Sedikitnya 100 nyawa diduga melayang di tangan polisi dalam tiga tahun terakhir – ‘Mereka bukan sekadar angka, tapi nyawa manusia’

Sumber gambar, Getty Images, Istimewa
Sedikitnya 100 lebih nyawa diduga melayang di tangan polisi dalam tiga tahun terakhir. BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah keluarga yang mengaku sudah tak percaya lagi dengan institusi penegak hukum tersebut.
Bagi mereka, apa yang dilakukan polisi tak bisa dimaafkan karena aparat yang semestinya melindungi justru merenggut harapan dan penerus keluarga.
Afrinaldi, orang tua Muhammad Afif Maulana—yang diduga tewas akibat disiksa polisi pada 9 Juni 2024—bilang tidak akan bisa hidup tenang sampai anaknya mendapatkan keadilan.
“Hingga saat ini, saya merasa belum mendapatkan keadilan atas meninggalnya anak saya,” katanya lirih.
Sementara itu, Andi Prabowo ayah dari Gamma Rizkynata—yang meninggal dunia setelah ditembak polisi pada 24 November 2024—bilang bakal terus menagih hukuman yang setimpal dan permintaan maaf Polri atas perbuatan anggotanya.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
“Kalau saya inginnya nyawa harus dibayar nyawa,” tuturnya tegas.
Dalam berbagai kesempatan, Kapolri Listyo Sigit Prabowo menegaskan tidak akan menolerir tindakan anggotanya yang melakukan kejahatan dan penyimpangan.
Tapi mengapa kasus serupa terus berulang?
‘Saya melihat mereka bukan sekadar angka, tapi nyawa’
Kasus-kasus kekerasan, pemerasan, pelecehan, bahkan pembunuhan yang menyeret aparat kepolisian selalu menjadi pemberitaan media massa belakangan hari ini.
Dalam sepekan saja misalnya, ada tiga dugaan kejahatan yang melibatkan polisi: kekerasan seksual yang dilakukan Kapolres Ngada Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja; pembunuhan bayi berusia dua bulan oleh anggota Direktorat Intelijen Keamanan Polda Jawa Tengah Ade Kurniawan; serta penganiayaan berujung meninggalnya seorang pelajar SMA Pandu Brata Siregar oleh anggota polisi Polres Asahan.
Rentetan peristiwa itu membuat warganet murka, salah satunya Jorgiana.
Di X (dulu Twitter), perempuan muda ini mencuit: “tahu enggak sih, saking marahnya sama @DivHumas_Polri dari tahun lalu saya bikin daftar nama korban jiwa dari kelakuan polisi.”
“Dari kejadian KM 50, aksi demonstrasi 2019, kanjuruhan, Alif, Gamma, Herlina, dan masih berlanjut hingga hari ini.”
Artikel ini memuat konten yang disediakan X. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca X kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati X pesan
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di XBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Cuitan itu viral dan memantik emosi warganet. Terlihat dari reaksi tayangan cuitannya yang mencapai 431 ribu kali, disukai 13 ribu akun, serta di-retweet 2 ribu kali.
Jorgiana bilang mulai mengumpulkan nama-nama korban meninggal yang diduga akibat kekerasan aparat polisi pada 13 Desember 2024.
Kala itu, ia terpantik oleh narasi ACAB movement atau ungkapan protes terhadap kebrutalan polisi.
Istilah ACAB atau kode 1312 adalah slogan politik dari all cops are bastards.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Tapi Jorgiana tak cuma ingin memaki, ia berkata “mau berkenalan” dengan para korban.
“Jadi tadinya ini [daftar korban polisi] buat saya sendiri, karena saya mau kenal mereka dalam artian, saya mau tahu orang-orang ini siapa, kehidupannya bagaimana,” tutur Jorgiana kepada BBC News Indonesia, Jumat (14/03).
Jadilah hari demi hari, dia mengumpulkan nama-nama korban meninggal yang diduga terkait kekerasan aparat polisi.
Baca juga:
- ‘Ironis anggota polisi yang seharusnya memberi rasa aman justru jadi pelaku kekerasan’ – Kontras temukan 622 kasus kekerasan oleh polisi setahun terakhir
- Eks Kapolres Ngada resmi dipecat dengan tidak hormat dari Polri, diduga cabuli tiga anak dan unggah video di situs porno Australia
- Revisi UU Polri: ‘Perubahan aturan seharusnya fokus hentikan munculnya korban salah tangkap atau kekerasan polisi’
Entah dari pemberitaan di media massa, laporan pemerintah daerah, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan media sosial.
Semuanya dirangkum dalam catatan sederhana di perangkat microsoft word berjudul “nama korban polisi”.
“Saya sortir nama dan umur korban, saya membaca latar belakang mereka.”
“Tiap cerita dari korban berbeda-beda, ada yang mahasiswa, ada seorang istri yang lagi hamil, dan seterusnya.”
Hingga Jumat (14/03), jumlah korban dalam daftar panjang versi Jorgiana mencapai 164—yang terbagi dalam beberapa babak: tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang; peristiwa tewasnya enam anggota laskar FPI di KM 50; aksi demonstrasi 2019 di Kendari; dugaan pembunuhan Afif Maulana di Padang; dugaan pembunuhan Gamma di Semarang; dan sejumlah insiden lain.

Sumber gambar, AFP
Dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, setidaknya 135 orang tewas.
Beberapa pihak seperti Dinas Kesehatan Kota Malang dan Komnas HAM menyebut penyebab kematian ratusan orang itu karena mayoritas mengalami sesak napas dan terinjak-injak akibat panik setelah polisi melepaskan tembakan gas air mata ke arah tribun penonton.
Merujuk pada temuan Komnas HAM, tembakan gas air mata yang berlebih menjadi penyebab peristiwa itu berujung mematikan.
Komnas HAM juga menyebut ada 27 tembakan terlihat dari video dan 18 tembakan lainnya terkonfirmasi terdengar.
Baca juga:
- Satu tahun Tragedi Kanjuruhan – ‘Jalan berliku meraih keadilan’ bagi penyintas dan keluarga korban
- Setahun Tragedi Kanjuruhan, rekomendasi TGIPF tidak sepenuhnya dijalankan PSSI
- Tragedi Stadion Kanjuruhan: Kisah pilu di Pintu 13 dan 14 – ‘Seperti kuburan massal, banyak anak kecil, banyak perempuan meninggal’
Temuan fakta inilah yang menurut Komnas HAM memperkuat adanya dugaan pelanggaran pidana dalam tragedi Kanjuruhan.
“Saya sendiri enggak suka melihat mereka direduksi menjadi angka, karena menurut saya mereka nyawa manusia yang punya hidup, punya keluarga, punya cita-cita,” ucapnya.
“Bayangkan ada korban yang usianya 20 tahun, lima tahun, tiga tahun.”
Perempuan muda ini masih belum tahu akan diapakan daftar tersebut.
Kendati begitu, klaimnya, sudah ada usulan yang datang semisal dijadikan situs khusus korban polisi dan ada juga opsi sebagai “memorial online“.
“Biar kita ingat nama mereka.”
‘Nyawa harus dibayar nyawa’
Salah satu korban kebrutalan aparat ialah Gamma Rizkynata Oktafandy, seorang pelajar di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Remaja 17 tahun ini tewas ditembak anggota polisi Aipda Robig Zainudin pada akhir November tahun lalu.
Ayah kandung Gamma, Andi Prabowo, menuturkan dia masih ingat betul apa yang terjadi pada waktu itu. Ia bilang berjalan tak tentu arah demi mencari sang anak semata wayang yang tak diketahui keberadaannya.
Sampai pada akhirnya belakangan dia tahu, Gamma telah mati di tangan anggota polisi Reserse Narkoba Polrestabes Semarang, Aipda Robig.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Saat ditemui BBC News Indonesia, pria berambut gondrong ini mengatakan takkan mengampuni pelaku yang sudah membunuh anaknya.
“Karena sangat berat bagi saya. Gamma adalah tumpuan hidup saya satu-satunya. Dia anak saya satu-satunya yang akan meneruskan… dan mungkin merawa saya saat tua,” katanya lirih.
“Setelah kejadian itu, perasaan saya sakit dan berat sekali.”
Saat ini berkas kasus Gamma dan pelaku Robig telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kota Semarang sebagai tahanan.
Robig dijerat Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 tentang perlindungan anak, Pasal 338 tentang pembunuhan, dan Pasal 351 soal penganiayaan.
Baca juga:
- Polisi penembak siswa SMK di Semarang jadi tersangka dan dipecat – Keluarga ungkap kejanggalan seputar kematian Gamma
- Kisah korban rekayasa kasus polisi: ‘Enggak ngaku begal, saya ditembak. Padahal saya enggak ngelakuin’
- Polisi pelaku pembanting mahasiswa Tangerang tetap diproses, pegiat HAM: ‘Kasus ini bukan peristiwa tunggal’
Meskipun Andi bilang akan menghormati hukum di Indonesia, tapi dari lubuk hatinya dia mau nyawa anaknya dibayar dengan nyawa pelaku.
Bagaimana tidak, dalam video rekaman yang beredar luas tampak dengan “tega sekali pelaku membunuh anak saya,” ungkap Andi.
“Dia [Robig] mengarahkan [senjata] ke anak saya tanpa ada peringatan apa-apa,” sambungnya.
“Kalau saya pribadi ingin seperti itu, nyawa harus ditanggung dengan nyawa…”
“Tapi jika tidak, saya ingin keadilan yang seadil-adilnya. Pasal yang diterapkan harus yang tertinggi dan berlapis sehingga memberatkan tersangka yaitu hukuman seumur hidup.”
Hingga detik ini, tutur Andi, tak ada permintaan maaf baik dari pelaku maupun institusi kepolisian.
Padahal sebelum penyebab Gamma tewas terbongkar, polisi sempat memfitnah sang anak sebagai pelaku tawuran.

Sumber gambar, ISTIMEWA
Dalam konferensi pers di hadapan media, jajaran Polda Jateng bahkan memperlihatkan senjata tajam sejenis parang sepanjang 1,5 meter yang diklaim milik Gamma.
Namun belakangan, berdasarkan rekaman video CCTV yang merekam detik-detik insiden penembakan itu, tak ada tanda-tanda tawuran.
“Permintaan maaf sampai saat ini belum ada, dari pelaku kepada keluarga kami tidak ada.”
“Kalau harapan keluarga kami, setidaknya ada [permintaan maaf] atas kejadian ini.”
Kini, yang tersisa adalah rasa ketidakpercayaan pada institusi polisi gara-gara tindakan kesewenang-wenangan mereka, ucap Andi.
‘Sulitnya mendapatkan keadilan’
Selain Gamma, ada bocah 13 tahun yang turut diduga meregang nyawa di tangan polisi.
Muhammmad Afif Maulana, namanya.
Ayah korban, Afrinaldi, masih mencari keadilan atas kematian anaknya yang ditemukan tak bernyawa di bawah Jembatan Kuranji, Kota Padang, pada 9 Juni 2024 silam.
Meskipun pada 2 Januari lalu, Kapolda Sumbar Suharyono telah resmi menghentikan penyelidikan kasus kematian Afif.
“Sampai sekarang saya masih belum merasa mendapatkan keadilan atas meninggalnya anak saya,” tuturnya lirih.

Sumber gambar, Halbert Chaniago
“Dan kami ingin pelakunya benar-benar dihukum, karena kami perhatikan banyak kejanggalan.”
“Mulai dari kamera CCTV di sekitar [kejadian] tidak ada, saksi-saksi juga seperti tidak ditanggapi.”
Sama halnya seperti kasus Gamma, ada dua versi yang berbeda atas kematian Afif.
LBH Padang meyakini Afif tewas akibat disiksa polisi. Pernyataan itu merujuk pada dua orang saksi yang melihat korban dikerumuni polisi di dekat jembatan lantas diboyong ke kantor polisi.
Keyakinan tersebut menguat, gara-gara melihat luka lebam di sekujur tubuh korban.
Baca juga:
- Mengapa orang tua Afif Maulana klaim kematian anaknya karena disiksa polisi di Sumbar?
- Korban dugaan pemerkosaan Kapolsek Parigi ‘sering menangis histeris’, Kontras: 90% kasus pelanggaran oleh polisi ‘tidak ada penindakan’
- ‘Klitih’ di Yogyakarta: ‘Mata saya dilakban dan dipukul’ – terdakwa alami kekerasan agar mengaku, rekayasa kasus membuat citra polisi kian ‘terpuruk’
Sedangkan Polda Sumbar mengklaim Afif—yang sedang berusaha kabur dari aksi tawuran—meninggal karena meloncat ke sungai dari ketinggian 12 meter.
Rinaldi berkali-kali bilang tak puas dengan hasil penyelidikan polisi dan berharap kepolisian tak menutup kasus anaknya.
Mereka ingin ada keadilan.
“Saya merasa untuk bisa mendapatkan keadilan sulit. Terlebih terduga pelakunya diduga adalah aparat polisi,” katanya.
Selama hal itu tidak didapatkan, maka kepercayaan pada institusi ini bakal hilang, ungkapnya.

Sumber gambar, Dok. Anggun Anggraini
“Pandangan saya, kepolisian hanya keras memproses kasus yang pelakunya di luar mereka. Kalau terduga pelakunya bagian dari mereka, tidak akan diusut dengan tuntas.”
Di akhir perbincangan, Rinaldi tak kuat membendung air matanya. Ia terbayang tingkah sang anak yang selalu memeluknya setiap kali hendak tidur.
“Sebelum bulan Ramadan ini saya sudah sedikit ikhlas, tapi saat memasuki bulan Ramadan ini saya sering merasa sedih dan juga sering teringat dengan Afif,” kenangnya.
Dan ketika ditanya, seandainya pelaku pembunuh Afif ada di hadapannya, Rinaldi berkata “yang pasti saya akan emosi dan menangis… saya akan katakan kenapa kamu membunuh anak saya?”
‘Muak pada institusi kepolisian’
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, mengatakan apa yang dilakukan warganet seperti Jorgiana dan kemarahan keluarga korban adalah bentuk rasa “muak masyarakat terhadap institusi kepolisian”.
Ini karena publik seakan menemui jalan buntu dari serangkaian peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi tubuh Polri dan tak bisa mengandalkan DPR yang sedianya berfungsi sebagai pengawas terhadap pemerintah dan lembaga lainnya.
Padahal masyarakat, kata Iftitah, sudah berteriak bahwa “institusi polisi Indonesia sangat tidak akuntabel.”
“Polri ini sangat powerful (kuat) kewenangannya dalam penanganan perkara sementara pengawasan internalnya tidak berjalan,” sambungnya.
“Sehingga risiko impunitas juga tinggi.”

Sumber gambar, Getty Images
Merujuk catatan terbaru Kontras, sepanjang Juli 2023-Juni 2024 tercatat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Dari ratusan itu 759 orang menjadi korban luka dan 38 orang tewas.
Selain kekerasan, dalam rentang waktu itu, Kontras juga mendokumentasikan 35 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 37 orang.
Jumlah extrajudicial killing tersebut mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya, meskipun jumlah korbannya berkurang.
Sepanjang Juli 2023-Juni 2024 berbagai peristiwa represi terhadap kebebasan sipil pun masih berlangsung.
Kontras menemukan 75 insiden pelanggaran terhadap kebebasan sipil yang meliputi tindakan pembubaran paksa sebanyak 36 kali, penangkapan sewenang-wenang 24 kali, dan intimidasi 20 kali.
“Kalau kita lihat pelanggaran-pelanggaran itu tidak ada mekanisme memadai untuk bikin pendisiplinan berjalan.”
Baca juga:
“Seperti misalnya pelanggaran oleh polisi rata-rata paling kena sanksi etik, setelah itu dimutasi, selesai.”
“Tidak ada pesan bahwa tindakan pelanggaran itu sesuatu yang serius.”
Iftitah mencontohkan pelanggaran oleh polisi dalam kasus band Sukatani yang mengeklaim diintimidasi polisi sampai akhirnya membuat video klarifikasi atas lagu berjudul “Bayar Bayar Bayar”.
Menurut Iftitah, apa yang dilakukan Polda Jawa Tengah dengan menemui personel band Sukatani dengan dalih minta penjelasan soal tujuan pembuatan lagu itu “sudah masuk ranah pelanggaran pidana”.
Karena, katanya, polisi tak bisa seenaknya menemui bahkan memanggil seseorang jika tidak ada yang dilanggar.
“Ini kan si personel Sukatani tindak pidananya apa enggak jelas dan tujuan polisi memanggil dan memeriksa apa, harus clear.”
Mengapa kebrutalan oleh polisi terus berulang?
Dalam berbagai kesempatan, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, selalu mengatakan bahwa dia tidak akan menolerir tindakan anggotanya yang melakukan kejahatan dan penyimpangan.
Karena “ulah oknum nakal” itu, sambungnya, telah merusak marwah serta citra kepolisian.
Kapolri juga menyinggung soal tingkat kepercayaan publik ke Polri anjlok setelah dua kasus besar menyeret dua bekas petingginya, Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa.
Katanya, ia tak segan mencopot jajarannya yang membelot dan tak patuh terhadap agenda perbaikan institusi yang dia pimpin.

Sumber gambar, Getty Images
“Terhadap yang tidak mampu, tidak bisa ikut gerbong, tidak bisa ikut barisan ya silahkan keluar atau kita potong,” ujar Kapolri.
Belajar dari kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa, Kapolri juga mewanti-wanti jajarannya tunduk terhadap etika kepolisian, memahami apa saja yang boleh dilakukan, dan hal-hal apa yang dilarang.
Jika mendapati perintah atasan yang salah, katanya, anggota diminta tak ragu untuk menolak.
“Ini saya ingatkan kepada seluruh anggota agar memahami hal-hal seperti ini sehingga kemudian berani menolak. Bila perlu ingatkan,” kata Sigit.
Selain itu, pada 2024, Polri mendapatkan sentimen negatif sebagai buntut aparat yang dinilai lambat menangani perkara.
Bahkan suatu kasus kudu viral terlebih dahulu baru ditindaklanjuti, sehingga muncul slogan “No Viral No Justice“.
Fenomena itu membuat Kapolri Listyo Sigit memerintahkan jajarannya responsif dalam menangani perkara dan memerintahkan agar semua laporan yang diadukan masyarakat harus ditangani secepat mungkin tanpa harus menunggu viral.
Baca juga:
- Kenaikan pangkat dan jabatan enam perwira polisi yang terlibat kasus Ferdy Sambo menuai kritik – ‘Mencederai rasa keadilan’
- Fakta-fakta kasus pembunuhan oleh polisi di Palangkaraya – Bagaimana kronologi versi sopir dan versi polisi?
- Kasus baku tembak anggota polisi tak ditangani transparan, ‘kepolisian semakin tidak dipercaya oleh masyarakat’
Tapi peneliti Iftitah Sari berpandangan ada beberapa aspek mengapa kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi seperti lingkaran setan yang tak pernah putus.
Pertama, dimulai dari proses rekrutmen hingga pendidikan yang berbau militeristik.
Kendati secara kelembagaan Polri telah dipisahkan dari TNI sejak 1998, katanya, budaya militer TNI masih melekat sampai sekarang di kepolisian. Hal itu terlihat dari kuatnya senioritas di lingkungan Polri.
Itu mengapa, ketika calon-calon polisi lulus dari pendidikan kepolisian, kelihatan arogan ketika bertugas di lapangan.
“Polisi baru lulus malah arogan, berasa punya power karena efek dari pendidikan yang enggak benar.”
“Belum terlalu ditumbuhkan isu-isu soal pentingnya perlindungan hak, being civilized [beradab], punya pendekatan yang humanis ketika berhadapan dengan masyarakat sipil,” papar Iftitah.
“Padahal isu-isu itu penting dimasukkan dalam kurikulum pendidikan polisi.”

Sumber gambar, Getty Images
Kedua, menurut Iftitah, prosedur promosi jabatan di Polri tidak berlandaskan sistem merit, alias didasarkan pada kompetensi, kinerja, dan kualifikasi. Namun berdasarkan pada kedekatan atau loyalitas pada atasan.
Ketiga, lemahnya pengawasan internal. Padahal Polri sudah dibekali dengan satuan intelijen seperti Intelkam, Provost, dan Paminal Polri.
“Kalau kita lihat selama ini pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan polisi tidak ada mekanisme untuk mendisiplinkan mereka,” jelas Iftitah.
“Rata-rata kalau ketahuan paling dikena sanksi etik, dimutasi, selesai.”
“Makanya berulang terus [kekerasan oleh polisi] karena mereka merasa aman. Sanksi etik enggak se-damage itu.”
RKUHAP menjadi ancaman baru
Sialnya, ujar Iftitah, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sekarang bergulir di DPR berpotensi melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan polisi.
Semisal, dibenarkannya tindakan polisi memanggil seseorang yang tak tersangkut tindak pidana.
“Praktik itu ada di aturan internal Polri, tapi dalam kacamata KUHAP enggak boleh. Ini yang jadi ancaman,” jelasnya.
“Begitu aturan internal masuk ke level undang-undang, jadinya melegitimasi proses-proses yang selama ini tidak akuntabel.”

Sumber gambar, Getty Images
“Orang jadi bisa dipanggil seenaknya dan enggak bisa ngapa-ngapain, karena hukumnya bilang begitu.”
Hingga sekarang, ujar Iftitah, koalisi masyarakat sipil untuk pembaharuan KUHAP belum mendapatkan draf yang terbaru, sehingga sulit meneliti satu persatu pasal bermasalah.
Yang pasti mereka mendorong agar RKUHAP—yang rencananya bakal disahkan pada Agustus 2025—harus memuat beberapa materi krusial.
Di antaranya memperjelas syarat-syarat objektif untuk dapat melakukan upaya paksa, memperkuat mekanisme checks and balance antar-aparat penegak hukum saat proses pelaksanaan upaya paksa, serta membentuk mekanisme uji upaya paksa yang objektif ke pengadilan (judicial scrutiny).
Termasuk pemulihan dan ganti rugi kepada tersangka/terdakwa/terpidana ketika pelaksanaan upaya paksa dilakukan secara melawan hukum; penguatan hak tersangka/terdakwa/terpidana; pengaturan dan pengujian perolehan alat bukti.
“Kami mengusulkan setiap penangkapan yang dilakukan polisi dalam waktu 24 jam atau 48 jam, harus bisa dihadapkan ke hakim secara fisik orang yang ditangkap,” jelas Iftitah.
“Sehingga enggak ada lagi kasus orang ditangkap besoknya meninggal.”
“Polisi jadi mikir kalau mau pakai kekerasan atau bikin orang mati.”
Wartawan Kamal di Semarang dan Halbert di Padang berkontribusi untuk laporan ini.