Viral pernikahan anak di Lombok Tengah berujung laporan ke polisi – Apakah langkah hukum efektif menekan ‘tradisi’ perkawinan anak?

Sumber gambar, ISTIMEWA
Sejumlah pihak termasuk orang tua yang terlibat memfasilitasi pernikahan anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaporkan ke kepolisian. Mereka diadukan dengan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur ancaman pidana hingga sembilan tahun penjara.
Kasus perkawinan anak yang berujung pada laporan ke kepolisian dengan aturan yang disahkan 2022 ini bukan pertama kali.
LBH APIK NTB mengatakan “upaya terakhir” ini dilakukan pada tiga kasus lainnya, salah satunya sudah siap masuk ke meja hijau.
Langkah ini dilakukan di tengah otoritas daerah, tokoh adat dan lembaga masyarakat mengaku sudah mengambil langkah-langkah pencegahan dalam bentuk kampanye, dan kebijakan-kebijakan, tapi belum mampu mengakhiri praktik pernikahan anak.
Sejumlah kalangan meyakini tradisi merariq (melarikan perempuan) di NTB, khususnya Lombok, ikut berkontribusi dalam angka pernikahan anak.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Apakah langkah hukum pidana bisa jadi solusi di tengah peliknya adat perkawinan di NTB dan pernikahan anak?

Sumber gambar, Istimewa
Video sepasang pengantin di Lombok Tengah, NTB, yang beredar di media sosial mengundang perhatian publik disertai keprihatinan.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Musababnya, sepasang pengantin ini masih di bawah umur, masing-masing diketahui berusia 16 dan 14 tahun.
Dalam video yang beredar, nampak pengantin perempuan berteriak kekanak-kanakan memanggil ibunya dari panggung pelaminan.
Dalam potongan video lainnya, ia tertawa-tawa sambil mengacungkan simbol jari metal ke arah kamera, yang kemudian ditepis perempuan dewasa di sampingnya.
Ragam reaksi warganet mengomentari video ini di antaranya mengutarakan pertanyaan apakah pernikahan anak ini tidak dilarang, dan banyak tanggapan yang menyertai emoji wajah menangis prihatin.
Baca Juga:
Aturan larangan pernikahan anak sudah ada. Undang Undang Perkawinan mengatur syarat perkawinan usia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga menyebutkan pemaksaan perkawinan anak adalah salah satu jenis kekerasan seksual.
NTB sendiri sudah memiliki Peraturan Daerah No.5/2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Mengapa pernikahan anak tetap berlangsung?
Muhanan, paman sekaligus kuasa hukum pengantin perempuan mengatakan sebelum menikah, pasangan ini menjalankan prosesi merariq—tradisi perkawinan populer suku Sasak di Pulau Lombok—dimana laki-laki membawa lari calon istri.
Muhanan bilang, penganti laki-laki pertama kali mencoba merariq sekitar April lalu, tapi gagal karena dicegah keluarga dan pihak desa.
Saat itu, kedua pengantin bisa dipisahkan.
“Si anak perempuan kembali menjalankan aktivitas seperti biasa, kembali sekolah, SMP,” katanya.
Namun, sebulan kemudian, pengantin laki-laki melarikan mempelai perempuan ke Sumbawa, yang menurut adat harus dilanjutkan ke pernikahan.
“Kalau hukum adat kita, satu kali 24 jam (perempuan) menghilang dan besoknya ada konfirmasi merariq, mau tidak mau harus dilaksanakan (pernikahan),” katanya, sambil menambahkan, “daripada menjadi aib, jadi fitnah”.

Sumber gambar, Dok. Muhanan/Abdul Latief Apriaman
Muhanan mengaku pernikahan ini terjadi atas keinginan pasangan tersebut, bukan paksaan orang tua.
Oleh karena itu, pihak keluarga mengaku kecewa atas laporan LPA ke kepolisian.
“LPA mesti mengkaji ulang, jangan terburu-buru,” katanya.
Ia juga membuat klaim laporan hukum ini membawa dampak psikologis terhadap sepasang anak yang baru menikah itu.
“Mereka yang biasanya periang, sekarang jadi murung, karena khawatir orang tuanya dipenjara karena perbuatannya,” kata Muhanan, yang menilai hukum adat masih lebih dihormati di daerahnya dibanding hukum negara.
Sejauh ini belum ada pemanggilan dari polisi, tapi Muhanan bilang siap menghadapi persoalan pernikahan keponakannya di meja hijau.
“Selaku kuasa hukum saya akan menjalankan sebagaimana warga negara yang baik mendampingi terlapor,” katanya.

Sumber gambar, UNICEF
Ia juga membantah tuduhan keponakannya berkebutuhan khusus sebagaimana pertanyaan dan dugaan warganet yang mengemuka di media sosial melihat tingkahnya dalam video nyongkolan (arak-arakan pengantin).
“Anak ini kesehariannya memang ceria, mendengar musik, dia joget, karena memang anak-anak, murni dia masih polos. Kejadian saat nyongkolan itu menandakan dia memang masih anak-anak,” katanya.
Pengantin perempuan berusia 14 tahun, sementara laki-laki 16 tahun dan bekerja serabutan—buruh lepas, penjual tembakau, bawang, dan barang rongsokan.
Mereka belum memiliki tempat tinggal tetap, dan saat ini masih berpindah-pindah dari rumah satu kerabat ke yang lainnya.
Latar belakang pengantin laki-laki yang hidup sendirian karena ditinggal orang tua sejak kecil, juga menjadi sorotan Muhanan dalam menilai keputusan pernikahan ini.

Sumber gambar, GABRIEL BOUYS/AFP/Getty Images
Di sisi lain, Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, menyatakan laporan hukum ini bertujuan edukatif, menyadarkan masyarakat bahwa pernikahan anak memiliki sanksi pidana.
Ia menegaskan hukum adat pun tidak membenarkan pernikahan anak, namun selama ini tidak pernah ditegakkan.
LPA menggunakan pasal 10 ayat 2 huruf A UU TPKS dengan ancaman hukuman sembilan tahun penjara.
“Paling tidak dengan adanya pelaporan ini bisa menyadarkan masyarakat, mereka harus berpikir rasional pernikahan anak itu ada sanksi pidananya. Masyarakat juga bisa memahami perkawinan anak itu lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya,” kata Joko.
Joko menyebut pihaknya telah berkoordinasi dengan Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Lombok Tengah untuk pendampingan pada pengantin anak, termasuk rehabilitasi dan edukasi kesehatan reproduksi.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan lintas instansi—dari Dinas Kesehatan hingga Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa—untuk mencegah pernikahan anak dan melindungi masa depan mereka.
“Ini momentumnya sosialisasi ke aparat desa melakukan pencegahan pernikahan anak. Ini momentumnya melakukan upaya serius, sehingga harapan kita paling tidak satu dua tahun ini ada pengurangan angka pernikahan anak,” kata Joko.

Direktur LBH APIK NTB, Yanti Dewi menilai ketentuan adat “tak boleh bertentangan dengan hukum di atasnya”.
Laporan ke polisi dengan delik aduan UU TPKS ia sebut sebagai “titik akhir yang harus ditempuh” setelah upaya pencegahan sudah dilakukan.
Menurut Yanti di NTB pernikahan anak sudah dianggap bagian dari adat. Dan, “seolah-olah masyarakat itu tidak percaya bahwa ada aturan hukum yang bisa memberikan kepada orang tua sebagai pelaku perkawinan anak”.
LBH APIK NTB mencatat kasus terbaru ini merupakan upaya hukum pidana ke empat dengan delik aduan UU TPKS. Laporan pertama tidak ada perkembangan karena “APH (aparat penegak hukum) belum terbiasa dengan kasus seperti ini” dan UU TPKS baru disahkan.

Sumber gambar, Dok. Yanti Dewi
Laporan kedua tidak sampai sampai ke meja hijau, tapi memberikan efek edukasi kepada kepala desa yang semula memfasilitasi perkawinan anak, berubah menjadi pelopor pencegahan.
“Dan kasus ketiga ini proses hukumnya telah sampai P21 (siap masuk pengadilan), kemudian dilakukan penahanan terhadap mempelai orang tua yang laki dan mempelai orang tua yang perempuan,” kata Yanti yang meyakini ini pertama kali UU TPKS diterapkan pada kasus pernikahan anak di Indonesia sampai ke meja hijau.
Ia juga tak menutup mata langkah hukum ini akan berdampak kepada situasi mental dan psikologis anak yang melakukan pernikahan. Tapi jika dibiarkan, dampaknya akan lebih luas lagi.
“Bagaimana mungkin anak melahirkan anak, nanti akan muncul dampak-dampak lainnya secara kemapanan ekonomi, berdampaklah kepada kekerasan dalam rumah tangga… Belum lagi dampak-dampak kesehatan reproduksi lainnya,” katanya.
Yanti menyerukan pihak-pihak terkait memberikan edukasi dan pemahaman kepada anak yang berada di tengah situasi ini.

Sumber gambar, Dok. Eny Chaerany/Abdul Latief Apriaman
Pemprov NTB melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (PPA) mengeklaim telah terjadi penurunan laporan perkawinan anak dalam dua tahun terakhir. pada 2023 sebesar 38 kasus, dan angkanya menurun menjadi 18 kasus di 2024.
“Sementara hingga Mei 2025 terdapat (laporan) 4 kasus,” kata Kepala UPTD PPA NTB Enny Chaerani.
Enny mengatakan pihaknya masih memantau proses pengaduan terakhir di kepolisian. “UPTD PPA Lombok Tengah akan turun lagi melakukan pemantauan bagaimana perkembangan si anak,” katanya.
Pemprov NTB, kata dia, selama ini sudah mencegah pernikahan anak dengan cara adat seperti belas (pemisahan), penguatan psikologis, dan pengembalian anak ke sekolah.
Namun, Enny mengakui masih ada kemungkinan anak-anak menikah diam-diam setelah proses belas.
Tantangan lainnya, banyak masyarakat salah kaprah memahami adat.
“Merariq bukan berarti bisa langsung menikah setelah membawa lari anak,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa adat tetap mensyaratkan usia cukup dan prosedur yang jelas.
Baca Juga:
Enny menyoroti dampak pernikahan anak, seperti hilangnya hak pendidikan sampai tidak adanya akta nikah.
Namun, sekali lagi, alasan adat memang kerap dijadikan legitimasi pernikahan anak dengan cara merariq. “Tantangan kami di situ, selalu dibilang adat,” kata Enny.
Apa itu merariq dan kenapa menjadi tradisi?
Banyak penelitian yang mengulas merariq. Merariq berasal dari bahasa Sasak yaitu “berari” yang artinya berlari.
Muhammad Mabrur Haslan dkk. dari Universitas Mataram dalam risetnya mengatakan Merariq juga berarti “merari’an” yang artinya melarikan.
“Secara etimologis, merariq mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua,” kata Haslan.
Dalam praktiknya, Hilman Syahrial Haq dan Hamdi menjelaskan merariq diawali janji antara perempuan dan laki-laki lajang yang telah terikat hubungan beberaye (pacaran), untuk melarikan perempuan tanpa sepengetahuan orang tua.

Sumber gambar, GERAKAN PEREMPUAN STOP PERKAWINAN ANAK
Cara ini, kata duo periset dari Universitas Muhammadiyah Mataram, dilakukan untuk menghindari pihak-pihak yang ingin menggagalkan perjodohan itu. Biasanya pelarian dilakukan malam hari dan di tempat yang sudah dijanjikan.
“Calon suami dibantu oleh orang yang dipercaya untuk membawa calon istri ke tempat peseboan atau persembunyian, yaitu rumah keluarga calon mempelai laki-laki (bisa berhari-hari),” kata Haq dan Hamdi yang menulis risetnya di Jurnal Perspektif.
Setelah itu, pasangan ini akan dijemput dan dibawa pulang ke rumah calon mempelai laki-laki. Pihak keluarga laki-laki kemudian memberitahu kepala kampung setempat.
Kepala kampung keluarga laki-laki mengabarkan kepada kepala kampung pihak perempuan untuk menyampaikan ke keluarga perempuan. Lalu, kedua keluarga mengadakan musyawarah.

Sumber gambar, Getty Images
Asal muasal kebudayaan merariq masih menjadi perdebatan di kalangan peneliti. Ada yang menyebutnya sebagai adat istiadat asli Sasak, ada pula yang menyebutnya budaya impor dari Bali.
Namun, hampir semua penelitian sepakat budaya Suku Sasak banyak dipengaruhi Jawa dan Bali.
Pengaruh Jawa karena pada masa lalu Lombok bagian wilayah dari Majapahit.
Dan pengaruh Bali seiring dengan penaklukan Lombok oleh Kerajaan Karang Asem pada abad ke-16. Islam juga mendominasi saat penyebarannya masif pada abad ke-15.

Sumber gambar, Getty Images
Ada banyak faktor yang memengaruhi budaya merariq pada Suku Sasak masih bertahan sampai hari ini. Tapi Haslan dkk mengidentifikasi empat hal:
- Perbedaan kelas atau strata
Kawin merariq dipilih untuk menentang diskriminasi strata kelas. Kecenderungan perempuan dari menak (kaum bangsawan) akan dinikahkan orang tuanya dengan pria strata yang sama.
Merariq akan menjadi pilihan laki-laki dari jajar karang (kalangan biasa) untuk membawa lari perempuan menak. Oleh karena itu, kedua orang tua tak bisa mencegah keduanya menikah setelah terjadi merariq.
- Budaya turun temurun
Merariq dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat untuk menunjukkan identitas yang berbeda dari masyarakat lainnya.
- Ekonomi
Saat keluarga perempuan menolak jodoh pria belum mapan secara ekonomi, maka merariq akan menjadi pilihan. Pada akhirnya, orang tua tak punya pilihan untuk menjodohkan anak perempuannya pada pria yang membawa lari—meskipun kere.
- Persaingan
Faktor persaingan antar laki-laki untuk memperebutkan seorang perempuan menjadi pendorong terjadinya merariq. Hal ini dianggap sebagai kebanggaan bagi laki-laki yang mendapatkan perempuan yang menjadi rebutan.

Sumber gambar, Getty Images
Meskipun memiliki kesan perlawanan terhadap strata kelas dan perjodohan orang tua yang kaku, sejumlah kalangan melihat merariq sarat budaya patriarki. Laki-laki mengambil peran sentral dalam mengambil keputusan.
“Patriarki sangat amat kuat,” kata Maya Atri Komalasari, dosen sosiologi dari Universitas Mataram. Ia juga menyoroti merariq karena melibatkan banyak perkawinan anak di bawah umur.
Maya membagikan hasil penelitiannya sebuah wilayah di Kota Mataram tentang pemaknaan pernikahan dini oleh perempuan muda perkotaan.
Maya bersama dua koleganya Novia Ramadyana dan Taufik Ramdani menemukan alasan menghindari “zina” dan sebagai “ibadah” di antara faktor pendukung menikah usia dini. Ini menjadi bagian dari apa yang mereka sebut sebagai “makna positif”.

Sumber gambar, Garry Lotulung/NurPhoto via Getty Images
“Agama Islam menjadi mayoritas masyarakat (kelurahan) Pagutan Timur, sehingga lebih baik menikah muda daripada berzina menjadi alasan mereka memutuskan untuk menikah,” tulis riset tersebut.
“Makna negatif” juga disampaikan dalam penelitian ini, dengan pernyataan dari perempuan yang menikah saat usia 18 tahun. Menurut mereka pernikahan dini adalah “keputusan yang salah, pengalaman buruk, beban dan kepahitan”.
Dalam perbicangan dengan BBC News Indonesia, Maya melihat aspek lain, yaitu stigma buruk terhadap perempuan di NTB yang belum menikah di usia 20an. “Ketakutan mereka di cap atau distigma perawan tua, itu mempengaruhi,” katanya, sambil menambahkan bahwa ini konstruksi budaya patriarki.
Sebagian masyarakat juga meyakini pernikahan—meskipun masih di bawah umur—menjadi solusi perbaikan ekonomi keluarga, alih-alih memilih pendidikan.
“Pendidikan itu kan mahal… Ya, mereka memilih pendidikan itu bukan kebutuhan,” tambah Maya.
Menurut BPS, NTB juga menempati posisi tertinggi kedua provinsi dengan persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah setelah Papua.
Pelajaran
Bagaimanapun, merariq bukan satu-satunya adat perkawinan Suku Sasak.
Adat perkawinan yang dikenal Suku Sasak adalah nyerah hukum (menyerahkan pelaksanaan perkawinan pada pihak perempuan termasuk pembiayaan), kawin tadong/gantung (perkawinan anak-anak yang diresmikan ketika mereka dewasa, dan belakok (melamar secara resmi).
Pengerakse Agung Majelis Adat Sasak, Lalu Sajim Sastrawan mengatakan kawin tadong bisa menjadi alternatif mencegah pernikahan anak dan sebagai “tata cara adat kami untuk melindungi kualitas manusia”.
“Dia dinikahkan secara agama, tapi dipisahkan. Dia dipelihara orang tua masing-masing, sampai nanti dia dianggap dewasa dan mampu, dan siap berumah tangga, baru boleh mereka dipersatukan kembali,” kata Lalu Sajim Sastrawan.
Sajim menolak adat-adat perkawinan ini dikatakan “ngawur”. Persoalannya, dalam kasus yang viral sepasang anak ini sudah berupaya dipisahkan lembaga adat dan otoritas setempat, akan tetapi mereka tetap merariq.
Perempuan dilarikan ke luar pulau Lombok selama berhari-hari, sehingga menjadi aib bagi keluarga jika mereka dipisahkan.

Sumber gambar, Dok. Lalu Sajim Sastrawan
“Ini akan menimbulkan aib di kampung, aib di gubuk (rumah keluarga), inilah yang dihindari,” jelas Sajim.
Ia mengeklaim pihaknya sudah berkali-kali mencegah perkawinan anak dengan memisahkan pasangan di daerah berjauhan. Sampai keduanya dewasa, baru mereka dinikahkan.
Tapi dalam kasus terbaru, “akhirnya jebol. Akhirnya semua kita menyerah”.
“Ini juga sebagai pelajaran bagi kita, bagi pemerintah, bagi masyarakat adat, bagi tokoh agama. Ini artinya sosialisasi mengenai Undang-undang Perkawinan, kemudian peraturan-peraturan daerah yang terkait dengan perlindungan anak dan lain sebagainya, ini belum tuntas,” katanya.
Ia juga menyoroti kantor urusan agama tidak tergesa-gesa mengeluarkan rekomendasi perkawinan terhadap anak. “Kadang-kadang ini juga terlalu cepat memberikan rekomendasi,” tegas Sajim.

Sumber gambar, Zubada via Getty Images
Ia juga mempersilakan laporan-laporan ke kepolisian terhadap pihak-pihak yang mendukung perkawinan anak seperti yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak.
“Silakan, semua jalur itu harus kita lakukan. Jalur agama, jalur adat, kita juga ingin kualitas manusia Indonesia ini hebat,” tandasnya.
Memutus lingkaran setan
BPS menggantung NTB sebagai provinsi nomor wahid di Indonesia dalam urusan pernikahan anak.
Indikasinya bisa dilihat dari proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum usia 18 tahun.
Pada 2015, NTB bukanlah juara dalam kategori ini, karena angkanya masih 14,68%. Jumlah ini berada di bawah Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Barat yang persentasenya lebih dari 20%.
Tapi pada tahun-tahun berikutnya, angka NTB melonjak dan mencapai puncaknya pada 2023 yaitu 17,3%. Provinsi-provinsi lain mengalami penurunan drastis.
Save The Children (STC) melakukan studi pada lingkup lebih kecil di empat kabupaten NTB yaitu Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur dan Lombok Tengah dengan menganalisis data dispensasi kantor wilayah agama.
Dispensasi ini diajukan masyarakat untuk meminta izin otoritas agar dapat menikahkan anaknya yang belum memenuhi syarat hukum seperti di bawah 19 tahun.
Pada 2019, data dispensasi mencapai 311 permohonan meningkat setahun berikutnya menjadi 803 permohonan.
“Data ini menunjukkan ada sekitar 1 atau 2 orang anak yang dikawinkan setiap hari, dalam kurun waktu 12 bulan di tingkat provinsi,” kata Media & Brand Manager Save the Children Dewi Sri Sumanah.

Sumber gambar, Dusan Stankovic via Getty Images
Dewi berpendapat riset yang dirilis awal 2023 ini masih relevan hari ini untuk konteks NTB, khususnya Pulau Lombok.
“Polanya masih sama kan, tentang merasa bahwa harus patuh terhadap budaya merariq ini, dan juga pola tentang penelantaran, pengasuhan yang abai dari orang tua, dan juga lingkungan yang tidak aman untuk anak-anak,” katanya.
Selain analisis data dispensasi, STC juga mewawancarai anak-anak muda dalam riset ini. Temuan kuncinya, “Adat merariq Sasak yang patriarki ini juga jadi salah satu faktor besar, kenapa masih saja ada perkawinan anak di sana.”

Sumber gambar, NataKor/Getty Images
Oleh karena itu, tokoh-tokoh adat perlu memastikan tradisi merariq bisa menghormati hak-hak anak, tidak memaksakan perkawinan dengan alasan apapun, kata Dewi.
Temuan STC lainnya, perkawinan anak terjadi karena angka putus sekolah yang tinggi, pola pengasuhan orang tua terhadap anak yang minim karena beberapa orang tua menjadi pekerja migran.
“Perkawinan anak yang didorong karena adat ini juga salah satu yang menyebabkan anak jadi putus sekolah, dan juga anak jadi bekerja. Ada persoalan pekerja anak. Nah, itu yang seperti lingkaran setan,” tambah Dewi.

Sumber gambar, Pawan Bhatt/Getty Images
Untuk memutus lingkaran setan ini, STC menyarankan agar anak-anak muda di Lombok dilibatkan dalam dialog yang dirancang khusus lintas generasi, sistem lapor yang ramah anak dan menjamin kerahasiaan, serta kampanye hingga akar rumput.
“Ini juga yang diharapkan anak-anak, bahwa perlu perbanyak pesan edukasi di media, di sosial media, termasuk juga door-to-door. Karena mereka sadar bahwa banyak orang tua yang masih merasa bahwa isu ini cukup pelik, dan perlu ada intervensi yang khusus,” jelas Dewi.

Pengaduan masyarakat mengenai indikasi pernikahan anak di NTB tersedia saluran khusus melalui Hotline UPTD PPA nomer 087881892220.
Wartawan di Lombok, NTB, Abdul Latief Apriaman berkontribusi dalam artikel ini.