Apakah geopolitik di Gereja Katolik akan memengaruhi pemilihan Paus baru?

Sumber gambar, Getty Images
- Penulis, Luis Barrucho
- Peranan, BBC World Service
Setelah pemakaman Paus Fransiskus digelar Sabtu (26/04) silam, para kardinal dari seluruh dunia akan segera berkumpul di Vatikan untuk memilih penggantinya dalam sebuah proses rahasia berusia berabad-abad yang dikenal sebagai konklaf.
Namun, dari mana para kardinal ini berasal dan apakah pergeseran geopolitik Gereja Katolik akan memengaruhi jalannya pemilihan Paus baru?
Siapa saja yang bisa memilih Paus baru?
Saat ini, terdapat 252 kardinal yang tergabung dalam Kolegium Kardinal. Sebanyak 135 orang di antara mereka berusia di bawah 80 tahun dan berhak memilih Paus baru.
Jumlah ini adalah yang terbanyak dalam sejarah Gereja Katolik. Kemudian, dari 135 kardinal tersebut, sebanyak 108 kardinal ditunjuk mendiang Paus Fransiskus, yang merupakan Paus pertama dari Amerika Latin dan non-Eropa sejak abad ke-8.

Sumber gambar, Getty Images
Para ahli Vatikan berpendapat bahwa itu adalah upaya Paus Fransiskus untuk memastikan kebijakan-kebijakan warisannya yang progresif dan inklusif bisa terus berlanjut.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Para kardinal, yang biasanya merupakan uskup, adalah tokoh-tokoh penting dalam hierarki Gereja Katolik.
Gereja yang berubah
Selama 12 tahun kepausan Paus Fransiskus, terjadi perubahan signifikan dalam representasi geografis Kolegium Kardinal.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kardinal dari Eropa tidak lagi menjadi mayoritas di antara kardinal yang berhak memilih.
Saat ini, kardinal dari Eropa hanya mewakili 39% dari total kardinal pemilih, turun dari 52% pada 2013.

Sumber gambar, Getty Images
Paus Fransiskus menunjuk 108 kardinal yang memenuhi syarat untuk memilih, dengan distribusi geografis sebagai berikut: Eropa (38%), Amerika Latin dan Karibia (19%), Asia-Pasifik (19%), Afrika sub-Sahara (12%), Amerika Utara (7%), serta Timur Tengah dan Afrika Utara (4%).
Sebanyak 73 dari 108 kardinal berasal dari wilayah seperti Amerika Latin, Asia-Pasifik, dan Afrika.
Sejarawan Gereja Katolik dari Universitas Oxford, Dr. Miles Pattenden, menyatakan bahwa upaya untuk menjadikan Gereja Katolik lebih mewakili umatnya di seluruh dunia adalah perkembangan yang sudah berlangsung sejak abad ke-19 dan kini semakin pesat.

Dahulu, para kardinal nyaris semuanya orang Eropa, mayoritas berasal dari Italia.
Menurut Pattenden, Paus Fransiskus menginginkan Kolegium Kardinal yang representatif dari seluruh komunitas Katolik di dunia, bahkan yang terkecil sekalipun.
Hal ini, kata Pattenden, menjelaskan mengapa Paus Fransiskus menunjuk kardinal dari negara-negara seperti Mongolia, Aljazair, dan Iran—alih-alih dari Irlandia atau Australia.
Apakah geopolitik akan memengaruhi pemilihan Paus baru?
Meskipun para kardinal secara terbuka menyatakan bahwa faktor geografis tidak memengaruhi keputusan mereka, Pattenden berpendapat bahwa dalam praktiknya, hal itu kemungkinan besar akan menjadi pertimbangan.
Dia bilang, banyak kardinal dari belahan dunia selatan secara pribadi merasa sudah waktunya bagi seorang Paus ditunjuk dari wilayah mereka, terutama Asia atau Afrika.
Sementara itu, banyak kardinal Eropa—terutama Italia—berpendapat bahwa kepausan sebaiknya kembali ke sana.

Sumber gambar, Getty Images
Pattenden mencatat adanya jurang pemisah lain di antara para kardinal, yaitu mereka yang sehari-hari beraktivitas di Vatikan dengan mereka yang melayani di keuskupan lain di seluruh dunia.
Para kardinal Italia—yang seringkali telah berinteraksi dan bekerja sama dalam waktu yang lebih lama dibanding sejawatnya di belahan dunia selatan—cenderung membentuk blok suara yang kohesif dalam konklaf, menurut Pattenden.
Ideologi politik juga akan memainkan peran penting dalam pemilihan.
“Misalnya, banyak kardinal Amerika Selatan cukup progresif,” kata Pattenden.
“Mereka sangat berbeda dengan kardinal dari Afrika yang secara umum cukup konservatif dan aliansi bergerak melintasi geografi.”
Bagaimana pemilihan Paus dilakukan?
Selama konklaf berlangsung, para kardinal yang berhak memilih Paus baru diisolasi sepenuhnya dari dunia luar.
Mereka tidak diperbolehkan memiliki akses ke telepon, internet, maupun surat kabar.
Mereka tinggal di Casa Santa Marta—penginapan lima lantai di Kota Vatikan—dan berjalan tiap hari ke Kapel Sistina, tempat pemilihan Paus baru dilakukan.

Sumber gambar, Getty Images
Dalam setiap pemungutan suara, setiap kardinal menuliskan nama pilihannya di kertas suara dan memasukkannya ke dalam sebuah wadah besar yang terbuat dari perak dan berlapis emas.
Agar terpilih sebagai Paus, seorang kandidat harus mendapatkan mayoritas absolut, yaitu dua pertiga dari jumlah suara yang diberikan.
Saat pemungutan suara ini bergulir, para umat Katolik menunggu di Lapangan Santo Petrus tak jauh dari Kapel Sistina, menunggu asap membubung dari cerobong asap kapel.
Asap hitam berarti belum ada Paus baru, sedangkan asap putih menandakan Paus baru telah dipilih.

Sumber gambar, Getty Images
Setelah terpilih, dan setelah memberikan persetujuan resmi di hadapan para kardinal, Paus baru umumnya akan memperlihatkan diri di balkon yang menghadap Lapangan Santo Petrus dalam kurun waktu sekitar satu jam.
Sejarah mencatat konklaf terpanjang berlangsung selama hampir tiga tahun, dimulai pada 1268.
Akan tetapi, konklaf modern cenderung jauh lebih cepat, dengan rata-rata durasi tiga hari sejak awal abad ke-20.
Paus Fransiskus dan pendahulunya, Paus Benediktus XVI dipilih dalam kurun waktu dua hari.
Tak ada calon yang menonjol
Setelah kepergian Paus Fransiskus, sejumlah nama disebut potensial menjadi penerusnya, mulai dari kardinal di Italia, Kanada, Ghana, hingga Filipina.
Menurut Pattenden, pembicaraan di antara para kardinal sudah berlangsung untuk menjajaki kemungkinan munculnya konsensus di sekitar satu atau dua nama calon Paus.
Namun dia bilang hasilnya masih susah ditebak.

Sumber gambar, Getty Images
Menurut Pattenden, pemilihan Paus tidak sama dengan pemilihan ketua partai politik yang otomatis menang jika meraih suara terbanyak.
Ada aspek lain yang lebih dari sekadar mayoritas yang berlaku dalam pemilihan Paus baru.
“Ada pemahaman bahwa Gereja perlu bergerak berdasarkan konsensus sampai batas tertentu, yang berarti penting untuk tidak mengasingkan kelompok minoritas.”