Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?

Sumber gambar, Getty Images
Lebih dari 2.500 prajurit aktif TNI telah menduduki jabatan sipil di Indonesia. Jika UU TNI jadi direvisi, jumlah tersebut akan bertambah dan berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI era Orde Baru, kata pegiat demokrasi anggota Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Pemerintah dan DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pemerintah menargetkan revisi beleid tersebut bisa selesai sebelum masa reses DPR RI atau sebelum libur Lebaran tahun ini. Adapun DPR akan memasuki masa reses mulai Jumat, 21 Maret 2025.
Revisi itu antara lain akan mengatur penambahan usia dinas keprajuritan serta memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil,
Sejumlah organisasi hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkhawatirkan revisi tersebut akan mengacaukan tatanan demokrasi serta kembalinya militerisme dan Dwifungsi ABRI era Orde Baru yang menjadi trauma kolektif masyarakat Indonesia.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Tiga pokok penting dalam revisi UU TNI
Dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPR (13/03), Panglima TNI Agus Subiyanto berjanji menjaga keseimbangan peran tentara dan masyarakat secara profesional.
“Kami mempertahankan prinsip supremasi sipil dan profesionalisme militer dalam menjalankan tugas,” katanya sebagaimana dikutip Tempo.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Ada tiga pasal yang akan menjadi sorotan dalam revisi UU ini, seperti disampaikan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
Pasal 3 mengatur soal kedudukan TNI yang berada di bawah presiden dalam perkara pengerahan dan pengunaan kekuatan dan militer; dan di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dalam hal kebijakan dan strategi serta dukungan administrasi.
Pasal 47 Perluasan keterlibatan TNI dalam instansi sipil. Sebenarnya dalam Pasal 47 UU TNI, para prajurit TNI aktif bisa ditempatkan di 10 kementerian atau lembaga sipil. Namun, dalam draf revisi, instansi yang bisa mereka rambah bertambah lima, menjadi 15 institusi.
Lima lembaga sipil tambahan itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan Agung.
Pasal 53 terkait dengan perubahan batas usia pensiun. Sebagaimana dilaporkan Kompas.com, dalam draf revisi UU, usia pensiun perwira TNI paling tinggi 60 tahun. Sementara untuk bintara dan tamtama adalah 58 tahun.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Pada hakikatnya, itulah dwifungsi militer, kata Ardi Manto Adiputra, direktur Imparsial—LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan.
“Dwifungsi militer itu adalah perluasan penempatan militer aktif di jabatan-jabatan sipil,” sambungnya.
Baca juga:
Penempatan prajurit aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menurut Koalisi, jelas tidak tepat karena KKP adalah lembaga sipil.
Penempatan militer aktif dalam BNPT dan BNPB dengan alasan koordinasi yang lebih mudah juga kata Ardi tidak terlalu kuat.
“Solusinya bukan menempatkan militer aktif di sana. Belum tentu juga masalah koordinasi itu akan terselesaikan. Yang dibutuhkan itu adalah regulasi terkait dengan tata kelola hubungan kerja antar-lembaga.”

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Penempatan militer aktif di Kejaksaan, menurut Ardi, tidak tepat karena fungsi TNI adalah sebagai alat pertahanan negara. Adapun Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum.
Pelibatan militer aktif dalam sistem peradilan terpadu akan membuat kacau, kata Ardi
“Kalau nanti polisi tiba-tiba minta: ‘Kami juga mau dong di Kejaksaan Agung, di Mahkamah Agung, karena [dengan alasan] bagian dari integrated criminal justice system’. Nah ini kan bahaya,” paparnya.
Alih-alih diperluas, Koalisi justru mengusulkan agar jabatan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif justru dikurangi.
Dalam UU TNI saat ini, anggota TNI aktif dapat menduduki posisi di 10 kementerian dan lembaga meliputi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Pertahanan Negara, Sekretariat Militer Presiden, Intelijen Negara, hingga Sandi Negara.
Selain itu, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Bagaimana jika usia pensiun prajurit TNI diperpanjang?
Pemerintah ingin usia pensiun prajurit TNI diperpanjang dalam revisi Pasal 53 UU TNI.
Mungkin niatnya baik, kata Ardi. Namun, menurutnya, tindakan ini akan mengandung konsekuensi yang tidak kecil.
“Yang pertama adalah konsekuensi terjadinya bottleneck kepangkatan atau sistem prajurit TNI.”
Menurut dia, TNI tidak siap menghadapi tantangan ini. “Ini terlihat dari banyaknya perwira militer TNI yang non-job atau tanpa jabatan karena jabatan di militer juga sangat terbatas.”

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Konsekuensi yang paling besar juga menurutnya adalah soal pembiayaan.
“Menurut hitungan kasar kami, setidaknya per tahun diperlukan tambahan budget sekitar Rp120 miliar untuk [perwira yang] memperpanjang usia [pensiun] dari 58 ke 60,” kata Ardi.
Jumlah ini katanya hanya untuk gaji pokok, belum termasuk aneka tunjangan dan dukungan untuk yang lainnya.
“Nah jadi kapan kita mau modernisasi alutsistanya kalau kayak begitu? Masa uang budget pertahanan itu habis untuk pengeluaran pengeluaran rutin?”
Baca juga:
Ardi menyebut saat ini ada 2.569 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil, termasuk di 10 lembaga yang diizinkan dalam UU TNI.
“Kita mengutip data itu dari Babinkom TNI sendiri, yaitu sebesar 2.569 prajurit TNI pada tahun 2023.”
Data ini didapatkan ketika Imparsial hadir dalam seminar terbatas di Lemhanas.
“Imparsial pernah melakukan pendataan. Cuma [hasilnya] itu sekitar 1.000 [prajurit aktif]. Itu pun data tahun 2019 dan hanya 23 orang yang menduduki jabatan di luar 10 [lembaga] ini. Tapi kita setelah itu udah nggak pakai lagi,” ujarnya.
Jalur ‘ngebut’ revisi UU TNI
Pembahasan revisi UU TNI dilanjutkan di tahap panitia kerja alias Panja yang mulai bekerja pada Jumat (14/03).
Anggota Panja akan ngebut jika ingin menyelesaikan pembahasan revisi sebelum anggota DPR ke masing-masing daerah pemilihan pada 21 Maret.
“Kami tidak ingin bertele-tele,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono, seperti dikutip Kompas.com.
Ardi menduga revisi akan melenggang lancar tanpa perlawanan.
Dengan demikian, kata ARdi, sangat besar kemungkinan revisi ini akan diloloskan DPR.
Apa itu Dwifungsi TNI?
Konsep ‘Dwifungsi’ TNI dapat ditelusuri dan ditautkan dengan pidato Jenderal Abdul Haris Nasution pada 11 November 1958 di Akademi Militer Magelang.
Dalam pidato itu Nasution mengungkapkan konsep ‘Jalan Tengah’ yang membuka jalan bagi TNI untuk berperan dalam bidang sosial dan politik—selain fungsi pertahanan dan keamanan.

Sumber gambar, Getty Images
Pada 1960, Nasution mulai memperkenalkan istilah ini dan diterima secara luas setelah Seminar Angkatan Darat pada 1965, seperti yang ditulis Bilveer Singh dalam bukunya Dwifungsi ABRI: Asal usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan (1996).
Tapi sebenarnya gagasan ‘Dwifungsi’ militer sudah ada jauh sebelum pidato Nasution.
Baca juga:
Dalam buku The Army and Politics in Indonesia, Harold Crouch menyebutkan selama masa revolusi, rakyat memandang peran angkatan bersenjata penting, bahkan lebih penting dari peran kalangan politisi sipil, dalam mengejar tujuan bangsa yaitu kebebasan dan kemerdekaan.
Hal ini menyebabkan pimpinan militer merasa sudah ada sebelum republik dan berani mengeklaim bahwa mereka juga memiliki hak berpolitik dan peran sosial yang sama dengan kekuatan lain dalam masyarakat.
Meski begitu, ada perbedaan ‘Dwifungsi’ pada masa Revolusi dengan konsep ‘Jalan Tengah’ Nasution.
Pada masa revolusi kemerdekaan, orientasi dwifungsi militer lebih fokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan dan menjaga integritas negara-bangsa yang belum lama lahir.
Berbeda halnya dengan praktik dwifungsi setelah diperkenalkannya konsep ‘Jalan Tengah’ Nasution yang secara ideologis membuka jalan bagi militer untuk berpolitik, mencampuri keamanan dalam negeri dan kehidupan sipil lainnya, seperti dipaparkan Arry Bainus dalam buku berjudul Mengatur Tentara (2012)
Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?
Kepala Staf Angkatan Darat Maruli Simanjuntak mengatakan bahwa orang-orang yang terus mempersoalkan penempatan TNI dalam jabatan sipil justru memiliki agenda sendiri untuk menyerang institusinya.
Dia juga heran dengan munculnya anggapan bahwa penempatan TNI dalam jabatan sipil akan mengembalikan situasi seperti era Orde Baru.
“Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini, kampungan menurut saya,” cetusnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Meski demikian, Direktur LSM Imparsial, Ardi Manto Adiputra, berpendapat masyarakat umum punya trauma atas militerisme dan penerapan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.
Praktik Dwifungsi berdampak pada berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI yang mendominasi pemerintahan.
Pada puncaknya, di era 1990-an, anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.
“Selama Orde Baru, Korem, Kodim, Koramil, dan Babinsa telah terlibat dalam politik praktis untuk menggalang kekuatan-kekuatan dalam pemilu, pencalonan bupati, camat atau kepala desa,” kata almarhum Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah (1951-2001) seperti dikutip Salim Said dalam bukunya Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000 (2002).
Baca juga:
“Tragedi Tanjung Priok itu kan salah satu protes masyarakat sipil yang direspons dengan cara militer oleh pemerintah,” kata Ardi.
Tragedi pada 1984 ini menyebabkan 23 orang meninggal dan dipicu bentrok warga dengan aparat Babinsa.
Babinsa atau Bintara Pembina Desa adalah prajurit Angkatan Darat yang bertugas di tingkat desa atau kelurahan yang secara struktural ada di bawah Komando Rayon Militer (Koramil) dan menjadi bagian dari Komando Distrik Militer (Kodim).
Saat ini, militer dilibatkan dalam pengamanan objek strategis nasional atau proyek strategis nasional.
“Dalam praktiknya kebijakan dan pendekatan keamanan itu sudah melahirkan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Ardi.
“Kita bisa lihat di daerah Papua dan Sulawesi misalnya. Beberapa proyek strategis nasional itu diamankan oleh prajurit TNI atau militer aktif. Ini contoh yang terjadi di era Reformasi saja.”