Manfaat probiotik untuk kesehatan kulit, fakta atau mitos?

Sumber gambar, Getty Images
- Penulis, Jasmin Fox-Skelly
- Peranan,
Bakteri dan jamur yang hidup di kulit Anda berperan dalam menjaga kesehatan kita. Apakah mungkin meningkatkan bakteri itu?
Sekarang coba gosok permukaan kulit dan Anda akan menemukan ‘komunitas bakteri’ hidup di sana.
Ini adalah hal yang baik, karena penelitian menunjukkan bahwa memiliki jenis mikroba yang “tepat” bisa membantu menjaga kulit tetap muda, kenyal, dan halus lebih lama.
“Bakteri baik” yang hidup di sana melindungi kita dari infeksi mikroba patogen yang berbahaya.
Mereka juga membantu menyembuhkan luka dan bahkan dapat menangkal beberapa efek berbahaya dari sinar UV.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Berbekal penelitian itu, semakin banyak alasan untuk menjaga mikroba kulit kita. Tetapi bagaimana melakukannya?
Salah satu metode yang semakin populer adalah penggunaan probiotik kulit topikal—yang secara teknis berarti mengoleskan mikroorganisme hidup ke kulit untuk meningkatkan kesehatan kulit.
Sejak 1912, para ilmuwan telah mengoleskan bakteri ke wajah orang-orang dalam rangka untuk memperbaiki kondisi kulit seperti jerawat dan seborrhea—bentuk umum dermatitis yang menyebabkan ruam merah, gatal, dan bersisik putih atau kuning.
Saat ini ada puluhan perusahaan perawatan kulit yang menjual apa yang mereka sebut sebagai produk probiotik, mulai dari serum hingga pembersih dan pelembab.
Di masing-masing kasus, krim tersebut menjanjikan bisa menyeimbangkan kembali mikrobioma kulit yang halus, sehingga membuat kulit terasa “diperbarui” dan “segar”.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Namun, meskipun produk perawatan kulit sering mengeklaim sebagai “probiotik”, sangat sedikit, jika ada, yang benar-benar mengandung bakteri hidup.
Terlebih lagi karena perawatan kulit probiotik digolongkan sebagai “kosmetik” dan bukan obat, produsen tidak perlu membagikan hasil uji coba apa pun yang telah dilakukan pada produk mereka. Sehingga sulit untuk mengetahui seberapa efektif.
“Aturan seputar produk perawatan kulit sangat berbeda dengan aturan terkait obat-obatan, jadi klaim bisa dibuat dengan pengujian yang tidak terlalu ketat dibandingkan dengan agen farmasi,” ujar Richard Gallo, seorang dokter kulit dari Fakultas Kedokteran UC San Diego.

Sumber gambar, Getty Images
Sebagian besar produk perawatan kulit “probiotik” mengandung prebiotik—nutrisi yang memberi makan dan mendorong pertumbuhan bakteri baik pada kulit, atau postbiotik—protein atau produk lain yang dibuat oleh bakteri baik.
“Yang semakin banyak kita lihat adalah pendekatan yang mencoba memengaruhi mikrobioma,” papar Bernhard Paetzold, salah satu pendiri dan kepala staf ilmiah S-Biomedic.
S-Biomedic adalah sebuah perusahaan yang bertujuan untuk mengobati kondisi kulit dengan memulihkan mikrobioma kulit melalui “transplantasi” bakteri.
Menurut Bernhard Paetzold, alasan utama mengapa perawatan ini marak dilakukan adalah bakteri hidup sangat sulit untuk tetap hidup selama proses pembuatan, penyimpanan, dan distribusi.
Begitu berada di kulit, tidak ada jaminan bahwa mereka akan bertahan, karena bakteri hidup harus berjuang untuk bersaing dengan jutaan mikroba lain yang sudah hidup di sana.
Gagasan untuk meningkatkan mikrobioma kulit yang sehat berakar pada teori bahwa bakteri dan jamur yang hidup di luar tubuh kita membantu melindungi kita dari bakteri serta jamur yang bisa membahayakan kita.
Namun, ilmu pengetahuan di balik bagaimana bakteri “jahat” tertentu bisa menyebabkan penyakit kulit, belum sepenuhnya dipahami.
Yang kita ketahui adalah orang dengan eksim, rosacea, jerawat, dan psoriasis semuanya memiliki jenis atau tingkat bakteri tertentu yang berbeda yang hidup di kulit mereka.
“Saat ini yang kita ketahui adalah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa hampir tiap penyakit kulit terkait dengan perubahan mikrobioma kulit,” tutur Bernhard Paetzold.
“Tapi, pengamatan ini hanya menunjukkan adanya hubungan. Tidak disebutkan bahwa perubahan mikrobioma menyebabkan penyakit itu.”
“Bisa jadi penyakit itu mengubah kulit, dan itulah sebabnya populasi bakteri berubah.”
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Untuk membuktikan bahwa jenis bakteri tertentu menyebabkan penyakit, Anda perlu memberikan penyakit kulit itu kepada orang yang sehat dengan mengoleskan “bakteri jahat” ke wajah mereka.
Atau, menyembuhkan penyakit kulit itu dengan mengoleskan bakteri “baik”. Meskipun pilihan pertama kemungkinan besar akan menemui hambatan etika. Sehingga ada beberapa peneliti yang mencoba opsi kedua.
Namun, uji klinis terbatas yang telah dipublikasikan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Sebagian besar berfokus pada penggunaan bakteri hidup untuk mengobati eksim, yang juga dikenal sebagai dermatitis atopik.
Uji klinis tersebut didasarkan pada temuan bahwa kulit penderita eksim didominasi oleh Staphylococcus aureus, bakteri yang sering kali bersifat patogen.
“Salah satu masalah besar pada kulit untuk penyakit seperti eksim adalah bakteri patogen tertentu seperti S. aureus hidup di permukaan kulit dan menyebabkan ruam, penyakit, dan infeksi,” kata Gallo.
Kelompok penelitian Gallo telah mencari cara memanfaatkan mikrobioma kulit untuk melawan bakteri berbahaya yang ditemukan berkembang biak pada pasien eksim.

Sumber gambar, Getty Images
“Kami meneliti jenis bakteri yang biasanya hidup pada kulit yang sehat untuk mencari bakteri yang bisa menghasilkan sesuatu yang akan melawan bakteri jahat tersebut.”
Gallo berfokus pada Staphylococcus hominis, bakteri kulit alami yang terdapat pada 21% orang sehat, tetapi hanya 1% pada pasien dermatitis atopik.
“Kulit kita menyediakan tempat tinggal yang aman bagi bakteri komensal seperti S. hominis, sehingga beberapa di antaranya telah mengembangkan cara untuk melindungi lingkungan kulit dari bakteri jahat yang mencoba menyerang,” imbuh Gallo.
Dalam kasus S. hominis, bakteri tersebut menghasilkan peptida antimikroba—fragmen kecil protein—yang secara langsung membunuh S. aureus.
Staphylococcus hominis juga menghasilkan zat kimia yang disebut “peptida autoinduksi”, yang menghentikan sel bakteri untuk berkomunikasi satu sama lain ketika kepadatan populasinya mencapai tingkat tertentu—sebuah mekanisme yang dikenal sebagai penginderaan kuorum—yang memicu sekresi racun yang bisa menyebabkan peradangan kulit.
Pada 2021, tim Gallo melakukan uji coba terkontrol acak fase satu dengan melibatkan 54 orang dewasa yang mengidap dermatitis atopik.
Kulit puluhan orang itu dioleskan krim yang mengandung S. hominis hidup selama satu minggu.
Hasilnya menunjukkan bahwa pengobatan dengan S. hominis secara dramatis mengurangi kolonisasi S. aureus, dan bahkan mengurangi kemerahan dan gatal yang terkait dengan dermatitis atopik pada sub kelompok pasien dibandingkan dengan kelompok yang diberi krim plasebo.
Temuan tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan formulasi khusus bakteri hidup bisa membantu membuat mikrobioma kulit lebih sehat.
Tapi, masih banyak penelitian yang perlu dilakukan untuk membuktikan keefektifannya sebelum bisa digunakan sebagai pengobatan.
Tim tersebut kini sedang merekrut untuk uji coba acak fase kedua yang akan menilai kemajuan pengobatan dalam jangka waktu 14 minggu.
Di tempat berbeda, penelitian lain juga berhasil mengobati eksim dengan probiotik.
Dalam satu uji klinis pada 2003, sebanyak 11 pasien dengan dermatitis atopik diberi krim yang mengandung bakteri Streptococcus thermophiles, yang dioleskan selama dua minggu.
Hasilnya menunjukkan bahwa krim tersebut meningkatkan produksi ceramide pada kulit—lipid yang membantu menjaga kulit tetap terhidrasi dan mempertahannnya sebagai ‘perisai’ yang sehat.
Baru-baru ini, pada 2018, sebanyak 10 orang dewasa dan lima anak dengan dermatitis atopik diberi “transplantasi mikrobioma”, di mana bakteri Roseomonas mucosa hidup yang dikumpulkan dari kulit relawan yang sehat kemudian dioleskan ke kulit pasien dua kali seminggu.
Setelah 16 pekan, pengobatan tersebut berhasil memperbaiki gejala dermatitis lebih dari 50%.

Sumber gambar, Getty Images
Meskipun uji klinis yang berfokus pada kondisi kulit lain agak jarang, uji klinis tersebut juga menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Jerawat, misalnya, terkait dengan kolonisasi bakteri Cutibacterium acnes.
Oleh karenanya, beberapa peneliti mencari bakteri yang menghasilkan peptida antimikroba untuk menghambat atau membunuh bakteri itu.
Dalam satu uji klinis, losion yang mengandung bakteri Enterococcus faecalis diberikan kepada pasien yang menderita jerawat parah.
Losion tersebut secara signifikan mengurangi pustula (jerawat atau benjolan kecil pada kulit yang berisi nanah) dibandingkan dengan losion plasebo.
Sementara itu, Bernhard Paetzold dan perusahaannya S-Biomedic menerbitkan uji klinis pada 2019. Mereka memberikan krim yang mengandung strain Cutibacterium acnes tertentu kepada pasien yang berjerawat.
Hasilnya menunjukkan ada sedikit pengurangan jerawat.
Gallo juga meneliti apakah strain bakteri Staphylococcus capatis bisa menjadi pengobatan jerawat yang efektif, dengan penelitian pada hewan—menunjukkan hasil yang menjanjikan.
“Mekanisme dasarnya sangat mudah. Bakteri Staphylococcus capatis hanya menghambat pertumbuhan C. acnes, sama seperti antibiotik topikal atau antibiotik oral yang digunakan untuk mengobati jerawat,” papar Gallo.
Namun, tidak seperti antibiotik topikal, pengobatan ini secara khusus menargetkan C. acnes, sehingga mikrobioma kulit yang lebih luas tidak terpengaruh, ucapnya.

Sumber gambar, Getty Images
Tim Gallo bahkan telah menemukan strain bakteri Staphylococcus epidermis tertentu yang menghasilkan molekul yang bisa menghambat perkembangan kanker kulit akibat sinar matahari.
“Strain bakteri Staphylococcus menghasilkan molekul kecil yang menghambat sintesis DNA dalam sel kulit yang mengalami transformasi atau mutagenik,” kata Gallo.
“Kami telah menemukan pada hewan bahwa jika bakteri ini ada di permukaan kulit tikus yang mengalami kerusakan akibat radiasi UV, mereka akan mengalami lebih sedikit tumor kulit daripada tikus yang memiliki spesies bakteri yang sama, tetapi tidak memiliki gen [dalam bakteri] yang menghasilkan anti-metabolit ini.”
Tentu saja, perawatan semacam itu harus melalui lebih banyak pengujian dan uji klinis sebelum dapat dibuktikan memiliki efek serupa pada manusia.
Meskipun sebagian besar penelitian telah meneliti pengobatan penyakit tertentu dengan probiotik, ada juga beberapa yang telah meneliti apakah prebiotik atau postbiotik bisa meningkatkan kesehatan kulit secara umum.
Misalnya, beberapa penelitian meneliti apakah inulin—serat makanan yang sering ditemukan dalam kosmetik dan produk perawatan pribadi—dapat berfungsi sebagai prebiotik ketika dikonsumsi sebagai suplemen oral atau dioleskan ke kulit.
Hasil awal menunjukkan bahwa inulin membuat kulit lebih halus dan kenyal, serta menyediakan lingkungan di kulit yang lebih baik bagi bakteri baik untuk berkembang biak.
Penelitian lain juga memperlihatkan bahwa pemberian sphingomyelinase, enzim yang diproduksi oleh bakteri seperti Staphylococcus thermophilus—yang umumnya ditemukan dalam produk susu fermentasi dan yogurt—bisa meningkatkan produksi ceramide, yang diperlukan untuk menjaga kesehatan kulit.
Tapi, dalam banyak kasus, uji klinis acak yang tersamar—standar emas penelitian medis—diperlukan untuk memastikan apakah salah satu krim ini efektif.
Misalnya, sebuah studi tinjauan baru-baru ini meneliti semua data dari uji klinis yang dilakukan hingga sekarang dan menyimpulkan bahwa meskipun “probiotik oral dan topikal tampaknya efektif untuk pengobatan penyakit kulit inflamasi tertentu dan menunjukkan peran yang menjanjikan dalam penyembuhan luka serta kanker kulit, tetap diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengonfirmasi hasil ini”.
Gallo setuju bahwa masih banyak pekerjaan yang harus diperlukan, tetapi ia optimistis tentang masa depan bidang ini.
“Pekerjaan ini bergerak ke arah yang benar,” katanya.
“Kami menyadari, kami perlu memahami apa sebenarnya yang mereka lakukan, dan ada banyak upaya yang dilakukan untuk itu. Jadi saya sangat optimis tentang di mana kita akan berada dalam beberapa tahun dengan probiotik.”

Sumber gambar, Getty Images
Bagi orang yang tidak memiliki penyakit kulit, tapi mungkin ingin meningkatkan kehalusan kulit mereka, mencegah kerutan, atau meningkatkan tingkat hidrasi, hanya ada sedikit bukti bahwa krim probiotik yang tersedia di toko-toko akan memberikan manfaat.
“Saya rasa banyak probiotik yang beredar di pasaran saat ini tidak memiliki bukti yang kuat, jadi saya tidak akan merekomendasikannya,” ujar Gallo.
“Anda bisa mencobanya, tapi mungkin itu bukan cara terbaik untuk memanfaatkan uang Anda.”
Kendati mikrobioma kulit Anda berubah seiring bertambahnya usia dan menghadapi lingkungan yang berbeda, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membantu mikrobioma alami kulit Anda berkembang.
“Ini seperti hubungan timbal balik, karena hal yang sudah kita lakukan untuk melembabkan kulit atau melindungi kulit dari kerusakan akibat sinar UV menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi organisme bermanfaat ini untuk hidup,” papar Gallo.
“Jadi, perawatan kulit yang normal, kelembaban dan pembersihan yang tepat, semua hal tersebut akan meningkatkan kesehatan kulit.”