KUBET – Calon mahasiswa baru keluhkan UKT – ‘Kalau nilai UKT besar, saya lepas kuliah’

Calon mahasiswa baru keluhkan UKT – ‘Kalau nilai UKT besar, saya lepas kuliah’

Foto ilustrasi protes UKT.

Sumber gambar, Anang Firmansyah/detikJateng

Keterangan gambar, Foto ilustrasi protes UKT.

Sejumlah calon mahasiswa perguruan tinggi negeri mengeluhkan uang kuliah tunggal (UKT) yang dianggap melebihi kemampuan finansial mereka. Pihak kampus dinilai tak menerapkan sistem verifikasi langsung untuk memastikan kondisi riil para calon mahasiswa.

Seorang calon mahasiswa mengeluhkan perihal biaya UKT yang dipatok untuknya. Menurutnya, sistem kampus luput memperhatikan kondisi nyata dirinya, yang menggantungkan hidup dari seorang ibu bergaji Rp1 juta.

“Karena sistem yang menilai, bukan dosen atau ada orang [yang menilai]”, kata Qia, calon mahasiswi yang mendaftar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

“Jujur merasa sedih karena saya sendiri udah punya pikiran kalau misalnya dapat di angka [UKT] yang besar saya bakal lepasin [kuliah],” tambahnya.

Kelompok mahasiswa lintas perguruan tinggi yang mengadvokasi isu biaya perkuliahan menyoroti lemahnya sistem penentuan UKT yang tak memeriksa secara langsung kondisi mahasiswa.

“Dari kampus enggak ada survei langsung secara konkret,” kata Ananda Eka dari Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS).

UKT, protes

Sumber gambar, Detikcom/Raphaella Siallagan

Keterangan gambar, Aksi unjuk rasa mahasiwa USU tolak kenaikan UKT.

Pihak kampus mengatakan bahwa sistem akan secara otomatis mematok UKT tertinggi bagi seseorang yang tak mengisi data-datanya secara lengkap.

“Mereka tidak tuntas menyelesaikan pengisian sehingga kami tidak punya data valid. Akhirnya kami penalti dengan menggunakan datar tertinggi,” kata Direktur Akademik Universitas Negeri Jakarta, Agung Premono.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Togar Simatupang, mengatakan belum bersedia menjawab perihal UKT.

“Saya masih konsen dengan kegiatan lain,” kata Togar.

‘UKT tinggi, gaji bapak Rp1 juta’

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Keluhan soal UKT mengemuka di media sosial setidaknya sejak UKT mahasiswa diumumkan pada pertengahan Juni 2025, atau sekitar 2-3 bulan sebelum masa perkuliahan semester baru 2025 berlangsung.

UKT sendiri merupakan biaya yang dikenakan kampus negeri untuk para mahasiswa. Hal ini dilandasi oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).

Penentuan biaya UKT ini dilakukan dengan pengumpulan sejumlah data, seperti slip gaji orang tua mahasiswa, termasuk data tempat tinggal dan Pajak Bumi Bangunan yang dibayarkan pembiaya peserta didik.

Data dikirimkan ke sistem untuk diproses sehingga muncul nilai biaya yang perlu dibayar para mahasiswa.

Di media sosial, warganet ramai mengemukakan keresahan perihal nilai UKT yang diterapkan kepada mereka. Seorang warganet menulis di X mengenai UKT sebesar Rp2 juta ketika orang tuanya mengidap penyakit kanker.

Ada pula warganet mengeluh mengenai UKT yang menurutnya tinggi. Padahal gaji ayahnya tidak sampai Rp1 juta. Cuitan di akun X ini disukai lebih dari 60.000 kali.

‘Sistem menganggap saya bisa membayar UKT’

Salah satu calon mahasiswa yang mempertanyakan biaya UKT ini adalah Qia.

Qia lolos seleksi masuk Universitas Negeri Jakarta melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT).

Qia mempertanyakan perihal perhitungan UKT sebesar Rp6,4 juta yang ditetapkan kepada dirinya untuk bisa belajar di program Pendidikan Guru PAUD. Nilai Rp6,4 juta termasuk kelompok VIII yang membayar dengan nilai tertinggi untuk program tersebut.

Baca juga:

Kepada BBC News Indonesia, Qia bercerita bahwa ia mengumpulkan sejumlah dokumen seperti Kartu Keluarga, slip gaji kedua orangnya, dan data tempat tinggal sebagai kelengkapan proses perhitungan UKT.

Qia menjelaskan pendapatan sang ayah sebesar Rp2,5 juta, sedangkan pendapatan sang ibu sebesar Rp1 juta. Keduanya adalah guru.

Masalahnya, sejak kedua orang tuanya bercerai, pencari nafkah utamanya adalah sang ibu.

“Karena kedua orang tua saya sudah pisah, jadi kan masing-masing cari uang. Tapi karena saya tinggal di ibu, jadi ibu yang cari nafkah,” kata Qia kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Sabtu (14/06)

“Sebenarnya ayah juga ngasih [nafkah], tapi karena ada kebutuhannya dari adikku [tiri] sendiri, jadinya enggak sebanyak itu ngasihnya, cuma bisa sedikit aja,” tambahnya.

Qia baru mengetahui bahwa patokan nilai UKT ditetapkan murni oleh sistem teknologi informasi (IT).

“Karena sistem yang menilai [kemampuan membayar], bukan dosen atau ada orang [yang menilai]”, kata Qia.

UKT

Sumber gambar, Universitas Negeri Jakarta

Keterangan gambar, Ujian SNBT untuk proses masuk Universitas Negeri Jakarta.

Qia juga menyebut pihak kampus tak benar-benar memperhatikan data tempat tinggal, yang ia kumpulkan sebagai faktor penentu UKT. Qia mengungkap dirinya tinggal di kontrakan berukuran 3×3 meter bersama ibunya.

“Sistem menganggapnya saya mampu untuk bayar UKT segitu karena saya mampu membayar biaya sewa [kontrakan],” kata Qia.

“Tidak dilihat kondisi kontrakannya seperti apa, kondisi jelasnya seperti apa, atau biaya sewanya seperti apa,” kata Qia.

Qia semula berharap bantuan dari program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) untuk membantunya berkuliah. Namun, ia memperoleh berita bahwa ia gagal mendapat KIPK.

Terbersit di benak Qia untuk melepaskan kesempatan berkuliah di UNJ.

“Jujur merasa sedih karena saya sendiri udah punya pikiran kalau misalnya dapet di angka [UKT] yang besar saya bakal lepasin [kuliah],” kata Qia.

‘Saya bakal coba banding’

Nana, mahasiswa baru yang lolos seleksi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Yogyakarta melalui jalur prestasi, juga mempertanyakan nilai UKT yang ditetapkan untuknya.

“Habis upload berkas-berkas yang diperlukan, pihak kampus bakal menyeleksi. Nunggu sekitar lima hari baru keluar UKT-nya. UKT yang pertama kali saya dapat itu golongan V, sebesar Rp6,9 juta. Saya sebenarnya berharap UKT-nya paling enggak Rp2 juta ke Rp4 juta,” katanya kepada wartawan Nindias Ajeng yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (15/06).

Baca juga:

Nana mengatakan orang tuanya berharap nominal UKT anaknya pada kisaran Rp4 juta. Meski ada subsidi sebesar 25%, orang tua Nana masih merasa berat.

“Gaji papa saya itu sekitar Rp5 juta-Rp6 juta per bulan. Saya domisili di Palembang, jadi biaya kos nanti enggak mungkin sedikit ya. Kira-kira biaya indekos dan biaya makan serta transportasi motor itu Rp3,5 juta per bulan,” ujarnya.

Nana menjelaskan ayahnya juga menanggung saudaranya yang masih sekolah SMP. Adapun sang ibu tidak bekerja.

UKT

Sumber gambar, RRI/BEM Universitas Soedirman

Keterangan gambar, Mahasiswa Universitas Soedirman Purwokerto menggelar aksi memprotes kenaikan biaya UKT bagi maba di depan Gedung Rektorat, April 2024.

Karena itu, ia mengajukan keringanan UKT ke pihak kampus. Nana lalu menyiapkan berkas yang dibutuhkan dan menjalani wawancara.

Akan tetapi, pengajuannya ditolak sehingga ia tetap harus membayar Rp6,9 juta. Meski begitu, katanya, pihak kampus mengadakan survei tentang kepuasan UKT pada mahasiswa yang masuk melalui jalur prestasi.

Nana pun berencana mencari beasiswa saat kuliah untuk menambah uang pemberian orang tuanya. Ia juga berniat mengajukan keringanan UKT ke pihak kampus di semester depan.

“Seandainya dapat UKT masih sama kayak begini saya bakal coba aju banding,” katanya

“Kata kakak tingkat aju banding bisa tiap semester. Karena sebenarnya baru tahun ini kata kakak tingkat dari kampus saya UKT-nya lumayan dikasihnya yang gede,” ujarnya.

“Tahun lalu, rata-rata yang perantau dapat UKT-nya enggak gede, masih normal dibanding kampus lain. Misalkan mau aju banding masih mudah,” terangnya.

‘Tak ada survei langsung’

Ananda Eka dari APATIS menyoroti praktik kampus yang selama ini hanya berpegang pada data yang dikumpulkan mahasiswa ke sistem IT sebagai bahan penentuan UKT.

“Dari kampus enggak ada survei langsung secara konkret,” kata Eka.

Eka mengatakan kampus luput memperhatikan secara detail perihal kemampuan finansial peserta didik.

Ia mengungkap bahwa meski para orang tua tergolong berpenghasilan cukup, namun belum tentu mereka menjadi penyokong utama para mahasiswa.

“Banyak juga mahasiswa yang emang penghasilan orang tuanya besar. Cuma ternyata dia disuruh membiayai kuliahnya sendiri, entah karena orang tuanya yang divorce, atau ternyata di pertengahan itu ada permasalahan keluarga lah yang memang [membuat] enggak bisa diajukan banding penurunan UKT,” tambahnya.

Di sisi lain, Eka juga berpendapat selama ini kampus tak transparan mengenai indikator yang digunakan untuk landasan penentuan UKT.

Eka berharap kampus bisa membenahi sistem penilaian UKT ini dengan mengirimkan verifikator ke lapangan agar data yang diperoleh mengenai para mahasiswa bisa tepat sasaran.

“Turun langsung ke lapangan. Jadi, pengambilan datanya itu enggak cuma dari by-system aja,” tukas Eka.

Apa penjelasan pihak kampus perihal keluhan UKT ini?

Direktur Akademik UNJ, Agung Premono, menjelaskan bahwa para mahasiswa kerap kali tak mengisi data mengenai dirinya secara lengkap sehingga sistem mematok mereka dengan biaya UKT tertinggi.

Ia mencontohkan salah satu hal yang biasa terjadi adalah saat para mahasiswa atau calon mahasiswa mencantumkan nilai nol pada bagian pengisian gaji orang tua.

“Penghasilan nol, tapi dia bisa ngontrak. Artinya sebetulnya kan tidak nol kan?” kata Agung kepada BBC News Indonesia.

“Mereka tidak tuntas menyelesaikan pengisian sehingga kami tidak punya data valid. Akhirnya kami penalti dengan menggunakan datar tertinggi,” kata Agung Premono.

Meski begitu, Agung mengeklaim sedianya kampus tetap terbuka bagi upaya revisi.

“Bisa mengonfirmasi secara langsung datang ke UNJ, datang aja atau mengatakan permohonan untuk mengoreksi data,” tukas Agung.

Agung mengeklaim pihaknya menjamin bahwa tak ada calon mahasiswa yang sudah lolos seleksi gagal berkuliah karena terganjal masalah finansial.

“Semua masyarakat yang sudah diterima lulus pasti bisa kuliah,” kata Agung.

Apa kata pemerintah perihal keluhan biaya UKT ini?

Ketika ditanya perihal keluhan UKT ini, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Togar Simatupang enggan berkomentar.

“Saya masih konsen dengan kegiatan lain,” kata Togar kepada BBC News Indonesia.

Meski begitu, kala polemik kenaikan UKT mengemuka pada 2024, pihak kementerian meminta agar perguruan tinggi tetap “mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua, atau pihak lain yang membiayai”.

Wartawan Nindias Ajeng di Yogyakarta berkontribusi untuk laporan ini

Tinggalkan Balasan