‘Mereka adu domba kami’ – Masyarakat adat Solidaritas Merauke deklarasi menolak Proyek Strategis Nasional

Ratusan warga yang mengaku menjadi korban Proyek Strategis Nasional (PSN) bersama organisasi masyarakat sipil menuntut program warisan pemerintahan Presiden Jokowi tersebut dihentikan. Pernyataan terbuka ini disampaikan di hadapan pejabat pemerintah pusat dan daerah di Kota Merauke, Papua Selatan, Jumat (14/03).
Kelompok yang menamai diri “Solidaritas Merauke” menyatakan PSN yang telah dan masih berlangsung telah merusak ruang hidup mereka sekaligus menjadi biang keladi atas kerusakan lingkungan dan kekerasan terhadap masyarakat adat.
“Malapetaka ini patut disebut sebagai keadaan darurat bagi keselamatan rakyat,” sebut pernyataan bersama.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan periode 2020-2024 telah terjadi 154 ledakan konflik akibat PSN. Konflik ini melibatkan satu juta hektar lahan, dan 103.000 keluarga menjadi korban.
Pemerintah melalui Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, mengeklaim akan menjadikan protes ini “masukan dan kritik terhadap pemerintah”. Namun, kementeriannya tak bisa mengambil sikap untuk menghentikan PSN.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Peneliti isu Papua menilai proyek PSN yang serampangan sebagai “bom waktu” di masa depan.
Di lapangan, korban PSN mengaku menghadapi dampak banjir, debu pembangunan, penyerobotan lahan, tekanan dan kekerasan.

Sumber gambar, Yayasan Pusaka
Vincen Kwipalo, berjalan santai sambil telanjang dada menuju Gama-aha (tempat bersantai) di pinggiran rumahnya.
Setelah menutup badannya yang berkeringat dengan kaos oblong, pria 67 tahun mengutarakan hari-harinya setelah pulang dari Jakarta.
“Kami kembali dari sana (Jakarta), untuk saya memang tidak ada perubahan… malah penekanan-penekanan untuk saya lebih banyak lagi,” kata Vincen saat ditemui di rumahnya, di Kampung Blandin Kakayu, Distrik Jagebob, Merauke, Papua Selatan, Minggu (09/03).

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.


Pada 17 Oktober 2024, Vincen dan sejumlah masyarakat adat Papua Selatan berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menolak PSN berupa cetak sawah dan perkebunan tebu di Merauke karena “alam kami sudah rusak, habis”.
Sejak perjalanan 4.800 kilometer penuh harap, tuntutan kepada pemerintah pusat agar proyek ini dihentikan tak berbuah hasil. Di kampungnya, ketua Marga Kwipalo dari Suku Yei sudah bingung ingin mengadu ke mana lagi.
“Ke mana lagi kita harus cari perlindungan? Ke mana lagi?” kata Vincen bertanya-tanya dengan nada lesu, lalu ia memulai cerita lebih mendalam pengalaman menghadapi “tekanan”.

Sumber gambar, Nurika Manan
Pada Rabu malam, 11 Desember 2024, pria berjenggot tebal ini baru pulang dari Pusat Kota Merauke. Jaraknya 122 kilometer atau tiga jam perjalanan dengan sepeda motor.
Belum sempat tas diturunkan dari bahu, tiba-tiba datang lima orang membawa parang. Mereka memaki keluarga Vincen dengan teriakan sebagai orang bodoh, tuduhan tak punya tanah, dan tuduhan “tersasar di jalan”.
Vincen dengan sigap meminta anak-anaknya tetap berada di dalam rumah. “Tidak boleh terpancing dengan ini. Yang penting tidak boleh keluar dari halaman, tinggal saja di halaman rumah,” katanya.
Tanpa pikir panjang, Vincen menelpon polisi. Polisi tiba, kelima orang itu pergi.
Vincen mengakui memang punya sengketa lahan dengan marga lain yang sudah berlangsung “belasan tahun”. Namun terjadi eskalasi ancaman setelah perusahaan masuk.

Sumber gambar, Dok. Vincen Kwipalo
Ia meyakini, orang-orang yang datang itu berasal dari marga yang sudah melepas tanah adat kepada perusahaan. Hutan adat milik marga Vincen berbatasan dengan lahan mereka.
Menurut Vincen perusahaan memberi ganti rugi sekitar Rp300.000 per hektare—nilai yang sama dengan penawaran yang pernah diajukan kepadanya. Namun, keluarga Vincen menolak tawaran itu.
“Kami sudah kompak dengan satu marga (Kwipalo) bahwa kami tidak memberikan sampai kapan pun, sejengkal tanah pun kami tidak memberikan,” katanya.
Setelah malam yang penuh ketegangan, esok paginya, rumah kakek dari 18 cucu ini kembali didatangi orang-orang membawa parang. Kali ini jumlahnya bertambah, dan melontarkan kata “akan membunuh”.
Mereka juga mengulangi teriakan keluarga Vincen “akan tersasar”.

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Saat orang-orang masih mengepung rumah, Alowisia Kwerkujai, istri Vincen ikut berdiri di depan rumah.
“Siapa yang nanti kesasar? Kamu yang nanti kesasar karena kamu sudah jual tanah. Saya itu sudah tanam jangka panjang buat saya punya anak-anak,” kata Alowisia mendampingi suaminya menghadapi orang-orang yang “ribut”.
Alowisia mendukung sikap suaminya agar hutan adat keluarga tidak dilepas ke perusahaan. Baginya, hutan adalah sumber hidup dan kehidupan.
Dari hutan adat, ibu dari tujuh anak ini bisa membuat anyaman untuk keperluan dapur, termasuk berkebun. Ada kebun karet, kebun jati, rambutan, pohon sirih, pohon pinang.
“Jadi kita ada buat kebun, ada tanam pisang, petatas, ubi. Itu yang Mama tidak mau kasih perusahaan. Kita ini mau ke mana? Karena Mama ini seorang perempuan beranak-anak untuk tanah itu,” kata Alowisia.
Baca Juga:
Ketegangan pagi itu mereda setelah kepala kampung campur tangan.
“Ibu (kepala kampung) datang langsung di rumah ini. Kasih stop juga, mereka tidak datang,” kata Vincen sambil geleng-geleng kepala mengingat kejadian itu.
Hutan adat sekitar 1.400 hektare yang diklaim Marga Kwipalo dari Suku Yei adalah vegetasi alami. Pohon-pohon menjulang tinggi dan satu sama lain saling berinteraksi. Rumah bagi hewan endemik seperti kasuari, walabi (kangguru khas Papua), rusa kakatua hingga elang.

Sumber gambar, Getty Images
Namun, habitat mereka mulai terganggu seiring perusahaan mulai menggusur lahan dan kawasan hutan di lokasi lain. Hewan-hewan kabur karena suara alat berat, termasuk gergaji mesin, jelas Vincen.
Ia menunjukkan satu-satunya gulungan kulit walabi yang diselipkan di bawah atap rumbia. Mungkin itu akan menjadi bahan terakhir membuat membran Tifa yang biasa digunakan untuk upacara adat.
“Sekarang cari kangguru sulit sekali,” katanya.

Bukan hanya itu, Vincen sedang menghadapi masalah lain yang menggelayuti pikiran. Tanah adat keluarganya yang lain berada sekitar satu kilometer dari rumah sudah terdapat batas patok perusahaan.
Patok ini posisinya sudah masuk di dalam tanah milik keluarga Vincen.
Vincen menunjukkan lokasinya. Sekitar 100 meter dari badan jalan utama dengan menyibak pohon-pohon, terdapat pipa setinggi 1,5 meter yang dicat merah bagian atasnya.

“Ya, kita kaget. Karena belum tahu ini tujuannya apa… Artinya penerobosan seperti begini,” kata Vincen. Patok ini sudah dilaporkan ke pihak perusahaan yang membongkar hutan, tapi mereka “diam saja, memang tidak kasih jawaban”.
Di lokasi patok itu, BBC News Indonesia mendengar jelas deru mesin gergaji meraung-raung. Penggusuran hutan masih berlangsung hanya beberapa ratus meter dari badan jalan.
Pengalaman beberapa marga lain yang melepas hutan adatnya kepada perusahaan tersiar dari mulut ke mulut. Mereka kehilangan tanah, dan sebagian direkrut bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan. Beberapa tempat sakral di dalam hutan sulit diakses.

Sumber gambar, Yayasan Pusaka
Marga yang melepas tanah adat juga dijanjikan mendapatkan bagi hasil melalui skema plasma. Tapi perjanjian tertulisnya tidak pernah diberikan.
Yakobus Mahuze dari Kampung Senayu, Distrik Tanah Miring mengaku “mau tak mau” melepaskan hutan adatnya tahun lalu. Musababnya, marga-marga lain sudah melakukan pelepasan, sedangkan hutan adat miliki keluarga Yakobus satu-satunya yang belum dilepas. Ia melihat hal ini sebagai tekanan.
Total luas lahan dalam satu hamparan yang dilepas bersama marga lain sebesar 5.000 hektar. Sebagaimana tawaran di Distrik Jagebob, hutan adat itu dihargai Rp300.000 per hektare.
“Karena kita juga berpikir jangan sampai ada hal-hal buruk yang terjadi pada keluarga kita orang,” katanya.

Ayah dari tiga anak ini mengaku tak pernah menerima dokumen tertulis perjanjian kontrak perusahaan mengenai penggunaan hutan adat, kedudukan masyarakat adat, analisis dampak lingkungan hingga jangka waktu penggunaan. “Sampai dengan saat sekarang tidak ada,” katanya.
Pihak perusahaan dan pemerintah daerah hanya membuat sebuah “Tugu Prasasti” di tepi jalan dekat rumahnya. Isinya berupa janji perusahaan yang akan mempekerjakan masyarakat setempat, termasuk bagi hasil melalui skema plasma.
Baca juga:
Dengan skema plasma, Yakobus mengatakan pihak perusahaan terus “merayu” agar keluarganya memberikan hutan adatnya lebih banyak. Tapi ia bersikeras menolak.
“Dari pihak kita marga kan sudah tidak bisa kasih tambah tanah lagi,” kata Yakobus yang juga mengaku keluarganya masih memiliki 50.000 hektar hutan adat.
Alasan keluarga Yakobus tak mau lagi melepas hutan adat karena, “Kalau kita kasih semua terus binatangnya mau tinggal di mana? Terus hutan itu kan kita orang (Suku) Malind, kita punya budaya itu kan kita harus ambil dari hutan”.

Investigasi BBC News Indonesia tentang plasma perkebunan sawit di Indonesia menunjukkan hampir semua janji bagi hasil melalui skema ini problematik.
Skema plasma banyak memicu kekerasan di tengah masyarakat. Salah satunya, Suku Anak Dalam di Sumatra Selatan yang mengaku “dibohongi” perusahaan selama tiga generasi.
Yakobus juga mengaku banyak keluarga di Kampung Senayu sekarang harus membeli air karena sumber air mereka tercemar. Air yang mengalir di bawah jembatan Senayu dekat rumahnya sudah keruh akibat lumpur yang terbawa dari lokasi pembukaan lahan.
“Sudah air kabur. Biasa kalau kita di Rawa, penyaringan kan itu akar pohon apa itu kan, dia yang saring itu. Baru dia ke Rawa itu kan air sudah bersih. Sekarang kita tidak bisa minum,” kata Yakobus.
‘Hasil yang tidak sepadan’
Keluarga Vincen dan Yakobus hanya sebagian dari ribuan orang asli Papua yang terdampak proyek PSN baik langsung maupun tidak langsung.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat melaporkan April-Desember 2024 beberapa perusahaan perkebunan tebu sudah membongkar lahan dan kawasan hutan, rawa serta savana di Distrik Tanah Miring dan Jagebob. Hutan yang dicukur diperkirakan sudah mencapai 3.213 hektare.
Baca juga:
Di sisi lain, Kementerian Pertahanan mendapat izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Juli 2024 untuk menggunakan kawasan hutan seluas 13.450 hektar. Ratusan eskavator yang dikawal militer sudah membongkar lahan dan kawasan hutan di Distrik Wanam.
Pusaka melaporkan target pemerintah mencetak sawah dan perkebunan tebu di Merauke seluas 2,2 juta hektare akan berdampak terhadap 16 distrik (kecamatan). Kebanyakan hutan adat menjadi sasaran pembukaan lahan baru. Jumlah ini belum termasuk proyek perkebunan sawit non-PSN.

Sumber gambar, ANTARAFOTO
Dalam keterangan terbaru, pemerintah mematok target lebih tinggi.
Menteri Koordinator bidang Pangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas mengatakan pembukaan lahan di Merauke dapat mencapai tiga juta hektare, masing-masing untuk cetak sawah 2 juta hektare dan perkebunan tebu 1 juta hektare. Luas lahan ini setara dengan lima kali Pulau Bali atau 45 kali luas daratan Jakarta.
Proyek ini ditargetkan selesai dalam jangka waktu lima hingga tujuh tahun ke depan. Rencana ini masuk dalam apa yang disebut program “Swasembada Pangan” yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
“Kalau kita mau swasembada (pangan), presiden perintahkan menterinya termasuk swasembada energi yang mendasar, tentu ini memerlukan buka lahan baru,” kata Zulhas di penghujung Desember 2024.
Baca juga:

Cetak sawah dan perkebunan tebu di Merauke masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
PSN adalah proyek atau program yang dilaksanakan instansi pemerintah atau badan usaha, yang bersifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
Contoh proyeknya adalah ketahanan pangan, pelabuhan, pembangkit listrik, kawasan ekonomi khusus, pertambangan, pabrik pemurnian, bendungan, kereta api, bandar udara, kesehatan, telekomunikasi dan lain-lain.
PSN digagas sejak Joko Widodo duduk di kursi RI-1 pada 2014 silam. Pada periode 2016–Februari 2024 sebanyak 195 PSN selesai dan sudah beroperasi dengan nilai investasi Rp1.519 triliun. Proyek ini diklaim menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru.
Baca juga:

Sumber gambar, ANTARAFOTO
PSN kemudian dilanjutkan Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Berdasarkan RPJMN 2025–2029, terdapat 77 PSN yang sudah ditetapkan. Sebanyak 48 PSN merupakan lanjutan, dan 29 PSN baru.
Proyek ini tersebar dari Aceh sampai Papua meliputi “proyek yang berkontribusi langsung pada terwujudnya swasembada pangan, swasembada energi, swasembada air, dan hilirisasi”.
Alih-alih bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, beberapa proyek PSN yang telah beroperasi atau dalam tahap pembangunan menuai polemik hingga kemarahan dari masyarakat.
Komnas HAM menerima 114 aduan PSN pada periode 2020–2023. Dari laporan ini terdapat dugaan pelanggaran HAM terkait dengan penggusuran, kekerasan dalam penanganan aksi unjuk rasa, ketenagakerjaan, lingkungan, kebebasan berekspresi, dan kekerasan terhadap wartawan.
Baca juga:

Sumber gambar, Laporan Tahunan Komnas HAM
Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan terjadi 154 ledakan konflik akibat PSN periode 2020–2024. Konflik ini melibatkan satu juta hektar lahan, dan 103.000 keluarga menjadi korban.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengurai tiga modus operandi operasi PSN di lapangan, yaitu ancaman kekerasan atau intimidasi, kriminalisasi dan menciptakan konflik horizontal.
Baca juga:
Sekjen KPA, Dewi Kartika menilai proyek PSN tidak sepadan dengan dampak yang ditimbulkan di lapangan. Kata dia, proyek-proyek ini lebih menguntungkan korporasi dibandingkan masyarakat. Ia menyinggung proyek PSN dengan dalih swasembada pangan.
“Karena (PSN) hendak menggantikan posisi petani, peternak, petambak garam, nelayan tradisional itu kepada perusahaan-perusahaan skala besar seperti food estate,” katanya.

Dewi menambahkan, semestinya pemerintah mengembangkan potensi ekonomi yang selama ini dikelola masyarakat adat, petani dan nelayan.
“Justru potensi ekonomi terbesar itu ada di tangan masyarakat… bukan di pengusaha atau investor-investor yang selama ini terus diberikan privilege dan beragam keistimewaan,” katanya.
Saluran buntu
Kembali ke rumah Vincen di Distrik Jagebob, Papua Selatan.
Topi rimba sudah melingkar di kepala, dan tas kecil menggantung di pundak kanan, Vincen bersiap bertemu dengan masyarakat terdampak PSN dari daerah lain di Kota Merauke. Ini merupakan pertemuan langka di mana mereka bisa berbagi cerita dari daerahnya masing-masing dalam satu wadah.
Kegiatan yang disokong Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menghadirkan masyarakat terdampak proyek food estate Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Keerom-Papua, Merauke dan Mappi, Papua Selatan; proyek Rempang Eco City di Kepulauan Riau; proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur; proyek geothermal Poco Leok di Nusa Tenggara Timur.
Ada juga warga dari Jambi yang terdampak industri ekstraktif Hutan Tanaman Energi dan bioenergi; berbagai proyek PSN di Fakfak dan Teluk Bintuni, Papua Barat, serta ekspansi perkebunan sawit di seluruh tanah Papua.

Bersama masyarakat terdampak PSN lainnya, Vincen duduk melingkar. Di antaranya Ketua Adat Suku Sebalik, Sibukdin yang rumahnya berada di kawasan inti Ibu Kota Nusantara (IKN).
Pria 60 tahun mengatakan sampai hari ini pembangunan IKN masih berlangsung dan berdampak dengan kediamannya di Kecamatan Sepaku. Beberapa titik di wilayah ini sudah langganan banjir, tapi sejak adanya IKN air surut lebih lama.
“Kalau banjir sebelum IKN juga ada, tapi banjir itu dulunya kalau sekali banjir 2-3 jam sudah turun air. Sekarang air itu mengendap sampai sebulan-dua bulan baru bisa keluar,” kata Sibukdin.
Ia meyakini hal ini karena bangunan pengambil air (intake) Sepaku menahan laju air genangan sampai ke sungai.
Intake Sepaku dibangun dengan lebar 117 meter dan tinggi hampir tiga meter sebagai penunjang pasokan air bersih IKN. Bangunan ini diklaim memiliki kapasitas 3.000 liter per detik.
“[Pohon] mati semua gara-gara air tergenang. Langsat, durian, lei, apalagi ini melinjo pokoknya tanaman itu mati yang tidak tahan dalam air,” lanjut Sibukdin.

Ia juga mengeluhkan saat musim panas datang, debu pembangunan IKN “bisa masuk ke dalam rumah sampai ke tempat tidur”.
Dari persoalan IKN di Kalimantan Timur, ada pula Sireta Siregar, petani asal Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasudungan (Humbahas), Sumatra Utara yang tanah adatnya ditargetkan menjadi lumbung pangan alias Food Estate.
Lima tahun lalu, keluarga Sireta kegirangan karena memperoleh sertifikat tanah. Tapi belakangan ia baru menyadari, sertifikat itu bersyarat. Dituliskan, tanah adatnya hanya “untuk kegiatan Food Estate dan tak bisa dialihfungsikan”. Tanah yang diolah turun temurun itu dikunci.
Baca juga:

Dalam satu uji coba Food Estate, keluarga Serita harus utang buat mengolah lahan, bayar pekerja dan perawatan. Tapi hasilnya, gagal panen. Ia meyakini bibit tanaman yang diberikan tidak cocok dengan tanahnya.
Sekarang, ia harus memutar otak agar cicilan utang sebesar Rp80 juta bisa lunas, termasuk menyewakan tanah adatnya kepada perusahaan untuk dikelola menjadi Food Estate.
“Setiap pagi kami harus ke mana-mana, kami nyari uang untuk menutupi angsuran,” kata Serita sambil menambahkan, ia bukan satu-satunya warga Ria-Ria yang terdampak proyek Food Estate.

Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Per Juni 2023, Kementerian Pertanian menyatakan total akumulasi luas tanam Food Estate di Kabupaten Humbahas baru mencapai 482,84 hektare. Targetnya, pada 2024 sudah ada 1.000 hektare area penanaman di Humbahas.
Dalam pertemuan ini, BBC News Indonesia juga mendengarkan cerita warga-warga terdampak PSN yang sudah berupaya mengadukan persoalan ke korporasi, pemerintah daerah, DPRD, pemerintah pusat dan lembaga terkait.
Pengaduan ini dilakukan secara formal atau informal maupun melalui aksi demonstrasi. Namun mereka menemui jalan buntu, karena tidak ada tindak lanjut.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengatakan kegiatan ini dirancang agar korban PSN dari masing-masing wilayah bisa saling berbagi cerita, termasuk pengalaman advokasi.
Menurutnya, menghadapi pelanggaran HAM dalam PSN tak bisa “dilakukan sendiri-sendiri” tapi dengan “solidaritas bersama”.
“Harus dilakukan dengan solidaritas yang luas baik oleh aktivisnya, gerakan sosial maupun masyarakat adat, ataupun juga rakyat yang terdampak dari proyek strategis nasional,” jelas Angki–sapaan Franky Samperante.
Masyarakat adat deklarasi tolak PSN
Percakapan dramatis antarwarga terdampak PSN pelan-pelan berubah nuansa menjadi semangat penolakan pada proyek pemerintah pusat.
Mereka yang senasib mengaku akan berjuang bersama-sama apa yang mereka sebut “kalau saudara saya di tanah sebelah ini dicubit sakit, pasti saya juga sakit”.
Di penghujung pertemuan bertajuk “Konsolidasi Solidaritas Merauke”, sekitar 250 korban PSN beserta kelompok masyarakat sipil ini menyatakan sikap.
“Kami menuntut penghentian total Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat.”
“Pelaku kejahatan-negara-korporasi wajib mengembalikan semua kekayaan rakyat yang dicuri dan segera memulihkan kesehatan dan ruang hidup rakyat di seluruh wilayah yang dikorbankan atas nama kepentingan nasional,” tulis pertanyaan deklarasi tersebut.

Dalam kegiatan yang berlangsung 11-14 Maret di Kota Merauke, kelompok solidaritas, termasuk Vincen Kwipalo dipertemukan dengan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto Sipin.
Vincen bicara langsung kepada Mugiyanto tentang konflik lahan yang terjadi di kampungnya.
Kata dia, saat ini tatanan sosial di kampungnya berantakan seiring masuknya proyek kebun tebu berbalut PSN. Ia meyakini perseteruan yang terjadi antarmarga karena ia menolak melepas hutan adatnya.
“Bapak bisa jamin keselamatan saya kalau saya dibunuh di hutan? Pemerintah dia tidak tahu. Jangankan pemerintah pusat, pemerintah daerah saja di sini dia tidak lihat bahwa masyarakat ini mau baku bunuh,” kata Vincen, sambil menambahkan “Mereka adu domba kan kami”.
Di hadapan Mugiyanto dan media, Vincen juga menyampaikan pesan kepada Presiden Prabowo. “Hari ini bapak presiden melihat pembangunan tapi bapak presiden tidak melihat bahwa kami masyarakat adat ini mau baku bunuh… ke mana lagi kami harus cari perlindungan hukum?”

Mugiyanto menempatkan penolakan terhadap PSN ini “sebagai masukan, sebagai kritik” kepada pemerintah. Ia berjanji akan menyampaikannya pesan ini kepada Menteri HAM, Natalius Pigai.
“Kemudian sampai pada kesimpulan menolak PSN itu, kami dengarkan. Kami akan sampaikan nanti ke pak menteri. Tetapi untuk lebih dari itu, misalnya untuk menghentikan PSN, saya pikir kami Kementerian HAM belum bisa mengambil sikap itu,” kata Mugiyanto.
Ia juga menjelaskan Kementerian HAM memiliki peran “cukup strategis” memastikan program-program pemerintah, termasuk PSN ke depannya “bisa menghindari dari pelanggaran HAM”.

Pejabat di lingkungan Pemprov Papua Selatan, Agustinus Joko Guritno mengakui adanya keterlibatan aparat keamanan dalam pembukaan lahan di Merauke. Kata dia, keterlibatan TNI-Polri guna “melindungi masyarakat”, meskipun menurut tokoh agama di Merauke kehadiran tentara justru merupakan teror bagi masyarakat.
“Tidak boleh TNI yang terlibat di dalamnya itu melakukan kekerasan kepada masyarakat itu dilarang, sangat dilarang,” kata Joko.
Joko akan melaporkan sikap masyarakat kepada gubernur dan wakil gubernur “Supaya hal ini akan menjadi tanggapan beliau dan mungkin menjadi kebijakan selanjutnya”.

Ketua Komnas HAM, Atnike Sigiro mengatakan telah menerima 114 aduan terkait PSN yang diduga melanggar HAM sepanjang 2020–2023. Ia mengaku telah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada kementerian dan lembaga terkait.
“Pada kenyataannya rekomendasi Komnas HAM tidak selalu diikuti, tetapi sangat penting untuk membuat rekomendasi. Sebab kalau tidak, kami tidak melanjutkan apa yang menjadi keluhan masyarakat kepada pemerintah atau kepada pihak yang bertanggung jawab,” kata Atnike Sigiro yang ikut terlibat dalam dialog ini.
Peringatan ‘bom waktu’
Peneliti senior Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Cahyo Pamungkas, mendorong pemerintah mengevaluasi proyek PSN yang sudah berjalan dan sedang dirancang.
Sejauh ini ia melihat terdapat kendali terlalu besar dari pemerintah dan perusahaan terhadap tanah milik masyarakat yang digunakan untuk PSN, tanpa partisipasi bermakna. Ia mengatakan jika kondisinya dibiarkan terus menerus akan ada “bom waktu meledak di masa depan”.
“Lalu ini dibiarkan justru itu akan terjadi kekacauan bencana sosial-ekologis itu yang akan terjadi di masa depan. Tidak hanya di Merauke, tapi juga ada di Rempang, ada di Sumatra Utara, ada lagi di NTT,” kata Cahyo.

Bencana ekologis dan sosial yang dimaksud adalah kerusakan lingkungan, banjir, kekeringan, kemudian kehilangan pangan masyarakat adat dan konflik antarwarga.
“Dan juga tidak menutup kemungkinan konflik vertikal juga. Apalagi di Papua. PSN itu ikut memperburuk konflik vertikal yang sudah ada antara Papua dan Jakarta,” tambah Cahyo.
Kembali lagi kepada Vincen Kwipalo. Ia menyadari, pertemuan ini bukan akhir dari perjuangan mempertahankan hutan adatnya untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan anak dan cucunya kelak.
Lebih dari itu, suara-suara di pedalaman juga memahami hutan Papua berkontribusi sebagai paru-paru dunia.
“Mereka bilang harus menyelamatkan karena kita manusia salah satunya oksigen dunia ini Papua… sampai kapan pun saya bicara tanah, tidak boleh jatuh,” jelas Vincen.