Warga kampung kota di utara Jakarta mencari pantai, sekaligus keadilan

Sumber gambar, Afriadi Hikmal/NurPhoto via Getty Images
-
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Jakarta dikenal sebagai kota metropolitan, lengkap dengan deretan gedung pencakar langit yang menjulang, hamparan ruas jalan yang membelah berbagai sisi, serta kemacetan yang mengular tanpa putus. Tapi, fakta bahwa Jakarta terletak pula di pesisir seperti hampir absen dalam setiap perbincangan.
Berjalan ke utara, menjauhi segala yang “besar” dan “megah,” kita akan menjumpai denyut nadi kehidupan lain yang tersusun atas bongkahan kontainer, tempat pelelangan ikan yang tersebar di banyak titik, atau kapal-kapal nelayan yang tengah bersandar menanti waktu untuk kembali diberangkatkan.
Kehidupan di utara Jakarta berdetak sebagaimana khas pesisir pada umumnya; ia tercipta dan terbentuk dengan laut menjadi tumpuan sekaligus pijakan.
Dan bicara tentang pesisir, maka terdapat elemen ‘penting’ yang tidak bisa dilepaskan dari kehadirannya: pantai.
Jakarta, secara teori, adalah kota dengan pantai.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Pada awal 1960-an, musisi dan komposer asal Brasil, Carlos Antonio Jobim, membuat balada yang kelak meledak di dunia, diberi judul “The Girl from Ipanema.”
Lagu ini, di waktu bersamaan, menandai mekarnya ragam musik bossa nova—atau samba jazz—sampai setidaknya 1970-an.
Karya-karya dari Astrud Gilberto, Gal Costa, Elis Regina, Toquinho, hingga Joao Gilberto lalu memenuhi rak di toko musik lintas negara dan dirayakan sebagai fenomena kultural yang jejaknya masih terasa sampai sekarang.
Pembacaan mengenai bossa nova tak hanya sebatas dari aspek musik; bossa nova, kala itu, dipandang menjadi cerminan Brasil yang memasuki era baru. Brasil yang modern. Brasil yang masyarakatnya bahagia sebab ekonominya maju.
Para musisi bossa nova kemudian menangkap situasi tersebut dan menuangkannya ke dalam komposisi lagu. Satu hal yang bisa dikata melekat di setiap alunan bossa nova ialah penyertaan unsur pantai.
Ipanema di lagu “The Girl from Ipanema” merujuk pada pantai bernama Ipanema yang membentang di Rio de Janeiro, kota utama di Brasil.

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Pantai ini berada di balik bangunan tinggi di Rio de Janeiro, rutin disambangi masyarakat di sana lantaran begitu mudah diakses, serta merepresentasikan kegembiraan kolektif.
Orang-orang Brasil, pendek kata, berpesta di pantai dengan bossa nova sebagai latar pendamping yang menyempurnakan.
Warga kota di Brasil mempunyai kedekatan yang erat bersama pantai, dan Ipanema bukan satu-satunya ruang yang tersedia. Tak jauh dari Ipanema, ada Copacabana.
Sama seperti Ipanema, Copacabana tak bersekat sehingga siapa saja dapat memasukinya secara cuma-cuma untuk menikmati gulungan air laut atau menepi sejenak dari hiruk pikuk perkotaan yang berjarak sejengkal.
Rio de Janeiro kurang lebih mirip dengan Jakarta; kota besar di wilayah pesisir. Pertanyaannya: apakah Jakarta mempunyai pantai bagi masyarakatnya?
Mendambakan pantai, merekam kembali nostalgia

Sumber gambar, Ed Wray/Getty Images
Ingatan Munarto seketika mundur ke dekade 1970-an saat BBC News Indonesia bertanya soal pantai di Jakarta.
Kala itu, Munarto, yang lahir dan besar di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, masih anak-anak. Usianya, kira-kira, baru sekitar 10 tahun. Ada momen yang selalu ia nantikan.
Setiap Idulfitri tiba, Munarto dan keluarga besarnya akan bepergian ke pantai di dekat pelabuhan Tanjung Priok. Di sana, mereka menghabiskan waktu untuk bercengkerama maupun bermain air.
Saat hari berganti malam, letupan antusiasme Munarto kecil masih terasa lantaran ia disuguhi ‘hiburan’ lainnya berupa pemandangan kapal-kapal besar yang keluar dan masuk pelabuhan.
Dari pantai tempat Munarto dan keluarga besarnya berdiri, kapal-kapal besar itu memancarkan kerlip cahaya. Munarto senang melihatnya.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
“Kalau Lebaran, itu pantai ramai sekali dengan orang. Masyarakat mencari hiburannya di pantai. Rombongan yang datang,” terang lelaki kelahiran 1966 ini kepada BBC News Indonesia.
Pantai tidak sekadar jadi jujukan Munarto tatkala hari raya menjemput. Pada kesempatan di luar itu, Munarto dan teman-temannya kerap menuju ke pantai guna berlarian, berkejaran, serta berbagi senda gurau.
Semua dinikmati Munarto, serta warga secara keseluruhan, tanpa perlu merogoh kocek.
Pintu pantai di utara Jakarta, dengan kata lain, terbuka lebar untuk mereka yang memerlukan asupan untuk liburan—kapanpun itu.
“Orang Jakarta masih bisa datang ke pantai [secara] gratis,” Munarto menegaskan.
Waktu berjalan. Munarto beranjak dewasa. Ia tidak lagi tinggal di dekat Tanjung Priok dan pindah ke Muara Angke—sama-sama di Jakarta Utara.
Roda hidup, ternyata, turut berdampak terhadap pantai yang dulu Munarto kecil dan keluarga kerap jadikan sandaran untuk berkumpul bersama.

Sumber gambar, Aditya Irawan/NurPhoto via Getty Images
Pantai itu populer dengan nama Sampur. Sebelum Munarto, pantai ini sudah lebih dulu dikunjungi orang-orang di Jakarta pada era ‘jadul,’ tepatnya sejak pemerintah kolonial Belanda berkuasa.
Oleh orang-orang Belanda, Pantai Sampur dikenal pula dengan ‘zandvoort.’
Arsip sejarah memperlihatkan zandvoort menjadi tujuan masyarakat dalam rangka berekreasi. Mereka menyambangi pantai untuk menyeret kaki di atas pasir putih atau sekadar duduk bersantai menunggu matahari tenggelam.
Zandvoort, atau Sampur, bukan satu-satunya lanskap pantai yang eksis. Publik mengenal Pantai Cilincing yang kurang lebih mirip dengan Sampur.
Beberapa bukti visual yang dilihat BBC News Indonesia menunjukkan Pantai Cilincing ramai dikunjungi orang-orang, baik masyarakat lokal maupun Belanda.
Para pengunjung terekam sedang berenang, mencoba mendayung menggunakan sampan, atau sebatas berjalan menyusuri pantai. Sepintas, Ipanema hadir di Jakarta.
Alwi Shahab dalam Betawi: Queen of the East (2002) menulis penamaan zandvoort, oleh Belanda, konon meniru identitas salah satu pantai di sana.
Pada 1950-an, tutur Alwi, “rekreasi ke zandvoort begitu menyenangkan.”
“Rekreasi ke tempat ini tidak memerlukan biaya yang besar karena tidak dipungut bayaran satu sen pun,” jelas Alwi.
“Keluarga dapat menggelar lesehan untuk menangsel perut dan menikmati angin maupun ombak laut.”
Nasib dua pantai ini lenyap ditelan zaman. Keberadaannya berganti rupa dengan pemandangan lain yang bahkan membuat keduanya seperti tanpa jejak.
“Sekarang, pantai di Jakarta enggak ada yang bisa diakses dengan gratis,” ungkap Munarto.
“Pantai ada di Ancol, dan itu harus membayar. Paling kalau warga mau ke pantai [gratis], larinya ke PIK [Pantai Indah Kapuk].”

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
BBC News Indonesia berupaya melihat di mana saja pantai di Jakarta berbekal Google Maps. Kata kunci “pantai” kami ketik di kolom pencarian.
Hasil dari Google Maps memberi petunjuk pantai-pantai yang ada di pesisir Jakarta. Tidak semua masuk wilayah administratif Jakarta. Sebagian berlokasi di Bekasi, juga Banten.
Di Jakarta, pilihan mengerucut setidaknya kepada sepasang lokasi: Pantai Ancol serta Pantai Marunda. Di Ancol, seperti kata Munarto, memang berbayar.
Informasi yang kami himpun lewat situs resmi Ancol menyebutkan tiket masuk per orang dipatok sebesar Rp30 ribu.
Ini belum ongkos untuk kendaraan motor atau mobil yang masing-masing dibanderol dengan Rp25 ribu serta Rp30 ribu.
Bergeser ke Marunda, syarat serupa juga diterapkan. Bedanya, alokasi biaya masuk pantai tidak sebesar jika pergi ke Ancol—perkiraan hanya Rp10 ribu atau kurang dari itu untuk parkir.
Mengapa harus bayar untuk masuk ‘area publik’?
Diskursus ihwal apakah pantai, yang notabene “area publik,” harus berbayar atau tidak sempat mengemuka beberapa tahun lalu. Sebagian di antaranya sampai jalur hukum.
Pada 2012, tiga warga Jakarta menggugat pengelolaan pantai di Ancol sebab mengharuskan biaya masuk bagi masyarakat.
Penggugat menilai pantai adalah lahan milik publik sehingga sudah semestinya dibuka secara gratis. Pihak tergugat yakni Pemprov DKI Jakarta, PT Taman Impian Jaya Ancol, serta PT Pembangunan Jaya Ancol.
Dalam prosesnya, ketiga penggugat mengalami gugatan balik oleh pihak Ancol sebesar Rp1,5 miliar.
Kuasa hukum PT Pembangunan Jaya Ancol berkata gugatan balik kepada tiga penggugat dimaksudkan sebagai “peringatan supaya kalau menggugat harus memikirkan pertimbangan dasar hukumnya.”

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/agr
Nominal Rp1,5 miliar dihitung berdasarkan, salah satunya, estimasi kerugian yang ditimbulkan dari proses gugatan warga terhadap nama baik perusahaan.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada Februari 2013, menolak mengabulkan gugatan warga dengan dalih tidak ada peraturan yang dilanggar pengelola Pantai Ancol dan Pemprov DKI Jakarta.
Majelis hakim menambahkan bahwa menghubungkan penarikan tarif yang dibebankan kepada pengunjung dengan pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana yang ditekankan para penggugat, disebut terlalu abstrak dan luas tafsirannya.
Tak hanya dari warga penggugat, majelis hakim membatalkan pula gugatan balik PT Pembangunan Jaya Ancol.
Empat tahun berselang, wacana menggratiskan biaya masuk Ancol kembali mengemuka.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, almarhum Tjahjo Kumolo, menyatakan “pemerintah pusat menginginkan banyak area publik di DKI [Jakarta] ini bisa bebas [masuk].”
“Harusnya masuk Ancol bebas. Masak mau mandi di pantai bayar?” terang Tjahjo, Agustus 2017.

Sumber gambar, BAY ISMOYO/AFP via Getty Images
Sedangkan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, mengutarakan persetujuannya apabila biaya masuk Ancol ditiadakan. Namun, Pemprov DKI Jakarta tidak dapat mengintervensi langsung kebijakan pengelola Ancol.
Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol periode 2016-2019, Paul Tehusijarana, menjelaskan pihaknya belum bisa memberikan akses masuk gratis ke Ancol kepada publik. Sejumlah masalah, ucapnya, bakal bermunculan jika wacana tersebut direalisasikan.
“Selain masalah keuangan, yang bisa timbul adalah masalah hukum,” paparnya, Oktober 2017.
“Karena Ancol adalah perusahaan terbuka, ada rambu-rambu yang harus kami ikuti.”
Ketika akses masuk dibebaskan, Paul meneruskan, dampak finansial akan terjadi setelahnya.
Sementara, Paul menggarisbawahi, “cost-nya Ancol besar termasuk untuk perawatan dan pelayanan.”
“Masalahnya, semua itu membutuhkan banyak biaya,” Paul menuturkan.
Paul menambahkan “di mana-mana pantai [harus] bayar.”
Pantai Ancol berada di bawah pengurusan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang pembangunan dan pariwisata, PT Pembangunan Jaya Ancol.
Mayoritas saham dipegang oleh Pemprov DKI Jakarta, sebesar 72%. Sisanya dibagi ke PT Pembangunan Jaya Ancol (18,01%) dan masyarakat umum (9,99%).
Keterlibatan publik dalam pemegang saham di Ancol terwujud usai PT Pembangunan Jaya Ancol melakukan penawaran saham publik perdana (Initial Public Offering/IPO) pada Juli 2004.
Pada 2024, PT Pembangunan Jaya Ancol mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp1,26 triliun. Kontribusi utama disumbang lewat sektor pariwisata (75,11%).

Sumber gambar, BAY ISMOYO/AFP via Getty Images
Pemprov DKI Jakarta mengakui daerahnya memang tidak mempunyai pantai gratis.
Maka dari itu, pada 2018, saat Anies Baswedan masih duduk di kursi gubernur, mereka meluncurkan “pantai” di tiga titik lahan reklamasi: C, D, dan G. Ketiga pantai tersebut diberi nama Maju, Kita, serta Bersama.
Tidak ada pasir putih seperti halnya yang seringkali dimaknai oleh publik sebagai “pantai.”
Bongkahan batu menjadi pemandangan yang cukup mencolok, memisahkan antara darat dan lautan.
Selepas diresmikan Anies, masyarakat memanfaatkan ketiga pantai ini untuk arena olahraga.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang banyak mengkaji isu tentang kewilayahan di pesisir, Gusti Ayu Ketut Sutiarti, menjelaskan pemberlakuan “biaya” atas pemanfaatan pantai merupakan bentuk “penguasaan” dari mereka yang kuasanya lebih besar atau tinggi ketimbang lainnya.
“Jadi, sekarang kita lihat saja kalau, misalnya, dia menyebutkan [pantai] berbayar itu sama dengan mengeklaim itu milik dia,” ucapnya saat dihubungi BBC News Indonesia.

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Ayu memberi contoh fenomena semacam ini tidak cuma terjadi di Jakarta, melainkan “di pantai-pantai di Bali yang hampir banyak pantainya diklaim,” imbuhnya.
“Saya akan bilang ini memang bagaimana dari atas [pembuat kebijakan] dan implementasi di bawahnya,” tandasnya.
Konsep ‘penguasaan’ tersebut dijalankan lewat serangkaian regulasi supaya tercipta etika dan sikap tertib untuk siapa pun yang masuk ke area pantai.
“Kalau dibilang pantai itu hak semua orang, memang harusnya hak semua orang. Tapi, kembali lagi, ini hak semua orang termasuk orang-orang dengan semua power yang dimiliki,” sebutnya.
Namun, Ayu mengingatkan ‘kekuatan’ yang ditunjukkan itu sebisa mungkin tidak menjauhkan kelompok masyarakat lain dari akses akan hak-hak mereka.
Yang utama, Ayu menyatakan, bagaimana memastikan kebijakan yang diterapkan mampu melahirkan keadilan (fairness).
Roda-roda itu bernama pembangunan
Muslimin pertama kali tiba di Jakarta, dari Palembang, pada awal 2000-an. Ia pernah tinggal di Cilincing, Jakarta Utara, sebelum akhirnya pindah dan menetap ke Muara Angke.
Sekitar seperempat abad berada di pesisir Jakarta, Muslimin melihat kawasan ini berubah dengan cukup drastis.
“Dulu kalau mau ke pantai, tinggal ke pinggir laut, selesai,” cerita Muslimin kepada BBC News Indonesia.
“Sekarang jadi sangat terbatas karena daerah pinggir [laut] itu sudah banyak dipenuhi bangunan.”
BBC News Indonesia menelusuri lokasi-lokasi di utara Jakarta yang berbatasan langsung dengan air, yang semestinya dapat menjadi ruang publik bernama pantai.
Lewat Google Maps, BBC News Indonesia melihat area-area tersebut sudah ditempati berbagai bangunan: dari mal, apartemen, pabrik, peti kemas, sampai perumahan elite. Kecuali di Ancol dan Marunda, nyaris tidak terdapat ruang lain yang bisa difungsikan sebagai pantai.
Tergerusnya titik-titik pantai di utara Jakarta seperti menggambarkan kecepatan transformasi wilayah di pesisir.
Akarnya adalah pembangunan.

Sumber gambar, Donal Husni/NurPhoto via Getty Images
Peneliti Institute for Sustainable Earth and Resources Universitas Indonesia, Jan Sopaheluwakan, menerangkan pemerintah kolonial Belanda berandil dalam membentuk struktur ekonomi Jakarta menjadi seperti sekarang.
Kala itu, VOC, kongsi dagang Hindia-Belanda, menempatkan Jakarta—dulu Batavia—sebagai pintu distribusi barang.
Perlahan, posisi Jakarta kian menjelma strategis, khususnya di wilayah Asia.
Memasuki masa pasca-kemerdekaan, tepatnya kala pemerintahan Ali Sadikin, “pembangunan dan pertumbuhan Jakarta melaju kencang,” sebut Jan.
“Dan ternyata digerakkan oleh market,” Jan menambahkan.
Konteks market—atau pasar—di sini berarti berlaku hukum penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga lahan yang masih ‘terjangkau’—murah—daripada Hong Kong atau Singapura mendorong para pemodal untuk menyalurkan dana yang tidak terbatas ke Jakarta.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Google YouTube. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Google YouTube kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal Konten YouTube mungkin memuat iklan
Lompati YouTube pesan
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di YouTubeBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Mereka membeli, menjual, bahkan menimbun tanah sehingga yang terjadi berikutnya adalah Jakarta menjadi surga para spekulan.
“Dari sisi demand itu juga tetap tinggi. Dan tentu saya melihat di sini, kalau kita bicara demand, adalah bukan demand dari pemerintah, melainkan demand dari sisi bisnis dan high-end market,” ujar mantan peneliti senior bidang geoteknologi di BRIN ini.
Situasi ini, Jan menganalisa, lantas ditopang juga dengan produk hukum yang cenderung berpihak ke kekuatan pasar. Jika sudah demikian, konsensus yang diputuskan adalah “tata ruang yang dibangun semata-mata hanya untuk ekonomi,” tegas Jan.
“Environment itu cuma bahasa kiasan saja,” imbuhnya.
Akhirnya, terbangun paradigma bahwa lahan di Jakarta tidak terbatas—unlimited. Pembangunan di Jakarta tidak lagi berpusat di satu area, melainkan menyebar ke titik-titik sekitarnya, ditunjang kooptasi kepentingan industri semen, otomotif, sampai properti.

Sumber gambar, Getty Images
Kawasan utara Jakarta bukan pengecualian.
Pembangunan di sana masif berputar. Selain faktor keberadaan pelabuhan, tingkat permintaan untuk hunian dan komersial meningkat imbas makin sesaknya lahan di selatan, pusat, timur, serta barat Jakarta.
“Kalau kita lihat big view-nya, memang ke selatan [Jakarta] itu susah karena sudah dipenuhi mereka-mereka para spekulan itu. Lalu, dari sini, yang gampang ke utara. Daripada susah [membangun] di darat, bikin saja di laut,” jelas Jan.
“Maka, muncul PIK 1, PIK 2. Bagaimana dengan tata ruang? Cincailah. Gampang.”
Pertumbuhan di Jakarta, Jan menyimpulkan, dibuat seolah-olah organik. Tapi, “pada dasarnya di balik itu adalah kekuatan pasar,” sambungnya.
Konsekuensi dari pembangunan ini tidaklah main-main: land subsidence (penurunan tanah).
Satu riset menjelaskan di Jakarta Utara tingkat penurunan tanah berada di angka hampir 11 cm setiap tahunnya.

Sumber gambar, Ed Wray/Getty Images
Penurunan tanah disebabkan, mengutip riset tersebut, interaksi kompleks antara kondisi geologis dan aktivitas antropogenik, terutama penyedotan air tanah serta pengembangan kawasan perkotaan.
“Kompresibilitas—ukuran perubahan volume akibat tekanan—sedimen aluvial dan dampak peristiwa banjir semakin memperparah masalah ini, menyoroti perlunya strategi mitigasi yang komprehensif,” tulis riset yang dipublikasikan pada Juli 2024 ini.
Jan mengungkapkan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir, dalam lingkup masalah penurunan tanah, menanggung beban paling besar sebab “mesti menghadapi banjir setiap waktu.”
Alhasil, Jan menambahkan, “mereka menjadi masyarakat yang terpinggirkan secara struktural.”
Mimpi panjang nan berliku membangun hunian
Fani merasa hidup dengan ketidakpastian.
Setelah menikah dan merantau ke Jakarta dari kampung halamannya di Rangkasbitung, Banten, ia tak pernah mendapatkan hunian tetap. Ia hidup dengan berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya.
Pada 2010, awal mula tiba di Jakarta, Fani dan suaminya tinggal di Kampung Baru, Jakarta Timur. Empat tahun kemudian, ia pindah ke Muara Angke, Jakarta Utara.
Baru sebentar menginjakkan kaki, ia mesti bersedia ‘dipindahkan.’ Pasalnya, lahan yang ia tempati bakal dibikin tempat pelelangan ikan oleh pemerintah.
Fani akhirnya memperoleh lokasi pengganti yang tak jauh dari tempat ia menetap sebelumnya—masih di Muara Angke.
Bersama warga yang lain, Fani membangun sedikit demi sedikit hunian yang bisa menampung keluarganya kelak, walaupun hanya bermodal papan kayu yang tipis ukurannya.
Selama hampir satu dekade berjalan, Fani bertahan di situ, membayar uang kontrakan yang jumlahnya sekitar setengah juta tiap bulannya.
Jelang Lebaran pada 2023, api melalap area lokasi Fani bermukim.

Sumber gambar, Oscar Espinosa/SOPA Images/LightRocket via Getty Images
“Aku tidur setelah lelah karena seharian bikin kue untuk Idulfitri besoknya. Itu pas malam takbiran. Malamnya, sekitar jam 2 kurang, aku dibangunin suami,” Fani, kini berusia kepala empat, mengigat peristiwa tersebut.
“Waktu aku bangun, rasanya sudah panas. Api ternyata sudah ada dari bawah.”
Fani lalu segera keluar lokasi, membawa anak-anaknya untuk menyelamatkan diri. Barang dan harta miliknya ludes terbakar api. Di sini, hatinya terasa pedih.
“Karena tempat tinggal kami habis semua,” tuturnya. “Cuma tersisa baju yang kami pakai waktu kebakaran malam itu.”
Dua tahun setelah insiden kebakaran, Fani berusaha kembali menata hidup. Ia memilih untuk tidak pindah dari Muara Angke lantaran sumber pendapatannya berasal dari daerah ini. Ia khawatir pilihannya tidak kelewat banyak apabila memutuskan angkat kaki ke tempat lain.
Sehari-hari, Fani bekerja sebagai tukang ojek khusus antar-jemput warga yang hendak mengurus keperluan di kantor kelurahan maupun dinas-dinas pemerintah di Muara Angke. Suaminya mencari nafkah dengan menjadi buruh pelabuhan.
Meski begitu, Fani tetap dihantui perasaan tidak tenang. Ia cemas sewaktu-waktu diminta pergi dari kontrakannya.
Kenyataan pahit semacam itu adalah hal yang tidak bisa dihindari oleh masyarakat kampung kota di Muara Angke, Jakarta Utara, kata salah-seorang warga yang aktif terlibat advokasi, Muslimin.
Ia menyebut pemerintah tengah menyiapkan rencana pembangunan, dari pembukaan jalan, pendirian jaringan SUTET (Saluran Udara Tengangan Ekstra Tinggi), hingga tanggul penahan banjir rob, yang berpeluang menggusur kampung kota di Muara Angke.
Muslimin mencatat terdapat lima kampung yang berpotensi terdampak pembangunan—yang ditujukan guna mendukung kegiatan industri—di Muara Angke.
Kelimanya yakni Kampung Blok Eceng, Limba, Tembok Bolong, Empang, serta Kerang Hijau. Semuanya berjumlah sekitar 2.000 KK (Kartu Keluarga) dan berada di bawah atap naungan RW (Rukun Warga) 22.
Masyarakat di lima titik tersebut, Muslimin melanjutkan, pada dasarnya meyakini program pemerintah mampu “meningkatkan kualitas ekonomi.”
“Cuma, kami mengharapkan tidak ada penggusuran. Kalaupun, misalnya, ada rumah yang terdampak, mari kita rencanakan pengganti rumahnya seperti apa,” paparnya kepada BBC News Indonesia.
“Ini adalah kesempatan untuk menata ulang permukiman warga kampung kota.”
Terlebih, masyarakat, imbuh Muslimin, “sudah tinggal selama puluhan tahun di Muara Angke.”

Sumber gambar, Oscar Espinosa/SOPA Images/LightRocket via Getty Images
Warga di RW 22, didampingi sejumlah organisasi sipil seperti Rujak Center for Urban Studies, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), serta Urban Poor Consortium (UPC), lalu berupaya menjalin dialog dengan Pemprov DKI Jakarta mengenai rencana relokasi sejak 2019.
Proposal pembangunan permukiman, terdiri rumah tapak dan vertikal dengan status tanah berupa Hak Guna Bangunan (HGB), disodorkan sebagai opsi. Lahan yang diperlukan, sebut Muslimin, “hanya 40% dari keseluruhan yang kini dihuni masyarakat [existing].”
“Jadi, kami akan menghemat sekitar 60% lahan yang akan digunakan Pemprov DKI dengan proyek-proyek strategisnya. Kami sebenarnya sudah menyesuaikan itu dan sudah membuat kesepakatan dengan warga untuk hunian masa depannya,” terang Muslimin.
Muslimin berharap pemerintah merespons partisipasi bermakna masyarakat sehubungan penyusunan rencana permukiman baru.
Dengan membuka ruang bagi warga kampung kota untuk menentukan apa yang ingin mereka jalani merupakan wujud bahwa pemerintah benar-benar mendengar sekaligus menyerap aspirasi di tingkat bawah.
Pemprov DKI Jakarta, sejauh ini, “belum memberikan balasan atas ide masyarakat Muara Angke,” Muslimin memberitahu.

Sumber gambar, Ed Wray/Getty Images
Arsitek sekaligus peneliti Rujak Center for Urban Studies, Amelia Nur Indah Sari, menjelaskan tawaran dari masyarakat Muara Angke merupakan rupa bernama “konsolidasi tanah.”
Secara konsep, lanjut Amelia, konsolidasi tanah membuka kemungkinan kepada dua pihak, masyarakat dan negara, untuk berjalan berdampingan.
“Program pemerintah atau Pemprov DKI tetap jalan, tapi warga tidak dipindahkan jauh atau tidak dihilangkan haknya terhadap akses laut dan pasar untuk menjual hasil tangkap mereka,” sebutnya merespons BBC News Indonesia.
Jika dibandingkan dengan wilayah lain di Jakarta, kawasan utara, dalam selingkung politik tata ruang, Amelia menerangkan, “punya karakter yang berbeda.” Perbedaan tersebut, pada taraf tertentu, memengaruhi perspektif masyarakat.
Di luar area utara atau pesisir Jakarta, hunian warga di kampung-kampung kota mayoritas berakar dari warisan kolonial sehingga lebih terbuka kemungkinannya untuk dicatat secara rapi. Ketika muncul gentrifikasi, masyarakat bisa memperlihatkan bukti kepemilikannya.
Kampung-kampung kota di utara Jakarta tidak begitu.
Masyarakat di kampung-kampung kota di utara Jakarta tidak memegang dokumen legal atas lahan yang mereka tempati. Kawasan di utara Jakarta berkembang secara organik.
Nelayan datang dari berbagai daerah lalu membikin sandaran kapal sebelum akhirnya mendirikan tempat tinggal.
“Jadi sama sekali belum pernah ada upaya penataan [permukiman] di wilayah ini sampai dengan hari ini,” ucap Amelia.
Warga lantas merasa tidak berhak atas tanah yang selama ini mereka tinggali tatkala pemerintah, sebagai contoh, datang dengan proyek pembangunan mereka.
“Padahal warga punya hak kalau kita merujuk Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) [Nomor 5 Tahun 1960] saat mereka sudah tinggal di sana lebih dari 20 tahun,” tandas Amelia.
“Untuk membuktikannya, bisa dengan pengakuan atau kesaksian dari warga lain yang menunjukkan kalau yang bersangkutan memang tinggal di situ sudah dari lama.”
Kolaborasi menjadi kata kunci saat membahas sejauh mana pembangunan mampu menyediakan “kepastian” untuk warga yang berpotensi kena imbas.

Sumber gambar, Anadolu Agency via Getty Images
Dengan mengajak masyarakat turut serta, dalam arti “mereka tahu serta memegang kontrol dari perencanaan hingga implementasi,” Amel menuturkan, “maka pembangunan yang berpihak serta ideal itu terlaksana.”
Peneliti kewilayahan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gusti Ayu Ketut Sutiarti, menjelaskan partisipasi publik memang faktor krusial dalam menentukan arah pembangunan yang berkeadilan. Namun, mendorong pemerintah agar “taat regulasi” juga harus ditekankan.
Ayu mencontohkan saat satu area memang tidak dimanfaatkan sebagai permukiman, negara—atau pemerintah—mesti konsisten menegakkan aturan: bahwa lokasi itu bukan untuk hunian masyarakat.
“Bukan dibiarkan sampai sudah berkembang. Nanti ketika sudah begitu, pemerintah ujug-ujug memperkarakan [lahan yang ditempati warga],” Ayu mengatakan.
“Menurut saya itu letak ketidakadilannya.”
Pemprov DKI Jakarta sendiri, pada periode pemerintahan Anies Baswedan (2017-2022), telah menetapkan kebijakan penataan kawasan permukiman dengan fokus perbaikan kualitas hunian kampung kumuh serta konsolidasi lahan di perkampungan.
Poin pertama, klaim Pemprov DKI Jakarta, akan diiringi pelibatan masyarakat (community action planning).
Target penataan ini, mulanya, menyasar 445 lokasi RW. Belakangan angkanya direvisi menjadi setengahnya, 200 RW.
Lima kampung di RW 22, ujar Muslimin, masuk dalam daftar prioritas itu, berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 878 Tahun 2018 dan Keputusan Gubernur Nomor 979 Tahun 2022.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/Spt
Program penataan ini, meski belum mampu menyentuh ratusan RW yang ditentukan, dipandang menjanjikan secercah harapan dengan ‘keberhasilan’ Kampung Akuarium dan Kunir.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, semasa kampanye Pilgub 2024, menjanjikan akan meneruskan penataan permukiman kumuh seraya berkomitmen “menyediakan hunian yang terjangkau bagi warga di atas tanah milik BUMD atau Pemprov DKI Jakarta.”
“Bagi saya dan Bang Doel [Wakil Gubernur DKI Jakarta], menata kampung bukan hanya sekedar menata. Kumuhnya dihilangkan, kampungnya dipertahankan, dan orang masih bisa mencari makan di kampung tersebut,” tandasnya, November 2024.
Pramono menegaskan Jakarta “bukan tentang SCBD, Sudirman, Menteng, atau Gatot Subroto.”
Tapi, apakah Jakarta benar-benar bukan sekadar kawasan elite seperti yang diutarakan Pramono?
Di utara Jakarta, masa depan warganya berada dalam kegamangan.
Bagi Fani, selama pemerintah masih berkutat pada ucapan komitmen tanpa diteruskan dengan langkah konkret, ia—juga warga lainnya—akan senantiasa diselimuti ketakutan.
“Katakanlah proyek pemerintah dipastikan terus berjalan dan di waktu yang bersamaan masyarakat kampung kota di pesisir Jakarta tidak diberi kepastian,” ia berujar.
“Lalu kami ini akan tinggal di mana?”