KUBET – ‘Bapak pembangunan’ dan pelanggar HAM – Mengapa Soeharto dianggap tak layak jadi pahlawan nasional?

‘Bapak pembangunan’ dan pelanggar HAM – Mengapa Soeharto dianggap tak layak jadi pahlawan nasional?

Soeharto, pahlawan nasional, reformasi

Sumber gambar, Getty Images/Paula Bronstein

Keterangan gambar, Soeharto ketika mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. Beberapa dekade sesudahnya, namanya kembali mencuat ketika diusulkan jadi pahlawan nasional.

Puluhan tahun setelah mantan presiden Soeharto lengser, warisan kontroversialnya kembali mencuat ke permukaan saat dorongan untuk menjadikannya pahlawan nasional memicu perdebatan sengit.

Bagi sebagian orang, dia adalah “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun bagi banyak lainnya, rezimnya ditandai dengan pelanggaran HAM, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta menguatnya peran militer dalam ranah sipil dan pemasungan terhadap perbedaan pendapat.

Selama 32 tahun sejak 1966, Indonesia berada dalam ‘genggaman’ Soeharto. Kini, bertahun-tahun setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 saat era Reformasi yang penuh gejolak, sebuah gerakan untuk menganugerahinya gelar pahlawan nasional muncul, membuka luka lama dan memicu perdebatan nasional.

Tetapi siapa sesungguhnya Soeharto? Bagaimana dia naik ke tampuk kekuasaan dan apa saja kontroversinya?

Melalui sudut pandang para sejarawan, pengamat sosial dan ekonomi, BBC News Indonesia menganalisis rekam jejak Soeharto dan mencoba menjawab apakah dia seorang pemimpin yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, atau autokrat yang memperkaya diri sendiri dan kroninya dengan mengorbankan HAM rakyatnya? Dan apakah Soeharto layak menyandang gelar pahlawan nasional?

Sepak terjang Soeharto

Lini masa yang disertai catatan ini akan mencoba merangkum bagaimana Soeharto mengimbangi tuntutan-tuntutan pembangunan dan strategi untuk mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun.

1940: Masuk sekolah militer

Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, pada 1921.

Menurut Ricklefs dalam buku A History of Modern Indonesia since c.1200 (2001), Soeharto masuk sekolah militer pada bulan Juni 1940 di Gombong, Jawa Tengah. Soeharto bersama pemuda-pemuda lainnya disiapkan Belanda guna menghadapi Jepang yang kian mendekat.

Tapi, menurut sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, Soeharto besar dalam pendidikan militer Jepang—yang kelak akan memengaruhi karakternya.

Suharto sebagai komandan WK III Yogyakarta bersama anak buahnya di masa Perang Kemerdekaan - tanpa keterangan waktu dan tempat.

Sumber gambar, Kompas/IPPHOS

Keterangan gambar, Suharto sebagai komandan WK III Yogyakarta bersama anak buahnya di masa Perang Kemerdekaan – tanpa keterangan waktu dan tempat.

Menurut Bondan, ada dua kelompok besar tentara TNI yang muncul dan tumbuh di masa revolusi, yakni kelompok yang dididik dalam tradisi militer Belanda—biasanya menjunjung tinggi profesionalitas—dan kelompok kedua dibesarkan dalam tradisi militer Jepang.

Dalam tradisi militer didikan Jepang, kata Bondan, tentara mesti terlibat dalam segala urusan termasuk pemerintah, karena tentara mereka adalah tentara pendudukan yang bersifat fasistik.

“Mau tidak mau, ini tentu memengaruhi karakteristik dari para militer yang dibesarkan di masa Jepang, termasuk Pak Harto,” kata Bondan kepada wartawan Hilman Handoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Tentara Republik Indonesia memasuki wilayah Yogyakarta - tanpa keterangan waktu dan tempat.

Sumber gambar, www.defensie.nl/ NIMH

Keterangan gambar, Tentara Republik Indonesia memasuki wilayah Yogyakarta – tanpa keterangan waktu dan tempat.

1949: Memimpin pasukan dalam Serangan Umum Satu Maret

Pada Maret 1949, saat berpangkat letnan kolonel, Soeharto memimpin pasukan penyerbu Yogyakarta yang dikuasai Belanda dan berhasil memegang kendali selama enam jam.

Peristiwa yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret ini belakangan menjadi sumber legitimasi dan mitos Soeharto.

Pada masa Orde Baru, Soeharto diposisikan sebagai pengambil inisiatif serangan yang menandakan kekuatan Republik yang baru tetap ada. Namun ternyata, ceritanya tak sesederhana itu.

“Sultan Hamengkubono IX mengatakan sebaiknya dilakukan suatu gerakan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia ini masih ada,” kata sejarawan senior, Asvi Warman Adam, seraya menunjukkan bahwa Sultan Yogyakarta paling sedikit juga mengambil inisiatif dan berperan penting.

Baca juga:

Pasukan TNI masuk ke Yogyakarta, 29 Juni 1949.

Sumber gambar, Naskah akademik SU1Maret/IPPHOS

Keterangan gambar, Pasukan TNI masuk ke Yogyakarta, 29 Juni 1949.

“Dan Sultan Hamengkubono mengatakan bahwa dia sudah berkonsultasi melalui kurir itu dengan Jenderal Sudirman,” lanjut Asvi.

Bondan Kanumoyoso menguatkan pendapat ini, seraya mengatakan bahwa posisi Soeharto pada saat itu layaknya komandan distrik militer saat itu.

Posisi itu, menurut Bondan, tak mungkin mengambil keputusan besar.

“Sekarang di Kementerian Pertahanan itu ada diorama. Di diorama itu diambil jalan tengahnya. Jadi bukan Soeharto, bukan Sultan Hamengkubono IX, tapi Mayor Jenderal Bambang Sugeng [yang berperan],” ujar Bondan.

“Bambang Sugeng itu atasan Soeharto yang mengeluarkan surat perintah untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda.”

Sri Sultan Hamengku Buwono IX (kanan berpeci) berada di dekat Presiden Sukarno dalam sebuah acara - tanpa keterangan waktu dan tempat.

Sumber gambar, Getty Images/Bettmann

Keterangan gambar, Sri Sultan Hamengku Buwono IX (kanan berpeci) berada di dekat Presiden Sukarno dalam sebuah acara – tanpa keterangan waktu dan tempat.

1957: Soeharto jadi Pangdam Diponegoro

Presiden Sukarno mengusir hampir 50 ribu orang Belanda yang tinggal di Indonesia, salah satunya dipicu ketegangan antara Indonesia dan Belanda soal status Papua—yang kala itu dikenal dengan Irian Barat.

Pada periode inilah diluncurkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Pada saat ini pula, menurut Bondan, militer mulai berbisnis.

“Ada 50.000 orang diusir dari Indonesia tahun 1957-1958, sehingga terjadi kekosongan. Nah, yang paling siap ketika itu, buruh kan juga pada enggak sekolah, itu tentara. Karena itulah kemudian tentara masuk ke dalam dunia bisnis.”

Soeharto—yang kala itu menjabat sebagai panglima daerah militer (Pangdam) Diponegoro dan bertanggung jawab atas wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta—mulai menjalin aliansi dengan pengusaha-pengusaha lokal, termasuk pengusaha Tionghoa.

Baca juga:

Soeharto, pangdam diponegoro, pahlawan nasional

Sumber gambar, Wikimedia

Keterangan gambar, Soeharto ketika menjabat sebagai Pangdam Diponegoro

1961: Memimpin operasi merebut Irian Barat dari Belanda

Presiden Sukarno menunjuk Soeharto, saat itu mayor jenderal, sebagai panglima Komando Mandala dalam operasi memperebutkan Papua dari Belanda.

Soeharto bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan operasi militer untuk merebut wilayah yang disebut Irian Barat saat itu.

“Kenyataan setelah operasi di Irian Barat itu paling sedikit ada dua orang yang mendapat [penghargaan] Bintang Sakti—Bintang Sakti itu untuk mereka yang dianggap sangat berani di dalam melakukan operasi itu—yaitu Beni Moerdani dan Untung,” kata Bondan.

LB Moerdani kelak akan menjadi andalan Soeharto hingga akhirnya tersingkir. Sementara Letnan Kolonel Untung Syamsuri adalah Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa—pasukan pengawal presiden—yang kelak dituduh memimpin Gerakan 30 September.

Soeharto tak dapat medali dari operasi ini.

Baca juga:

1965: G30S dan naik ke tampuk kekuasaan

Saat sejumlah jenderal terbunuh dalam apa yang disebut sebagai Gerakan 30 September (G30S), Soeharto mengambil alih kekuasaan militer yang kosong—berbekal tongkat komando Kostrad yang dipegangnya sejak 1963.

Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang pembunuhan para jenderal.

Beberapa bulan setelahnya, rangkaian ‘pembersihan’ besar-besaran di berbagai daerah digelar, para anggota PKI dan mereka yang dituduh terlibat ditangkap dan dibunuh.

Bahkan mereka yang terafiliasi dengan PKI dan komunisme dipenjara, kerap kali tanpa proses pengadilan.

“Memang ada perintah secara lisan dari Soeharto dan Nasution untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya,” kata Asvi.

Seorang pria yang diduga sembagai simpatisan G30S ditodong senjata oleh aparat. Foto ini diambil pada 26 November 1965.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang pria yang diduga sembagai simpatisan G30S ditodong senjata oleh tentara. Foto ini diambil pada 26 November 1965.

“Kita tahu bahwa yang melakukan operasi militer itu adalah Sarwo Edhie di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Dan kemudian kita ketahui jumlah korbannya itu sangat-sangat besar, 500 ribu orang angka yang moderat untuk itu.

Sementara Bondan Kanumoyoso meragukan peristiwa pembunuhan besar-besaran tanpa proses peradilan ini berlangsung spontan.

“Ada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa ada daftar nama yang jatuh ke tangan pihak Angkatan Darat yang kemudian dijadikan pegangan untuk melakukan pembersihan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”

Rangkaian peristiwa itu bergulir saat Soeharto memegang komando.

Baca juga:

G30S, PKI

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sejumlah anggota organisasi sayap PKI ditangkap oleh tentara dan dibawa menggunakan truk pada 10 Oktober 1965.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

1966: Supersemar bekal ambil alih kekuasaan

Gejolak politik akibat G30S dan rangkaian peristiwa yang terjadi sesudahnya membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani pada 11 Maret 1966.

Surat ini berisi perintah agar Letjen Soeharto mengambil tindakan yang diperlukan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban negara, yang saat itu sedang mengalami gejolak politik akibat peristiwa G30S.

Surat ini jadi dasar bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dan menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pada Juli 1966, Soeharto ditunjuk sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera I. Secara de facto dia adalah kepala pemerintahan, meski Sukarno masih menjabat sebagai presiden.

Pada 12 Maret 1967, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan mengangkat Soeharto sebagai Penjabat Presiden hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.

Setahun setelahnya, Soeharto dilantik menjadi presiden mandataris.

Soeharto, Sukarno, pahlawan nasional

Sumber gambar, Getty Images/Beryl Bernay

Keterangan gambar, Letjen Soeharto (kiri) dan Presiden Soekarno (kanan) saat pengumuman Supersemar, yang menjadi “bekal” Soeharto untuk ambil alih kekuasaan.

1967: UU Kehutanan disahkan – ‘Kejahatan ekonomi dan sosial terbesar Orde Baru’

Di tengah masa transisi yang rawan, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.

Ini adalah UU yang mengatur tentang hutan di Indonesia. Undang-undang ini menyatakan bahwa hutan adalah kekayaan alam yang dikuasai oleh negara, dan hutan perlu dilindungi dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

“Pemerintah Soeharto dengan kementeriannya berlakukan [UU ini]. Bahwa semua lahan-lahan penduduk di dalam kawasan hutan, itu tidak lagi berpedoman pada UU PA [Pokok Agraria] tapi pada UU Kehutanan,” kata antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya Affif.

Baca juga:

UU Kehutanan ini tidak mengakui kampung-kampung atau semua kawasan yang dikelola rakyat di dalam kawasan hutan.

“Implikasinya, seluruh penduduk di dalam kawasan hutan boleh digusur, boleh dipindahkan, kampungnya boleh dihapus, kemudian kepemilikannya boleh dihapus, dan tidak ada hak di dalam kampung dan penduduk di dalam kawasan hutan untuk mengklaim lahan,” jelas Suraya.

Beleid ini menjadi semacam ‘karpet merah’ untuk usaha-usaha pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam.

“Itu adalah kejahatan ‘ecosoc’ [economy and social] terbesar yang dilakukan Soeharto dan pemerintahannya,” tegas Suraya kemudian.

Soeharto, pahlawan nasional

Sumber gambar, Getty Images/Universal History Archive

Keterangan gambar, Soeharto ketika difoto pada 1 Januari 1967

1969: Repelita diluncurkan, ‘Revolusi Hijau’ dimulai

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) adalah program pembangunan prioritas yang dirancang pemerintah Orde Baru selama periode lima tahun.

Repelita Pertama berfokus pada pembangunan sektor pertanian dan infrastruktur.

Sektor pertanian digenjot habis-habisan dengan program Gerakan Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang merupakan implementasi Revolusi Hijau.

Program ini secara intensif mengenalkan petani pada teknologi pertanian modern, termasuk penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan teknik irigasi yang lebih baik.

Peneliti senior Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Abdul Hamid, mengatakan sebelum 1970-an, konflik air terjadi di sejumlah daerah.

Namun konflik ini mereda setelah adanya penataan irigasi.

“Kalau kita menanyakan seorang petani yang hidup pada masa itu, maka mereka itu memang memperoleh tingkat kemakmuran yang meningkat. Sekalipun ada proses-proses ‘pemaksaan’ [dalam pelaksanaan],” kata Abdul Hamid.

Baca juga:

1969: Soeharto mulai mengirim tahanan ke Pulau Buru

Pada tahun yang sama Soeharto memulai rencana pembangunan lima tahunnya, dia mulai mengirim tahanan politik ke Pulau Buru di bagian timur Indonesia.

Diperkirakan 11.000 tahanan politik yang dituduh mendukung paham komunisme ditahan di Pulau Buru tanpa melalui proses pengadilan.

Sementara tahanan politik perempuan—sebagian besar adalah anggota Gerwani dan anggota Gerakan sayap PKI—ditahan di Kamp Plantungan, Jawa Tengah.

Para tahanan politik ini menjalani kerja paksa selama 11 tahun keberadaan pengasingan tersebut mulai dari 1969 hingga 1979.

Sejarawan senior Asvi Warman Adam untuk menunjukkan bahwa Soeharto bertanggung jawab langsung atas pelanggaran HAM ini.

“Pelakunya jelas. Penanggung jawabnya itu adalah jaksa agung yang ditunjuk [presiden], surat perintahnya datang dari Panglima Kopkamtib waktu itu,” jelas Asvi.

Tapol, buru, PKI

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Eks tapol Pulau Buru, Eko Soetikno, menunjukkan foto bersama para tapol lainnya di rumahnya di Kendal, Jawa Tengah, pada 4 Mei 2016.

“Panglima Komkamtib dengan presiden itu garis komandonya itu lurus,” katanya kemudian.

Pengiriman tapol ke Pulau Buru ini juga punya implikasi lainnya. Penduduk lokal yang terbiasa makan sagu mulai mengonsumsi beras.

Baca juga:

“Pada 1930-an itu semua orang [di Pulau Buru] makan sagu, tiba-tiba sekarang, dia bisa jadi pusat produksi beras,” ujar Asvi.

Beras mulai diperkenalkan dan dibudidayakan secara masif di Pulau Buru dengan aktor utama para tapol yang melakukan “kerja paksa”.

“Di zaman [presiden] Jokowi, [pada 2015], dia meresmikan dam dan mendeklarasikan Buru sebagai lumbung pangan Provinsi Maluku.”

tapol, Pulau Buru

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Eko Soetikno, eks tapol Pulau Buru, difoto pada Mei 2016.

1973: Penggabungan parpol

Untuk menjamin stabilitas politik, Soeharto menggabungkan (fusi) partai-partai politik menjadi tiga golongan.

Partai-partai Islam, seperti NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai-partai nasional dan non-Islam digabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Golongan Karya adalah kekuatan baru yang dirancang untuk menjadi pendukung pemerintah.

Implikasi dari fusi partai ini, menurut peneliti senior dari LP3ES Abdul Hamid, ada kelompok yang tidak puas.

“Kelompok-kelompok tertentu dipaksa untuk masuk dalam sebuah lorong tertentu. Padahal keragaman bangsa ini luar biasa.”

1974: Peristiwa Malari

Protes mahasiswa yang mengkritik investasi asing dan praktik korupsi berbuah kerusuhan di Jakarta—dikenal sebagai Peristiwa Malari, atau Malapetaka 15 Januari.

“Soeharto ingin menciptakan industrialisasi [dengan menarik investasi]. Bagaimana itu bisa dibangun dalam tempo 10 tahun? Kan tidak mungkin, karena basis masyarakat kita adalah pertanian,” kata Abdul Hamid.

Baca juga:

Dia melanjutkan bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi Soeharto juga dirancang dari atas ke bawah alias tidak memperhatikan situasi sosial dan budaya masyarakat.

“Saat itu menteri-menterinya teknokrat semua. Ahli ilmu sosial tidak banyak dilibatkan oleh Soeharto.”

“Sejarawan, budayawan, kurang banyak dilibatkan dalam proses pembangunan, kebijakan pembangunan. Semua teknokrat waktu itu, akibatnya ya seperti itu,” ujar Abduh Hamid kemudian.

Kerusuhan di Jakarta, 15 Januari 1974, yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari.

Sumber gambar, Kementerian Penerangan dalam Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka (1974-1975)

Keterangan gambar, Kerusuhan di Jakarta, 15 Januari 1974, yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari.

1975: Aneksasi Timor Timur

Pada 7 Desember 1975, pasukan militer Indonesia menyerbu Timor Timur—kini menjadi negara bernama Timor-Leste. Dilaporkan ada lebih dari 20.000 tentara dikerahkan dalam invasi yang dikenal sebagai Operasi Seroja.

Invasi hanya berselang dua hari dari kunjungan Presiden Amerika Serikat, Gerald Ford, dan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger pada 5 Desember.

“Jadi seakan-akan itu ‘disetujui’ oleh Amerika. Dengan alasan bahwa akan ada kelompok komunis di sana yang akan menguasai Timur Leste,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.

Baca juga:

Indonesia resmi menganeksasi Timor Timur pada 1976 dan menjadikannya sebagai provinsi ke-27.

Masuknya Timor Timur menjadi bagian Indonesia menjadi awal “pendudukan” Indonesia di Timor Timur, sebelum akhirnya provinsi ini menggelar referendum pada 1999 dan memilih berpisah dari Indonesia.

Timor Timur, Timor-Leste, Soeharto

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Puluhan orang, termasuk anak-anak, berdemonstrasi di Maroubra, Australia, pada 2 Demember 1991, sambil membawa plakat menyerukan kemerdekaan di Timor Timur.

1983: ‘Bapak Pembangunan’ dan ‘Petrus’ dimulai

MPR menganugerahi Soeharto gelar “Bapak Pembangunan Indonesia”, tertuang dalam TAP MPR No. IV/MPR/1983.

Gelar ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang signifikan selama masa pemerintahannya melalui program-program Repelita.

Pada tahun yang sama juga dimulai kampanye pemberantasan preman yang dikenal dengan nama Pembunuhan Misterius atau ‘Petrus’ yang berlangsung hingga 1985.

Ribuan orang yang diduga atau sebagai pelaku kriminal yang dibunuh untuk meredam kriminalitas.

“Soeharto di dalam otobiografinya mengakui itu. Jadi menurut hemat saya tidak ada lagi alasan untuk mengelak dari pelanggaran HAM berat itu,” tegas Asvi.

Baca juga:

Soeharto, bapak pembangunan, pahlawan nasional

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Pendukung Soeharto menunjukkan foto mantan presiden tersebut dengan julukan “Bapak Pembangunan” yang disematkan padanya.

1984: Swasembada Beras

Indonesia mencapai swasembada beras untuk pertama kalinya pada 1984 setelah intensifikasi pertanian beras dilakukan.

Setahun berikutnya, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memberi penghargaan kepada Soeharto untuk prestasi ini.

“Produksi pangan kita itu benar-benar naik drastis ya. Antara tahun 1974-1984 [produksi beras Indonesia] itu yang tertinggi kedua di Asia,” kata Grace Laksana, sejarawan yang meneliti Revolusi Hijau di Indonesia.

Tapi kata dia ‘harga’ yang harus dibayar cukup mahal. Petani menjadi tergantung pada bibit, pupuk, dan pestisida yang diproduksi perusahaan-perusahaan internasional.

Baca juga:

Ketimpangan makin nyata karena hanya petani besar yang bisa memanfaatkan fasilitas pemerintah, kata Grace.

Dampak lainnya: hilangnya keragaman bibit-bibit lokal dan menurunnya kualitas tanah akibat penggunaan bahan-bahan kimia.

Untuk menyukseskan program ini, militer kerap kali dipakai pemerintah.

“Revolusi Hijau [berlangsung] Pasca-Peristiwa 65, jadi suasananya itu masih sangat anti-komunis. Retorika ini yang juga dipakai oleh aparat-aparat desa untuk memastikan bahwa Revolusi Hijau berjalan. Warga desa ya takutlah daripada dicap komunis, ‘Sudahlah saya ikut saja.'”

Soeharto, swasembada beras

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Soeharto berbicara dengan para pekerja di Pasar Beras Cipinang, Jakarta Timur, 3 Desember 1997.

1990: Kekuatan Islam yang sedang tumbuh

Presiden Soeharto naik haji dan menyemat ‘Haji Muhammad’ di depan namanya.

Pada Desember 1990 dia juga mengizinkan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri dengan BJ Habibie sebagai ketuanya.

Jilbab mulai diperbolehkan di sekolah-sekolah. Pada fase ini para pengamat menyebut Soeharto mulai merangkul kekuatan politik Islam.

“Waktu itu ada istilah ‘Ijo Royo-Royo’ di Parlemen,” kata Abdul Hamid dari LP3ES.

“Secara politik Soeharto memang mencari sandaran. Karena waktu itu Golkar telah menimbulkan kebencian di kelompok-kelompok Islam.”

Tapi menurut Abdul Wahid, ada penjelasan lebih dari itu.

“Saat itu gelombang kaum santri yang intelektual sudah mulai tumbuh. Itu tidak mungkin Soeharto melakukan [merangkul kekuatan Islam] di tahun 1970-an. Tidak mungkin.”

Ribuan mahasiswa berkumpul di gedung DPR, mendesak reformasi dan menuntut Soeharto lengser pada 19 Mei 1998.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Ribuan mahasiswa berkumpul di gedung DPR, mendesak reformasi dan menuntut Soeharto lengser pada 19 Mei 1998.

1998: Soeharto lengser

Sejak pertengahan 1990-an kritik terhadap Soeharto terus mengeras.

Sementara itu keadaan ekonomi semakin terpuruk akibat krisis ekonomi global. Krisis ekonomi di Thailand pada 1997 merembet ke Indonesia.

Nilai tukar rupiah akhirnya terjun bebas, sementara banyak perusahaan bangkrut.

Pada Maret 1998, Soeharto terpilih kembali dengan suara bulat untuk masa jabatan ketujuh sebagai presiden. Kala itu, gelombang demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan terjadi di sejumlah daerah.

Di bawah tekanan mahasiswa, Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.

Sejak itu, berakhir pula kepresidenannya yang telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan dimulailah periode reformasi politik (Reformasi).

Baca juga:

Soeharto, BJ Habibie

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Presiden Soeharto (kiri) mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden BJ Habibie (kanan) menggantikan posisinya.

2006: Penuntutan dugaan korupsi dihentikan

Penyelidikan atas dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto dimulai tak lama setelah dia lengser dari jabatannya.

Pada 22 Oktober 1998, Tim Kejaksaan menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan yang dikelola Suharto.

Namun pada 2006, Kejaksaan mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) yang isinya “menghentikan penuntutan dugaan korupsi Seoharto di tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa tak layak diajukan ke persidangan”.

Demonstrasi mahasiswa, Seoharto,

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Seorang mahasiswa dalam demonstrasi anti-Soeharato di depan Istana Kepresidengan, Jakarta, 24 Mei 2006.

2008: Soeharto meninggal

Setelah dirawat selama 23 hari, akibat komplikasi gangguan kesehatan, Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008.

Jenazah Soeharto dibawa ke Solo dan dimakamkan secara militer di Kompleks Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.

2024: Nama Soeharto dihapus dari TAP MPR

Sekitar 16 tahun setelah kepergiannya, nama Soeharto kembali mencuat tahun lalu saat MPR resmi menghapus namanya dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, tanpa mencabut ketetapan MPR seluruhnya.

Dalam rapat gabungan pimpinan MPR, pada 25 September 2009, disepakati bahwa penyebutan nama Soeharto dalam pasal 4 TAP MPR No.11 kini dianggap selesai. Alasannya karena Soeharto telah meninggal dunia.

Pasal 4 Tap MPR itu telak-telak menyebut Soeharto dan berbunyi:

“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan presiden Soeharto.”

Keputusan MPR menghapus nama Presiden kedua Soeharto dari Ketetapan MPR soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang diiringi dengan wacana memberikan gelar pahlawan nasional disebut sebagai sebuah penghinaan bagi keluarga penyintas pelanggaran HAM berat masa lalu.

Penolakan juga datang dari beragam aktivis kemanusiaan. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII).

Putri Soeharto, Titiek Soeharto menyampaikan sambutan usai MPR mencabut nama ayahnya dalam TAP MPR tentang KKN, 28 September 2024.

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Putri Soeharto, Titiek Soeharto menyampaikan sambutan usai MPR mencabut nama ayahnya dalam TAP MPR tentang KKN, 28 September 2024.

Penghapusan nama dalam TAP MPR tak serta merta lolos jadi pahlawan nasional?

Pada April silam, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan Soeharto “berpeluang” mendapat gelar pahlawan nasional tahun ini.

Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) di Kementerian Sosial kini sedang mengkaji 10 nama yang diusulkan ke kementerian, termasuk nama Soeharto dan Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid.

Dijelaskan oleh menteri yang akrab disapa Gus Ipul ini, pemberian gelar pahlawan untuk kedua mantan presiden tersebut adalah untuk mengingat jasa-jasa baiknya.

“Kita mempertahankan nilai-nilai yang baik sambil kita juga mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Jadi yang baik, yang lama kita mempertahankannya. Yang jelek ya enggak usah diteruskan,” kata Gus Ipul, seperti dikutip dari detik.com.

Soeharto, pahlawan nasional

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sebuah poster yang memuat potret Soeharto dengan slogan “Apa kabar? Masih lebih baik di zaman saya, bukan?

Selain dua nama di atas, ada nama KH. Bisri Sansuri, ulama NU yang terlibat dalam perjuangan fisik di zaman Jepang dan terlibat di usaha persiapan kemerdekaan.

Ada pula Idrus bin Salim Al-Jufri, ulama besar dari Palu Sulawesi Tengah yang mendirikan Alkhairaat, organisasi yang membangun ratusan madrasah dan memajukan pendidikan di kawasan timur.

Dari Aceh, ada nama Teuku Abdul Hamid Azwar, tokoh yang terlibat pertempuran melawan Jepang dan mendirikan Angkatan Perang Indonesia di Aceh.

Sementara nama KH Abbas Abdul Jamil, ulama yang dijuluki ‘Singa dari Jawa Barat’ dan terlibat langsung dalam pertempuran 10 November di Surabaya, pun diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional tahun ini.

Baca juga:

Pada akhir April silam, Gus Ipul menyebut bahwa nama Soeharto sudah memenuhi syarat sebagai calon kandidat penerima gelar pahlawan nasional, setelah pihak keluarga memberikan surat persetujuan.

“Sudah selesai semua kalau syarat-syaratnya. Beliau itu kan sudah dua kali diajukan. Sudah dua kali diajukan dari tahun 2010, 2015, dan sekarang secara normatif sudah terpenuhi semua,” kata Gus Ipul, seperti dikutip dari Tempo.co.

Ke depan, TP2GP akan bersidang pada 17 Juli untuk menentukan sosok yang diberi gelar pahlawan nasional tahun ini.

Soeharto, aktivis hilang

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Keluarga aktivis yang hilang menunjuk anggota keluarga mereka pada poster bergambar wajah orang-orang yang diduga diculik pada masa rezim Soeharto yang dipajang di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta, 29 September 1998.

Tapi, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, bilang ada sejumlah syarat untuk mendapat gelar, tanda jasa, atau tanda kehormatan, berdasar Pasal 24 UU Nomor 20 Tahun 2009. Antara lain:

  • WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI
  • memiliki integritas moral dan keteladanan
  • berjasa terhadap bangsa dan negara
  • berkelakuan baik
  • setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara
  • tidak pernah dipidana, minimal lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Baca juga:

“Mengacu pada syarat umum poin 4, pendek kata, Soeharto tidak memenuhi syarat umum berkelakuan baik,” kata Hendardi lewat keterangan resminya.

Pernyataan Hendardi ini merujuk pada berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Soeharto, serta dugaan korupsi yang dilakukan kroni-kroninya.

Akumulasi persoalan ini, menurut Hendardi, menjadi penyebab utama Soeharto dilengserkan melalui Gerakan Reformasi 1998.

Dia menambahkan, tidak adanya klarifikasi politik yang memadai dan putusan pengadilan mengenai kejahatan yang dilakukan oleh dan terjadi pada pemerintahan Soeharto yang sulit dapat menjadi penegas bahwa pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto menjadi tidak relevan.

Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) membentangkan spanduk antipemerintah bertuliskan "Dari 202 juta rakyat, mengapa Soeharto" dan "Soeharto Lagi? Tidak mungkin!" saat berunjuk rasa di sekitar kampus UI di Jakarta, 9 Maret 1998.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) membentangkan spanduk antipemerintah bertuliskan “Dari 202 juta rakyat, mengapa Soeharto” dan “Soeharto Lagi? Tidak mungkin!” saat berunjuk rasa di sekitar kampus UI di Jakarta, 9 Maret 1998.

Suraya Affif, selaku antropolog dari Universitas Indonesia, juga tidak setuju dengan rencana pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan.

“Ya enggak bisalah. Dia memang membuat stabilitas. Tapi kan dia menggunakan militer. Yang membuat kita terus berhadapan [antara sipil dan militer].”

Menurut sejarawan senior Asvi Warman Adam, TAP MPR itu masih berlaku dan nama Soeharto masih bisa diseret kembali karena persoalan hukum yang tidak tuntas.

“Dalam proses hukum pidana itu sudah selesai, dalam arti Soeharto sudah meninggal dan dia tidak lagi bisa dilanjutkan tuntutannya. Tapi tuntutan perdatanya masih belum tuntas,” tegas Aswi.

Asvi menyebut Soeharto sebagai figur kontroversial, apalagi untuk dijadikan pahlawan nasional.

Tapi itu bukan berarti ‘tradisi’ penganugerahan gelar pahlawan nasional mesti dihentikan, sebab menurutnya masih banyak figur-figur lain yang bisa dijadikan alternatif untuk diangkat sebagai pahlawan.

Misalnya, Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso (1921- 2004), yang menjabat sebagai kepala kepolisian RI dari 1968-1971.

Hoegeng dikenal luas sebagai sosok polisi yang jujur, berintegritas tinggi, dan sederhana.

“Dan [dia] sudah-sudah disebut oleh Gus Dur [yang] menyebut hanya dua polisi yang jujur: polisi tidur, dan Hoegeng. Menurut saya layak. Hoegeng itu juga sudah lama diusulkan, kenapa tidak diangkat?” kata Aswi.

Hoegeng juga amat relevan diangkat sebagai pahlawan dalam situasi saat ini, “Itu relevan juga dengan kondisi sekarang ketika sedang digalakkan pemberantasan korupsi gitu.”

Tinggalkan Balasan