KUBET – Fakta-fakta perusakan makam di Bantul dan Yogyakarta – Bagaimana publik harus menyikapinya?

Fakta-fakta perusakan makam di Bantul dan Yogyakarta – Bagaimana publik harus menyikapinya?

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Unit 03 Ngentak Joko

Sumber gambar, Nindias Nur Khalika

Keterangan gambar, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Unit 03 Ngentak Joko di samping kuburan berbentuk keramik yang dirusak di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngentak, Kelurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul pada 20 Mei 2025.

Aksi vandalisme terhadap belasan nisan salib di sejumlah pemakaman di Bantul dan Yogyakarta baru-baru ini menarik perhatian publik. Meskipun perusakan makam non-Muslim bukan hal baru, pakar psikologi mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam menanggapi insiden ini.

Lima kuburan di tempat pemakaman umum (TPU) Baluwarti di Kampung Kembang Basen, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Kota Yogyakarta, ditemukan rusak pada Jumat (16/05) sore.

Perusakan juga diketahui terjadi pada sepuluh makam non-Muslim di TPU Ngentak di Kalurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul, yang berjarak sekitar 10 menit perjalanan dari TPU Baluwarti.

Kepolisian setempat telah mengamankan remaja berusia 16 tahun sebagai terduga pelaku perusakan makam, seraya mengatakan insiden ini “bukan terkait agama, lebih ke persoalan keluarga”.

Ini bukan kali pertama insiden perusakan makam non-Muslim terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Atas dasar itulah sejumlah pihak kemudian mengaitkannya dengan isu intoleransi.

Namun pakar psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Lucia Peppy, mengingatkan publik perlu berhati-hati dalam merespons insiden ini.

Sri Suryanti Hari

Sumber gambar, Nindias Nur Khalika

Keterangan gambar, Meski sempat bersedih, Sri Suryanti Hari memilih untuk menyerahkan semuanya kepada Tuhan

Apa yang terjadi dalam insiden perusakan makam terbaru?

Salah satu makam yang rusak di TPU Ngentak yang terletak di Banguntapan, Bantul, merupakan tempat peristirahatan terakhir dari suami Sri Suryanti Hari yang meninggal pada 1999.

Saat ditemui di kediamannya, perempuan berusia 66 tahun itu mengaku mendapat kabar perusakan makam setelah pulang dari gereja pada Minggu (20/05) pagi.

“Pulang dari gereja, anaknya adik ipar saya, cerita: ‘Bu, makamnya bapak dirusak.’ Saya tanya dirusak bagaimana, lalu dia bilang ‘dirusak yang ada salibnya’,” ujar Sri.

Sri mengaku sedih ketika melihat nisan makam suaminya dirusak. Namun, dia memilih untuk berserah diri kepada Tuhan.

“Biar Tuhan yang berperkara. Saya berharap anak itu merasa bersalah dan bertobat dan tidak mengulang perbuatan yang seperti itu,” ujarnya.

Sri mengaku pernah merasa mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari warga lain karena dirinya penganut agama minoritas. Akan tetapi, dia menekankan ini tidak ada sangkut pautnya dengan perusakan makam.

Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngentak, Kalurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul.

Sumber gambar, Nindias Nur Khalika

Keterangan gambar, Salah satu makam keramik yang dirusak di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngentak, Kalurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul.

Sementara itu, Hermawan Riyadi, 54 tahun, yang makam eyangnya dirusak di TPU Ngentak, mengaku sempat merasa takut. Dia khawatir warga terpancing emosi.

“Karena yang dirusak makam non-Muslim. Saya sendiri Muslim,” akunya.

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Unit 3 Ngentak, Joko mengatakan dirinya mengetahui perusakan tersebut dari warga yang bersih-bersih makam pada Minggu (18/05) pagi.

Tujuh papan nama berbentuk salib di kuburan baru tampak rusak, sementara tiga makam keramik lainnya juga dirusak sampai-sampai tanah di bawahnya terlihat.

Baca juga:

Tak jauh dari makam itu—sekitar 10 menit perjalanan—di TPU Baluwarti, Kotagede, Yogyakarta, juga mengalami perusakan.

Papan nama kayu berbentuk salib pada empat makam di TPU Baluwarti tampak patah dan hanya menyisakan bagian bawah yang masih tertancap ke tanah.

Minto, juru kunci makam yang terletak di Yogyakarta bagian Selatan, mengaku kaget ketika mendapati sejumlah makam dirusak pada Jumat (16/05) sore.

“Jam 8 pagi [saya ke sana] belum ada apa-apa. Sore ke sana, [saya lihat] ada makam yang dirusak,” ujar pria berusia 70 tahun itu ketika ditemui pada Selasa (20/05).

Satu makam yang terbuat dari keramik juga turut dirusak: terlihat ada lubang besar di bagian tengah.

Menurut Minto, sebelumnya terdapat simbol salib di bagian yang hancur itu.

Juru Kunci Tempat Pemakaman Umum (TPU) Baluwarti, Minto

Sumber gambar, Nindias Nur Khalika

Keterangan gambar, Juru Kunci TPU Baluwarti, Minto, menunjukkan tiga makam yang mengalami kerusakan.

Apa reaksi warga sekitar?

Perusakan makam di TPU Baluwarti dan TPU Ngentak mengundang reaksi dari warga sekitar.

“Walaupun kebanyakan [yang rusak makamnya] non-Muslim, tapi kami orang Muslim merasa terusik seolah-olah enggak nyaman di sini,” ujar Nono, warga Kembang Basen merespons perusakan di TPU Baluwarti.

Senada, warga Dukuh Pelem, Sutantoro, yang tinggal tak jauh dari TPU Ngentak juga merasakan hal yang sama.

“Saya non-Muslim. Ketika lihat ke makam, [saya berpikir:] ‘Kok, yang dirusak makam yang ada salibnya?” ujarnya.

Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngentak, Kalurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul.

Sumber gambar, Nindias Nur Khalika

Keterangan gambar, Salah satu makam dengan papan nama kayu yang dirusak di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngentak, Kalurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul.

Ditemui terpisah, Ketua RW 04 Kampung Kembang Basen, Wahyono, menekankan insiden di wilayahnya tidak terkait isu agama,

“Kalau fanatisme agama, insya Allah enggak ada,” ujarnya.

Di sisi lain, Wahyono mengaku pengurus RW sebetulnya sudah lama berencana membuat area khusus untuk pemakaman warga non-Muslim di TPU Baluwarti.

Dua TPU lainnya di Bantul, yakni TPU Ironayan di Kalurahan Baturetno dan Makam Jaranan di Kalurahan Panggungharjo, juga mengalami kerusakan.

Satu makam dirusak di TPU Ironayan, sementara dua makam dirusak di Makam Jaranan.

Perusakan di kedua makam ini baru diketahui pada Senin (19/05), namun sejauh ini belum diketahui pelaku perusakan makam tersebut.

Siapa pelaku perusakan makam di Bantul dan Yogyakarta?

Pada Senin (19/05) sore, Polsek Kotagede mengamankan siswa SMP berusia 16 tahun sebagai terduga pelaku perusakan TPU Baluwarti.

Remaja berinisial ANFS itu diklaim polisi sebagai warga Banguntapan, Bantul, dan beragama Kristen.

“Pelaku juga mengakui perbuatan yang sama di wilayah Polsek Banguntapan [TPU Ngentak],” ujar Kapolsek Kotagede, Kompol Basungkawa, pada Selasa (20/05).

Hingga kini, pihak berwenang masih menyelidiki motif pelaku yang dia sebut “punya riwayat sakit gangguan kejiwaan” melakukan perusakan makam.

“Nanti kita periksakan secara medis karena secara keluarga, kakaknya juga mengalami seperti itu,” ujarnya.

Baca juga:

Senada, Kepala Seksi Humas Polres Bantul, AKP I Nengah Jeffry Prana Widnyana, mengatakan akan melakukan tes kejiwaan kepada ANFS yang dia sebut “agak plin-plan” selama proses interogasi.

Jeffry kemudian mengatakan bahwa ANFS mengaku bertindak seorang diri.

“Dia sering cekcok dengan ibunya dan ayahnya sudah tidak ada. Ini bukan terkait agama, lebih ke persoalan keluarga,” ujar Jeffry.

Meski begitu, Jeffry mengatakan kepolisian akan tetap menelusuri kasus ini—termasuk belajar dari peristiwa-peristiwa perusakan makam yang terjadi sebelumnya.

“Terutama kita juga mengantisipasi dampak sosialnya,” ujarnya.

Mengapa insiden perusakan makam terus berulang?

Ini bukan pertama kalinya perusakan makam non-Muslim terjadi di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta.

Pada 17 Desember 2018, proses pemakaman jenazah seorang warga Kristen di TPU Jambon—berjarak lima menit perjalanan dari TPU Baluwarti—di Purbayan terganjal penolakan sekelompok warga.

Nisan kayu berbentuk salib mendiang Albertus Selamet Sugihardi digergaji dalam insiden tersebut.

Perusakan makam dengan simbol salib juga pernah terjadi sebelumnya di daerah lainnya di Indonesia.

Pada 2019, 11 simbol salib makam Kristen dihancurkan di TPU Giriloyo di Magelang, Jawa Tengah.

Merespons insiden perusakan makam terbaru di wilayahnya, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menegaskan wilayahnya tidak memberi ruang bagi praktik intoleransi.

Salah satu makam yang hancur di TPU Ngentak yang terletak di Banguntapan, Bantul.

Sumber gambar, Nindias Nur Khalika

Keterangan gambar, Salah satu makam yang hancur di TPU Ngentak yang terletak di Banguntapan, Bantul.

Dia menyatakan masyarakat Yogyakarta “sangat heterogen”.

“Di Kota Yogyakarta toleransi betul-betul dikedepankan sebagai city of tolerance, itu sudah jadi komitmen kita,” ujarnya pada Senin (19/05), seperti dilansir Kompas.com.

“Kalau terjadi percikan di sini, dampaknya akan ke nasional. Bisa terjadi hal yang di luar dugaan kita.”

Sementara Bupati Bantul Abdul Halim Muslim menilai vandalisme kuburan sebagai tindakan yang “agak tidak masuk di akal”.

“Apa motivasi atau tujuan merusak makam itu? Apa yang ingin diraih? Mungkin hanya orang gila yang melakukan itu.” ujar Abdul seperti dilansir kantor berita Antara.

Halim menambahkan pihaknya “tidak bisa berandai-andai atau berspekulasi” sebelum penyelidikan selesai.

“Kita masih menunggu hasil penyelidikan dari kepolisian,” ujarnya.

Apa tanggapan pegiat keberagaman terkait insiden perusakan makam?

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Meski terduga pelaku sudah diamankan, peneliti senior Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, berharap agar kasus ini tetap menjadi perhatian publik.

Bonar menyoroti usia ANFS yang masih muda. Ia juga membandingkannya dengan perusakan makam di TPU Cemoro Kembar di Kampung Kenteng, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah pada Juni 2021.

Sebanyak tujuh siswa berusia belasan tahun dijadikan tersangka dalam kasus itu.

“Yang jelas, perusakan makam bukanlah perbuatan iseng atau sekedar kenakalan remaja biasa. Ini berkaitan dengan kebencian. Apa yang mendasari dan latar belakangnya masih perlu didalami,” ujar Bonar pada Selasa (20/05).

Sementara Tantowi Anwari, Manajer Program dan Advokasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), mengatakan publik harus menunggu informasi yang utuh aparat kepolisian.

“Jika ODGJ atau disabilitas mental, termasuk juga jika terduga pelaku itu disabilitas intelektual, harus dengan keterangan ahlinya seperti psikolog atau psikiater,” ujarnya.

Thowik, panggilan akrab Tantowi, mengatakan bahwa apabila terduga pelaku terbukti memiliki gangguan kejiwaan, maka dia tidak bisa dipidanakan.

Akan tetapi, menurut dia, “kehadiran negara tetap sangat penting, untuk memastikan pelaku ini tidak melakukan hal yang sama”.

Bagaimana publik semestinya menyikapi insiden ini?

Meskipun perusakan makam non-Muslim bukan hal baru, pakar psikologi mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam menanggapi insiden ini.

Terkait pernyataan polisi tentang dugaan pelaku mengalami gangguan kejiwaan, psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Lucia Peppy mengatakan perlu ada pemeriksaan untuk memastikan adanya persoalan kejiwaan yang dialami terduga pelaku.

“Apakah persoalan kejiwaan itu masih membuat dia mampu bertanggung jawab atau tidak. Jadi tidak sekedar gangguan jiwa berat atau ringan atau sedang.”

“Apakah gangguan jiwa itu membuat seseorang itu memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atau tidak.”

Salah satu makam yang dirusak di TPU Ngentak

Sumber gambar, Nindias Nur Khalika

Keterangan gambar, Salah satu makam yang dirusak di TPU Ngentak.

Lucia beranggapan sering kali ketika ada insiden yang mengarah pada kekerasan dan terkait simbol agama, asumsi publik akan langsung mengaitkannya dengan isu intoleransi.

“Respons ini bisa saja karena memang di negara kita mau enggak mau, tidak bisa dipungkiri, bahwa isu antaragama itu akan mudah sekali dikaitkan dengan nilai toleransi,” jelas Lucia.

Berulangnya insiden perusakan makam, kata Lucia, memicu memori individual maupun kolektif sehingga ketika ada situasi serupa terjadi, “dipersepsi oleh individu-individu sebagai sesuatu yang mirip dengan peristiwa intoleransi”.

Lucia khususnya menyoroti individu-individu yang pernah merasakan intoleransi secara langsung dan dapat terpicu ketika mereka menduga ada peristiwa yang kembali berulang.

“Saya prihatin kepada keluarga yang pasti juga terpicu dan masyarakat sekitar yang juga mungkin menjadi waswas karena ada kejadian begini,” ujarnya.

Lucia pun mengimbau agar masyarakat luas dapat lebih menelaah informasi-informasi yang beredar secara cepat sebelum bereaksi.

“Kalau tidak tahu secara langsung, maka mari kita belajar untuk jadi lebih bijak terutama ketika kemudian mengaitkan, membahasnya dengan sesuatu yang memang hal yang sensitif bagi masyarakat,” cetus Lucia.

Nindias Nur Khalika turut berkontribusi untuk artikel ini dari Bantul dan Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan