Revisi UU TNI: ‘Militer itu tidak pernah demokratis’ – Apa bahayanya jika TNI merambah dunia sipil?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
Penolakan terhadap revisi UU TNI yang dikhawatirkan akan mengembalikan militerisme di Indonesia terus bergulir. Pengamat militer menjabarkan apa saja mudarat yang bisa muncul ketika anggota TNI menjabat di institusi sipil.
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih menuai polemik dari sejumlah pegiat, akademisi, dan masyarakat sipil.
Selain mengadakan diskusi publik secara luring, gelombang penolakan juga bergaung di media sosial seperti petisi daring yang diunggah Minggu (16/03).
Pada Selasa (18/03) pukul 04.55 WIB, petisi berjudul ‘Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI‘ itu sudah ditandatangani 12.336 orang.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga memprotes pembahasan revisi UU TNI yang dinilai “tertutup” di sebuah hotel bintang lima di Senayan, Jakarta, pada Sabtu (15/3)
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Seperti diberitakan sebelumnya, Pasal 47 UU TNI mengatur prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 10 kementerian atau lembaga sipil.
Salah satu poin revisi UU TNI adalah penambahan jumlah ini menjadi 16 institusi (sebelumnya 15 institusi).
DPR tetap berkukuh menjalankan pembahasan revisi UU TNI tersebut yang ditargetkan selesai sebelum masa reses pada Jumat (21/03) ini.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad membantah pembahasan revisi UU TNI itu dikebut dan berlangsung tertutup.
Dilansir Kompas.com, politisi Gerindra itu menegaskan hanya ada tiga pasal yang mengalami perubahan dalam UU TNI.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Ketiga pasal itu adalah soal batas usia pensiun TNI, koordinasi antara Kementerian Pertahanan dan TNI, dan—yang paling menjadi sorotan—ketentuan prajurit menduduki jabatan di kementerian atau lembaga sipil.
“Pada saat ini, sebelum direvisi, ada 10 [kementerian dan lembaga]. Kemudian ada penambahan,” ujar Dasco dalam konferensi pers di kompleks Senayan pada Senin (17/03).
Selain kementerian dan lembaga yang diatur dalam revisi UU TNI, Dasco mengatakan prajurit TNI baru dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Akan tetapi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengeklaim dalam petisinya bahwa selama ini banyak anggota TNI aktif yang duduk di jabatan sipil tanpa mengundurkan diri terlebih dahulu.
Mungkinkah pejabat sipil dari orang TNI bersikap demokratis?
“Militer itu enggak pernah demokratis,” jawab Made Supriatma, peneliti ISEAS–Yusof Ishak Institute, ketika dihubungi pada Senin (17/03).
“Aturan militer itu adalah komando, hierarkis. Ini diperlukan ketika perang. Ibarat mesin, sekrup-sekrup mereka itu harus kencang.”
Menurut Made, budaya komando itu tidak bisa dibawa ke jabatan sipil yang membutuhkan konsensus dan deliberasi dalam pengambilan keputusan.
Made memberikan contoh sederhana ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak menanggapi kritik kenaikan pangkat Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya dari mayor menjadi letnan kolonel (letkol).
“[…] itu kewenangan kami [Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan KSAD]. Jangan diintervensi terus,” ujar Maruli pada 12 Maret 2025 seperti dilansir Kompas.com.

Sumber gambar, Getty Images
Made mengatakan posisi Teddy yang memegang jabatan sipil membuat kenaikan pangkatnya “harus diperdebatkan”.
“[KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak] langsung marah,” ujar Made.
“Kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah ‘jangan diperdebatkan’.”
Selain itu, Teddy mengingatkan dunia sipil memberi ruang untuk terjadi kesalahan—sesuatu yang tidak ada di dunia militer.
“Di dunia militer, begitu Anda salah, hukumannya fisik. Kalau di Indonesia lebih sadis: dipukul perutnya… ditempeleng…itu biasa. Tapi tidak bisa dilakukan di dunia sipil,” ujar Made.
Apakah orang sipil dapat bersaing secara karier dengan prajurit TNI di kementerian/lembaga?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Meli Pratiwi
Pasal 47 Ayat (1) UU TNI mengatur para prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 10 kementerian atau lembaga sipil.
Sepuluh kementerian dan lembaga itu adalah:
- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam)
- Kementerian Pertahanan (Kemhan)
- Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres)
- Badan Intelijen Negara (BIN)
- Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
- Lembaga Sandi Negara
- Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas)
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
- Badan Nasional Narkotika (BNN)
- Mahkamah Agung
Salah satu poin pembahasan revisi UU TNI yang tengah bergulir adalah penambahan instansi ini menjadi 16 institusi (sebelumnya 15 institusi).
Enam lembaga sipil tambahan itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan kementerian atau lembaga yang dapat dijabat prajurit TNI aktif sudah dijelaskan secara mendetail dalam draf RUU.
“Posisi-posisi yang dibolehkan untuk diduduki oleh TNI aktif seluruhnya memang membutuhkan keahlian teman-teman TNI,” ujar Hasan melalui pesan teks kepada BBC News Indonesia pada Senin (17/03).
Dalam keterangan pers pada Senin (17/03), Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan penambahan jumlah dilakukan “karena di masing-masing institusi di undang-undangnya dicantumkan sehingga kita masukkan ke dalam revisi UU TNI”.
“[Di] Kejaksaan Agung, misalnya, ada Jaksa Agung Pidana Militer yang di Undang-Undang Kejaksaan dijabat oleh TNI,” ujarnya.
“Kemudian untuk [BNPP] pengelola perbatasan [itu dimasukkan] karena beririsan dengan tugas pokok dan fungsi [TNI].”
Akan tetapi, pengamat militer dan Kepala Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45), Jaleswari Pramodhawardani, mempertanyakan urgensi dari penambahan enam lembaga sipil tersebut.
“Seakan-akan hanya TNI yang bisa [menduduki jabatan itu]. Sipil pun juga bisa,” ujar perempuan yang sebelumnya dikenal sebagai peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
“Kita mesti berhati-hati karena akhirnya nanti semua hal bisa dimasukkan TNI dengan alasan masyarakat sipil enggak mampu. Nah, enggak mampu itu indikatornya apa?”
Jaleswari juga mengingatkan potensi terjadinya “demoralisasi” di antara masyarakat sipil—dalam hal ini Aparatur Sipil Negara atau ASN.
“Masyarakat sipil atau ASN sudah meniti karier dari bawah, jenjang karier jelas di birokrasi. Terus tiba-tiba banyak sekali TNI di-BKO-kan kepada jabatan-jabatan sipil,” ujar Jaleswari.
“Ini, kan, demoralisasi. Ngapain capek-capek meniti karier?”

Sumber gambar, Getty Images
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Terpisah, Made dari ISEAS–Yusof Ishak Institute mengatakan keterlibatan tentara dalam ranah sipil yang meluas akan semakin menutup peluang orang sipil yang punya keahlian.
“Banyak orang sipil, sudah bekerja puluhan tahun, tahu persis apa yang terjadi, sudah dididik bahkan dikirim ke luar negeri untuk menjalani pelatihan atau mengambil gelar sarjana. Tiba-tiba masuk kolonel atau brigjen yang tidak tahu apa-apa,” ujar Made.
“Meritokrasinya tidak jalan,” ujar Made.
Di sisi lain, Made mengingatkan perluasan jabatan sipil ini juga tidak baik untuk TNI.
“Tugas utama seorang prajurit adalah mempersiapkan diri untuk menjaga negara ini 24 jam,” ujarnya.’
Senada, Jaleswari menegaskan bahwa dalam konteks profesionalisme TNI, penugasan di luar domain pertahanan negara yang merambah wilayah kerja sipil berpotensi menciptakan beban ganda yang kontraproduktif.
“Diversifikasi tugas semacam ini, alih-alih meningkatkan efektivitas, dapat justru mendistorsi fokus utama TNI sebagai kekuatan pertahanan,” tandasnya.
Apa yang akan terjadi jika prajurit TNI yang memegang jabatan sipil tersandung korupsi?
Kritik mengenai penempatan prajurit TNI aktif di jabatan-jabatan sipil sebetulnya “cuma permukaan”, menurut Made Supriatma.
Dia menekankan bahwa sistem peradilan militer di Indonesia belum mengalami reformasi yang signifikan.
Kurangnya transparansi dalam peradilan militer, sambung dia, menyebabkan ketidakjelasan mengenai proses hukum dan hukuman yang diberikan kepada anggota militer yang melakukan pelanggaran.
“Peradilan militer itu belum tersentuh sama sekali,” ujarnya.
“Di kita itu bahkan kelihatan bahwa peradilan militer itu menjadi pelindung untuk impunitas militer. Seperti misalnya kasus Tim Mawar.”
Penanganan kasus korupsi di lingkungan militer sering kali menuai kritik karena otoritas militer dianggap enggan menerima campur tangan dari pihak luar.
Pada Juli 2023, KPK meminta maaf kepada TNI dan menghentikan penyelidikan dugaan korupsi yang melibatkan perwira tinggi militer dalam kasus suap Basarnas.
KPK pada saat itu menarik diri dari kasus tersebut dan menyebut para penegak hukum mereka melakukan “kekhilafan”.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak setelah perwakilan TNI yang dipimpin Komandan Pusat Polisi Militer TNI Marsekal Muda Agung Handoko mendatangi kantor KPK.
Baca juga:

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Gusti Tanati
Menurut Made, ketika prajurit TNI—dalam hal ini khususnya yang memegang jabatan sipil—melakukan kriminal yang terkategori sipil, maka penyelesaiannya harus peradilan sipil.
“Bukan di peradilan militer. Pembunuhan, korupsi dan lain sebagainya itu itu kasus sipil. Bukan kasus militer,” tutur Made yang menekankan fokus utama kasus militer adalah desersi.
“Kalau seandainya militer tidak ada akuntabilitas, mengapa mereka harus dapat jabatan sipil?
“Sementara orang-orang sipil itu akuntabilitasnya jelas. Kalau ketahuan korupsi, diadili paling tidak. Walau ada banyak persoalan di peradilan itu sendiri, tapi paling tidak akuntabilitasnya itu ada.”
Jaleswari mengatakan kontrol sipil yang demokratis harus memastikan bahwa peradilan militer tidak digunakan untuk melindungi anggota TNI yang melakukan tindak pidana sipil.
“Dalam konteks TNI yang profesional, maka peradilan militer harus tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip hukum yang adil dan transparan,” ujar Jaleswari.
Di sisi lain, dia mengakui pengadilan militer dapat mengadakan sidang tertutup untuk kasus-kasus tertentu seperti halnya pengadilan umum.
“Jika kasus yang disidangkan melibatkan informasi yang dapat membahayakan keamanan nasional, seperti taktik militer, teknologi persenjataan, atau operasi intelijen, sidang dapat diadakan secara tertutup,” ujarnya.
Apa saja kasus-kasus kekerasan dan intimidasi yang melibatkan anggota TNI?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
- Kasus ini terjadi akibat dari sengketa lahan antara warga dengan TNI.
- Dalam kasus ini terjadi bentrokan yang menimbulkan korban luka-luka.
- TNI saat itu mengatakan “tindakan tegas” dilakukan karena warga tidak mau meninggalkan area tersebut.
- Sejumlah anggota TNI yang menyerang dan merusak Polsek Ciracas, Jakarta Timur.
- Tindakan ini dilaporkan dipicu berita bohong yang disebarkan seorang anggota TNI yang terlibat kecelakaan tunggal tetapi mengeklaim dirinya dikeroyok
- Kasus ini melibatkan dugaan penganiayaan oleh prajurit TNI terhadap dua pendudukMappi, Papua pada 30 Agustus 2022.
- Satu orang dilaporkan tewas. Insiden dilaporkan diawali dari laporan seorang warga lainnya yang berkonflik dengan kedua korban.
- Kasus ini melibatkan dugaan kekerasan oleh anggota TNI terhadap relawan salah satu paslon pemilu.
- Tindakan ini diduga dipicu oleh ketidakpuasan terhadap suara bising knalpot kendaraan relawan.
- Peristiwa penggerudukan terjadi di Mapolrestabes Medan pada 5 Agustus 2023 berkaitan dengan penangkapan dan penahanan tersangka mafia tanah.
- Tersangka merupakan saudara dari seorang anggota TNI berpakat mayor yang mendatangi Polrestabes Medan dengan rombongannya dan berseragam lengkap
Bagaimana kesan Indonesia di dunia internasional?
Menanggapi isu revisi UU TNI yang masih terus bergulir, Jaleswari melontarkan satu pertanyaan: apa yang ingin disampaikan Indonesia ke dunia internasional?
“Jika perluasan kewenangan TNI itu terus ditambah, bagaimana orang-orang luar akan melihat? Di mana-mana banyak TNI. Batalyon Pangan, kemudian Food Estate, kemudian ada di Bulog, ada macam-macam,” ujar Jaleswari.
“Nah, ini apa? Kesan apa yang ingin kita sampaikan kepada dunia luar? Kita tahu bahwa TNI itu, kan, bersenjata, memiliki senjata. Kalau misalkan dia masuk ke wilayah-wilayah sipil itu, ya, tidak bisa.”
Selain itu, Jaleswari mengingatkan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang stagnan membutuhkan rasa percaya dari dunia luar khususnya untuk iklim investasi.
“Kita butuh trust dari dunia luar untuk melihat ekonomi itu akan naik lagi, tapi sementara di satu sisi kita menyampaikan kesan kepada dunia luar bahwa ada perluasan kewenangan tugas pokok TNI dan lain-lain itu di segala lini,” ujar Jaleswari.
“Akan terbaca di dunia internasional bahwa Indonesia sekarang sangat militeristik,”
Jaleswari mengingatkan cita-cita Reformasi 1998 adalah menjadikan TNI profesional dan semua lapisan masyarakat—termasuk akademisi dan mahasiswa—menginginkannya.
“Diskusi-diskusi ini lebih fokus kepada di pemerintah dan parlemen saja. Minim sekali pelibatan masyarakat sipil.”
“Dan kalaupun dilibatkan itu kesannya hanya untuk stempel bahwa ini seakan-akan sudah melalui partisipasi yang bermakna,” ujarnya.
Apa tanggapan dari pemerintah dan DPR?
Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto menyebut masyarakat tak perlu khawatir akan munculnya dwifungsi dalam revisi UU TNI.
Dia menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI justru membatasi jabatan sipil yang bisa diisi personel aktif TNI.
“Saya juga sudah berkali-kali bicarakan, justru ini melimitasi (membatasi),” kata Utut di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (17/03) seperti dilansir Antara.
Dia mengatakan bahwa Komisi I DPR RI juga sudah mendengar aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari pakar, akademisi, purnawirawan, hingga lembaga masyarakat sipil
Sementara Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan hal ini sudah tidak perlu lagi menjadi kontroversi.
“Sebenarnya tidak perlu ada kontroversi lagi, kan? Apa yang disangkakan oleh teman-teman itu tidak ada sama sekali,” ujarnya.
“Sebenarnya sejak minggu lalu sudah ada berbagai pihak yang menjelaskan soal Pasal 47, tapi tetap saja fear-mongering dan disinformasi digemakan.
“Posisi-posisi yang dibolehkan untuk diduduki oleh TNI aktif seluruhnya memang membutuhkan keahlian teman-teman TNI. Dan sudah dirinci dalam draf RUU-nya,” ujar Hasan kepada BBC News Indonesia.
Sementara Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi meminta revisi Undang-Undang TNI tidak diartikan sebagai upaya pengembalian dwifungsi ABRI.
Revisi, ujar dia, dilakukan untuk memperkuat TNI sebagai pelindung negara.
“Jadi tolong untuk tidak mengeluarkan statement-statement seolah-olah ada dikotomi, akan kembali ada dwifungsi ABRI, tidak begitu,” kata Prasetyo pada Senin (17/03) seperti dilansir Kompas.com.