Mengunjungi jantung perlawanan Tibet di tengah memanasnya konfrontasi Dalai Lama dan China

-
- Penulis, Laura Bicker
- Peranan, Koresponden China
Seorang biksu berjalan mendekati kami. Ia mengenakan jubah berwarna merah tua. Butir-butir tasbih bergerak ritmis di sela jemarinya.
Ini adalah tindakan yang berani.
Kami sedang dibuntuti delapan pria tak dikenal. Bagi biksu itu, sekadar mengucapkan beberapa patah kata kepada kami di publik bisa jadi berbahaya.
Namun, ia tampak bersedia mengambil risiko itu.
“Keadaan di sini tidak baik bagi kami,” ujarnya pelan.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Biara di Provinsi Sichuan di barat daya China ini telah menjadi pusat perlawanan Tibet selama puluhan tahun.
Mata dunia tertuju padanya pada akhir tahun 2000-an. Saat itu, warga Tibet melakukan aksi bakar diri sebagai bentuk perlawanan terhadap aturan pemerintah China.
Hampir dua dekade kemudian, Biara Kirti masih membuat Beijing khawatir.
Sebuah kantor polisi bahkan telah dibangun di dalam pintu masuk utama biara. Lokasinya bersebelahan dengan sebuah ruangan kecil gelap yang penuh roda doa berderit saat berputar.

Rangkaian kamera pengawas di tiang baja tebal mengelilingi kompleks, memindai setiap sudut.
“Mereka tidak punya hati yang baik, semua orang bisa melihatnya,” tambah sang biksu.
Dia kemudian memberi peringatan.
“Berhati-hatilah, orang-orang mengawasi Anda.”
Saat para pria yang membuntuti kami mulai berlari mendekat, biksu itu pun berlalu pergi.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
“Mereka” yang dimaksud sang biksu adalah Partai Komunis China yang telah memerintah lebih dari enam juta warga Tibet selama hampir 75 tahun sejak aneksasi tahun 1950.
China telah berinvestasi besar-besaran di wilayah tersebut, termasuk membangun jalan dan rel kereta api baru untuk meningkatkan pariwisata hingga mengintegrasikannya dengan wilayah China lainnya.
Namun, warga Tibet yang melarikan diri mengatakan pembangunan ekonomi juga berarti lebih banyak pasukan dan pejabat China masuk ke wilayah itu. Secara perlahan, kondisi ini mengikis keyakinan dan kebebasan penduduk setempat.
Beijing memandang Tibet sebagai bagian tak terpisahkan dari China.
Pemimpin spiritual Tibet di pengasingan, Dalai Lama, telah dicap sebagai separatis. Siapa pun yang menampilkan gambarnya atau memberikan dukungan publik kepadanya bisa berakhir di balik jeruji besi.
Meski begitu, beberapa orang di Aba—atau Ngaba dalam bahasa Tibet—yang menjadi lokasi Biara Kirti, mengambil langkah ekstrem untuk menentang pembatasan ini.

Kota ini terletak di luar apa yang disebut China sebagai Daerah Otonomi Tibet (TAR) yang dibentuk pada tahun 1965 dan mencakup sekitar separuh dataran tinggi Tibet.
Namun, jutaan warga Tibet tinggal di luar TAR dan menganggap wilayah lainnya sebagai bagian dari tanah air mereka.
Aba telah lama memainkan peran krusial. Protes meletus di sini selama pemberontakan Tibet pada tahun 2008.
Menurut sejumlah laporan, peristiwa itu dimulai dari seorang biksu yang memegang foto Dalai Lama di dalam Biara Kirti. Insiden itu kemudian meningkat menjadi kerusuhan dan pasukan China melepaskan tembakan.
Setidaknya 18 warga Tibet tewas di kota kecil ini.

Ketika protes warga Tibet meningkat. sering kali terjadi bentrokan kekerasan dengan paramiliter China.
Beijing mengeklaim 22 orang tewas, sementara kelompok-kelompok Tibet di pengasingan menyebutkan jumlahnya mencapai 200.
Pada tahun-tahun berikutnya, terjadi lebih dari 150 aksi bakar diri yang menyerukan kembalinya Dalai Lama—sebagian besar terjadi di atau sekitar Aba.
Hal itu membuat jalan utama di sana mendapat julukan yang kelam: Jalan Martir.
Sejak saat itu, China mulai mengambil langkah-langkah keras.
Hampir tidak mungkin untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Tibet atau wilayah-wilayah Tibet. Informasi yang tersedia berasal dari mereka yang melarikan diri ke luar negeri, atau pemerintah-dalam-pengasingan di India.
Untuk mencari tahu lebih banyak, kami kembali ke biara keesokan harinya sebelum fajar.
Kami menyelinap melewati pengawas kami dan kembali berjalan kaki ke Aba untuk ibadah pagi.
Para biksu berkumpul mengenakan topi kuning mereka, simbol dari aliran Buddha Gelug.
Nyanyian pelan yang merdu bergema di seluruh aula saat asap ritual melayang di udara yang tenang dan lembap.
Sekitar 30 laki-laki dan perempuan lokal, sebagian besar mengenakan jaket berlengan panjang tradisional Tibet, duduk bersila hingga lonceng kecil berdentang mengakhiri doa.
“Pemerintah China telah meracuni udara di Tibet. Ini bukan pemerintah yang baik,” kata seorang biksu kepada kami.
“Kami warga Tibet ditolak hak asasi manusia yang mendasar. Pemerintah China terus menindas dan menganiaya kami. Ini bukan pemerintah yang melayani rakyat.”

Ia tidak memberikan detail, dan percakapan kami singkat untuk menghindari deteksi. Namun, pendapat-pendapat seperti ini sungguh jarang disampaikan secara terbuka.
Pekan ini, Dalai Lama akan berusia 90 tahun. Hal ini membuat pertanyaan tentang masa depan Tibet makin mendesak.
Ratusan pengikut telah berkumpul di Kota Dharamshala, India, untuk menghormatinya.
Dalai Lama mengumumkan rencana suksesi yang sangat dinantikan pada Rabu (02/07). Ia menegaskan kembali apa yang telah dikatakannya sebelumnya: Dalai Lama berikutnya akan dipilih setelah kematiannya.
Warga Tibet di mana pun bereaksi—dengan kelegaan, keraguan, atau kecemasan—tetapi tidak demikian dengan mereka yang berada di tanah air Dalai Lama, dimana sekadar membisikkan namanya pun dilarang.
Beijing telah berbicara dengan lantang dan jelas: reinkarnasi Dalai Lama berikutnya akan berada di China, dan disetujui oleh Partai Komunis China.
Tibet, bagaimanapun, tetap diam.
“Begitulah adanya,” kata sang biksu kepada kami. “Itu adalah kenyataan.”
Satu langit, dua dunia
Jalan menuju Aba berkelok-kelok sepanjang hampir 500 kilometer dari ibu kota Sichuan, Chengdu.
Jalan itu melewati puncak-puncak berselimut salju di Gunung Siguniang sebelum mencapai padang rumput bergelombang di tepi dataran tinggi Himalaya.
Setiap berapa kilometer, tampak atap kuil Buddha yang melengkung dan bercahaya keemasan karena menangkap sinar matahari yang terik.
Di daerah ini, lalu lintas sering kali harus memberi jalan bagi penggembala yak berkuda yang bersiul kepada ternak mereka, sementara elang terbang berputar di angkasa
Ada dua dunia di bawah langit Himalaya ini: warisan dan keyakinan bertabrakan dengan tuntutan Partai Komunis untuk persatuan dan kendali.

China telah lama menyatakan bahwa warga Tibet bebas mempraktikkan keyakinan mereka. Namun, keyakinan itu juga merupakan sumber identitas berabad-abad, yang menurut kelompok hak asasi manusia perlahan-lahan terkikis oleh Beijing.
Mereka mengeklaim bahwa banyak warga Tibet telah ditahan karena melakukan protes damai, mempromosikan bahasa Tibet, atau bahkan sekadar memiliki potret Dalai Lama.
Banyak warga Tibet, termasuk beberapa yang kami ajak bicara di dalam Biara Kirti, mengkhawatirkan undang-undang baru yang mengatur pendidikan anak-anak Tibet.
Semua anak di bawah 18 tahun kini harus bersekolah di sekolah negeri China dan belajar bahasa Mandarin.
Mereka tidak dapat mempelajari kitab suci Buddha di kelas biara hingga usia 18 tahun—dan mereka harus “mencintai negara dan agama serta mengikuti hukum dan peraturan nasional”.
Ini adalah perubahan besar bagi komunitas dimana biksu sering kali direkrut sejak kecil, dan biara berfungsi ganda sebagai sekolah bagi sebagian besar anak laki-laki.
“Salah satu institusi Buddha di dekat sini dihancurkan pemerintah beberapa bulan lalu,” ujar seorang biksu berusia 60-an kepada kami di Aba.
Biksu itu sedang berjalan menuju ibadah di tengah hujan dengan payungnya.
“Itu adalah sekolah khotbah,” tambahnya dengan suara emosional.
Aturan baru ini menyusul ketetapan tahun 2021 yang mengharuskan semua sekolah di wilayah Tibet, termasuk taman kanak-kanak, mengajar dalam bahasa Mandarin.
Beijing beralasan ini memberi anak-anak Tibet kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan di negara yang bahasa utamanya adalah Mandarin.
Namun, peraturan semacam itu bisa “berdampak besar” pada masa depan Buddhisme Tibet, menurut cendekiawan ternama Robert Barnett.
“Kita bergerak menuju skenario dimana pemimpin China Xi Jinping memiliki kendali penuh—menuju era minimnya informasi yang masuk ke Tibet, minimnya bahasa Tibet yang dibagikan,” kata Barnett.
“Pendidikan akan hampir sepenuhnya tentang festival China, kebajikan China, budaya tradisional China yang maju. Kita melihat pengelolaan input intelektual secara menyeluruh.”

Pemandangan jalan menuju Aba menunjukkan gelontoran uang yang telah dipompa Beijing ke sudut terpencil dunia ini. Jalur kereta api berkecepatan tinggi yang baru memeluk perbukitan, menghubungkan Sichuan dengan provinsi lain di dataran tinggi.
Di Aba, toko-toko di jalan utama yang biasanya menjual jubah biksu dan bundel dupa, kini diapit oleh hotel, kafe, dan restoran baru untuk menarik wisatawan.
Wisatawan China tiba dengan peralatan pendakian gunung bermerek dan berdiri terpukau saat umat lokal bersujud di atas balok kayu di pintu masuk kuil Buddha.
“Bagaimana mereka bisa menyelesaikan pekerjaan seharian?” seorang turis bertanya dengan lantang.
Turis lain memutar roda doa dengan antusias dan bertanya tentang mural kaya warna yang menggambarkan adegan dari kehidupan Buddha.
Sebuah slogan partai yang tertulis di pinggir jalan dengan bangga menyatakan bahwa “orang-orang dari semua kelompok etnis bersatu erat seperti biji-biji dalam buah delima.”
Akan tetapi, kentara sekali ada pengawasan yang ketat dan merata di mana-mana.
Tamu hotel harus melalui sistem pengenalan wajah.
Bahkan sekadar membeli bensin memerlukan beberapa bentuk identifikasi yang ditunjukkan ke kamera definisi tinggi.
China telah lama mengontrol informasi yang dapat diakses warganya—tetapi di wilayah Tibet, cengkeramannya bahkan lebih ketat.
Warga Tibet, kata Barnett, “terkunci dari dunia luar.”
‘Penerus’ yang tepat
Sulit untuk mengatakan berapa banyak orang Tibet lokal yang tahu tentang pengumuman Dalai Lama pada Rabu (02/07).
Pidato Dalai Lama disiarkan ke seluruh dunia, tetapi disensor di China.

Sumber gambar, SANJAY BAID/AFP via Getty Images
Hidup di pengasingan di India sejak tahun 1959, Dalai Lama ke-14 telah mengadvokasi otonomi yang lebih besar, alih-alih kemerdekaan penuh, bagi tanah airnya.
Beijing, di sisi lain, meyakini Dalai Lama ke-14 “tidak punya hak untuk mewakili rakyat Tibet.”
Ia menyerahkan otoritas politik pada tahun 2011 kepada pemerintah-dalam-pengasingan yang dipilih secara demokratis oleh 130.000 warga Tibet secara global.
Pemerintah tersebut telah melakukan pembicaraan melalui jalur belakang tahun ini dengan China mengenai rencana suksesi, tetapi tidak jelas apakah ada kemajuan berarti.
Dalai Lama sebelumnya menyarankan bahwa penggantinya akan berasal dari “dunia bebas”, yaitu di luar China.
Pada hari Rabu (02/07), ia mengatakan “tidak ada orang lain yang memiliki wewenang untuk ikut campur.”
Hal ini menjadi panggung untuk konfrontasi dengan Beijing, yang mengatakan proses tersebut harus “mengikuti ritual keagamaan dan kebiasaan sejarah, serta ditangani sesuai dengan hukum dan peraturan nasional.”
Beijing sudah melakukan persiapan untuk meyakinkan warga Tibet, papar Barnett.
“Sudah ada perangkat propaganda besar-besaran. Partai Komunis sudah mengirim tim ke kantor, sekolah, dan desa untuk mengajari masyarakat tentang ‘peraturan baru’ dalam memilih Dalai Lama,” ujarnya.

Sumber gambar, Getty Images
Ketika Panchen Lama, otoritas tertinggi kedua dalam Buddhisme Tibet, meninggal pada tahun 1989, Dalai Lama menunjuk seorang penerus untuk posisi itu di Tibet.
Namun, anak tersebut menghilang.
Beijing dituduh menculiknya, meskipun mereka bersikeras bahwa anak itu, yang kini sudah dewasa, dalam keadaan aman.
Beijing kemudian menyetujui Panchen Lama yang berbeda, yang tidak diakui oleh warga Tibet di luar China.
Jika ada dua Dalai Lama, ini bisa menjadi ujian bagi kekuatan persuasi China.
Siapa yang akan diakui dunia? Dan yang lebih penting, apakah sebagian besar warga Tibet di China akan mengetahui keberadaan Dalai Lama yang lain?

China menginginkan penerus yang kredibel—tetapi mungkin tidak terlalu kredibel.
Karena, kata Barnett, Beijing ibarat “ingin mengubah singa budaya Tibet menjadi anjing pudel”.
“Mereka ingin menghilangkan hal-hal yang mereka anggap berisiko dan menggantinya dengan hal-hal yang mereka yakini seharusnya dipikirkan warga Tibet; patriotisme, kesetiaan, ketaatan. Mereka menyukai nyanyian dan tarian—versi Disney dari budaya Tibet.”
“Kita tidak tahu berapa banyak yang akan bertahan,” Barnett menyimpulkan.
Saat kami meninggalkan biara, sekelompok perempuan membawa keranjang berat berisi perkakas konstruksi atau pertanian berjalan melewati ruangan roda doa, memutarnya searah jarum jam.
Mereka bernyanyi dalam bahasa Tibet dan tersenyum saat lewat, rambut mereka yang beruban dan tergulung hanya sedikit terlihat di bawah topi pelindung matahari mereka.
Warga Tibet telah mempertahankan identitas mereka selama 75 tahun, berjuang dan mati untuk itu.
Tantangan sekarang adalah melindunginya, bahkan ketika pria yang mewujudkan keyakinan—dan perlawanan—mereka nanti tiada.