Kesaksian guru yang selamat dari serangan TPNPB OPM di Yahukimo, Papua – ‘Mereka rencana jahat untuk kasih mati, tapi Tuhan tolong kami’

Sumber gambar, ANTARA FOTO/HO/Dispenad
- Penulis, Raja Eben Lumbanrau
- Peranan, BBC News Indonesia
Delapan guru dan tenaga kesehatan (nakes) dilaporkan menjadi korban serangan yang diklaim dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) di Kabupaten Yahukimo, pada akhir pekan lalu. Seorang guru yang selamat menceritakan pengalamannya kepada BBC News Indonesia.
Pada Jumat pagi (21/03), Nus bersama rekan-rekan guru lain melakukan aktivitas seperti biasa, tidak ada yang berbeda.
Mereka mengajar di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen (SD YPK) Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan.
Usai mengajar, mereka kembali ke kompleks perumahan guru untuk beristirahat. Nus tiba-tiba terbangun oleh suara teriakan yang berasal dari luar rumahnya.
Saat melirik ke luar, dia melihat belasan orang—yang menggunakan penutup muka dan membawa senjata tajam—berada di depan rumahnya.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Mereka, ujarnya, lalu melempari kaca rumahnya hingga pecah.
Nus dan rekan-rekannya panik. Mereka lalu mencoba keluar dari rumah untuk melarikan diri.
“Teman-teman guru ada [keluar] dari pintu depan. Saya pintu belakang, lompat,” kenang Nus saat ditemui di Jayapura, Papua, Senin (24/03).
Nus adalah nama panggilannya. (BBC News Indonesia memilih tidak mengungkap identitas lengkapnya dengan alasan keamanan).

Sumber gambar, Satgas Operasi Damai Carstensz 2025
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Saat dirinya keluar dari rumah, beberapa pelaku mengayunkan dan melempar parang yang panjang ke arahnya. Dia mampu menghindar. Parang itu mengenai tas yang dia bawa.
“Tuhan tolong saya, mereka buang parang tidak kena, hanya tas saja,” katanya yang telah menjadi guru sejak 2023 di bawah Yayasan Serapim Care.
Terdapat total sembilan guru dari Yayasan Serafim yang mengajar di SD YPK Anggruk. Saat kejadian, satu orang tengah berada di Jayapura, sementara delapan lainnya berada di Anggruk.
Dari jumlah itu, enam orang guru berasal dari luar Papua, dan dua guru orang asli Papua. Selain mereka, ada dua tenaga kesehatan di lokasi kejadian.
Nus melanjutkan, dia pun berlari masuk ke dalam hutan. Dua orang pelaku mengejarnya dari belakang. Namun, dia mampu bersembunyi.
Berjam-jam di hutan, dia kembali ke desa dan melihat beberapa bangunan telah dibakar.
“Mereka [pelaku] rencana jahat untuk kasih mati. Tapi Tuhan tolong kami. Kami berhasil melarikan diri walaupun ada yang terluka,” katanya.
Nus mengatakan, terdapat beberapa rekannya yang terluka akibat serangan. Para korban itu lalu dibawa ke pusat kesehatan di sana untuk mendapatkan perawatan.
“Kita obati teman-teman dan kita kasih aman mereka semua, tenang, dan bisa tidur,” katanya.
Serangan kedua, seorang guru perempuan tewas

Sumber gambar, Satgas Operasi Damai Carstensz 2025
Nus dan rekannya melewati malam di rumah sakit dengan penuh rasa was-was, takut serangan kembali datang.
Pagi harinya, dia dan rekannya lalu mengganti perban para korban yang terluka.
Saat mereka tengah beraktivitas, sekitar pukul delapan pagi, para pelaku kembali datang dan melakukan serangan kedua.
“Orang [pelaku] yang sama, kami tidak bisa tahan di dalam ruangan. Saya bilang sudah datang [pelaku], jadi harus kami lari, tapi harus ditutup pintu teman-teman kita ini, supaya mereka jangan tusuk lagi. Kalau tusuk lagi itu mereka sudah meninggal,” katanya.
Mungkin Anda tertarik:
Mereka pun keluar dari pintu belakang untuk melarikan diri ke dalam hutan. Kembali, mereka dikejar oleh para pelaku.
“Mereka kejar kita itu [masing-masing] dua orang, saya dua, ibu guru dua, ada mantri dua. Kami takut untuk mengamankan teman, tidak bisa. Mereka punya alat tajam dan bukan pendek-pendek. Jadi kami tidak berani untuk baku tolong teman.”
Dalam pengejaran itu, katanya, seorang guru perempuan tidak berhasil selamat dari serangan para pelaku.
“Ibu guru itu dua orang. Musuh bagi jalan, satu dari sana [samping], satu dari belakang. Jadi langsung kepung dan langsung kampak dia, yang meninggal ini,” kenangnya dengan raut muka sedih.
Nus terus berlari ke hutan, menuju atas gunung. Para pelaku kelelahan mengejarnya dan memutuskan kembali.

Sumber gambar, Ikbal Asra
Nus bertahan di dalam hutan hingga kira-kira pukul satu siang. Merasa situasi mulai aman, dia kembali ke desa.
Nus dan rekannya yang selamat lalu mengamankan diri dan membawa guru perempuan itu di pusat kesehatan. “Vikaris [calon pendeta] dan mama-mama yang jaga kami, mereka bawa minum, makan, sampai kami dijemput,” katanya.
Masih terlihat rasa trauma saat Nus mengenang peristiwa yang hampir mencabut nyawanya itu.
Di balik tatapannya yang beberapa kali terlihat kosong, Nus terus bertanya-tanya, mengapa dirinya dan rekan-rekannya diserang.
Dia menegaskan bahwa dirinya dan rekan-rekan guru lain adalah warga sipil biasa, yang tidak memiliki hubungan baik dengan aparat keamanan ataupun kelompok kepenting lainnya.
“Kita ini masyarakat biasa. Kita punya ijazah semua sudah terbakar, kalau tidak kami bisa kasih tunjuk. Kami ini guru, hanya mendidik, tidak ada kaitannya dengan apapun,” katanya yang memperoleh gelar sarjana pendidikan dari sebuah kampus di Papua.
Di penghujung wawancara kami, Nus berharap kejadian yang menimpa dirinya tidak terjadi kepada guru-guru lain yang mengabdikan diri mereka untuk memberikan pelayanan kemanusiaan di pedalaman Papua.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/HO-Dispenad
Aparat keamanan awalnya melaporkan enam orang guru dan nakes tewas dalam serangan itu. Namun, keterangan ini kemudian direvisi.
Hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) pada Senin (24/03) oleh aparat keamanan melaporkan ada delapan guru yang menjadi korban.
Satu orang guru tewas dibunuh, dan tujuh korban lainnya mengalami luka ringan hingga berat akibat dari penganiayaan senjata tajam.
Dalam olah TKP di kompleks perumahan guru dan sekolah SD Advent Anggruk serta gedung RS Efata Anggruk juga dilaporkan bahwa penyerangan terjadi selama dua hari, yaitu Jumat (21/03) dan Sabtu (22/03).
Selain melukai dan membunuh korban, para pelaku yang disebut berjumlah 15 orang itu juga dilaporkan membakar dua unit rumah dinas guru dan merusak tujuh ruang kelas sekolah.
‘Kami tidak ada urusan dengan konflik’

Sumber gambar, Ikbal Asra
Ketua Yayasan Serafim, Nehes Jhon Fallo mengutuk aksi kekerasan yang dia sebut sebagai tindakan kriminal itu.
Dia pun menegaskan para guru itu adalah murni pengajar yang tidak memiliki kepentingan politik apapun di Papua.
“Kami datang karena Tuhan panggil kami untuk melayani di atas tanah ini. Kami tidak ada urusan dengan politik. Kami tidak ada urusan dengan konflik ini dan itu, maka kami betul-betul bersedih untuk kejadian ini,” kata Fallo.
Fallo mengatakan kejadian ini juga merugikan anak-anak di Anggruk yang kini tidak bisa bersekolah.
Kepala Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Bernard Ramandey menyebut serangan di Anggruk itu merupakan bentuk pelanggaran atas hak-hak kemanusiaan.
“Kelompok ini harus ada upaya penegakan hukum kepada mereka. Karena perbuatan mereka ini mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka-luka, harta benda dan juga tidak ada pelayanan pendidikan anak-anak,” katanya.
Sementara itu, Wakil Bupati Yahukimo, Esau Miram mengeklaim serangan ini telah telah melanggar tataran kehidupan dan budaya di masyarakat Papua.
“Dulu tidak pernah membunuh perempuan dan anak kecil. Kalau perang itu di area perang. Di medan perang itu laki-laki dan laki-laki. Tapi membunuh perempuan ini sudah tidak benar,” katanya.
Juru bicara TPNPB OPM Sebby Sambom mengeklaim bahwa pihaknya yang bertanggung jawab atas insiden pembakaran dan pembunuhan di Anggruk.
Dia beralasan bahwa para guru dan nakes itu merupakan agen militer Indonesia. Alasan ini kerap digunakan OPM saat melakukan aksi kekerasan kepada para pendatang di pedalaman Papua.
“Karena semua itu bagian dari TNI-Polri. Semua tugas diambil alih mereka, termasuk guru dan kesehatan,” kata Sebby.
Untuk memperkuat klaim itu, Sebby mengutip pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang menyebut “sekarang di Papua yang mengajar itu anggota saya, TNI. Kemudian pelayanan kesehatan, anggota saya.”
Namun, Kapendam Cenderawasih Kolonel Candra Kurniawan membantah tudingan Sebby.
“Korbannya jelas adalah guru dan tenaga kesehatan, bukan anggota atau agen militer. Silahkan bisa dikonfirmasi ke semua pihak terkait,” kata Candra, Minggu (23/03).
Selain itu, Candra menyebut puluhan guru dan nakes di wilayah Anggruk dan sekitarnya, seperti Hereapini, Kosarek, Ubalihi, Nisikni, Walma, dan Kabianggama, telah dievakuasi pascaserangan itu.
Guru ‘terjebak di tengah’ konflik

Sumber gambar, ANTARA FOTO/HO/Dispenad
Serangan terhadap guru dan nakes di Papua disebut bukan kali pertama terjadi. Desember tahun lalu contohnya, seorang guru honorer asal Toraja dilaporkan menjadi korban pembunuhan TPNPB OPM di Kabupaten Puncak, Papua Tengah.
Sebelumnya pada Oktober 2023, OPM juga dilaporkan menyerang lima nakes di Distrik Amuma, Yahukimo.
Melihat fenomena itu, pengamat pendidikan dari Universitas Papua, Agus Sumule berkata bahwa para guru, nakes dan pelayan kemanusiaan lain kini “terjebak dalam konflik yang terjadi di Papua.”
“Bukan karena mereka [guru, nakes] ikut campur, tapi mereka melakukan kegiatan di lokasi-lokasi yang terjadi konflik bersenjata,” kata Agus.
Untuk itu, katanya, pemerintah perlu memberikan jaminan keamanan kepada tenaga pendidik, nakes dan pekerja kemanusiaan lainnya saat melayani masyarakat.
Perlindungan itu, kata Agus, telah diatur secara jelas dalam Pasal 56 ayat 6 huruf C UU No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang berbunyi:
“Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi Papua, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib menjamin kesejahteraan dan keamanan pendidik dan tenaga kependidikan.”
Namun, Agus mengatakan jaminan keamanan itu tidak selalu harus dengan pendekatan kekuatan militer, “Tapi bisa berbicara dengan tokoh masyarakat setempat, gereja, dan pemerintah harus memberikan komitmen bahwa kami tidak ingin pendidikan anak-anak atau pelayanan kesehatan terganggu.”

Sumber gambar, Sebby Sambom
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Anggruk membuktikan bahwa konflik bersenjata di Papua ‘zero toleransi’ terhadap masyarakat sipil.
“Bahkan mereka cenderung dijadikan sasaran atau target dari kekecewaan salah satu pihak terhadap pihak lainnya. Di daerah konflik, mereka paling lemah karena hampir tidak punya keterikatan sosiokultural dengan lingkungan sekitarnya,” kata Anum.
Anum pun meminta agar profesi kemanusiaan ini tidak boleh distigma tanpa ada pembuktian hukum dan mendapatkan perlindungan keamanan dari negara.
“TNI, POLRI dan TPNPB harus melindungi masyarakat sipil sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaan mereka. Semua pihak harus bersedia membuka ruang dialog yang inklusif guna mengakhiri aksi kekerasan dan konflik bersenjata di tanah Papua,” kata Anum.
Mengapa konflik berpengaruh pada pendidikan di Papua?
Dalam laporan Bappeda Provinsi Papua berjudul ‘Pembangunan Bidang Pendidikan di Provinsi Papua tahun 2023‘, konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kemajuan pendidikan.
“Salah satu dampak utama dari konflik ini adalah terganggunya proses pembelajaran. Sekolah-sekolah di daerah-daerah yang terkena konflik sering kali harus ditutup atau beroperasi secara terbatas, sehingga menyebabkan siswa kehilangan akses ke pendidikan,” bunyi dalam laporan itu.
Kemudian, laporan itu juga menyebut bahwa ketidakstabilan keamanan membuat para guru sulit untuk mengajar dengan efektif karena mereka merasa khawatir akan keselamatan mereka sendiri.
Bahkan, sekolah juga sering kali menjadi sasaran konflik, yang menyebabkan rusaknya infrastruktur pendidikan dan hilangnya fasilitas belajar-mengajar yang penting.
Lalu, konflik juga dapat mengakibatkan pengungsi internal, yang kemudian memerlukan perhatian khusus dalam hal pendidikan.
“Ketidaksetaraan ekonomi dan keterbatasan akses infrastruktur sosial seperti layanan kesehatan dan transportasi juga memperumit upaya untuk menyediakan pendidikan berkualitas di daerah terpencil di Papua,” kata laporan itu.
Dan, beberapa wilayah di Yahukimo adalah salah satu episentrum konflik bersenjata di tanah Papua.
Salah satu contoh, pada 2023, Kota Dekai, ibu kota Yahukimo, dilaporkan “mencekam” usai terjadi serangan terhadap pesawat komersil dan pembakaran gedung SD yang diklaim dilakukan oleh kelompok TPNPB OPM.
‘Diprediksi satu juta orang Papua tidak pernah sekolah’

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Agus Sumule mengatakan kini terdapat hampir 700.000 penduduk usia sekolah di Papua yang tidak pernah menginjakan kaki mereka di lembaga pendidikan.
Jika dibiarkan, Agus memprediksi pada 2030 jumlahnya akan mencapai satu juta orang.
“Artinya, bagaimana kita bisa terus berharap masyarakat di Papua menganggap diri mereka bagian dari Republik Indonesia, kalau cita-cita kemerdekaan yang mencerdaskan kehidupan bangsa tidak terjadi di Papua,” katanya.
Kemudian, secara khusus Agus mencontohkan wilayah Yahukimo.
Kabupaten ini, katanya yang mengutip data Kementerian Pendidikan, menjadi daerah tertinggi di Papua Pegunungan yang penduduk usia sekolahnya tak merasakan bangku pendidikan. Jumlahnya lebih dari 39.000 jiwa.
Bahkan, katanya, ada lebih dari 13.000 anak usia SD di sana yang tak bersekolah.
Bukan hanya itu, Agus mengatakan Yahukimo juga kekurangan guru hingga 1.200 orang.
Menurut data BPS Yahukimo, jumlah sekolah dasar di sana berjumlah 167 sekolah, dan memiliki 873 guru, dengan jumlah murid 48.730 orang.
Sementara untuk tingkat SMP, ada 39 sekolah dengan jumlah guru 281 orang, dan jumlah murid 7.365 jiwa.
Angka itu semakin kecil di tingkat SMA. Hanya ada tujuh sekolah di Yahukimo. Lima SMA di Dekai, satu SMA di Anggruk dan satu lagi di Kurima.
Jumlah guru SMA pun berjumlah 105 orang, dengan jumlah murid mencapai 1.517 orang.
Cerita guru yang mengajar di pedalaman Yahukimo

Sumber gambar, Tri Ari Santi
Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan ini tergambar dalam pengalaman Tri Ari Santi, seorang guru yang menghabiskan delapan tahun (2016-2024) untuk mengajar di Distrik Saminage, Yahukimo.
Tri berkata fasilitas pendidikan, seperti alat tulis, buku dan lainnya saat dia mengajar di sana sangat terbatas.
“Sangat minim sekali. Pertama saya datang itu hanya ada bangunan, bangku, papan tulis. Rumputnya sudah tinggi. Tidak ada alat tulis atau apa,” kenang perempuan yang berasal dari Pulau Jawa ini.
Untungnya, Tri dan temannya membawa beberapa buku sebagai bahan belajar.
Selain fasilitas yang terbatas, Tri juga menyebut tidak ada guru di sana sebelum mereka datang.
“Kepala sekolah juga hadir hanya setahun sekali. Biasanya kasih seragam untuk anak-anak, tapi tidak pernah mengajar. Kegiatan belajar mengajar itu tidak pernah ada,” ujarnya.

Sumber gambar, Tri Ari Santi
Padahal, katanya, murid-murid di sana begitu bersemangat untuk belajar.
“Anak-anak selalu datang walaupun jarak ke sekolah bisa 30 menit jalan kaki, padahal kadang cuaca berkabut karena di pegunungan kan,” kata Tri yang mendapat tawaran mengajar di Saminage dari seorang pastor paroki.
Untuk mengatasi keterbatasan itu, Tri pun memanfaatkan kekayaan alam di pedalaman itu sebagai sarana belajar.
Tri mengaku, untuk memenuhi sebagian kecil alat belajar dia membawa perlengkapan sekolah dari kota terdekat.
Namun, menuju Saminage bukan perkara mudah.
Dari Wamena, dia menghabiskan tiga hari jalan kaki menuju sekolah dia mengajar. Ada opsi lain dengan pesawat, tapi biaya menyewanya kata Tri mencapai belasan juta rupiah.
Keterlibatan aparat dalam dunia pendidikan di Papua

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Dalam ‘Educational investment in conflict areas of Indonesia: The case of West Papua Province’ disebutkan bahwa personel TNI dan Polri yang bertugas di daerah terpencil di Papua sering memberikan bantuan teknis dengan mengajar di sekolah.
Bukan hanya mengajar, bahkan sebuah sekolah yang dikelola Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) di Maybrat, Papua Barat Daya, dialihfungsikan menjadi pos tentara.
Keterlibatan aparat keamanan di dunia pendidikan ini, menurut jurnal yang diterbitkan pada 2007 itu, tidak lepas dari kelangkaan guru di pedalaman Papua.
Penyebabnya karena minimnya fasilitas dan layanan sosial seperti rumah guru yang layak dan terbatasnya layanan kesehatan. Akhirnya guru enggan mengajar ke pedalaman.
Kedua adalah sulitnya akses transportasi ke wilayah pedalaman. Disebutkan dalam jurnal itu bahwa guru yang bekerja di daerah terpencil menggunakan pesawat kecil yang hanya memiliki penerbangan setiap tiga bulan sekali atau lebih.
Ketiga adalah minimnya insentif bagi guru untuk bekerja di daerah terpencil sehingga mereka sulit untuk bertahan hidup. Padahal biaya di wilayah-wilayah ini lebih mahal dibandingkan perkotaan.
Terakhir adalah pembayaran gaji guru di daerah terpencil yang tidak teratur. Disebutkan bahwa para guru harus pergi ke pusat kabupaten untuk mengambil gaji setiap tiga sampai enam bulan.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Keterlibatan aparat dalam dunia pendidikan di Papua ternyata disebut menimbulkan ketidaknyamanan bagi beberapa murid orang asli Papua.
Wene, seorang mahasiswa asal Yahukimo di Jakarta, mengaku pernah merasa takut dan tertekan ketika guru SMA-nya di Dekai memiliki hubungan dengan aparat keamanan.
“Sempat kejadian di sekolah SMA saya, guru yang mengajar ini titipan, ia sesungguhnya adalah militer. Ada suatu ketika dia memukul teman saya, lalu terjadi konflik,” kata Wene yang menyebut rasa takut ke aparat keamanan tidak lepas dari memori kelam masa lalu yang dihadapi warga Yahukimo.
Wene pun memberikan contoh lain. Dia mengatakan ada seorang guru yang merupakan istri dari aparat keamanan.
“Kayak rasa takut seketika saya salah bicara yang akhirnya salah dipahami oleh ibu guru, lalu dilaporkan dan juga kita tahu, anggota di Papua itu seperti apa, jadi takut munculnya di situ,” tambahnya.
Terlepas dari itu, Wene bercerita bahwa situasi pendidikan di kampungnya di Yahukimo masih sangat terbatas.
“Misalkan di daerah saya, sekolah macet tidak berjalan karena tidak ada guru di sana. Makanya adik-adik lebih memilih ke [ibu kota] Yahukimo karena tidak ada guru di daerah saya,” katanya.
“Guru ada, cuma kadang guru menetap di kota, tidak mau pergi ke kampung untuk mengajar. Lalu diperparah dengan fasilitas sekolah yang tidak lengkap, mulai dari infrastruktur dan kelengkapan lainnya,” kata Wene.
Bahkan di Dekai, ibu kota Yahukimo, masalah pendidikan pun banyak, “dari fasilitas sekolah yang tidak lengkap dan guru-guru yang jarang aktif. Apalagi di pedalaman,” kata Wene.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Agus Sumule mengatakan peristiwa di Anggruk merupakan refleksi untuk melangkah serius dalam melakukan peningkatan sarana-prasarana pendidikan dan kesejahteraan guru, perlindungan keamanan yang tak hanya melalui pendekatan militer.
Ditambah lagi, katanya, netralitas dunia pendidikan dari beragam kepentingan di Papua merupakan beberapa kunci penting untuk mencegah sektor ini “terjebak” di dalam konflik yang terjadi di Papua.
“Bagaimana kita bisa terus berharap masyarakat di Papua menganggap diri mereka bagian dari Republik Indonesia, kalau cita-cita kemerdekaan yang mencerdaskan kehidupan bangsa tidak terjadi di Papua,” ujar Agus Sumule.
—
M. Ikbal Asra wartawan di Jayapura, Papua, berkontribusi dalam artikel ini.