KUBET – Mafia Berkeley, Ali Moertopo, hingga Opsus – Tiga hal yang perlu diketahui tentang Orde Baru dan sepak terjangnya

Mafia Berkeley, Ali Moertopo, hingga Opsus – Tiga hal yang perlu diketahui tentang Orde Baru dan sepak terjangnya

Soeharto, orde baru, mafia berkeley, opsus, sukarno

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann

Keterangan gambar, Kabinet Ampera, yang dibentuk pada 25 Juli 1966, merupakan kabinet yang dibentuk Presiden Soekarno namun dijalankan oleh Soeharto. Terlihat di foto ini (kiri) Ketua Presidium Kabinet Ampera/Pejabat Presiden, Jenderal Soeharto, Presiden Sukarno, Menteri Ekonomi dan Keuangan Sri Sultan Hamengkubowono IX, serta Menteri Urusan Politik Adam Malik.

  • Penulis, Heyder Affan
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Kekuasaan Orde Baru, yang runtuh 27 tahun silam, dibangun di atas dua doktrin: pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Pilihan ini membawa konsekuensi-konsekuensi yang dampaknya tidak benar-benar terhapus setelah Soeharto lengser. BBC News melihat ulang bagaimana Orde Baru mulai menjalankan doktrinnya.

Kelahiran Orde Baru yang dramatis pada 1966 menandai dimulainya pergeseran orientasi yang sangat luar biasa di berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik.

Dibangun di atas kondisi ekonomi yang kacau peninggalan Soekarno, rezim baru ini sangat fokus pada pertumbuhan ekonomi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Soeharto dan para teknokrat pendukungnya kemudian beralih ke Barat—sebuah langkah yang sebelumnya dianggap najis oleh Soekarno.

Demi pembangunan ekonomi itu pula, rezim baru dengan percaya diri menyertakan doktrin kedua: stabilitas politik atau keamanan.

Dalam lima tahun kekuasaannya, mereka mengembangkan kebijakan yang bertujuan mengurangi gejolak politik.

Orde Baru, Soeharto, MPRS

Sumber gambar, AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Pada 28 Maret 1968, Soeharto, yang sudah menjabat sebagai Pejabat Presiden sejak 12 Maret 1967, secara resmi dilantik oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sebagai Presiden.

Kemudian, ditempuhlah kebijakan depolitisasi, mulai dari partai-partai politik hingga kampus.

Apa yang terjadi menjelang dan saat Pemilu 1971 adalah buktinya, tatkala rezim otoriter birokratik menempuh segala cara demi tujuannya.

Seperti apa kebijakan ekonomi Orde Baru yang jelas-jelas bertolak belakang dengan yang ditempuh Soekarno?

Mengapa rezim Soeharto menganggap kelompok Islam politik dan sisa-sisa pendukung Soekarno harus ‘digarap’ sehingga tidak mempunyai taji lagi?

Sebagai penutup, kami mewawancarai seorang generasi ketiga keluarga tahanan politik (tapol) 1965 yang menulis buku semacam kamus Orde Baru.

Inilah liputannya.

Kebijakan ekonomi Orde Baru dan istilah ‘mafia Berkeley’

Kelahiran Orde Baru memunculkan doktrin baru bernama pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.

Langkah ini diambil lantaran rezim Orde Baru mencanangkan “ekonomi sebagai panglima” dan bukan lagi “politik sebagai panglima” seperti pada era Soekarno.

Konsekuensinya, rezim Soeharto yang disokong sejumlah ekonom lulusan Amerika Serikat (AS), kemudian menjamin stabilisasi politik demi pembangunan.

“Para pemimpin Angkatan Darat berpendapat bahwa pemerintah militer akan menjamin terpeliharanya kestabilan politik yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi,” kata Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia (1999).

Soeharto, nixon, mafia berkeley, orde baru, pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann

Keterangan gambar, Presiden Soeharto berfoto bersama dengan Presiden AS, Nixon, di Gedung Putih, 26 Mei 1970. Ini adalah bagian kunjungan kenegaraan Soeharto ke AS.

Kekacauan ekonomi yang diwarisi Soeharto lalu memicu perumusan doktrin pembangunan dan modernisasi ekonomi.

Dukungan pun mengalir dari masyarakat yang ingin dianggap sejalan dengan Orde Baru.

Muncul kemudian semacam konsensus di antara pendukungnya, bahwa Indonesia memerlukan stabilitas, rehabilitasi dan pembangunan gaya kapitalis.

“Mengingat sifat koalisi tersebut, beratnya krisis ekonomi, dan kekecewaan mereka terhadap Sosialisme ala Indonesia versi Soekarno, maka strategi ekonomi yang menekankan perombakan struktur sosial ekonomi secara radikal dan mengabaikan peranan modal asing, tidak mungkin diterapkan,” papar Mochtar Mas’oed dalam buku Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 (1989).

Mahasiswa, KAMI, angkatan 1966, orde baru, orde lama, soeharto

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann

Keterangan gambar, Mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menggelar unjuk rasa di sebuah lapangan di Jakarta, 18 Juni 1966.

Karena itulah, para intelektual di sekitar Soeharto menolak melibatkan diri jika pemerintah melanjutkan program-program Sukarno, seperti land reform atau perpajakan progresif. Mereka mewanti-wanti para pengusaha akan hengkang bila itu terjadi.

Dan tanpa dukungan para teknokrat itu, sambung Mas’oed, pimpinan AD tidak bisa berharap memecahkan masalah besar ekonomi yang diwarisi rezim sebelumnya.

Baca juga:

Singkatnya, strategi ekonomi yang paling baik adalah strategi yang memungkinkan perusahaan swasta memainkan peranan aktif di dalam pasar bebas.

Sehingga, “memungkinkan pemanfaatan modal asing,” tambah Mas’oed.

Kebijakan pokok ekonomi ini kemudian didukung oleh Ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera. Kabinet ini diberi tugas menciptakan kestabilan politik dan ekonomi.

Soeharto, bundaran HI, orde baru, jakarta, 23 Agustus 1971

Sumber gambar, Sepia Times/Universal Images Group via Getty Images

Keterangan gambar, Baliho menyambut kedatangan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard dari Belanda terpampang di sekitar Bundaran HI, Jakarta, 23 Agustus 1971.

Ketetapan ini kelak akan mewarnai kebijakan ekonomi dan politik Orba.

“Stabilitas politik sangat penting bagi keberhasilan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang pada gilirannya akan menjamin stabilitas politik lebih lanjut,” kata pengamat politik Ken Ward, dalam buku NU, PNI dan Kekerasan 1971 (2024).

Di sinilah, para ekonom penasihat Presiden Soeharto kemudian merancang kebijakan ekonomi. Mereka dipimpin Widjojo Nitisastro, ekonom lulusan Universitas California, Berkeley, AS.

Kelak Widjojo dikenal sebagai arsitek ekonomi Orde Baru. Soeharto memercayainya menjadi menteri di bidang ekonomi setidaknya selama tiga periode pada awal pemerintahannya.

Widjojo Nitisastro, Eegje Schoo, Ali Wardhana, mafia berkeley, orde baru, ekonomi

Sumber gambar, Wikimedia Commons

Keterangan gambar, Widjojo Nitisastro (kanan), Eegje Schoo (tengah), dan Ali Wardhana (kiri) dalam pertemuan di Belanda pada 1983.

Dia pernah mengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Di sanalah pemikiran-pemikirannya “membuat Soeharto terpukau,” kata Dhianita Kusuma Pertiwi dalam buku Mengenal Orde Baru (2021).

Pada masanya pernah beredar istilah ‘Widjojomics’ yang merujuk pengaruhnya yang kuat seputar kebijakan ekonomi Orde Baru.

Adapun pihak yang berseberangan dengan pendekatan ekonominya menyebut Widjojo sebagai bagian dari ‘mafia Berkeley’.

“Mafia Berkeley dikenal dengan kebijakan-kebijakan ekonominya yang dibaca beberapa pihak sebagai pendekatan liberal,” ujar Dhianita.

Soeharto, orde baru, ekonomi, pembangunan ekonomi

Sumber gambar, KEMAL JUFRI/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Penjual buah segar melintas di depan baliho bergambar Presiden Soeharto, 15 Desember 1997.

Bagaimanapun, lewat ide-ide ahli ekonomi itu, lahirlah konsep ‘pembangunan’.

“Tekanannya pada pola atau model pembangunan negara-negara Barat,” kata Fahcry Ali dan Bahtiar Effendy dalam buku Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru (1986).

Baca juga:

Walaupun mendukung penggulingan Soekarno, tidak semua orang-orang pendukung Orde Baru menyokong kebijakan ekonomi ini.

“Sejak semula, kebijakan-kebijakan tersebut ditentang beberapa intelektual yang ada di dalam koalisi maupun oleh mereka yang ada di partai-partai,” kata Mochtar Mas’oed.

Kebijakan ekonomi seperti itu, lanjut Mas’oed menyitir pendapat para pengkritiknya, mengecewakan pengusaha kecil dan menengah.

soeharto, IMF, Dewan Ketahanan Moneters

Sumber gambar, AGUS LOLONG/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Presiden Soeharto (kiri) sedang berbicara di hadapan anggota Dewan Ketahanan Moneter di Jakarta, 21 Januari 1998. Sebelah kanan adalah Widjojo Nitisastro. Dewan yang diketuai oleh Soeharto ini dibentuk untuk melaksanakan reformasi Indonesia yang didukung Dana Moneter Internasional (IMF).

“Yang kebanyakan pribumi, yang benar-benar terpukul dan bangkrut akibat negatif kebijakan stabilisasi, seperti kebijakan kredit yang ketat, liberalisasi impor dan penghapusan perlakuan istimewa untuk mereka,” ungkapnya.

Kekecewaan ini mendapat dukungan mahasiswa dan kelompok nasionalis lainnya. Salah-satu letupan besarnya adalah peristiwa Malari 1974.

Dan, sesuai doktrin stabilitas politik demi pertumbuhan ekonomi, rezim Soeharto merepresi suara-suara protes itu.

Stabilitas politik dan nasib partai Islam di awal Orba

Tuntutan digelarnya pemilu memaksa rezim Orde Baru menyiapkan skenario agar tidak ada halangan demi makin menancapkan kekuasaannya.

Selain merancang aturan Pemilu 1971 yang menguntungkan partai milik penguasa, yaitu Golkar, Soeharto perlu mengebiri partai-partai pesaing—salah-satunya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Caranya? “Pimpinannya dilemahkan oleh intervensi pemerintah,” tulis Ken Ward dalam buku NU, PNI dan Kekerasan Pemilu 1971 (2024).

Soeharto, orde baru, operasi khusus, ali moertopo, politik

Sumber gambar, Keystone-France/Gamma-Keystone via Getty Images

Keterangan gambar, Presiden Soeharto (1970).

Indikasi itu sudah terlihat terang-benderang saat Soeharto menolak merehabilitasi Partai Masyumi, seperti dikehendaki penyokongnya pada 1966.

Padahal, setelah berperan menaikkan Soeharto ke kursi presiden, mereka berharap Masyumi dapat dihidupkan lagi setelah dibubarkan Soekarno.

Partai Islam itu dilikuidasi lantaran pemimpinnya terlibat pemberontakan PRRI pada 1958.

Kalangan militer memang menyetujui didirikannya suatu wadah politik untuk mewakili Islam politik, “tapi mereka tidak suka kalau Masyumi direhabilitasi, ” kata Muhammad Kamal Hassan dalam buku Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim (1987).

PPP, kampanye, Pemilu 1977, orde baru, kabah

Sumber gambar, Sepia Times/Universal Images Group via Getty Images

Keterangan gambar, Suasana kampanye PPP pada 27 April 1977 dalam Pemilu 1977.

Di mata Soeharto, faktor-faktor hukum, politik dan psikologis telah mendorong ABRI berpendapat “tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai Masyumi.”

Dihadapkan kenyataan seperti ini, mantan petinggi dan bekas anggota Masyumi harus memilih jalan lain, sesuai langgam politik penguasa.

Mereka lalu bikin partai baru, tapi orientasinya tidak berbeda dengan Masyumi. Namanya: Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Soeharto menyetujuinya, namun dia memberi embel-embel alias syarat. Pemerintah melarang bekas pemimpin Masyumi duduk dalam kepemimpinan partai di tingkat pusat.

TPS, pemilu 1997, golkar, pdi, ppp, orde baru

Sumber gambar, KEMAL JUFRI/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Seorang petugas pemilu menghitung suara di sebuah TPS di Jakarta, 29 Mei 1997.

Dalam buku Peta Islam Politik pasca Soeharto (2003), Zainal Abidin Amir menulis:

“Racun antidemokrasi yang telah menjalar di sekujur tubuh Orba mendorong negara untuk tidak membiarkan partai baru hasil prakarsa mantan pemimpin Masyumi hidup secara mandiri bebas dari campur tangannya.”

Walaupun syarat itu dirasa menyakitkan dan menimbulkan sikap frustasi, mereka dapat menerimanya. Parmusi akhirnya dideklarasikan.

Tapi campur tangan pemerintah Orba tidak berhenti sampai di situ.

Melalui operasi khusus yang dipimpin Ali Moertopo, rezim Soeharto menciptakan konflik internal.

Gus Dur, Abdurrahman Wahid, orde baru, PKB, Pemilu 1999

Sumber gambar, EDY PURNOMO/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Para pendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bersorak dan memegang poster raksasa calon presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, dalam kampanye Pemilu 1999 di Jakarta, 1 Maret 1999.

“Konflik internal ini menjadi pintu masuk bagi negara untuk ‘membantu menyelesaikannya’ dengan menunjuk ketua umum partai yang baru, yang tergolong akomodatif terhadap negara,” kata Zainal Abidin Amir.

Nasib serupa juga dialami Partai Nahdlatul Ulama (NU), walau dengan kadar yang berbeda.

Meskipun menjadi korban utama dari ekses Golkarisasi, menurut Ken Ward, NU merupakan partai “yang paling sedikit disentuh oleh strategi Operasi Khusus (Opsus) secara sengaja atau melalui peraturan resmi.”

Ekspansi Golkar dengan menggandeng para kiai, serta monoloyalitas, memang berdampak pada NU, tetapi dianggap semata “gangguan ringan”, tulis Ken Ward.

PDI Perjuangan, Orde Baru, Pemilu 1999

Sumber gambar, Andres Hernandez / Liaison Agency

Keterangan gambar, Kampanye PDI Perjuangan di sebuah kota di Sumatra, yang dihadiri Megawati Soekarnoputri, 1 Mei 1999 dalam Pemilu 1999.

Pemilu pertama Orba, yang semestinya dijadwalkan pada 1969, akhirnya ditunda dan baru digelar pada 1971.

Penundaan pemilu ini, menurut Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia (1999), “diarahkan untuk mengukuhkan dominasi negara yang ditulangpunggungi oleh militer.”

Berbagai cara pun dilakukan, mulai pengangkatan anggota DPR dan MPR yang didominasi wakil negara, hingga aturan depolitisasi pegawai negeri.

Berangkat dari situasi seperti itu, Golkar “yang disponsori negara” menang mutlak dengan 62,8% suara di Pemilu 1971. Mereka jauh meninggalkan perolehan suara partai-partai Islam dan PNI.

Kemenangan luar biasa Golkar ini merupakan daya pendorong utama bagi negara guna mewujudkan pengelompokan partai-partai politik baru.

Golkar, orde baru, pemilu 1999

Sumber gambar, SINARTUS SOSRODJOJO/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Para pendukung partai Golkar meneriakkan slogan-slogan selama rapat umum partai di Jakarta, 24 Mei 1999.

Sejarah mencatat, MPR yang terbentuk dari hasil Pemilu 1971 menetapkan bahwa pemilu berikutnya hanya akan diikuti oleh tiga partai politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI.

PPP (Partai Persatuan Pembangunan) adalah gabungan NU, Parmusi, PSII dan Perti.

“Orde Baru yang menerapkan sistem kepartaian hegemonik membuat keberadaan PPP semakin lama menjadi semakin tidak berdaya,” kata Zainal Abidin Amir dalam buku Peta Islam Politik Pasca-Soeharto (2003).

“Lebih parah lagi, ia kehilangan identitas keislamannya akibat negara memaksakan Pancasila sebagai satu-satu asas bagi semua parpol dan ormas,” tandas Zainal.

Ali Moertopo, Opsus, dan jabatan aspri: Siapa mereka dan apa perannya?

Bicara tentang Orde Baru, rasanya, tidak mungkin melupakan sosok Ali Moertopo.

Salah-seorang kepercayaan Soeharto ini berperan menonjol ketika Orde Baru melakukan ‘konsolidasi’ pada awal 1970-an.

Ali Moertopo adalah salah seorang asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto — lembaga ini acap disebut “kabinet bayangan” karena peran dan kekuatan pengaruhnya pada masa-masa itu.

Tugas asisten pribadi ini memberikan nasihat di bidang ekonomi dan politik.

Ali Moertopo, ali murtopo, operasi khusus, opsus, asisten pribadi, aspi, orde baru

Sumber gambar, PRISMA/IPPHOS

Keterangan gambar, Ali Moertopo adalah salah satu kepercayaan Soeharto yang berperan menonjol ketika Orde Baru melakukan ‘konsolidasi’ pada awal 1970-an.

Kebanyakan mereka sudah pernah bekerja sama dengan Soeharto sejak dia menjadi Pangdam Diponegoro pada 1950-an. Mereka juga sudah dikenal Soeharto saat di Kostrad.

Tentu saja, selain dikenal sebagai asisten pribadi Soeharto, nama Ali Moertopo makin sering disebut lantaran sepak terjangnya dalam operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus (Opsus).

“Ali Moertopo juga mengepalai satu badan serba guna yang dikenal dengan nama Opsus (Operasi Khusus),” kata Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia (1999).

Dalam posisinya itu, Ali berperan dalam Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) alias referendum 1969 di Papua.

Ali Moertopo, ali murtopo, operasi khusus, opsus, asisten pribadi, aspi, orde baru

Sumber gambar, PRISMA

Keterangan gambar, Ali Moertopo (tengah), Soedjono Hoemardani (kiri) dan pengusaha asal Jepang (kanan).

Dia ikut pula menormalisasi hubungan Indonesia-Malaysia setelah Sukarno diturunkan. Namanya disebut pula dalam Operasi Seroja ke Timor Timur (kini Timor-Leste).

Dan bukan rahasia lagi, pria kelahiran 1924 ini berperan penting ‘menggalang kekuatan’ guna memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971.

“Ali Moertopo ditugaskan [oleh Presiden Soeharto] untuk memenangkan pemilu untuk kekuatan Orde Baru,” kata Krissantono dalam artikel Ali Moertopo di atas panggung Orde Baru (Prisma, edisi khusus 20 tahun Prisma 1971-1991).

Tugas itu tidak main-main: Mencari desain politik agar partai-partai politik pesaing Golkar seperti PNI, Parmusi dan NU tidak berkutik di Pemilu 1971.

Soekarno, orde baru, orde lama, soeharto, ali moertopo

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Presiden Sukarno, 15 April 1966.

Dalam catatan Harold Crouch, Soeharto meminta Ali Moertopo mengambil “langkah-langkah untuk menjamin bahwa partai-partai akan dipimpin oleh orang-orang yang bersedia patuh dan erat bekerja sama dengan pemerintah.”

Terhadap Partai Nasional Indonesia (PNI), operasi khusus Ali Moertopo ikut ‘cawe-cawe’ saat mereka menggelar kongres. Mulai dari menentukan siapa yang berhak menjadi delegasi kongres sampai pemeriksaan oleh tentara di pintu ruangan, tulis Crouch.

Pada hari penutupan, kongres menyetujui calon yang direstui Soeharto: Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja.

“Angkatan Darat bersedia bersikap tenggang rasa terhadap keterikatan dengan Soekarno, asal saja partai [PNI] itu membersihkan diri dari pemimpin-pemimpin yang tidak bersedia menerima dominasi Angkatan Darat,” kata Harold Crouch menganalisa sepak terjang Opsus Ali Moertopo.

Soeharto, orde baru, soekarno, 4 maret 1967

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann

Keterangan gambar, Soeharto memberikan pidato setelah memperoleh mandat pada 4 Maret 1967.

Langkah serupa dilakukan Ali Moertopo ketika PNI menggelar kongres di Semarang pada April 1970.

Operasi intelijen ala Ali Moertopo itu tidak berarti mulus-mulus. Harian Suluh Marhaen (milik PNI) mengungkap keluhan seorang peserta kongres yang dikerjain timnya Ali.

Diberitakan ada peserta yang bercerita bahwa mereka dibriefing oleh anggota Opsus.

“Bos menghendaki agar si anu menjadi ketua umum” dan “bila si anu tidak terpilih sebagai ketua umum, PNI akan sulit untuk terus hidup.”

Parmusi, Partai Muslimin Indonesia, Masyumi, Orde Baru, Orde Lama, partai islam, Ali moertopo

Sumber gambar, Perpustakaan Nasional RI

Keterangan gambar, Kampanye Masyumi pada Pemilu 1955. Di awal Orde Baru, para pendukungnya berusaha menghidupkan lagi Masyumi, tetapi ditolak Soeharto.

Campur tangan pemerintah ala opsus itu juga dilakukan terhadap partai Islam yang baru didirikan pada 1968: Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Targetnya sama, agar pemimpin yang akan dipilih Parmusi tidak akan menentang pemerintah.

Ali Moertopo juga berusaha menundukkan partai Islam lainnya, Nahdlatul Ulama (NU). Mereka menggunakan strategi berbeda saat mendekati NU. Harold Crouch menuliskan sebagai berikut:

“Setelah menilai karakter dari ‘gembong-gembong’ NU, para penasihat Soeharto mengambil kesimpulan bahwa bila mereka diberikan status dan dana bagi kegiatan-kegiatan keagamaan dan lain-lain, Idham Chalid [pemimpin NU] dan rekan-rekannya akan mendukung Soeharto…”

Soeharto, Ali Moertopo, Orde Baru, Orde Lama, Opsus, Aspri

Sumber gambar, Francois LOCHON/Gamma-Rapho via Getty Images

Keterangan gambar, Presiden Soeharto menyapa warga dalam kunjungannya di sebuah kota di Jawa, 2 Maret 1978.

Kelak Ali Moertopo dan operasi khususnya juga memainkan peran saat Soeharto menginginkan agar partai-partai melakukan fusi.

Majalah TEMPO tanggal 26 Mei 1984, seperti dikutip Krissantono dalam artikel Ali Moertopo di atas Panggung Orde Baru (Jurnal Prisma, 1991), menuding Ali sebagai “manipulator politik”, khususnya dalam mencampuri urusan PDI dan PPP.

Menanggapi tuduhan seperti itu, Ali berujar: “Orang rasional, mengabdi sepenuhnya kepada bangsa dan negara, harus mengerti pentingnya PPP dan PDI. Bila PDI dan PPP mendapat kesulitan, seharusnya semua orang membantunya.”

Nama Ali Moertopo kembali menjadi sorotan media ketika namanya disebut-sebut dalam kerusuhan 15 Januari 1974 di Jakarta—dikenal dengan peristiwa Malari.

Malari 1974, 15 Januari 1974, opsus, ali moertopo, orde baru

Sumber gambar, TEMPO/Ed Zoelverdi

Keterangan gambar, Anggota TNI menghadang pengunjuk rasa saat terjadi Peristiwa Malari di kawasan Monas, Jakarta Pusat, 15 Januari 1974.

Sebanyak 11 orang meninggal dan lebih dari 800 mobil dan 144 gedung dibakar dalam peristiwa itu. Kerusuhan ini diawali unjuk rasa mahasiswa menolak kebijakan modal asing.

Belakangan terungkap kerusuhan itu diduga tidak terlepas dari intrik antar elite militer, seperti dilaporkan TEMPO, 17 Januari 2014.

Jenderal Soemitro, eks Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), menuding kerusuhan 15 Januari 1974 didalangi Ali Moertopo.

“Kelompok Operasi Khusus (Opsus, yang dipimpin Ali Moertopo) melancarkan operasi dengan cara menunggangi apel mahasiswa 15 Januari 1974 dengan serangkaian kegiatan kerusuhan dan huru-hara…” tulis Soemitro dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari karya Heru Cahyono.

Malari 1974, 15 Januari 1974, opsus, ali moertopo, orde baru

Sumber gambar, TEMPO/Ed Zoelverdi

Keterangan gambar, Peristiwa kerusuhan sosial yang dikenal dengan Malapetaka 15 Januari atau Malari di kawasan Senen, Jakarta, 1974.

Tuduhan ini, jelas saja, dibantah oleh orang-orang dekat Ali Moertopo.

Tidak lama setelah kerusuhan itu, Ali Moertopo—saat itu asisten pribadi Soeharto—menuding bahwa kerusuhan itu didalangi “oknum eks PSI dan ditunggangi oleh oknum-oknum eks Masyumi.

Orang-orang yang ditangkap pemerintah adalah dari dua unsur itu”.

Setelah peristiwa itu, Soemitro digusur dari jabatannya, tetapi Ali Moertopo tetap dipercaya oleh Soeharto.

Dan, seperti terekam dalam sejarah, kebijakan campur tangan alias cawe-cawe kekuasaan terhadap partai politik ini masih terus berlangsung, walaupun Soeharto turun dari kursi presiden pada Mei 1998.

garis

‘Mengenal Orde Baru’ ala cucu korban kekerasan 1965

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Dhianita Kusuma Pertiwi, kelahiran 1993, menerbitkan buku ‘Mengenal Orde Baru’ yang disusun dalam bentuk ensiklopedis.

Di dalamnya ada 167 entri yang mendedah kata-kata kunci pembentuk Orde Baru. Mulai nama-nama penting di lingkar kekuasaan hingga istilah-istilah khas Orba untuk stigma.

“Niat saya menuliskannya supaya generasi saya, atau yang di bawahnya, dapat memahami Orde Baru,” kata Dhianita kepada BBC News Indonesia, 14 April 2025.

Dhianita, yang dikenal sebagai penulis dan peneliti ini, mengharap agar bukunya “dapat dipelajari di sekolah-sekolah” dan “dibaca generasi muda.”

Kelahiran Kota Malang, Dhianita menamatkan studi di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang dan Magister Ilmu Susastra UI. Dia sudah menerbitkan beberapa buku.

Berikut petikan wawancaranya:

Tanya: Apa yang melatari Anda menulis buku Mengenal Orde Baru?

Jawab: Buku Mengenal Orde Baru ini tidak dapat dipisahkan dari latar belakang saya sebagai cucu eks tahanan politik 1965.

Sebagai keluarga eks tapol, kami sering bicara tentang Orde Baru. Mulai kebijakannya sampai apa yang terjadi pada keluarga kami.

Kakek juga cerita apa yang dialaminya saat itu, bagaimana dia ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru.

Ketika saya mulai sekolah, saya mulai menyadari, ada perbedaan antara yang diceritakan kakek dengan yang disampaikan di sekolah.

Dhianita Kusuma Pertiwi, Mengenal Orde Baru, orde baru, Soeharto, opsus, ali moertopo

Sumber gambar, Kedaipatjarmerah/dhiandharti

Keterangan gambar, Dhianita Kusuma Pertiwi.

Dan hasil obrolan saya dengan teman-teman seangkatan, ternyata banyak yang kurang paham tentang kekerasan pada tahun1965.

Akhirnya saya memutuskan perlu membuat buku seputar Orde Baru.

Awalnya memang bukan buku, tapi tulisan di blog saya.

Niat saya menuliskannya supaya generasi saya, atau yang di bawahnya, dapat memahami Orde Baru.

Karena tidak bisa dipungkiri, narasi besar yang beredar di masyarakat masih menyebut, misalnya, Soeharto itu ‘Bapak Pembangunan’.

Lalu ada narasi bahwa zaman itu aman, dan sebagainya. Sementara ada cerita-cerita atau pun hal-hal lain tidak terungkap.

Inilah yang memantik saya untuk membuat sesuatu yang tujuannya memberitahu hal-hal yang tersembunyi dari narasi besar tentang Orde baru.

Mengenal Orde Baru, Dhianita Kusuma Pertiwi, Orde Baru, buku, sejarah

Sumber gambar, BBC News Indonesia

Mengapa Anda menuliskannya dalam format ensiklopedi?

Awalnya saya menuliskannya di blog dengan format alfabetikal [sesuai urutan abjad]. Waktu itu saya baru menulis A sampai I. Lalu saya dikontak penerbit EAbook.

Mereka bertanya: apakah saya bersedia untuk menerbitkannya. Saya tertarik dan mengiyakan.

Lantas saya melanjutkan sampai huruf terakhir Y.

Saya dibantu tim editor untuk meriset dan lain-lain hingga akhirnya buku itu terbit pada September 2021.

Baca juga:

Memang awalnya saya sudah membayangkan sudah banyak buku tentang Orde Baru yang sifatnya mendalam, tapi setahu saya belum ada semacam pengantar. Itulah sebabnya judul buku ini ‘Mengenal Orde Baru’.

Harapannya dengan konsep ensiklopedi itu lebih mudah untuk pembaca muda mengetahui secara permukaan dulu, mengenal dulu seperti apa orde baru itu.

Nanti pendalamannya mereka dapat membaca di literatur yang lain.

PKI, tahanan politik 1965, PKI, Orde Baru

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965.

Di buku ini ada nama-nama orang, lembaga dan tempat terkait Orde Baru. Kemudian berbagai kebijakannya hingga kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di masa itu. Terkait nama Soeharto, Prabowo, Nugoro Notosusanto, Ali Moertopo, hingga Sarwo Edhie…

Terkait nama-nama itu memang tidak bisa dipungkiri, saat itu dominasi militer begitu besar.

Jadi nama Soeharto muncul, karena dia presiden dan memegang kekuasaan selama 32 tahun. Kemudian orang-orang di sekitarnya yang mendukung kekuasaannya begitu lama.

Di sisi lain ada orang-orang yang ‘dihilangkan’. Mereka memiliki peranan luar biasa terhadap sastra, pengetahuan, dan lain-lain, tapi menjadi korban dari Orba. Namanya disisihkan atau masuk daftar hitam.

PKI, G30S, 1965, Mengenal Orde Baru

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang terduga simpatisan G30S diperiksa di bawah todongan senjata.

Termasuk nama Prabowo…

Satu hal penting pada saat Orde Baru ada peristiwa invasi ke Timor-Leste. Selama ini narasinya ini bahwa Indonesia menyelamatkan Timor Timur (kini Timor-Leste) dari ancaman komunis.

Kita memiliki banyak kisah sejarah yang istilahnya masih ‘abu-abu’, salah-satunya invasi ke Timor Timur.

Kemudian kenapa saya memunculkan nama Prabowo? Karena dia punya peran besar dalam peristiwa invasi ke Timor Timur, dalam memimpin operasi dan hal-hal yang lain.

Saya menulisnya sebelum pemilu, walaupun beberapa kali Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden.

Dalam risetnya saya juga perlu mengetahui seperti apa karir militernya Prabowo.

Jadi buku ini secara khusus menampilkan nama Prabowo.

Sarwo Edhie Wibowo, RPAKD, 1965

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo (1 Januari 1966).

Apakah simpati dan subyektivitas Anda terkait kekerasan 1965, yang korban meninggal diyakini hingga satu juta orang, sehingga membuat Anda memunculkan nama Sarwo Edhie?

Betul, sebagai cucu eks tahanan politik 1965, saya membayangkan ketika kakek saya ditangkap. Saya masih kecil saat kakek saya bercerita bahwa dia adalah eks tapol.

Untungnya, ibu saya relatif agak terbuka dengan masa lalunya. Jadi saya diberitahu betapa susahnya hidup di masa itu.

Saya kemudian bertemu eks tapol lain dan mendengar kisah-kisah mereka.

Yang menarik, setelah saya menerbitkan novel Buku Harian Keluarga Kiri (2019), saya bertemu sesama generasi ketiga eks tapol 1965.

Ceritanya macam-macam, ada keluarganya yang terbuka, ada yang tertutup, tapi ada yang mengetahuinya secara sama-samar.

Baca juga:

Jadi efeknya sampai sekarang masih masif. Ada yang belum tahu kakeknya dibunuh, diculik atau dihilangkan.

Nah, jadi penting sekali untuk menampilkan nama-nama yang terkait tragedi kemanusiaan di masa lalu itu di buku ini.

Jadi saat pembaca selama ini mengetahui bahwa peristiwa kekerasan 1965, hanya dilatari konflik horizontal, karena tindakan kelompok komunis dan lain-lain. Kemudian ada golongan lain yang tidak terima, dan mencoba bertahan, tapi sebenarnya itu dikomando dari atas, dan ada nama-nama penting di situ.

Dan di situlah nama-nama perlu dimunculkan di buku Mengenal Orde Baru.

1965, PKI, tahanan politik 1965, orde baru

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang anggota militer Indonesia mengawasi beberapa orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI di Tangerang, usai 1 Oktober 1965.

Di buku ini Anda juga membeberkan kejahatan lainnya selama rezim Orde Baru berkuasa. Anda menyebut kasus Marsinah, kasus penghilangan aktivis politik di tahun 1997-1998. Dari sekian kasus-kasus kekerasan ini, mana yang paling signifikan buat Anda pribadi?

Kalau secara pribadi, paling signifikan adalah tragedi 65. Ini tentu sangat personal. Ibu saya sampai sekarang masih trauma. Pernah mau jadi dosen negeri, tapi terjegal, karena tidak mendapatkan surat ‘bersih diri’ dan ‘bersih lingkungan’.

Jadi signifikansi pertama itu secara personal. Kemudian di level sosial, saya merasa bahwa masih banyak trauma-trauma yang tersisa dari peristiwa itu.

Dan juga dapat berdampak kepada impunitas, karena kekerasan itu dijadikan alasan untuk memberantas suatu kelompok. Nah itu masih terjadi.

Dari beberapa penelitian yang saya baca, walaupun tidak berhubungan langsung, ada korelasi bagaimana kita belum menuntaskan masalah kekerasan 1965 dan pada akhirnya bermunculan terus kasus-kasus kekerasan massal sampai hari ini, karena ada impunitas, karena ada kasus yang tidak selesai.

Soeharto, orde baru, pelanggaran HAM berat

Sumber gambar, JEWEL SAMAD/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Aksi protes di Jakarta, 28 September 2005, menuntut agar berbagai pelanggaran HAM di masa Orde Baru diusut secara hukum.

Kemudian ada cerita-cerita seputar kasus 1965 yang belum terbuka sampai hari ini.

Waktu saya ke Flores, NTT, untuk mendiskusikan buku saya, misalnya, saya bertemu generasi korban kekerasan 1965.

Di sana ada unsur budaya yang berbeda dengan di Jawa. Misalnya mereka bercerita, waktu masih kecil, kalau mereka malas ke gereja, mereka dituduh komunis.

Nah, masalah-masalah seperti itu belum dibahas sampai hari ini. Kemudian korban belum semua terbuka, juga situs-situs penjara dihilangkan.

Jadi banyak pekerjaan rumah (PR) terkait sejarah 1965, salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Indonesia, dan negara belum menuntaskannya, dan sampai hari ini terasa dampaknya.

Baca juga:

Jika membaca buku Anda, terlihat sekali ini semacam bacaan alternatif di tengah sejarah resmi terkait Orde Baru. Bagaimana agar sejarah alternatif itu bisa diakses secara lebih mudah oleh generasi muda?

Sekarang tantangan tambahannya ada di media sosial. Memang betul sejarah resmi masih dominan.

Tapi di sisi lain ada media sosial. Dengan algoritma, narasi-narasi sejarah resmi dari penguasa juga dimasukkan ke media sosial, dan mudah mendapatkan pengikut dan banyak yang menyimaknya.

Jadi tantangan generasi muda sekarang lebih berlapis.

Saya berharap buku ini mudah-mudahan bisa menjadi bacaan altenatif.

Tapi saya menyadari perlu publikasi yang lebih masif.

Baca juga:

Artinya buku ini penting, disusun sedemian rupa, dan dalam bentuk cukup tebal, dan nanti bagaimana penyebaran informasi ini, perlu menggunakan media-media lain, seperti media sosial.

Karena, saya pikir, generasi sekarang memiliki penasaran yang sangat besar.

Misalnya dalam konteks sastra, buku novel Laut Bercerita, Pulang atau Namaku Alam karya Leila S. Chudori itu sangat laku dan setiap diskusi para peserta generasi mudanya ada penasaran yang sangat besar.

Cuma itu tadi, untuk mengimbangi narasi dominan sejarah nasional, perlu ada semacam perluasan media untuk menyampaikan informasi alternatif.

Tapol 1965, PKI, Orde Baru

Sumber gambar, Ulet Ifansasti/Getty Images

Keterangan gambar, Eko Soetikno, eks Tapol 1965, memegang foto bersama teman-temannya saat dibuang di Pulau Buru. Eko diabadikan di rumahnya di Kendal, Jateng, 4 Mei 2016 di Kendal, Jawa Tengah.

Dari diskusi-diskusi membahas buku ini, bagaimana reaksi anak-anak muda yang tidak mengalami langsung kejadian 1965 dan tak terpapar langsung sejarah versi Orde Baru?

Ada dua hal, pertama, mereka menyambut positif. Di satu sisi, mereka mendengar beberapa istilah, tapi tidak tahu artinya.

Dan akhirnya menemukan definisinya di buku ini. Misalnya, mereka baru ngeh arti ‘Hansip’ (pertahanan sipil).

Mereka tahu bahwa Hansip itu adalah istilah yang dulu digunakan untuk kepentingan Orde Baru.

Yang kedua, ada proses pemilihan cover (sampul) buku dengan pihak penerbit. Mereka menyarankan gambarnya karikatur atau kartun dengan tampilan Soeharto yang begitu jahat.

Sri Muhayati, tapol 1965, Orde Baru

Sumber gambar, Ulet Ifansasti/Getty Images

Keterangan gambar, Sri Muhayati memegang foto orang tuanya di rumahnya pada 6 Mei 2016 di Yogyakarta, Indonesia. Sri, adalah seorang pelajar, yang menghabiskan lima tahun dipenjara tanpa diadili karena dicurigai terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).

Nah saat itu, pertimbangan saya buku ini bisa masuk ke sekolah dan bisa dibaca generasi muda.

Jadi sampulnya jangan dibuat terlalu ‘seram’. Dan ternyata hasilnya cukup baik

Saat tersebar di toko buku, yang membelinya tergolong masih awam alias tidak tahu apa itu Orde Baru. Generasi milenial sampai ke bawah.

Istilahnya, mereka tidak merasa jiper. Sampulnya terlihat netral. Dan mereka akhirnya membeli buku tersebut.

Dan saat mendengarkan diskusi tentang buku itu, lalu diunggah di Instagram, mereka mengaku baru tahu bahwa istilah itu berangkatnya dari masa Orde Baru.

1965, orde baru, kudeta 1965

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann

Keterangan gambar, Seorang mahasiswa peranakan China melindungi mukanya saat dicemooh dan diserang secara fisik oleh sejumlah pemuda yang menyerang Universitas Res Publika, Jakarta, pada 15 Oktober 1965.

Mengapa sampulnya warna kuning?

[Tertawa] Itu agak simbolik, berwarna kuning itu berarti Partai Golkar. Dan Golkar itu di masa Orde Baru menjadi kendaraannya Soeharto untuk memenangkan beberapa kali pemilu dan bertahan selama lebih dari 32 tahun.

Jadi, kuning itu warna yang simbolik, ini menunjukkan warna yang Orde Baru banget.

Dan dengan warna simbolik itu tidak perlu menunjukkan gambar yang terlalu tendesius.

Jadi terlihat ini buku ensiklopedia, hasil riset juga, dan tampilannya netral tapi simbolik.

garis

Tinggalkan Balasan