [tindakan terduga pelaku] ketahuan, banyak korban lain yang speak up, muncul,” kata AK.
Dia lalu berharap agar otoritas terkait menyelidiki kasus ini dan mencabut izin prakteknya.
“Kalau dia terus beroperasi, itu bahaya soalnya,” ujarnya.
Tidak lama setelah kejadian, AK mengaku “selalu teringat” dan “terbayang-bayang”.
“Dan kalau ingat, kesal dan sakit hati,” katanya.
AK berharap agar penegak hukum memberikan sanksi setimpal atas tindakan MSF terhadap dia dan pasien lainnya.
“Karena banyak korban yang dia buat trauma, ya [MSF harus] dihukum seberat-beratnya,” tandas AK.
Baca juga:
- Tujuh pemuda diduga memerkosa remaja perempuan di lokasi tanah milik Polres Belu, NTT – Mengapa bisa terjadi di lingkungan yang seharusnya aman?
- Sejumlah remaja dituduh memperkosa siswi SMA di Jawa Tengah, polisi dituding lamban
- Fakta-fakta baru kasus eks Kapolres Ngada diduga cabuli tiga anak dan unggah video di situs porno Australia, polisi tetapkan satu tersangka baru
Mengapa korban dugaan pelecehan seksual di klinik belum mau melapor?
Pekan lalu, video rekaman kamera tersembunyi (CCTV) dugaan pelecehan seksual oleh dokter berinisial MSF beredar di media sosial dan grup WhatsApp.
Tayangan video itu memperlihatkan ketika dokter pria tersebut tengah memeriksa seorang pasien dengan metode ultrasonografi (USG).
Dalam video itu terduga menggerakkan alat ultrasonografi (USG) di bagian perut pasiennya dengan tangan kanan.
Tangan kiri dokter tersebut kemudian terlihat ikut memegang bagian atas perut pasien dan diduga menyentuh payudara pasien.
Kontan saja, video ini kemudian menjadi viral di media sosial.
Selain melahirkan gelombang kemarahan, sebagian pengguna media sosial kemudian membuat pengakuan bahwa mereka pernah menjadi korban tindakan cabul dokter tersebut.

Sumber gambar, Getty Images/iStock
Dalam hitungan hari, akhirnya terungkap di mana dokter itu diduga melakukan tindakan cabulnya.
Beberapa media melaporkan MSF membuka praktek di Klinik Karsa Harsa di kawasan Pengkolan, Garut, Jawa Barat.
Dewi Sri Fitriani, Wakil Direktur Klinik Karsa Harsa, membenarkan bahwa dokter MSF pernah bekerja di kliniknya.
Menurutnya, dokter itu menjalankan praktiknya di klinik itu sejak 2023. Tapi semenjak awal 2025, MSF sudah jarang melayani pasien.
“Dokternya sudah mengundurkan diri,” aku Dewi kepada wartawan.
Dewi mengaku pengelola klinik sempat mendapat keluhan dari sejumlah pasien atas dugaan perbuatan cabul sang dokter.
“Sempat ada keluhan dari pasien,” ungkapnya.
Bagaimanapun, pengelola klinik mengaku dirugikan atas tindakan cabul MSF.
“Tidak hanya mencoreng nama baik klinik, tapi juga mencoreng nama baik dokter, kata Dewi.
Pihaknya saat ini bekerja sama dengan kepolisian.
Hasil penyelidikan sementara polisi atas video CCTV di klinik tersebut menyebutkan dugaan pelecehan seksual itu berlangsung pada 20 Juni 2024 lalu.
Sampai Kamis (17/04), kepolisian setempat belum menerima laporan pengaduan dari korban seperti yang terlihat dalam video yang viral tersebut.
Polres Garut mengatakan pihaknya sudah berkomunikasi dengan korban.
“Kami sedang mendalami korban yang ada di video. Identitasnya sudah kami kantongi,” kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan dalam jumpa pers di Garut.
Namun korban mengaku “masih berkonsultasi dengan suami dan keluarganya.”
Reaksi Kementerian Kesehatan dan IDI: ‘Kasus ini telah mencederai nilai-nilai profesi kedokteran’
Dalam rilis tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Rabu (16/04) sore, Kementerian Kesehatan mengakui tindakan cabul dokter MSF di Garut “mencederai nilai-nilai luhur profesi kedokteran”.
“Dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis dan pelayanan kesehatan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, dalam keterangan tertulis.
Secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto juga mengakui kasus ini “sangat mencederai” dunia kedokteran.
“Itu sangat mencederai,” kata Slamet saat dihubungi BBC News Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu (16/04).
Apabila dokter MSF terbukti melakukan tindakan kriminal asusila, menurut Slamet, maka itu “melanggar etika kedokteran”
“Dan itu tidak bisa dimaafkan,” tegas Slamet Budiarto.
Kemenkes menegaskan bahwa perlindungan terhadap pasien adalah hal yang utama dan tidak bisa ditawar.
Karena itu, menurut Aji Muhawarman, Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) saat ini tengah melakukan pemeriksaan menyeluruh atas kasus ini.
“Kemenkes sudah mengirimkan surat ke KKI untuk meminta pencabutan STR [Surat Tanda Registrasi] yang otomatis akan menggugurkan SIP [Surat Izin Praktik] oknum dokter tersebut,” ujar Aji.

Sumber gambar, Hakim Ghani/detikJabar
Apabila hasil investigasi ditemukan pelanggaran etik dan disiplin profesi, KKI akan memberikan sanksi tegas berupa pencabutan sementara Surat Tanda Registrasi (STR) tenaga medis yang bersangkutan.
Kementerian Kesehatan juga akan merekomendasikan kepada dinas kesehatan setempat untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) pelaku, tambahnya.
“Kami memastikan, KKI bersama seluruh pemangku kepentingan akan terus memantau perkembangan kasus ini, dan memastikan penyelesaiannya berjalan transparan dan berkeadilan,” tegas Aji.
Dia juga berjanji bahwa Kementerian Kesehatan berkomitmen penuh untuk menjaga integritas dan profesionalisme tenaga medis dan tenaga kesehatan demi perlindungan dan keselamatan pasien di seluruh Indonesia.
Walaupun Slamet Budiarto mengakui kasus MSF ini “sangat menciderai” dunia kedokteran, menurutnya, masih banyak “dokter baik” di Indonesia.
“Bapak harus ingat anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebanyak 207 ribu lebih, mulai Sabang sampai Merauke, mulai daerah sangat terpencil sampai di perkotaan, yang mereka adalah dokter-dokter baik,” kata Slamet.
Dia lalu menyitir sebuah survei yang menyebut bahwa profesi dokter mendapat kepercayaan masyarakat.
“Artinya saya optimis masyarakat tetap percaya kepada dokter, hanya saja kasus seperti ini mencederai kami, membuat prihatin kami,” ujarnya.
Seperti apa SOP pemeriksaan USG di ruangan pemeriksaan pasien?
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto mengatakan, ada standard operating procedure (SOP) atau prosedur operasional standar di ruang pemeriksaan pasien di setiap fasilitas kesehatan.
Ini juga berlaku untuk pemeriksaan ultrasonografi (USG) kehamilan.
“Manakala perut yang diperiksa, maka perut yang diperiksa. Bukan organ lainnya,” kata Slamet Budiarto kepada BBC News Indonesia, Rabu (16/04).
Apabila pasien datang sendirian, harus ditemani tenaga kesehatan yang ada di fasilitas kesehatan tersebut, katanya.
Dan, “kalau dia bersama keluarganya, maka dia ditemani oleh keluarganya.”

Sumber gambar, Getty Images/iStock
Sang dokter juga harus meminta izin kepada pasien sebelum memeriksa bagian tubuh yang dianggap sakit atau bermasalah.
“Kalau pasien setuju, tidak ada masalah. Kalau [pasien] tidak setuju, tidak boleh dilakukan.”
Pada tindakan medis yang besar, maka perlu persetujuan tertulis dari pasien atau keluarganya.
“Kalau USG, hanya perlu persetujuan lisan [dari pasien],” kata Slamet.
Persetujuan dari pasien ini juga berlaku untuk kehadiran keluarga dan perawat di ruangan pemeriksaan.
“Pasien juga boleh menolak kehadiran saudara atau perawatnya. Itu terserah pasien dengan segala konsekuensinya,” kata Slamet.
Ditanya apakah tindakan USG untuk kehamilan, memerlukan pemeriksaan pada payudara pasien, Slamet menjawab:
“Semua tergantung pasiennya. Pasien mengeluhnya apa.”

Sumber gambar, Getty Images/iStock
“Kalau kehamilan, diperiksa kehamilannya. Kalau ada tumor di payudara, diperiksa payudaranya,” tambahnya.
“Tapi semua itu membutuhkan izin dari pasien.”
Tentang kehadiran kamera pengawas (CCTV) di ruangan pemeriksaan, Slamet juga menegaskan hal itu harus izin pasien juga melanggar etika.
“Misalnya bapak punya klinik untuk mengawasi dokter yang praktek, lalu bikin CCTV. Itu tidak boleh tanpa izin pasien karena membuka aurat dll”.
Dokter juga harus mengetahui kehadiran kamera pengawas di ruangan pemeriksaan.
“Tapi Kalau dokter menolak, tapi pasien menerima, [kehadiran CCTV] diperbolehkan,” kata Slamet.
‘Dokter berkuasa penuh, pasien tidak berdaya’ – Bagaimana jalan keluarnya?
Ketua umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dedi Supratman, menganggap kasus kekerasan seksual oleh seorang dokter di Garut, Jabar, terhadap pasiennya, tidak terlepas dari apa yang disebutnya sebagai “asimetri informasi”.
“Ini kan terjadi karena asimetri informasi, di mana seorang dokter punya kuasa penuh, dia mau ngapain saja, bebas kan. Sedang pasien merasa tidak berdaya,” kata Dedi Supratman kepada BBC News Indonesia, Rabu (16/04) malam.
Asimetri informasi adalah kondisi ketika salah satu pihak dalam transaksi memiliki lebih banyak informasi daripada pihak lain.
Situasi ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengambilan keputusan dan dapat dimanfaatkan oleh pihak yang lebih berpengetahuan.
Di sinilah, Dedi kemudian meminta agar masyarakat atau pasien memahami apa pun terkait prosedur medis.

Sumber gambar, Getty Images/iStock
“Misalnya, saat dia datang ke klinik untuk ketemu dokter, tanya dulu ‘Dok, ini mau tindakan apa yang dilakukan?'”
Dengan memahami SOP dan etika di ruangan pemeriksaan, pasien dapat mengetahui hak-haknya, termasuk kapan dan bagaimana dia harus melaporkan jika ditemukan keanehan-keanehan.
“Yang selama ini kan [masyarakat] susah mau melaporkan ke mana, dan apalagi kalau buktinya tidak ada,” katanya.
Bagi Dedi, edukasi seperti ini sangat penting bagi pasien dan keluarganya.
“Cari informasi, bisa googling, dan terus bertanya dulu bagaimana prosedur medis ke dokternya yang mau dilakukan. Itu hak pasien,” ujarnya.
“Sehingga kalau ada tindakan tidak wajar, misalnya saat USG kehamilan, dokter memegang payudara, itu jelas asusila, dan harus dilaporkan,” jelasnya.
Tentu saja, Kementerian Kesehatan harus menyediakan akses “simpul-simpul informasi” kepada masyarakat untuk melaporkan apabila mereka dirugikan oleh dunia medis.
“Jangan sampai masyarakat curhatnya di media sosial. Jangan-jangan kalau tidak viral, tidak diurus [kasusnya],” cetus Dedi.

Sumber gambar, Getty Images/iStock
Dedi juga tidak yakin apabila laporan masyarakat itu sebatas sampai di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit atau klinik.
“Bayangkan saja, pasien melaporkan masalahnya hanya sampai di manajemen sebuah rumah sakit atau klinik. Apakah manajemen, mau buka enggak kasusnya? Enggak bakal! Karena bakal jelek nama rumah sakit atau kliniknya,” kata Dedi.
“Apalagi ini menyangkut teman sejawat, bakal ditutup-tutupi. Ini sering terjadi. Sehingga tidak pernah muncul ke permukaan,” katanya lagi.
“Kalau laporan cuma ke manajemen, mau sampai mati, tidak akan ditindaklanjuti.”
Dalam konteks inilah, media informasi harus diperkuat oleh Kementerian Kesehatan.
“Kita harap [media informasi itu] bisa diakses masyarakat, sehingga laporan itu tidak hanya berhenti ke fasilitas kesehatannya saja, tapi juga sampai ke dinas kesehatan maupun Kementerian Kesehatan dan stakeholder lainnya, di situ kan ada majelis kesehatan,” jelasnya.