KUBET – ‘Owa Jawa satu-satunya spesies kera kecil di hutan-hutan tersisa di Pulau Jawa’ – Kisah perempuan ahli primata Indonesia, belasan tahun lestarikan owa Jawa yang terancam punah

‘Owa Jawa satu-satunya spesies kera kecil di hutan-hutan tersisa di Pulau Jawa’ – Kisah perempuan ahli primata Indonesia, belasan tahun lestarikan owa Jawa yang terancam punah

Rahayu Oktaviani, owa Jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Sejak 2008, Rahayu Oktaviani meneliti owa Jawa yang terancam punah.

Selama 17 tahun, Rahayu Oktaviani meneliti dan melestarikan owa Jawa, salah satu primata yang terancam punah. Dedikasinya tak hanya dalam pelestarian satwa, namun juga pemberdayaan perempuan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Pada pertengahan 2000-an, Ayu—sapaan akrab Rahayu Oktaviani—masih berkutat dengan studinya mempelajari konservasi sumber daya hutan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Di kampus itu pula, Ayu mulai tertarik mempelajari primata.

Tiga ahli primata perempuan yang dikenal sebagai The Trimates, Birutė Galdikas, Dian Fossey, dan Jane Goodall, menjadi inspirasinya untuk meneliti primata, khususnya orang utan.

“Ternyata ketiganya itu perempuan ahli primatologi pertama, dan dari sana akhirnya saya baca-baca, saya cari tahu tentang Birutė Galdikas, terutama yang penelitian orang utan. Itu salah satunya yang menginspirasi saya,” ujar Ayu saat diwawancarai pada Sabtu (26/04) silam.

Selama lebih dari empat dekade, Dr. Biruté Mary Galdikas telah mempelajari orang utan Kalimantan Indonesia di habitat alami mereka sejak 1971.

Galdikas salah satu dari tiga perempuan yang dipilih langsung oleh ahli paleoantropologi Louis Leakey untuk mempelajari kerabat terdekat manusia, kera besar, di habitat langsung mereka.

Birute Mary Galdikas, orang utan

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Selama lebih dari empat dekade, Dr. Biruté Mary Galdikas telah mempelajari orang utan Kalimantan Indonesia di habitat alami mereka sejak 1971.

Trio ini dikenal juga sebagai “The Trimates”.

Dua orang lainnya adalah Jane Goodall, yang mempelajari simpanse, dan Dian Fossey yang mempelajari gorila gunung.

“Cinta pertama saya itu orang utan,” ujar Ayu melanjutkan kisahnya.

Ketertarikannya mempelajari orang utan menguat setelah mengikuti kuliah umum yang menghadirkan Sri Suci Utama, ahli orang utan di Indonesia.

Baru dia tahu saat itu kalau ternyata Indonesia punya ahli orang utan.

“Itu salah satu juga yang menginspirasi saya, sehingga pada akhirnya saya berpikir, mungkin saya bisa mengikuti jejaknya,” aku perempuan 38 tahun ini.

Rahayu Oktaviani, owa jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, “Cinta pertama saya itu orang utan,” ujar Ayu.

Pada 2008, dia sempat terpikir menjadikan orang utan sebagai subjek penelitian demi meraih gelar sarjana S1, namun habitat orang utan di Kalimantan tak terjangkau olehnya saat itu.

Ayu kemudian mengalihkan perhatian pada owa Jawa—primata endemik yang terancam punah di tengah tekanan tinggi terhadap habitatnya di hutan-hutan Pulau Jawa yang tersisa.

Penelitian Ayu saat itu berfokus pada perilaku bersuara owa Jawa (Hylobates moloch). Ia menganalisis bagaimana frekuensi dan durasi suara, serta perbedaan suara betina, jantan dan anak.

Saat melakukan penelitian di Citalahab, yang berlokasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, untuk pertama kalinya Ayu mendengar suara Owa Jawa di alam.

Owa Jawa, taman nasional gunung halimun salak

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Saat melakukan penelitian di Citalahab, yang berlokasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, untuk pertama kalinya Ayu mendengar suara Owa Jawa di alam.

“Pertama kalinya saya tahu ada satwa primata yang punya suara seindah itu, yang membuat saya diam, tercengang, kaget, karena kok saya enggak tahu apa-apa tentang satwa ini.”

Dikenal secara lokal sebagai “uwek”, owa Jawa diyakini dalam cerita rakyat membawa hujan melalui suaranya yang nyaring dan merdu.

Spesies ini unik karena membentuk pasangan seumur hidup dan berkomunikasi melalui vokalisasi kompleks.

Sayangnya, dengan kerusakan habitat yang terus berlangsung, nasib spesies ini semakin tergantung pada upaya konservasi.

garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

“Dari situ saya rasa, saya punya mimpi bahwa saya harus berupaya membantu upaya pelestarian owa Jawa ini,” ungkap Ayu.

Hingga kini, Ayu telah lebih dari 15 tahun meneliti dan melestarikan Owa Jawa yang terancam punah.

Atas dedikasinya melestarikan owa Jawa inilah, Ayu dianugerahi Whitley Awards, sebuah penghargaan bergengsi di bidang konservasi lingkungan dari organisasi amal lingkungan UK, Whitley Fund for Nature pada Rabu (30/04).

Whitley Awards, juga dikenal sebagai Oscar Hijau, diberikan setiap tahun kepada para konservasionis terkemuka dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Mengapa owa Jawa penting dilestarikan?

Pelestarian owa Jawa, menurut Ayu, penting untuk dilakukan karena saat ini hanya ada 20 spesies di seluruh dunia, sembilan di antaranya hidup di Indonesia.

“Jadi ada empat spesies di Kalimantan, empat spesies di Sumatera, tapi hanya satu yang ada di Pulau Jawa,” kata Ayu.

“Sementara keberadaan owa Jawa ini sangat bergantung kepada kanopi yang tertutup rapat karena dia bergerak secara branchicy, yang artinya dia bergerak secara berayun di atas kanopi hutan,” ujarnya kemudian.

Begitu hutan habis dan habitatnya terfragmentasi, kata Ayu, ada risiko owa Jawa mengalami kepunahan.

owa jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Saat ini hanya ada 20 spesies owa di seluruh dunia, sembilan di antaranya hidup di Indonesia.

“Jadi penting sekali untuk melestarikan [owa Jawa]. Dan cuma owa Jawa saja nih satu-satunya spesies kera-kecil yang sekarang tinggal di hutan-hutan tersisa di Pulau Jawa.”

Semakin Ayu menghabiskan waktu di lapangan untuk meneliti perilaku dan ekologi owa Jawa, makin sadar pula dia bahwa “ada gap yang cukup besar” antara pengetahuan yang dia miliki sebagai peneliti, dengan apa yang diketahui masyarakat yang mendiami tempat itu.

“Mereka cuma tahu ada peneliti yang keluar masuk hutan, tapi apakah kita pernah berbagi dengan mereka? Apakah kita pernah bertanya kepada mereka pengetahuan lokal apa saja sih yang sebenarnya sudah pernah ada tentang satwa ini?”

Baca juga:

“Apakah sudah ada relasi tentang satwa, tentang alam, dengan manusia yang ada di sekitarnya? Hal seperti itu yang sebenarnya jadi banyak pertanyaan buat saya.”

Setelah melalui perenungan yang mendalam, Ayu menyadari bahwa mengandalkan proyek riset semata tidak akan memberikan dampak yang signifikan dalam mengembangkan upaya konservasi yang dia cita-citakan.

Oleh karena itu, Ayu merasa perlu adanya cara lain untuk bergerak lebih luas, terutama dalam hal menyampaikan hasil penelitian kepada masyarakat dengan lebih mudah dipahami dan berkontribusi pada tindakan konservasi yang nyata.

‘Komitmen untuk konservasi’

Berangkat dari kegelisahan itu, Ayu mendirikan Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA) yang menggandeng masyarakat setempat dalam kegiatan konservasi dan pemantauan keanekaragaman hayati.

“KIARA bukan cuma mimpi saya sendiri, karena saya menjadi salah satu pendiri, tapi dibalik itu, ini jadi mimpi bersama saya dan teman-teman waktu masih kuliah.”

“Kami ingin punya satu tempat di mana kami masih memegang ideologi yang kami punya dan bisa berkomitmen untuk konservasi, sehingga pada akhirnya lahirlah KIARA,” jelas Ayu.

Rahayu Oktaviani, KIARA, owa jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Ayu mendirikan Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA) yang menggandeng masyarakat setempat dalam kegiatan konservasi dan pemantauan keanekaragaman hayati.

Bersama timnya di KIARA, Ayu memimpin pendekatan berbasis masyarakat yang menyatukan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pemberdayaan.

Ayu mengatakan pihaknya membuka pintu yang lebih lebar untuk mahasiswa dari Indonesia untuk melakukan penelitian bersama warga lokal yang menjadi asisten penelitian.

“Sehingga terbuka kesempatan lebih banyak bagi para konservasionis muda untuk melanjutkan langkah ini.”

Ayu juga punya misi untuk menerjemahkan hasil penelitian terkait owa Jawa ke dalam bahasa yang lebih sederhana, “dalam bentuk apa pun yang bisa diakses oleh siapa pun”.

“Dalam bentuk buku cerita, dalam bentuk lembar mewarnai, dalam bentuk himbauan, flyer, dan sebagainya.”

Kiara, Rahayu Oktaviani, owa jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Bersama timnya di KIARA, Ayu memimpin pendekatan berbasis masyarakat yang menyatukan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pemberdayaan.

“Selain itu, kami juga punya kelas konservasi reguler di dua sekolah dasar yang ada di sekitar kawasan area tempat kami bekerja.

Melalui kolaborasi dengan sekolah-sekolah lokal, mereka menargetkan untuk menjangkau sedikitnya 300 siswa dan 100 rumah tangga.

Di Kampung Citalahab, pusat kegiatan KIARA yang terletak di tengah hutan hujan sub-pegunungan, Ayu bekerja bersama delapan anggota komunitas lokal sebagai tim lapangan.

Mayoritas warga desa menggantungkan hidup dari bekerja di perkebunan teh, bertani, atau sektor pariwisata.

Rahayu Oktaviani, owa Jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Di Kampung Citalahab, pusat kegiatan KIARA yang terletak di tengah hutan hujan sub-pegunungan, Ayu bekerja bersama delapan anggota komunitas lokal sebagai tim lapangan.

Salah satu inisiatif andalan Ayu adalah Ambu Halimun. Ambu dalam bahasa Sunda berarti ibu, sementara Halimun adalah nama gunung tempat kegiatan para perempuan ini.

“Saya menyadari bahwa ternyata perempuan-perempuan di kampung tempat stasiun riset kami berada, mereka punya informasi, mereka punya pengetahuan tradisional yang sudah lama hampir hilang, terutama tentang bagaimana jenis-jenis tumbuhan pernah dipakai oleh masyarakat sebagai tumbuhan obat, contohnya,” terang Ayu.

Rahayu Oktaviani, Ambu Halimun, owa jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Salah satu inisiatif andalan Ayu adalah Ambu Halimun.

Ambu Halimun adalah program pemberdayaan yang melibatkan belasan perempuan setempat dalam pelatihan ecoprint dan literasi keuangan rumah tangga dibentuk pada 2021 silam.

“Jadi awalnya sebenarnya bukan dari satu kegiatan yang bisa menghasilkan, tapi lebih ke bagaimana memberdayakan para perempuan, para ibu-ibu ini, supaya bisa punya pengetahuan lebih tentang literasi keuangan,” ungkap Ayu.

“Pada akhirnya berkembang menjadi Ambu Halimun yang sekarang mungkin lebih dikenalnya dengan produk ecoprint.”

Rahayu Oktaviani, owa jawa, ambu halimun

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Ambu Halimun adalah program pemberdayaan yang melibatkan belasan perempuan setempat dalam pelatihan ecoprint dan literasi keuangan rumah tangga dibentuk pada 2021 silam.

Salah satu perempuan yang tergabung dalam Ambu Halimun adalah Mirna Maharani yang berusia 29 tahun.

Mirna mengatakan bahwa sebelum ada Ambu Halimun, para perempuan di Kampung Citalahab menghabiskan waktunya di rumah sebagai ibu rumah tangga.

Namun setelah dibekali pelatihan ecoprint, mereka kini memiliki aktivitas di luar rumah tangga dan lebih mandiri secara finansial.

“Setelah pelatihan itu, awalnya kan kita coba-coba dulu, kemudian dari situ berlanjut. Terus mulai banyak ibu-ibu juga yang tertarik. Kemudian kita bikin lagi dan lagi,” ujar Mirna.

Ambu Halimun, Kiara, owa jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Selain pelatihan ecoprint, para ambu juga mengikuti literasi keuangan rumah tangga

Mirna bilang, banyak pengalaman yang dia dapat dari inisiatif Ambu Halimun. Salah satunya, dia jadi tahu manfaat dari tumbuhan yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

“Yang paling utama, jadi para ambu tuh jadi tahu, ‘Oh ternyata tumbuhan yang ada di sekitar kampung kita sama di halaman ternyata berguna loh’.”

“Bisa buat buat ecoprint, dimakan juga bisa,” katanya.

Selain itu, beberapa tanaman juga bisa berfungsi sebagai tanaman obat.

Kain ecoprint yang diproduksi Ambu Halimun

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Kain ecoprint yang diproduksi Ambu Halimun

Ketua Ambu Halimun, Yuliana, mengatakan ada 12 perempuan yang terlibat dalam program pemberdayaan perempuan ini. Mereka berusia sekitar 20 tahun hingga 40-an tahun.

Yuli kemudian menuturkan manfaat yang dia dapat dengan keberadaan inisiatif Ambu Halimun ini.

“[Ambu Halimun] mengisi kekosongan aktivitas kami. [Saat] ada tamu, alhamdulillah dapet ilmu, banyak kenalan juga. Ketemu banyak orang-orang dari luar maupun luar negeri,” kata dia.

Biasanya, tiap bulan Ambu Halimun memproduksi sekitar 30-40 kain, masing-masing dibuat dalam waktu dua hingga tiga hari.

ecoprint, Ambu Halimun, owa jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Proses pembuatan kain ecoprint ini memerlukan waktu sekitar dua hingga tiga hari.

Apa saja ancaman utama yang dihadapi owa Jawa?

Organisasi amal dari Inggris, Whitley Fund for Nature, memberikan penghargaan Whitley Award tahun ini kepada Ayu atas upayanya melindungi owa Jawa—salah satu primata yang diklaim paling terancam punah.

Dengan dana dari Whitley Fund for Nature yang diterimanya, Ayu akan memperkuat upaya konservasi di lima pemukiman yang berada di dalam dan sekitar kawasan taman nasional, yang wilayahnya tumpang tindih dengan habitat utama owa jawa.

Program ini, kata Ayu, bertujuan mengurangi ancaman dari aktivitas manusia serta mencegah fragmentasi habitat.

“Khusus untuk area yang menjadi sasaran kami di Taman Nasional Gunung Halimun Salak sejauh ini ancaman yang mungkin bisa teridentifikasi adalah encroachment atau adanya gangguan atau ekspansi.”

Habitat owa Jawa terfragmentasi akibat bentang alam yang dimodifikasi oleh manusia seperti pertanian, perkebunan teh dan permukiman.

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Habitat owa Jawa terfragmentasi akibat bentang alam yang dimodifikasi oleh manusia seperti pertanian, perkebunan teh dan permukiman.

“Sebagai contoh, adanya ekspansi permukiman atau misalkan perkebunan warga yang bisa jadi masuk ke dalam kawasan. Sehingga hal-hal seperti itu yang harusnya bisa dicegah.

Lebih jauh, Ayu mengungkapkan bahwa selain ekspansi permukiman, pengurangan habitat juga menjadi ancaman utama yang dihadapi owa Jawa.

Lebih dari 60 persen dari 281 juta penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Sebagian besar hutan asli di pulau ini telah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, kawasan urbanisasi, dan infrastruktur.

Pertumbuhan permukiman di sekitar dan di dalam taman nasional juga menjadi tekanan tambahan.

Baca juga:

“Owa Jawa hanya tinggal di sekitar 30 sampai 50 habitat yang tersisa, dan sudah terjadi fragmentasi seperti itu. Itu salah satu hal yang menjadi ancaman bagi Owa Jawa.:

“Lalu, kemudian hal lain adalah perdagangan ilegal juga masih terjadi untuk menjadikan owa Jawa sebagai satu peliharaan.”

Oleh sebab itu, peningkatan pengawasan dan perlindungan habitat satwa ini juga menjadi fokus Ayu dan timnya ke depan.

Dikatakan Ayu, pihaknya juga akan melatih para penjaga taman dalam teknik pemantauan keanekaragaman hayati untuk mengarahkan strategi konservasi.

“Sehingga data-data yang nantinya akan masuk ke dalam sistem pengelolaan database di Taman Nasional ini bisa lebih sesuai dengan apa sih tujuan akhir dari konservasi itu sendiri.”

Rahayu Oktaviani, owa jawa

Sumber gambar, Whitley Fund for Nature

Keterangan gambar, Peningkatan pengawasan dan perlindungan habitat satwa ini juga menjadi fokus Ayu dan timnya ke depan.

Saat ini, tercatat sekitar 2.000 hingga 4.000 populasi owa Jawa di seluruh hutan yang tersisa di Pulau Jawa.

Diperkirakan hingga setengah dari populasi spesies tersebut kini terkonsentrasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas 87.000 hektar, yang merupakan blok hutan terbesar yang tersisa di Jawa.

“Jadi, diperkirakan sekitar 900 sampai 1.200 individu [owa Jawa] mendiami hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak sehingga habitat ini penting sekali untuk dijaga dan dilestarikan.

Tinggalkan Balasan