Sejumlah remaja dituduh memperkosa siswi SMA di Jawa Tengah, polisi dituding lamban

Sumber gambar, Wikimedia Commons
Polres Grobogan, Jawa Tengah, menetapkan empat remaja pria sebagai tersangka atas kasus dugaan pemerkosaan siswi SMA berinisial NT. Penetapan ini dilakukan pada Februari lalu, tiga bulan sejak pertama kali dilaporkan. Pengacara korban menyebut kepolisian bertindak lamban dan tidak profesional.
Kasatreskrim Polres Grobogan, AKP Agung Joko Haryono, mengatakan keempat tersangka yakni R (16), A (16), P (15) dan N (16), merupakan warga Kabupaten Pati. Tiga dari empat tersangka adalah teman satu sekolah korban di Grobogan.
Menurut Agung, saat ini berkas-berkas kasus tersebut sudah dilimpahkan dari Unit PPA Satreskrim Polres Grobogan ke Kejaksaan Negeri Grobogan.
“Kasusnya sudah kita limpahkan ke Kejaksaan dan sekarang proses pemenuhan petunjuk dari jaksa atau P19,” ujar Agung sebagaimana dilaporkan Nugroho Dwi Putranto, wartawan di Jawa Tengah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Bagaimana kronologi kasus ini?
NT, siswi SMA di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah diperkosa beramai-ramai di salah satu kamar hotel di Purwodadi pada pertengahan Oktober 2024 lalu, menurut Endang Kusumawati selaku kuasa hukum korban.
“Pelakunya diduga ada enam orang. Usia para pelaku sekitar 15-16 tahunan dan semuanya warga Pati,” kata Endang Kusumawati.
Pada suatu siang bulan Oktober 2024, menurut Endang, korban diajak bertemu oleh R (16) salah seorang terduga pelaku yang sudah lama mengenalnya. Korban selanjutnya dijemput dengan mengendarai sepeda motor.
Kata Endang, korban hendak ditraktir makan. Namun belakangan korban justru dipaksa masuk ke kamar hotel yang sudah disewa R. Beberapa saat kemudian pelaku lainnya mulai berdatangan.
“Nah, di kamar hotel itu korban dicekoki minuman keras yang diduga sudah dicampuri obat tidur,” ujar Endang.
Korban, sebagaimana dipaparkan Endang, sudah tak berdaya akibat pengaruh miras dan diperkosa para pelaku. Perbuatan itu, kata Endang, bahkan direkam beberapa pelaku menggunakan kamera smartphone.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Menjelang subuh, korban yang syok dan kesakitan diantarkan pulang oleh terduga pelaku, menurut Endang.
“Korban diancam akan dibunuh jika melaporkan,” ungkap Endang.
Kasus ini mencuat setelah video kejadian itu sengaja direkam para terduga pelaku itu disebarluaskan melalui aplikasi WhatsApp.
“Kakak korban yang mengetahui itu kemudian mencecar korban lalu korban mengakuinya,” kata Endang.
Endang menuturkan, kasus itu sudah dilaporkan secara resmi ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Grobogan pada 18 November. Korban pun saat ini memutuskan untuk berhenti sekolah.
Mengapa para tersangka tidak ditahan?

Sumber gambar, Wikimedia Commons
Endang Kusumawati menyebut polisi yang menangani kasus yang menimpa kliennya itu kurang profesional dan lamban. Penetapan tersangka baru dirilis pada Februari 2025, padahal kasus secara resmi dilaporkan pada November 2024.
Selain itu, Endang juga mengaku kurang puas lantaran hanya empat orang yang ditetapkan tersangka. Padahal ada enam remaja pria yang dilaporkan ikut terlibat. Dua orang lainnya dinyatakan polisi tidak terbukti bersalah.
Tak hanya itu, Endang dan keluarga korban juga kecewa lantaran para tersangka tidak ditahan dengan pertimbangan status masih di bawah umur.
Padahal, menurut Endang, kasus pidana yang melibatkan anak-anak di atas 14 tahun bisa diproses hukum sebagaimana diatur dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dengan kata lain, penahanan terhadap empat tersangka masih bisa dilakukan.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Kasatreskrim Polres Grobogan, AKP Agung Joko Haryono, membantah tuduhan pengacara korban yang menyebut polisi lamban dan tidak profesional.
Kata Agung, keempat tersangka tidak ditahan dengan pertimbangan masih di bawah umur, bersikap kooperatif, tidak mengulangi pidana, dan ada penjaminan dari kuasa hukum, pemerintah desa, serta keluarga.
“Jadi anak berhadapan hukum sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 32, yaitu anak tidak boleh ditahan apabila memperoleh jaminan dari orang tua,” kata Agung.
Proses penetapan keempat tersangka yang memakan waktu tiga bulan, menurut Agung, sebagai hal yang lumrah. Ia pun menepis anggapan bahwa penanganan perkara berjalan lamban.
Sebab, sebelum melangkah Unit PPA Satreskrim Polres Grobogan harus bersurat terlebih dulu ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Anak, lembaga yang bertugas melindungi hak asasi anak-anak yang berlokasi di Kabupaten Pati.
Selanjutnya, Bapas Anak akan melakukan penelitian apakah perkara kekerasan seksual terhadap anak tersebut bersinyal hijau untuk dilanjutkan.
“Jadi selama ini tidak ada kendala karena kita cukup banyak memeriksa saksi dan harus berkoordinasi juga dengan Bapas Anak. Kita juga periksa psikologis korban, jadi butuh waktu,” kata Agung.
Lantas mengapa hanya empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka?
Merujuk penyidikan dan penyelidikan, menurut Agung, dua terlapor lainnya tidak memenuhi unsur pidana untuk ditersangkakan.
Penetapan keempat tersangka ini, kata Agung, sudah berdasarkan alat bukti sesuai pasal 184 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada keterangan saksi, ahli dan petunjuk.
“Jadi dua anak ini datang setelah selesai tindak pidananya. Jadi memang terlambat, datang pas perbuatan itu selesai,” kata Agung.
Tersangka dijerat pasal Pasal 81 ayat 1, subsider Pasal 82 ayat 1 sesuai Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun,” kata Agung.
Pengacara tersangka minta keringanan hukuman
Kuasa hukum tersangka, Rustiyono, mengatakan, keempat kliennya berstatus remaja pria di bawah umur.
Sehingga, kata dia, berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) masih bisa dilakukan upaya permohonan penangguhan penahanan ke Unit PPA Satreskrim Polres Grobogan.
“Kami selaku kuasa hukum, pada saat mau dilakukan penahanan, kami mengajukan permohonan untuk tidak ditahan. Pertimbangan kami karena tersangka kooperatif dan masih di bawah umur,” kata Rustiyono.
Rustiyono pun menyebut penangguhan penahanan keempat kliennya itu juga dilengkapi dengan jaminan yang ditentukan dalam hukum.
“Penjaminan dari orang tua, kepala desa dan kuasa hukum. Dengan catatan sewaktu-waktu apabila mereka diperlukan untuk dimintai keterangan mereka hadir. Alhamdulillah sampai sekarang dari empat tersangka tetap kooperatif,” ungkap Rustiyono.
Rustiyono pun berharap ada keringanan hukuman terhadap keempat kliennya itu menyusul sudah ada surat pernyataan mediasi dengan korban. Beberapa pekan lalu, kata Rustiyono, kedua belah pihak sepakat berdamai bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
“Nah berawal dari itulah tentunya kami sangat berharap ada keringanan hukuman dan terlebih lagi karena mereka masih anak-anak nanti tentunya peradilan anak yang memutuskan. Tentunya majelis hakim dapat secara arif dan bijaksana dalam menjatuhkan putusan,” kata Rustiyono.
Endang Kusumawati selaku kuasa hukum korban menepis permintaan keringanan hukuman bagi para tersangka.
Menurutnya, korban sempat mengalami trauma berat hingga beberapa kali menerima pendampingan psikis pascapemerkosaan.
Apalagi, kejadian itu sengaja direkam para terduga pelaku dan disebarluaskan melalui aplikasi WhatsApp.
“Korban ketakutan dan syok dibully akibat videonya tersebar. Korban juga memilih putus sekolah,” kata Endang.