KUBET – Tersangka korupsi di Pertamina ‘oplos’ RON 90 jadi Pertamax

Tersangka korupsi di Pertamina ‘oplos’ RON 90 jadi Pertamax

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara, Minggu (2/2/2025). PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dari Rp12.800 per liter menjadi Rp13.200 per liter, sementara Dexlite dari Rp13.900 per liter menjadi 14.950 per liter yang berlaku pada 1 Februari 2025 untuk wilayah Maluku Utara.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andri Saputra

Keterangan gambar, Foto ilustrasi. Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara, Minggu (02/02).

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023. Bagaimana modus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun itu?

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan para tersangka terdiri dari empat orang petinggi anak perusahaan PT Pertamina dan tiga lainnya dari pihak swasta.

“Perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” kata Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (24/02) malam.

Kerugian negara itu, kata Qohar, bersumber dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

Bagaimana modusnya?

Modus para tersangka yaitu ‘mengondisikan’ produksi minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis sehingga perlu impor dan melakukan mark up kontrak pengiriman minyak impor.

garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

Selain itu, modus lainnya adalah ‘mengoplos’ impor minyak mentah RON 90 (setara Pertalite) dan kualitas di bawahnya menjadi RON 92 (Pertamax).

“Jadi dia [tersangka] mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (25/02).

Dirut PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (tengah) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang, Selasa (25/02).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Keterangan gambar, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, RS (tengah) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/02).

Atas perbuatan itu, para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan dari kuasa hukum para tersangka. Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menyatakan akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan.

“Pertamina menghormati Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan,” kata VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangannya, Selasa (25/02).

Siapa saja tersangkanya?

Kejagung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Mereka adalah:

1.⁠ RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;

2.⁠ ⁠SDS, Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;

3.⁠ ⁠YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping;

4.⁠ ⁠AP, VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International;

5.⁠ ⁠MKAR, Beneficially Owner PT Navigator Khatulistiwa;

6.⁠ ⁠DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim;

7.⁠ ⁠GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.

Direktur optimasi feedstok dan produk PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin (tengah) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2/2025). Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Keterangan gambar, Direktur optimasi feedstok dan produk PT Kilang Pertamina Internasional, SDS (tengah) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/02).
Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (tengah) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2/2025). Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Keterangan gambar, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim DW (tengah) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/02)
Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo (kedua kanan) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2/2025). Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Keterangan gambar, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, GRJ (kedua kanan) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/02).

Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli.

Usai ditetapkan sebagai tersangka, kata Harli, seluruh tersangka langsung ditahan. “Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut,” ujar Harli.

Apakah oplosan RON 90 memengaruhi kualitas Pertamax yang dibeli masyarakat?

Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan salah satu modus yang dilakukan tersangka RS yaitu melakukan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM).

Harli mengatakan, RS diduga melakukan pembelian minyak bumi dengan kualitas RON 90 (setara Pertalite) dan di bawahnya yang kemudian diolah kembali di depo, lalu dijual dengan tipe RON 92 (Pertamax).

“Jadi dia [tersangka] mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92,” kata Harli kepada BBC News Indonesia.

Apa yang dilakukan tersangka itu, kata Harli, melanggar kewenangan yang dimiliki karena pencampuran seharusnya dilakukan oleh Kilang Pertamina Internasional, bukan oleh Pertamina Patra Niaga.

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara, Minggu (2/2/2025). PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dari Rp12.800 per liter menjadi Rp13.200 per liter, sementara Dexlite dari Rp13.900 per liter menjadi 14.950 per liter yang berlaku pada 1 Februari 2025 untuk wilayah Maluku Utara.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andri Saputra

Keterangan gambar, Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara, Minggu (02/02).

Saat ditanya, apakah praktik oplosan itu memengaruhi kualitas Pertamax (RON 92) yang dibeli oleh masyarakat di periode 2018-2023?

“Nah, kita enggak tahu kualitasnya… tapi yang pasti bahasa awamnya itu kan macam oplosan, dicampur. Mungkin secara rumusan teknisnya, pasti ada lah [pengaruh],” kata Harli.

Harli pun menjelaskan praktik pengoplosan itu menjadi salah satu komponen dari kerugian negara yang mencapai hingga Rp193,7 triliun.

Harli menambahkan hingga kini Kejagung fokus ke penyidikan terhadap ketujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

“Apakah misalnya nanti ada pihak-pihak lain yang dapat diminta pertanggungjawaban Itu sangat tergantung dengan fakta-fakta yang terungkap dari pemeriksaan tujuh tersangka itu atau ada fakta lain yang berkembang dan itu akan terus didalami,” kata Harli.

‘Kongkalikong’ agar minyak bumi impor

Harga bahan bakar di SPBU PT.Pertamina di Jakarta, Indonesia, pada Sabtu, 7 Desember 2024.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Harga bahan bakar di SPBU pada akhir Desember 2024.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Dirdik Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023.

Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor.

Hal itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM No. 42 Tahun 20218 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Namun, kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International.

Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.

“Tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” kata Qohar.

Baca juga:

Untuk memperkuat kongkalikong itu, tambah Qohar, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga diduga sengaja ditolak oleh para terduga pelaku.

Alibinya, sebut Qohar, produksi KKKS itu diklaim tidak memenuhi nilai ekonomis, “padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga HPS [harga perkiraan sendiri].”

Bukan hanya itu, terduga pelaku juga berdalih bahwa produksi minyak mentah dari KKKS dinilai tidak sesuai spesifikasi.

“Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor,” jelas Qohar.

‘Kongkalikong’ harga impor hingga pengoplosan RON 90

Logo perusahaan minyak milik negara, PT.Pertamina,

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Logo perusahaan minyak milik negara, PT Pertamina.

Setelah rekayasa itu dilakukan, ujar Qohar, PT Kilang Pertamina Internasional disebut mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dan, tambahnya, impor ini menciptakan perbedaan harga pembelian minyak bumi yang sangat signifikan jika dibandingkan harga dari dalam negeri.

Selisih harga ini kemudian diduga dimanfaatkan para tersangka untuk melakukan tindak pidana korupsi.

“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” kata Qohar.

Qohar mengatakan tersangka SDS, AP, RS, dan YF selaku penyelenggara negara diduga telah mengatur kesepakatan harga dan penentuan pemenang dengan broker, yaitu tersangka MK, DW, dan GRJ.

“Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan,” ujar Qohar.

Setelah itu, dugaan kecurangan juga terjadi dalam jenis minyak bumi yang impor. Qohar mengatakan, tersangka RS diduga melakukan pembelian RON 90 (setara Pertalite) yang kemudian diolah kembali di depo sehingga menjadi RON 92 (Pertamax).

Tidak berhenti, kata Qahar, tersangka YF dari Pertamina Internasional Shipping juga menaikan (mark up) kontrak pengiriman minyak impor, yang mengakibatkan negara harus membayar biaya sebesar 13-15%.

“Sehingga tersangka MKAR [dari PT Navigator Khatulistiwa] mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” ungkap Qohar.

Apa dampak dari dugaan korupsi ini?

Karyawan berdiri di haluan kapal tanker minyak PT.Pertamina di Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Indonesia, pada hari Selasa, 21 April 2020.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Karyawan berdiri di haluan kapal tanker minyak PT Pertamina di Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, pada Selasa, 21 April 2020.

Kejagung mengungkap proses impor itu dilalui dengan adanya permufakatan jahat dari para tersangka yang melibatkan penyelenggara negara dan pihak swasta.

“Pada saat K3S mengekspor bagian minyaknya karena tidak dibeli oleh PT Pertamina, pada saat yang sama PT Pertamina mengimpor minyak mentah dan produk kilang. Selanjutnya untuk kegitan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakaan jahat mensrea antara penyelenggara negara yaitu tersangka SDS, AP, RS, dan YF bersama dengan broker yaitu tersangka MK, DW dan YRJ sebelum dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” tutur Qohar.

Tak tanggung-tanggung, dampak dari rangkaian perbuatan para tersangka itu diprediksi menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun.

Bahkan, kata Qahar, dugaan perbuatan tersangka juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Akibatnya, pemerintah memberikan kompensasi subsidi BBM yang lebih tinggi bersumber dari APBN.

Sebelum menetapkan para tersangka, Kejagung telah melakukan penggeledahan di kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM pada Senin (10/02).

Dari penggeledahan itu, penyidik menemukan lima dus dokumen, 15 unit telepon genggam, satu komputer jinjing, dan empat dokumen elektronik.

‘Pengawasan kelembagaan yang sangat lemah dan longgar’

Putra Adhiguna, analis energi dan managing director Energy Shift Institute, mengatakan praktik dugaan korupsi yang terjadi di tubuh Pertamina salah sautnya disebabkan oleh tidak kompetitifnya pasar pengadaan minyak dan gas (migas) yang hanya dikuasai oleh satu perusahaan, yaitu Pertamina.

“Ketika pintu masuknya itu terkonsentrasi pada satu perusahaan, tidak banyak kompetitor lainnya maka semakin terbuka adanya penyelewengan karena tidak ada transparansi harga,” kata Putra.

Penyebab lainnya, kata Putra adalah karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan migas yang dilakukan oleh Pertamina.

“Kita tidak bisa berbicara ‘oh ini kecolongan’. Kata kecolongan itu kalau Rp10-20 miliar masih bisa lah. Tapi kalau sampai ratusan triliun, saya rasa itu menunjukkan pengawasan kelembagaannya sangat lemah dan longgar,” kata Putra.

“Ini baru berbicara BUMN-nya yaitu Pertamina. Belum berbicara pertanggungjawaban untuk subsidinya.”

Putra juga menduga masih ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam dugaan korupsi yang dia sebut terstruktur dan sistematis ini, selain tujuh tersangka yang sudah ditetapkan oleh Kejagung.

Putra juga mengkritisi kinerja tim reformasi tata kelola migas yang telah berlangsung selama 10 tahun. “Kita ternyata belum bergerak kemana-mana. Jangan-jangan hanya terjadi pergeseran dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain.”

“Ketika pemerintah meminta rakyat berkorban dengan subsidi BBM, tetapi masih ada kecolongan ratusan triliun di dalam internal BUMN dan pemerintah. Tidak mungkin pemerintah bisa berharap rakyat bisa percaya dengan mudah,” ujar Putra.

Berita ini akan diperbarui secara berkala.

Tinggalkan Balasan