KUBET – Bos Sritex diduga selewengkan kredit bank, bagaimana nasib ribuan pekerja Sritex yang di-PHK?

Bos Sritex diduga selewengkan kredit bank, bagaimana nasib ribuan pekerja Sritex yang di-PHK?

Sritex, PHK

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Keterangan gambar, Ribuan karyawan Sritex menghadiri acara perpisahan antar karyawan, Jumat, 28 Februari 2025 setelah resmi diberhentikan sebagai karyawan perusahaan itu.

  • Penulis, Faisal Irfani
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Mantan bos perusahaan tekstil Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian kredit bank. Di mana letak dugaan kesalahan Iwan dan pihak bank sehingga dianggap merugikan negara? Dan apakah kasus ini akan berimbas kepada pemberian pesangon kepada eks karyawan Sritex?

Selain menetapkan mantan Direktur Utama Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto, sebagai tersangka, sejumlah pimpinan bank daerah juga terseret.

Mereka adalah eks pimpinan Bank Pembangunan Daerah Jabar dan Banten (BJB) serta Bank DKI.

Iwan dan dua tersangka tersebut dianggap menyalahgunakan kredit yang tidak sesuai peruntukannya.

Tindakan ini masuk kategori pidana korupsi lantaran dua bank pemberi kredit tersebut adalah bank milik negara, kata Kejaksaan Agung (Kejagung).

Seorang analis mengatakan kasus korupsi pemberian kredit adalah pola yang terus terulang.

Ini terjadi karena “antara tujuan kredit maupun agunannya tidak berkaitan dengan pemanfaatan uang pinjaman.”

Faktor pendorongnya yakni bagian analis kredit dipaksa mengejar target penyaluran kredit tanpa dibarengi manajemen risiko yang baik sehingga mengakibatkan kredit macet.

Sebagian eks karyawan Sritex mengaku “kaget” dengan status tersangka terhadap bekas bosnya.

Mereka berharap kasus ini tidak berdampak pada janji pemberian pesangon.

Sritex, korupsi, Iwan Setiawan Lukminto, Kejagung

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

Keterangan gambar, Mantan Dirut PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan Setiawan Lukminto (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (21/05).

Bagaimana perjalanan kasus dugaan korupsi pimpinan PT Sritex dan pihak perbankan?

Kabar mengenai penyidikan dugaan kasus korupsi ini sudah terkonfirmasi sejak awal Mei lalu.

Kala itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengatakan penyidikan masih bersifat umum.

Dengan kata lain, tambahnya, penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) akan “melihat apakah ada perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau daerah.”

Pemeriksaan atas puluhan saksi lalu dilakukan, sampai akhirnya Jampidsus menemukan ada pelanggaran, berpedoman terhadap kejanggalan dalam laporan keuangan mereka.

Pada 2021, PT Sritex melaporkan kerugian senilai Rp15,66 triliun—setara US$1,08 miliar.

Setahun sebelumnya, 2020, laporan keuangan PT Sritex masih mencatatkan keuntungan di angka Rp1,24 triliun, atau US$85,32 juta.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar (kanan) didampingi Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar (kiri) menyampaikan keterangan pers terkait penetapan tersangka kasus perintangan terhadap penyidikan, penuntutan hingga pengadilan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (7/5/2025).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Keterangan gambar, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar (kanan) didampingi Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar (kiri).

Dari situ, penyidikan lalu bermuara kepada kepemilikan kredit PT Sritex beserta anak perusahaannya.

Nilai tagihan yang belum dilunasi (outstanding) sebesar Rp3,5 triliun per Oktober 2024, kata Kejagung.

Kredit itu diberikan oleh sejumlah bank negara maupun daerah, termasuk di dalamnya PT Bank BJB dan PT Bank DKI.

Dari kedua bank tersebut, PT Sritex mendapatkan kredit dengan total lebih dari Rp690 miliar.

Persoalannya, terang Jampidsus, proses pemberian kredit tidak dilakukan dengan benar.

Di mana aspek dugaan korupsi yang merugikan negara?

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan masalah kredit macet dalam perkara bos Sritex termasuk kasus korupsi sebab pemberi kreditnya adalah bank pemerintah.

“Bank pemberi kredit ini, kan, bank pemerintah. Yang menurut undang-undang keuangan negara, itu [dana dari bank daerah] bagian dari keuangan negara atau keuangan daerah,” ujar Harli, Kamis (22/05).

Selanjutnya, pemberian fasilitas kredit terhadap PT Sritex masuk kategori tindak pidana korupsi karena kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja justru dipakai untuk membayar utang.

sritex, karyawan, PHK, korupsi

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Keterangan gambar, Seorang buruh menunjukkan koas yang penuh tanda tangan rekan kerjanya saat keluar dari Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat, 28 Februari 2025.

Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dua tersangka sekaligus perwakilan dari bank pemberi kredit tidak melakukan analisa yang komprehensif.

Kredit tanpa jaminan, kata Jampidsus, disalurkan kepada debitor—atau perusahaan—yang memiliki peringkat A dari penilaian lembaga semacam Fitch, Moody’s, dan S&P.

Sementara penilaian yang diberikan kepada PT Sritex sendiri, mengutip setidaknya dua lembaga pemeringkat, Fitch dan Moody’s, adalah BB-, atau didefinisikan dengan mempunyai risiko gagal bayar lebih tinggi.

Pemberian kredit ini, terang Jampidsus, dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ketentuan standar operasional prosedur (SOP) bank, serta penerapan prinsip kehati-hatian.

Sritex, PHK, korupsi

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Keterangan gambar, Pabrik tekstil Sritex yang dinyatakan pailit dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang akan menghentikan seluruh operasionalnya pada 1 Maret 2025.

Tak hanya prosesnya yang dipandang bermasalah, penggunaan kredit dari dua bank itu oleh PT Sritex turut disorot.

Jampidsus mengatakan kredit dialokasikan Dirut PT Sritex 2005-2022, Iwan Lukminto, untuk membayar utang serta membeli aset nonproduktif—alih-alih sebagai modal kerja.

Ujung dari kredit tersebut ialah gagal dibayar.

Status kredit yang difasilitasi PT Bank BJB dan PT Bank DKI macet dengan status kolektibilitas 5—debitur menunggak pembayaran pokok dan/atau bunga lebih dari 180 hari.

Kedua bank ini tak bisa pula mengeksekusi aset PT Sritex lantaran nilai aset mereka lebih kecil sehingga tak cukup untuk menutup kerugian negara.

Mantan Dirut PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan Setiawan Lukminto (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (21/5/2025). Kejagung resmi menetapkan mantan Dirut Sritex Iwan Setiawan Lukminto, mantan Dirut Bank DKI Zainudin Mapa serta mantan pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian kredit kepada PT Sritex yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp692 miliar. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Keterangan gambar, Mantan Dirut PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan Setiawan Lukminto (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (21/05).

Dugaan kasus korupsi ini muncul di tengah-tengah kepailitan yang dialami PT Sritex.

PT Bank BJB dan PT Bank DKI hanyalah dua dari puluhan bank yang sudah memberikan kredit kepada PT Sritex, termasuk 20 entitas dari swasta.

Kejatuhan PT Sritex dimulai pada awal 2021 ketika mereka digugat salah satu kreditur (pemberi pinjaman) lantaran tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang, yang kemudian disusul langkah serupa dari kreditur lainnya. Tagihan utang PT Sritex, per September 2024, menyentuh Rp26 triliun.

Berbagai upaya, ternyata, tidak berhasil menyelamatkan PT Sritex dari tebing kebangkrutan.

Pada Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan PT Sritex pailit.

Lebih dari 10 ribu pegawai, merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan, terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK).

Apa tanggapan eks karyawan Sritex?

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Faizatun Farikah mulanya tak percaya mantan Dirut PT Sritex, Iwan Lukminto, melakukan korupsi.

“Ada yang membuat status di WhatsApp. Saya kira enggak beneran,” ucapnya saat ditemui wartawan Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (22/05).

“Setelah scroll TikTok, ternyata beneran [terlibat korupsi]. Saya enggak mengira.”

Faizatun diterima bekerja di PT Sritex pada 2019. Ia lalu ditempatkan di bagian garmen. Namun, pada akhir 2024, ia memperoleh berita buruk: PHK.

Pertama kali menerima informasi itu, Faizatun merasa “tak percaya” sebab “PT Sritex merupakan pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara.”

“Karena PHK itu sudah mau dekat ke Lebaran [Idulfitri]. Terus nanti [saya berpikir] enggak jadi dapat THR [Tunjangan Hari Raya] dan belum ancang-ancang—persiapan—juga,” imbuh perempuan 23 tahun ini.

Faizatun tidak sendirian. Mantan pegawai PT Sritex lain merasakan hal yang sama terkait dugaan korupsi yang membawa nama Iwan Lukminto.

“Saya kaget ketika mendengar kabar Pak Iwan dijemput sama penyidik terus dibawa ke Jakarta,” ujar Harmoko kepada BBC News Indonesia.

Harmoko, 42 tahun, pertama kali mengetahui berita tersebut dari pesan berantai di WhatsApp. Ia menegaskan tak tahu apa pun soal korupsi di PT Sritex.

Sama seperti Faizatun, Harmoko terdampak PHK akibat kebangkrutan yang dihadapi PT Sritex. Ia dan pegawai PT Sritex lainnya tak mengira “perusahaan sekelas PT Sritex bisa tumbang.”

“Kalau dengar-dengar masalah kepailitan itu setahu kami tidak sampai berujung PHK. Tapi, kenyataannya lain. Pada 27 Februari 2025, [aset perusahaan] dieksekusi semua,” ucapnya.

Penangkapan Iwan dan kasus korupsi yang mengiringinya tak terlampau menyita pikiran Faizatun dan Harmoko karena keduanya harus berjibaku dengan ketidakpastian nasib usai terdampak PHK.

Sejumlah hal, seperti pesangon dan THR, dijanjikan PT Sritex ketika memutus hubungan kerja dengan para pegawainya. Harmoko, yang bekerja sejak 2013, menyebut, “baru JHT [Jaminan Hari Tua] dari BPJS yang didapat.”

Mantan Dirut Bank DKI Zainudin Mapa (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (21/5/2025). Kejagung resmi menetapkan mantan Dirut PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan Setiawan Lukminto, mantan Dirut Bank DKI Zainudin Mapa serta mantan pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian kredit kepada PT Sritex yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp692 miliar. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Keterangan gambar, Mantan Dirut Bank DKI Zainudin Mapa (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (21/05).

“Kaitannya dengan pesangon, THR, waktu itu karyawan dikasih tahu kalau itu hak penuh dari kurator—pihak yang mengurus harta pailit. Istilahnya, dari perusahaan sudah lempar tangan atau bagaimana. Kalau sekelas kami, karyawan, tidak tahu [soal mekanisme itu],” tuturnya.

Senada dengan Harmoko, Faizatun menyatakan “pesangon dan THR belum dibayar.” Harapannya, kedua hal itu segera dipenuhi dan “tidak perlu lama-lama,” walaupun ia tetap realistis.

“Kalau berharap, masih berharap. Tapi, enggak berharap banget. Apalagi sekarang Pak Iwan [kena] kasus korupsi. Kalau ada, alhamdulillah. Kalau enggak, legowo,” katanya.

Selepas diputus hubungan kerjanya oleh PT Sritex, Faizatun belum lagi mencari kesempatan baru. Kebutuhan sehari-hari ditopang oleh suaminya yang mengumpulkan rezeki dari lahan parkir.

Sementara bagi Harmoko, hidup setelah PHK adalah bekerja serabutan di beberapa tempat konveksi dengan status tidak tetap alias sesuai keperluan.

Ia belum memutuskan apakah akan kembali melamar pekerjaan secara resmi mengingat usianya sudah kepala empat; usia yang menurutnya tidak lagi produktif dan sulit diterima perusahaan.

Harmoko menaruh angan agar hak-hak yang dijanjikan perusahaan tetap direalisasikan. Bagaimanapun, ia berujar, “itu adalah hak karyawan dan kewajiban perusahaan.”

“Tapi, yang saya sayangkan ini yang benar tanggung jawab siapa? Perusahaan atau kurator? Jadi, pemerintah harus hadir untuk melindungi kami,” tegasnya.

Mengapa kasus korupsi kredit perbankan selalu berulang?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa kasus korupsi pemberian kredit adalah pola yang terus terulang sebab “antara tujuan kredit maupun agunannya tidak berkaitan dengan pemanfaatan uang pinjaman.”

Pendorongnya, tambah Bhima, yaitu “bagian analis kredit yang dipaksa kejar target penyaluran kredit tanpa punya manajemen risiko yang baik.” Alhasil, “jadi fraud,” imbuhnya.

Dalam mekanisme penyaluran kredit, Bhima menyebutkan ada empat hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, kondisi keuangan perusahaan. Kedua, prospek pasar perusahaan dan daya saing.

Dan ketiga, kaitan antara proposal pinjaman dengan penggunaan kredit.

Sedangkan keempat, track record pengembalian pinjaman sebelumnya serta profesionalitas manajemen.

“Kalau syarat itu tidak dipenuhi tapi masih dilanjutkan, artinya fraud-nya sistematis dan ada keterlibatan orang dalam bank,” jelas Bhima ketika dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (22/5).

Dalam konteks korupsi kredit PT Sritex, Bhima menjelaskan, hal tersebut bukan faktor utama penyebab kebangkrutan.

Daya saing yang lemah serta buruknya tata kelola manajemen di lingkup internal adalah pemicu pailit, ujar Bhima.

“Korupsi atau penyalahgunaan kredit [di PT Sritex] baru terbongkar saat proses kepailitan,” imbuhnya.

Meski begitu, kasus yang dialami PT Sritex “harus diungkap tuntas,” ujar Bhima, “terutama dari sisi pengawasan kredit bank.”

“Bagaimana, mulanya, bank seolah membiarkan atau tutup mata tidak mau mendalami pemanfaatan dana usai kreditnya dicairkan ke debitur,” pungkasnya.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menjelaskan pihak Kejagung harus menelusuri lebih dalam apakah “pemberian kredit yang melanggar ketentuan ini dilakukan secara sengaja atau tidak.”

Tak lupa, “perlu juga dilihat apakah ada kolusi antara pemberi kredit dengan penerima kredit,” tambah Egi.

“Ini penting lantaran penerima kredit diduga menyalahgunakan dana kredit, dan tindak korupsi biasanya tidak hanya dilakukan oleh satu pihak saja,” terangnya menanggapi BBC News Indonesia, Jum’at (23/5).

Kasus-kasus korupsi kredit perbankan

Kasus korupsi kredit perbankan tidak sekali ini saja muncul.

Pada Februari 2025, Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang menahan analis kredit salah satu bank pemerintah dalam dugaan kasus korupsi kredit fiktif yang merugikan negara hingga Rp15,9 miliar.

Tersangka bekerja sama dengan orang lapangan yang mengumpulkan nama-nama nasabah untuk diajukan ke bank sebagai debitur. Besaran kredit bermacam-macam, dari Rp300 juta hingga Rp1 miliar.

Permasalahannya, saat pengajuan kredit, aset atau usaha yang ditunjukkan kepada pihak bank bukan milik debitur. Setelah pinjaman disetujui, angsuran yang dikoordinasikan para pelaku macet.

Masih soal kredit fiktif, kejadian sama ditemukan di Jepara, Jawa Tengah, dengan menyeret PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha pada periode 2022-2024.

Penyaluran kredit diberikan tidak ke pelaku usaha, melainkan dipakai untuk kepentingan pribadi pelaku serta komplotannya. Kerugian negara disebut mencapai Rp250 miliar.

Mantan pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (21/5/2025). Kejagung resmi menetapkan mantan Dirut Sritex Iwan Setiawan Lukminto, mantan Dirut Bank DKI Zainudin Mapa serta mantan pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian kredit kepada PT Sritex yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp692 miliar. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Keterangan gambar, Mantan pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (21/05).

Pada 2024 silam, korupsi kredit melibatkan petinggi bank BUMN cabang Bengkulu. Kerugian negara ditaksir senilai Rp4 miliar. Pemberian kredit dilakukan di atas dokumen perjanjian kerja sama dan identitas yang direkayasa.

Masih pada tahun yang sama, Kejaksaan Negeri (Kejari) Karanganyar menemukan adanya dugaan korupsi dan kredit macet di Bank Karanganyar, merugikan negara sebesar Rp7,4 miliar.

Dugaan korupsi ini terjadi setelah dana penyertaan modal yang didistribusikan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karanganyar ke Bank Karanganyar dipakai tidak sesuai peruntukan.

Di Semarang, 2024 pula, empat orang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi kredit di Bank Mandiri cabang setempat. Kerugian negara menyentuh Rp112 miliar. Para pelaku disebut melakukan proses pengajuan sekaligus pencairan kredit yang tidak sesuai prosedur internal perbankan maupun peraturan pemerintah, seperti memalsukan akta.

Tiga tahun sebelumnya, 2021, Bareskrim Mabes Polri menemukan dugaan kasus korupsi pengelolaan kredit di Bank Jawa Tengah (Bank Jateng) cabang Blora dan Jakarta. Estimasi kerugian negara berada di angka Rp597,7 miliar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak ketinggalan menemukan kondisi sejenis, kali ini di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Berdasarkan pemantauan atas sejumlah BPD, KPK menilai ada potensi masalah berujung fraud dalam pemberian kredit.

Pada rentang 2013-2023, sebut KPK, penyaluran kredit senilai Rp451,19 miliar diselimuti masalah berupa debitur fiktif, rekayasa dokumen, sampai penggunaan kredit yang tidak sesuai permohonan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39, mengelompokkan tindakan melawan hukum dalam pemberian kredit ke 12 kategori: debitur fiktif, debitur topengan (dana kredit digunakan pihak lain), rekayasa informasi, ketidaksesuaian pencatatan angsuran kredit, hingga ketidaksesuaian penggunaan kredit.

Baik kreditur maupun debitur, tegas OJK, sama-sama berpeluang melakukan perbuatan melawan hukum.

Data mencatat rasio kredit bermasalah (non performing loan) di Indonesia bervariasi. Rekor tertinggi ada pada rentang 2006-2007 dengan 8,4%, terendah ada di 2013-2014 di titik 1,8%. Per Maret 2025, merujuk laporan OJK, rasio NPL dinilai masih terjaga di 2,22%.

Wartawan di Solo, Fajar Sodiq, berkontribusi dalam liputan ini.

Tinggalkan Balasan