Fatwa haram sound horeg, mengapa ‘kesenian lokal’ ini dianggap mengganggu warga?

Sumber gambar, KOMPAS.com/RULY
Setidaknya 50 pondok pesantren di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram untuk musik horeg—sebuah fenomena yang diklaim sebagai kreasi kesenian lokal berupa sajian musik dengan suara menggelegar yang biasa diadakan di hajatan warga atau karnaval.
Pengasuh Pondok Pesantren Besuk Pasuruan, Muhibbul Aman Aly, berkata fatwa haram ini keluar karena pihaknya menganggap suara horeg mengganggu masyarakat dan menyebabkan kerusakan sejumlah fasilitas umum.
Beberapa warga Pasuruan, seperti Ahmad Zainudin, mendukung fatwa tersebut. Ia menilai kreativitas horeg sudah melampaui batas.
“Di beberapa tempat, ada acara horeg yang sampai harus membongkar fasilitas umum, kan itu mengganggu,” ujarnya.
Jika horeg dinyatakan haram, Hermanto, seorang pemilik horeg di Madura, menyebut tempat karaoke dan tempat hiburan semacamnya juga harus ditutup.
Akhir dari Paling banyak dibaca
“Sebab kalau bicara haram, tempat seperti itu haram, tergantung yang melihat. Lagi pula panitia pasti mengganti jika ada kerusakan,” ucapnya.
Apa itu horeg dan perlukah dibuatkan regulasi?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Dentuman suara bass menggelegar dari puluhan sound system berukuran besar yang bertengger di atas truk terbuka—yang disetel oleh seorang pria muda.
Di tengah jalan, beberapa orang tampak bergoyang mengikuti irama musik dangdut atau lagu pop yang diubah menjadi lagu ala disk jokey. Tapi, tidak semua orang di sana kelihatan menikmati. Ibu-ibu, remaja perempuan, dan anak-anak menutup kedua telinga mereka rapat-rapat.
Ahmad Zainudin, warga Desa Palengaan Laok, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, adalah salah satu yang terganggu dengan keberadaan musik horeg.
Di daerahnya, horeg muncul kalau ada hajatan warga, perayaan kelulusan sekolah, dan hari-hari besar Islam, termasuk karnaval budaya sebagai bagian untuk menghibur masyarakat.
Tapi, bagi pria 28 tahun ini, musik horeg sudah melampaui batas. Alasannya, kata dia, musik ini mengganggu orang-orang di sekitar lokasi acara yang mungkin sedang sakit atau membutuhkan istirahat seperti lansia.
Bahkan euforia musik horeg, klaim Zainudin, kebablasan lantaran ada tambahan “goyangan tak pantas”.
“Yang paling mengganggu dari horeg itu sound-nya sangat nyaring, suara bass yang berlebihan, dan konvoi di jalanan,” kata Zainudin ketika ditemui di rumahnya.
“Di pemberitaan media bahkan ada truk musik horeg yang sampai membongkar fasilitas umum supaya bisa lewat.”

Sumber gambar, Dian Utoro Aji/detikJateng
Zainudin mengaku sebagai orang yang mecintai musik dan sering membuat lagu di studio musik.
Namun, ia bilang tak bisa menikmati musik horeg yang begitu menusuk telinga. Apalagi, menurutnya, suara bass dari sound system terlalu mendominasi.
Yang terdengar, kata Zainudin, hanya suara bising. “Enggak ada seninya [horeg], unsur seninya jadi hilang,” tudingnya.
Bukan cuma Zainudin yang terusik dengan musik horeg. Warga Sumenep lainnya, Annur Rofiek Alamthani, juga merasakan hal yang sama.
Pemuda 25 tahun ini mengaku kesal tiap kali suara kencang dari sound system tersebut lewat rumahnya.
“Kadang rumah saya sampai bergetar, itu yang mengganggu, syukurnya tidak sampai rusak,” imbuhnya.
Puluhan pondok pesantren se-Jawa Timur keluarkan fatwa haram horeg
Apa yang dikeluhkan Zainudin dan Annur Rofiek, juga dirasakan sejumlah warga di beberapa daerah lain di Jawa Timur.
Beberapa waktu lalu sebuah video, yang memperlihatkan seorang lansia di Kediri nampak mengelus dada mendengar suara bising horeg, viral di media sosial.
Dalam video tersebut, perempuan sepuh itu mengutarakan rasa tidak nyaman dan kekesalannya. Tapi dia tak digubris oleh pemilik horeg.
Di Pati, Jawa Tengah, seorang perempuan paruh baya nyaris diamuk pengguna horeg gara-gara memprotes sound system berukuran besar. Dia terhindar dari tindakan kekerasan setelah masuk ke dalam rumah.
Baru-baru ini, warga di Desa Ngampelrejo, Kabupaten Tuban, mengeluh lantaran dimintai iuran sebesar Rp600.000 per keluarga untuk menyewa 12 unit horeg.
Peralatan suara itu rencananya bakal dimainkan di acara karnaval pada Oktober mendatang. Iuran tersebut dianggap bukan hanya memberatkan keuangan warga, tapi juga membuat kebisingan.

Sumber gambar, DETIK.COM
Mendengar keluh kesah itu, sejumlah pondok pesantren di Forum Satu Muharram 1447 Hijriah Pondok Pesantren Besuk Pasuruan mengeluarkan fatwa haram horeg.
Keputusan itu diambil dalam bahtsul masail, sebuah kegiatan yang mereka gelar pada 26-27 Juni lalu.
Menurut pengasuh pondok pesantren Besuk Pasuruan, Muhibbul Aman Aly, forum itu diikuti setidaknya 50 pondok pesantren se-Jawa Timur. Di situ, mereka membahas sejumlah isu kekinian yang berkembang di masyarakat, salah satunya musik horeg.
“Kami musyawarahkan, kami bahas dari berbagai macam aspek untuk ditetapkan hukum syariatnya,” ujarrnya ketika dihubungi BBC News Indonesia, Senin (07/07).
“Di dalam musyawarah itu kemudian kami memutuskan bahwa sound horeg sebagai tontonan itu adalah haram,” kata Muhib.
Muhib menuturkan ada tiga aspek yang menjadi pertimbangan puluhan pondok pesantren mengeluarkan fatwa haram ini.
Satu di antaranya adalah suara horeg yang mereka anggap mengganggu dan menyebabkan kerusakan fasilitas umum, termasuk rumah warga.
“Aspek suaranya itu mengganggu masyarakat, jelas. Di Youtube, ada yang [genting] rumah warga pecah dan itu memang nyata. Kami mengangkat [persoalan] ini karena banyak keluhan masyarakat,” ucapnya.
Di samping itu, kegiatan horeg juga dinilai melanggar syariat Islam. Itu nampak dari aksi joget laki-laki dan perempuan yang disebutnya berpakaian seksi.
“Tentu yang sangat kami prihatinkan adalah akibat kerusakan moral. Bayangkan anak-anak kecil bisa melihat seperti itu, ada penari kayak gitu ditonton anak kecil.”
“Belum lagi ditengarai dalam acara horeg itu banyak sekali minuman keras, mabuk-mabukan,” tuturnya.
Muhib berharap fatwa haram ini dipatuhi masyarakat, khususnya pemilik horeg.
Selain itu, ia juga mendorong pemerintah daerah di Jawa Timur menindaklanjuti fatwa tersebut dengan membuat regulasi terkait horeg.
“Kami hanya menyerukan secara agama, menyampaikan secara agama. Soal di lapangan bagaimana, itu bukan wewenang kami, itu wewenang pemerintah,” kata Muhib.
Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Soleh, mengaku memahami fatwa tersebut. Ia menganggap aktivitas horeg bisa menimbulkan mudarat, sehingga perlu ada fatwa yang mengatur horeg.
“Mengingat ada mafsadah (keburukan) yang ditimbulkan dari aktivitas horeg tersebut yang harus dicegah dan itu kontekstual. Karenanya hukum keagamaan yang ditetapkan harus dipahami utuh lengkap dengan konteksnya,” kata Niam.
‘Kalau kami dilarang, semua tempat hiburan juga harus ditutup’
Mendengar fatwa haram horeg, Hermanto yang merupakan pemilik Horeg Mega Audio di Pamekasan, secara terang-terangan menolak.
Pria 36 tahun ini punya satu unit horeg yang terdiri dari 12 boks sound system berukuran jumbo.
Di Madura, kata Hermanto, musik horeg masuk sekitar tahun 2022. Dia menyebut para musik ini akan disetel jika ada pihak yang mengundang mereka tampil di sejumlah acara karnaval budaya.
Selain itu, Hermanto bilang ada juga yang menyuruh mereka bermain di atas perahu.
Di acara tersebut, para pemilik horeg diminta memainkan musik DJ. Mereka akan saling “adu kencang-kencangan” dengan pemilik horeg lainnya.
“Kalau saya tergantung permintaan, tapi belum pernah sampai main di atas perahu. Tapi, saya yakin sudah diizinkan pihak desa,” ujarnya membuat klaim.
Pertunjukan horeg di tengah laut Pasuruan sempat viral pada Mei lalu. Kapal-kapal nelayan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa mengangkut sound system berukuran besar ke pesisir.
Di atas laut, horeg dari kapal tersebut saling beradu volume musik.
Artikel ini memuat konten yang disediakan X. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca X kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati X pesan
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di XBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Hermanto berkata, untuk sekali tampil pihaknya dibayar antara Rp10 juta sampai Rp20 juta. Selama bergelut di dunia horeg, dia mengeklaim tidak pernah diprotes warga.
Namun dia tak menampik kalaumusik yang mereka mainkan pernah merusak rumah warga. Namun, klaimnya, kerusakan itu pasti diganti oleh pihak panitia yang menggelar acara.
“Panitia yang mengundang pasti ganti, bahkan banyak yang senang kalau ada genteng jatuh.”
Kini, Hermanto tak sepakat dengan fatwa haram horeg.
“Kalau mau bicara haram enggak usah sampai ke sound horeg, main kentungan kalau ada yang joget-joget juga haram, tempat karaoke juga haram. Tergantung yang melihat,” ujarnya.
“Enggak apa-apa asal dilarang semua, tempat karaoke, kentungan, dilarang semua. Tempat hiburan juga ditutup kalau bicara masalah haram,” kata Hermanto.
Apa itu horeg dan mengapa populer di pedesaan?
Merujuk Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) oleh Kemendikbud, horeg berarti bergerak atau bergetar.
Istilah horeg, menurut Puji Karyanto, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, kemudian dilekatkan pada tren musik kencang nan menggelegar yang ada di berbagai karnaval di Pulau Jawa—terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dulu, kata Puji, musik horeg dilantangkan lewat pengeras suara berukuran kecil. Suara yang dihasilkan dia sebut “dapat diterima” di kuping.
Merujuk sejarah ini, Puji menyebut musik horeg sebagai kreasi kesenian lokal baru, yang muncul seiring perkembangan teknologi sound system.
“Jadi horeg ini fenomena baru yang saling mendukung antara tradisi masa lalu bernama karnaval,” ujarnya.
“Tapi seiring perkembangan sound system dengan kualitas suara yang luar biasa ditambah DJ, kemudian diberi nama sound horeg,” kata Puji kepada BBC News Indonesia.

Sumber gambar, Dian Utoro Aji/detikJateng
Di banyak daerah, musik horeg paling sering digelar di acara karnaval. Itu mengapa musik horeg jadi lebih kondang di kalangan masyarakat pedesaan ketimbang perkotaan.
Puji berkata, keberadaan musik kencang seperti itu menjelma sebagai ekspresi dan kreasi warga kelas bawah menghadapi “sumpeknya” persoalan hidup.
Lewat horeg, kata Puji, mereka bisa bernyanyi dan berjoget.
“Meskipun belakangan musik horeg juga dipakai sebagai magnet untuk acara kampanye politik karena bisa mendatangkan massa dalam jumlah besar atau hajatan bahkan pengajian,” ujarnya.
Bagaimanapun, menurut Puji, keberadaan musik horeg saat ini sudah kebablasan. Musik ini, kata dia, cenderung mengganggu kenyamanan masyarakat gara-gara volume suara.
“Suara yang dihasilkan itu melebihi desibel yang bisa diterima oleh telinga orang, ada kalanya merusak rumah warga, genting dan kaca pecah,” kata Puji.
“Itu yang menurut saya sudah kebablasan, sudah melampaui apa yang seharusnya,” tuturnya.
Volume musik horeg disebut mencapai lebih dari 135 desibel. Angka itu melewati batas toleransi telinga manusia menangkap suara bising yang umumnya 85 desibel selama delapan jam sehari, menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) .
Mendengarkan suara dengan tingkat volume di atas 85 desibel dan dengan durasi pendengaran yang lama disebut bisa menyebabkan kerusakan sementara pada telinga. Dampak terburuknya adalah gangguan pendengaran secara permanen.
Bagi Puji, musik horeg yang saat ini diputar, sulit dinikmati sebagai sebuah karya seni.
“Seni itu kan harmoni kata kuncinya. Bukan sekadar keras,” ucapnya.
“Musik itu akan indah, kalau sesuai takaran. Ibarat makanan, kalau terlalu manis atau terlalu asin, jadi tidak enak, begitu analoginya. Jadi [musik horeg] ini tidak bisa dinikmati sebenarnya,” kata Puji.
Apakah musik horeg perlu diatur?
Puji Karyanto memandang fatwa haram yang dikeluarkan sejumlah pesantren di Jawa Timur itu sebagai ungkapan keresahan masyarakat yang terganggu dengan musik horeg.
Menurutnya, fatwa tersebut harus dilihat sebagai pengingat warga untuk melihat fenomena sosial yang dianggap kurang tepat.
I Wayan Suyadnya, sosiolog dari Universitas Brawijaya, satu suara. Menurutnya, fatwa haram tersebut bisa dilihat seperti bentuk perlawanan masyarakat yang risau akan musik horeg namun dipendam.
“Selama ini kan masyarakat yang komplain cenderung diam karena menghindari konflik, terutama dengan orang-orang sekitar mereka,” kata I Wayan Suyadnya kepada BBC News Indonesia.
“Karena musik horeg ini didatangkan oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka yang suka. Alih-alih mereka merasa tidak nyaman, warga lebih banyak mengorbankan diri untuk tidak bertindak terlalu jauh.”
“Mereka paham ketika mereka bertindak terlalu jauh, konsekuensi terjadi konflik,” ucapnya.

Sumber gambar, DETIK.COM/ Pradita Utama
Bagi I Wayan Suyadnya, pemerintah daerah sudah semestinya membuat regulasi terkait musik horeg. Misalnya, soal pengeras suara seperti apa yang diizinkan berada di jalanan dan batasan desibelnya.
Suyadna menilai, kepala daerah kadang tak mengambil tindakan apapun “demi mengikuti suara mayoritas”.
Perubahan sikap kepala daerah itu nampak ketika Bupati Pati mengedarkan surat edaran berisi larangan penggunaan sound horeg saat karnaval, pada 25 Mei lalu.
Tapi belakangan, bupati menganulir keputusannya dan memperbolehkan penggunaan sound horeg namun dalam batasan tertentu yakni hanya di bawah 16 sub single—yang getaran suaranya tidak akan menyebabkan kerusakan bangunan.
“Tujuannya untuk menata kembali, supaya kebutuhan masyarakat akan hiburan yang segar juga terpenuhi. Tetapi di sisi lain tidak melakukan pelanggaran etik dan tidak mengganggu ketentraman warga,” ucap I Wayan.
Sementara itu, warga seperti Ahmad Zainudin menyatakan mendukung fatwa haram musik horeg.
“Saya mendukung demi kemaslahatan umum,” katanya.
Meskipun, Zainudin juga tak yakin fatwa tersebut bakal betul-betul dipatuhi oleh pemilik horeg maupun warga.
Karenanya, dia berharap pemerintah daerah membuat regulasi untuk horeg agar paling tidak bisa dinikmati, tak merusak fasilitas umum, dan menjaga ketentraman warga sekitar.
“Mungkin perlu dicari alternatifnya supaya berkurang bisingnya.”
“Saya pernah [protes] secara langsung, karena ada beberapa teman saya usaha horeg, tapi sepertinya tidak efektif.”
Namun, pendapat berbeda diutarakan Annur Rofiek Alamthani yang tak setuju adanya fatwa haram untuk horeg. Katanya, meskipun berisik, tapi horeg tak berbeda dengan musik-musik lainnya.
Menurut dia, yang perlu diatur hanya lokasinya. Jika digelar di acara karnaval dan lapangan terbuka, tidak mengapa. Yang tak boleh, di pemukiman padat penduduk.
“Tidak adil kalau diharamkan, karena ini cuma musik supaya warga senang.”
“Dicari jalan tengahnya saja, kalau di karnaval bebas musik kencang, tapi jangan di gang sempit. Kasihan rumah warga.”