KUBET – Oshikatsu, fenomena baru yang mendongkrak ekonomi Jepang

Oshikatsu, fenomena baru yang mendongkrak ekonomi Jepang

Jepang, hiburan

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Di Jepang ada tren oshikatsu, upaya yang dilakukan penggemar untuk mendukung oshi favorit mereka—bisa berupa artis, karakter anime atau manga—atau grup yang mereka kagumi.

  • Penulis, Fabio Gygi*
  • Peranan,

Poster-poster di stasiun kereta Shinjuku, Tokyo, sering digunakan untuk mengiklankan produk-produk seperti kosmetika, makanan, dan film-film baru.

Namun, terkadang orang mungkin menemukan poster yang menampilkan pesan ulang tahun serta foto seorang pemuda, dan seringnya dari boyband berpenampilan klimis.

Poster-poster tersebut dibuat oleh perusahaan periklanan khusus dan dibayar oleh fans.

Poster-poster itu merupakan bagian dari fenomena yang disebut oshikatsu, istilah yang diciptakan dalam beberapa tahun terakhir dan berasal dari bahasa Jepang: oshi (dukungan) dan katsu (aktivitas).

Oshikatsu, dalam konteks ini, mengacu pada upaya yang dilakukan penggemar untuk mendukung oshi favorit mereka—bisa berupa artis, karakter anime atau manga—atau grup yang mereka kagumi dan ingin ditingkatkan lagi popularitasnya.

Oshikatsu muncul dari keinginan penggemar untuk lebih dekat dengan idola mereka. Kombinasi oshi dan katsu pertama kali mencuat di media sosial pada 2016 dan menyebar luas dengan tagar di platform X—dulu Twitter—pada 2018.

Pada 2021, “oshikatsu” dinominasikan sebagai Kata Tahun Ini di Jepang, sebuah tanda bahwa penggunaan kata tersebut telah menjadi hal yang jamak dipakai.

Sekarang, oshikatsu masuk dalam radar perusahaan Jepang.

Penyebabnya? Karena lonjakan inflasi dalam beberapa tahun terakhir, yang dipicu oleh gangguan rantai pasokan dan guncangan geopolitik akibat pandemi, sehingga menyebabkan konsumen Jepang memperketat pengeluaran mereka.

Namun, dengan upah yang bakal naik untuk ketiga kalinya dalam tiga tahun terakhir, pemerintah optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumen.

Perusahaan hiburan dan media juga melihat oshikatsu sebagai kemungkinan pendorong tren positif ini, meskipun tidak jelas apakah kenaikan upah yang akan datang bakal cukup.

Oshikatsu bisa dongkrak ekonomi Jepang?

Beberapa pihak yang berseberangan, memandang oshikatsu bukan lagi ruang eksklusif subkultur anak muda. Ini karena oshikatsu telah merambah kelompok usia yang lebih tua di Jepang.

Menurut survei pada 2024 yang dilakukan firma riset pasar Jepang, Harumeku, sebanyak 46% perempuan berusia 50-an memiliki oshi yang mereka dukung secara finansial.

Generasi yang tua cenderung memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan, terutama setelah anak-anak mereka menuntaskan pendidikan.

Oshikatsu juga merupakan pembalikan gender yang menarik.

Karena, saat di rumah-rumah tradisional Jepang para suami masih bertugas sebagai pencari nafkah, di oshikatsu perempuan lebih sering menjadi pihak yang secara finansial mendukung pria berusia muda.

Berapa banyak penggemar menghabiskan uang untuk oshi mereka, jawabannya tergantung.

Pesan ulang tahun untuk Kogun, penyanyi Korea Selatan yang mencoba meraih kesuksesan besar di Jepang pada tahun 2022.

Sumber gambar, Fabio Gygi

Keterangan gambar, Pesan ulang tahun untuk Kogun, penyanyi Korea Selatan yang mencoba meraih kesuksesan besar di Jepang pada tahun 2022.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Menurut survei terbaru yang dilakukan oleh firma pemasaran Jepang, CDG dan Oshicoco, sebuah biro iklan yang mengkhususkan diri dalam oshikatsu menyebutkan jumlah rata-rata yang dihabiskan penggemar untuk kegiatan yang berhubungan dengan oshi adalah 250.000 yen (sekitar Rp28 juta) per tahun.

Jika dikalkulasikan oshikatsu diperkirakan menyumbang 3,5 triliun yen (setara Rp393 triliun) terhadap ekonomi Jepang setiap tahun, yang mencakup 2,1% dari total penjualan ritel tahunan Jepang.

Oshikatsu memang akan meningkatkan belanja konsumen. Namun, saya ragu hal itu akan berdampak pada ekonomi Jepang seperti yang diharapkan oleh pemerintah.

Bagi penggemar yang berusia muda, bahaya datang dari keputusan pemerintah yang berencana menghapus segala bentuk pengaruh tren, yang pada akhirnya bisa membuat oshikatsu kurang menarik bagi mereka dalam jangka panjang.

Baca juga:

Dan jika mereka mendukung oshi yang belum sukses, mereka akan merasa lebih yakin bahwa dukungan mereka akan sangat berarti.

Oleh karena itu, sebagian pengeluaran langsung diberikan kepada individu, bukan kepada para bintang dari perusahaan ternama.

Namun, ada juga kemungkinan bahwa para oshi muda yang sedang berjuang ini menghabiskan lebih banyak uang daripada para selebritas yang mapan.

Oshikatsu adalah cara orang Jepang ingin diakui dan diterima

Sejumlah media internasional mengulas sisi ekonomi oshikatsu, atau pada kekhasan penggemar “obsesif” yang mengambil pekerjaan sampingan demi menghidupi oshi mereka.

Atau, para ibu-ibu yang menghabiskan banyak uang untuk pria yang usianya setengah lebih muda dari umur mereka.

Tetapi, liputan tersebut sebetulnya mengabaikan transformasi sosial yang lambat namun mendalam tentang gejala oshikatsu.

Sebuah studi tahun 2022 terkait pelaku oshikatsu memperjelas bahwa “aktivitas para penggemar” itu merupakan respons yang mendalam untuk diakui dan diterima.

Meskipun rasa itu bisa dipenuhi melalui jalinan persahabatan atau hubungan intim, tapi semakin banyak orang dewasa muda Jepang merasa bahwa hubungan seperti itu “bermasalah”.

Jumlah rata-rata yang dihabiskan penggemar untuk kegiatan terkait oshi mereka adalah 250.000 yen (sekitar Rp28 juta) per tahun.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Jumlah rata-rata yang dihabiskan penggemar untuk kegiatan terkait oshi mereka adalah 250.000 yen (sekitar Rp28 juta) per tahun.

Kalangan pria muda berada di jajaran terdepan dalam tren ini, terutama mereka yang bukan pekerja kantoran tapi relatif stabil.

Banyak dari mereka semestinya bekerja paruh waktu atau melakukan pekerjaan kasar untuk membangun masa depan dalam sebuah keluarga.

Hanya saja, kebutuhan tersier manusia telah berubah untuk mengakomodasi hal-hal tidak berwujud semisal persahabatan, perkawanan, bahkan fantasi romantis—yang intinya lari dari kenyataan.

Ada juga kebutuhan berupa pelukan nonseksual hingga menyewa ‘teman’ untuk sekadar ngobrol seharian atau berkencan dengan transpuan.

Itu semua adalah kelegaan sementara dari kesepian yang bisa didapatkan dengan membayar per jam.

Hasilnya, hubungan antarmanusia menjadi sesuatu yang bisa ‘dikonsumsi’ dengan membayar.

Di sisi lain, berbagi aktivitas oshikatsu dapat menambah perkawanan.

Mereka bisa berkumpul bersama untuk ‘memuja idola’ merupakan cara yang ampuh untuk menciptakan komunitas baru.

Meskipun, masih harus dilihat secara saksama bagaimana perubahan orang berhubungan dengan satu sama lain akan membentuk masa depan ekonomi dan masyarakat Jepang.

*Fabio Gygi adalah Dosen Senior Antropologi di School of Oriental and African Studies (SOAS), Universitas London.

Tinggalkan Balasan