KUBET – Cerita di balik nama ‘Gang Banjir’ di Jakarta Timur – Ketika banjir dan air menjadi nama tempat di Ibu Kota

Cerita di balik nama ‘Gang Banjir’ di Jakarta Timur – Ketika banjir dan air menjadi nama tempat di Ibu Kota

Banjir Jakarta, toponimi

Sumber gambar, Upali ATURUGIRI / AFP

Keterangan gambar, Foto yang diambil pada 19 Maret 1991 di sudut Jakarta memperlihatkan orang-orang dan kendaraan berusaha menerobos banjir.

Jakarta bersama dengan wilayah sekitarnya, seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dilintasi oleh 13 aliran sungai. Itu sebabnya nama-nama daerah di Jakarta mengingatkan penduduknya pada air atau tempat air berkumpul. Bagaimana memaknai nama-nama itu ketika masalah banjir muncul lagi?

Nama Gang Banjir di daerah Kayumanis, Matraman, Jakarta Timur begitu asing bagi beberapa anak sekolah.

Tapi buat orang-orang lansia, Gang Banjir adalah cara mereka mengingat salah satu episode dalam kehidupan saat jalan itu menjadi langganan banjir.

Marni yang tinggal di daerah tersebut sejak 1950-an, mengingat para pekerja yang mau berangkat akan mengantongi sepatu mereka di dalam plastik untuk menembus genangan setinggi lutut orang dewasa.

“Nanti kalau sudah sampai rel kereta, baru dipakai lagi,” ungkapnya kepada wartawan Hilman Hamdoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

banjir Jakarta, sejarah, toponomi

Sumber gambar, Paolo KOCH/Gamma-Rapho/Getty Images

Keterangan gambar, Salah-satu sudut Kota Jakarta yang dilanda banjir pada 1 Januari 1960.

Rel kereta itu kini membatasi Jalan Kayumanis 3 Baru dan Jalan Kayumanis Barat. Nama-nama tersebut adalah yang berlaku sekarang, sekaligus menimpa kenangan warga pada ‘Gang Banjir.’

Marni tak ingat betul kapan nama ‘Kayumanis’ diperkenalkan.

“Sejak ada (jalan) aspal ini kayaknya,” katanya sembari berupaya menarik koleksi ingatannya di dalam kepala.

Kayumanis, sebagaimana kebanyakan kampung lainnya di Jakarta setelah kemerdekaan, adalah permukiman dengan jalanan tanah atau berbatu yang tidak dilengkapi dengan sistem drainase.

Bilamana hujan, air datang semaunya. “Air dari mana-mana ngumpul di sini,” kata Marni.

 Banjir setinggi satu hingga dua meter di Kompleks IKPN sejak Selasa (04/03) tersebut disebabkan meluapnya Kali Pesanggrahan.

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Personel Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI-AL mengevakuasi warga menggunakan perahu karet di Perumahan IKPN Bintaro, Jakarta Selatan, Rabu (05/03). Banjir setinggi satu hingga dua meter di Kompleks IKPN sejak Selasa (04/03) tersebut disebabkan meluapnya Kali Pesanggrahan.

Umumnya banjir tak betah tinggal berhari-hari.

“Sehari, habis itu surut,” ujar Marni, seraya mengingat saat masih kanak-kanak dirinya dilarang ibunya untuk main-main di genangan air.

Pada saat banjir dia hanya bisa melihat anak- anak sebayanya bermain di kampungnya yang dulu bernama “Salemba Utan Tanah Merdeka.”

Jalan yang dulu bernama Gang Banjir di kawasan Matraman, Jakarta Timur.

Sumber gambar, Hilman Hamdoni

Keterangan gambar, Jalan yang dulu bernama Gang Banjir di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Kini lokasi itu bernama Jalan Kayumanis III.

Perubahan nama jalan dan muka kampung kemungkinan besar berlangsung pada akhir 1960-an hingga 1970-an, saat Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) menghelat program perbaikan kampung bertajuk ‘Proyek MH Thamrin.’

Program perbaikan kampung itu juga mencakup pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, dan drainase.

Program ini pula yang mengakhiri riwayat banjir di Gang Banjir yang hingga kini setia dihuni oleh Marni yang telah berusia 80 tahun.

ali sadikin, gubernur jakarta, 1968

Sumber gambar, Bettmann/Getty

Keterangan gambar, Gubernur Jakarta Ali Sadikin menutup telinganya saat melakukan sidak di sudut Jakarta ketika perayaan kembang api menyambut Tahun Baru Islam pada Desember 1968.
garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

Nama Gang Banjir juga masih diingat Halimah, yang kini berusia 75 tahun.

Halimah tinggal kurang lebih dua kilometer dari Gang Banjir.

Menurut Halimah, pada 1970-an, air tak begitu jadi masalah sebab masih banyak lahan atau kebun tempat air diserap.

Setiap rumah juga punya semacam sistem pembuangan air yang disebut sebagai ‘kobakan‘.

“Kalo (kobakan) kita di sini, nih,” kata Halimah seraya menunjukkan salah satu pojok dalam rumahnya

Marni telah bermukim di Gang Banjir sejak kanak-kanak. Dia sekarang berusia 80 tahun.

Sumber gambar, Hilman Hamdoni

Keterangan gambar, Marni telah bermukim di Gang Banjir sejak kanak-kanak. Dia sekarang berusia 80 tahun.

Kota air

Jakarta bersama dengan wilayah sekitarnya, seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dilintasi oleh 13 aliran sungai.

Itu sebabnya nama-nama daerah di Jakarta mengingatkan penduduknya pada air atau tempat air berkumpul.

Sebut saja Cililitan, Cipinang, Cibubur, Cipayung, Cikini, dan Ciracas. ‘Ci’ berasal dari bahasa Sunda yang berarti air.

Gorong-gorong di Gang Banjir kini sudah tertutup rapi. Tak ada air yang terlihat bahkan dari jalan.

Sumber gambar, Hilman Hamdoni

Keterangan gambar, Gorong-gorong di Gang Banjir kini sudah tertutup rapi. Tak ada air yang terlihat bahkan dari jalan.

Baca juga:

Ada juga nama wilayah yang berawalan dengan ‘rawa’ seperti Rawamangun, Rawasari, Rawabunga, dan Rawabelong. Rawa adalah tempat air berkumpul.

Belum lagi nama kawasan yang berawalan kata ‘kali’ yang juga masih bertahan dalam peta resmi dan papan jalan.

“Nama seperti Roa Malaka. misalkan, ada sumber yang menyebutkan berasal dari kata ‘rawa’ dan ‘melaka’ sejenis pohon ceremai,” kata Nazaruddin, linguis dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Di daerah Cililitan, di dekat wilayah yang kerap jadi langganan banjir ada juga nama ‘tradisional’ seperti Rawa Sepat.

“Nama daerah itu identik dengan ikan sepat yang muncul di bantaran Sungai Ciliwung,” ujar Nazaruddin.

Toponimi atau nama daerah kata Nazar adalah ‘fosil hidup’ untuk mempelajari sejarah, budaya, dan bahasa.

“Toponimi dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana suatu wilayah berubah dan berkembang.”

Akan tetapi, praktik mengabadikan air atau ekosistem yang terkait dengannya pada nama-nama tempat tidak berlanjut atau kurang populer.

Perumahan atau klaster yang tumbuh bak jamur di wilayah seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor tidak terlalu banyak mengambil unsur air di dalam namanya.

Sebut saja nama-nama perumahan seperti Vila Nusa Indah, Pondok Gede Permai, Kemang Pratama, Villa Jatirasa, dan Bumi Anugerah Sejahtera.

Nama-nama perumahan ini terkena dampak banjir yang berlangsung beberapa waktu lalu.

Nama-nama baru itu mungkin melambangkan harapan.

“Terlepas dari baik dan buruknya, perubahan nama itu menjadi cara mereka beranjak menuju masa depan. Dan kadang-kadang (dengan cara) melupakan masa lalu,” kata Nazaruddin.

Menimpa ingatan dengan kekuasaan

Ada banyak cara untuk mengabadikan sejarah, ingatan, atau pelajaran terhadap sebuah lokasi.

Memberikan nama-nama tokoh pahlawan pada sebuah tempat atau jalan adalah praktik yang lazim.

Ini adalah bentuk penghormatan yang kadang-kadang membawa kontroversinya sendiri.

banjir jakarta, toponimi, nama jalan

Sumber gambar, Edy Purnomo/Getty Images

Keterangan gambar, Seorang warga Jakarta membantu warga lainnya pada 2 Februari 2002 ketika kawasan bisnis di pusat kota itu dilanda banjir.

“Kasus menarik, ketika Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengubah 22 nama jalan menjadi nama-nama tokoh Betawi. Mungkin niatnya baik. Tapi di sisi lain berarti ada yang hilang di situ, yaitu penamaan yang sesuai dengan ekosistem yang ada. Lingkungan semakin terpinggirkan,” kata Nazaruddin.

Beberapa nama yang diusulkan itu antara lain Jalan Guru Ma’mun untuk menggantikan Jalan Rawa Buaya, Jakarta Barat; Jalan Mashabi dan. Jalan HM Saleh Ishak untuk menggantikan Jalan Kebon Kacang Raya Sisi Utara dan Selatan; Jalan A. Hamid Arief untuk menggantikan Jalan Tanah Tinggi 1 gang 5, Jakarta Pusat.

Ringkasnya, kata Nazaruddin, “Toponimi itu erat kaitannya dengan pandangan politik dan juga otoritas.”

Tinggalkan Balasan