KUBET – Dari ukuran celana sampai ‘stetoskop tidak ilmiah’ – Apa saja pernyataan dan kebijakan kontroversial Menkes Budi Gunadi?

Dari ukuran celana sampai ‘stetoskop tidak ilmiah’ – Apa saja pernyataan dan kebijakan kontroversial Menkes Budi Gunadi?

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/04).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/04).

Sejumlah pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memicu reaksi dan perdebatan. Bahkan, menurut ketua Ikatan Dokter Indonesia, pernyataan-pernyataan menkes tergolong “berbahaya”.

Apakah karena itu sejumlah guru besar di bidang kedokteran dari berbagai kampus di Indonesia serentak menggelar protes dan seruan?

Berikut sejumlah pernyataan dan kebijakan Menkes Budi yang kontroversial.

Apa saja pernyataan Menkes Budi yang kontroversial?

Dalam sebuah acara peluncuran layanan kesehatan di Jakarta Pusat, pada Rabu (14/05), Menkes Budi menyampaikan bahwa pria dengan ukuran celana jeans di atas 32-33 cenderung mengalami obesitas dan berisiko lebih cepat meninggal dunia.

” Ukurannya berapa celana jeans? 34-33 sudah pasti obesitas. Itu menghadap Allah-nya lebih cepat dibandingkan yang celana jeansnya 32,” kata Budi.

Setelah perkataan itu dilontarkan, Budi berdalih pernyataannya itu bukan untuk mempermalukan tubuh orang atau body shaming, melainkan sebagai peringatan untuk menjaga lingkar pinggang agar terhindar dari risiko penyakit kronis.

Namun, dalih itu ditepis Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Slamet Budiarto

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

“Dia [Menkes] menghitung BMI berdasarkan tinggi badan. Kalau dia tingginya 200 [cm] ukuran celananya juga mungkin di atas 35 kan? Itu hanya salah satu faktor. Masih puluhan faktor lain yang menentukan sehat dan tidak,” kata Slamet.

Dalam acara lainnya, tiga hari kemudian, Menkes Budi menyatakan bahwa orang yang memiliki gaji Rp15 juta per bulan pasti lebih sehat dan pintar, dibandingkan dengan yang bergaji Rp5 juta.

“Apa sih bedanya orang yang gajinya Rp 15 juta sama Rp 5 juta? Cuma dua, satu, pasti lebih sehat dan lebih pintar. Kalau dia enggak sehat dan enggak pintar, enggak mungkin gajinya Rp 15 juta, pasti Rp 5 juta,” kata Budi.

Pernyataan ini lagi-lagi, menurut Slamet Budiarto, tidak tepat. Faktanya, kata dia banyak orang di desa yang pendapatannya di bawah Rp5 juta tapi bisa hidup hingga usia tua dalam kondisi sehat.

Saat silaturahmi Lebaran ke kediaman Presiden ke-7 Joko Widodo (11/04), Menkes Budi juga menyebut Jokowi masih sebagai bosnya.

“Silaturahmi karena Pak Jokowi kan bosnya saya,” katanya.

Padahal saat itu dia adalah menteri kesehatan di bawah Presiden Prabowo Subianto.

Pada bulan yang sama, Budi mengusulkan agar tukang gigi diperbolehkan praktik di puskesmas. Namun belakangan, pernyataan ini diralat.

“Pernyataan Menkes yang akan mendidik tukang gigi agar bisa ditingkatkan skill-nya, merupakan kesalahan istilah. Yang beliau maksud adalah terapis gigi dan mulut yang memiliki pendidikan formal.

“Jadi jelas, Menkes tidak akan meningkatkan skill tukang gigi,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Aji Muhawarman seperti diberitakan kantor berita Antara pada 16 April 2025.

Tahun 2024, Budi juga jadi perbincangan di media sosial lantaran dalam sebuah acara mengenai kecerdasan buatan dia menyebut “penggunaan stetoskop oleh dokter jantung itu tidak ilmiah”.

Pernyataan itu diklarifikasi di akun Instragram pribadinya. Kata dia, “stetoskop akan tetap diperlukan oleh dokter dong saat pemeriksaan. Namun, alangkah lebih baik ditunjang dengan pemeriksaan canggih lainnya seperti EKG / Echocardiography / CT-scan jantung bahkan Polygenic Testing.”

Ketua IDI Slamet Budiarto menilai kalimat Menkes Budi tidak tepat. Menurut Slamet, di AS saja para dokter masih menggunakan stetoskop.

“Menurut saya ini sangat berbahaya, menteri kesehatan [berkata] seperti ini,” tutupnya.

Petugas kesehatan mengukur tinggi badan warga saat cek kesehatan gratis di Kota Serang, Banten, Kamis (15/05).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Petugas kesehatan mengukur tinggi badan warga saat cek kesehatan gratis di Kota Serang, Banten, Kamis (15/05). Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan program cek kesehatan gratis (CKG) yang diluncurkan pemerintah sejak Februari 2025 telah mencatatkan jumlah peserta mencapai 5,3 juta orang, dan per harinya sudah mencapai di atas 187 ribu orang yang dilayani.

Perkataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin lainnya adalah dia ingin para dokter umum, utamanya di kawasan tertinggal, terdepan dan terluar, untuk dilatih untuk melakukan bedah sesar dan diberi aturan hukumnya.

Namun, kata Ketua IDI Slamet Budiarto itu hal yang tidak tepat. Faktanya kalau menurut IDI, katanya, jumlah dokter kandungan di seluruh Indonesia sudah cukup banyak, “tapi tidak terdistribusi dengan baik.”

Sementara itu Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menilai pernyataan menteri kesehatan terlalu teknis dan tidak lengkap sehingga jadi bumerang—meski berniat baik dan bisa dianggap sebagai upaya penyadaran mengenai gaya hidup sehat.

“Kelemahan di dalam penyampaian informasi oleh Menkes itu lebih kepada narasi substantif yang kadang terlampau teknis. Pejabat negara itu mestinya [fokus] pada hal-hal yang strategis dan juga konseptual. Hindari hal-hal yang terlampau teknis,” paparnya.

Soal independensi kolegium

Kebijakan Menkes Budi yang juga disorot adalah terkait posisi kolegium. Kolegium dalam dunia kedokteran di Indonesia adalah badan otonom yang dibentuk oleh organisasi profesi, misalkan IDI, dan berperan besar dalam penyusunan standar, kurikulum, pengembangan ilmu, uji kompetensi, rekomendasi pengakuan keahlian, serta pembinaan dan koordinasi.

Ada kekhawatiran pemerintah mengintervensi lembaga ini. Menurut para guru besar, kolegium kedokteran harus dijaga independensinya untuk melindungi mutu dan kompetensi profesi.

Kementerian Kesehatan mengeklaim posisi badan ini justru lebih independen dibandingkan sebelumnya. “Sebelum UU 17/2023 tentang Kesehatan, kolegium berada di bawah organisasi profesi. Kini, kolegium menjadi alat kelengkapan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, kolegium tidak berada di bawah Kementerian Kesehatan.”

Keterangan tertulis Kementerian Kesehatan di atas juga menyebut proses pemilihan anggota kolegium yang ditetapkan pada Oktober 2024 dilakukan secara transparan melalui pemilihan langsung oleh tenaga medis/tenaga kesehatan.

Tapi tidak demikian menurut Ketua IDI Slamet Budiarto. “[Pemerintah] mengambil alih kolegiumnya milik IDI Padahal itu tidak diperintahkan undang-undang. Tapi dia bentuk sendiri. Kalau dokter-dokter yang melawan langsung dimutasi,”

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam mengatakan penunjukan langsung juga terjadi.

“Yang terjadi adalah pemilihan dilangsungkan berdasarkan voting, kemudian ditentukan oleh menteri kesehatan, dan penilaian menteri kesehatan dan jajaran kementerian kesehatan. Bahkan ada satu kolegium itu ditunjuk langsung oleh kementerian kesehatan,” katanya usai deklarasi Salemba Berseru yang disiarkan akun Youtube Fakultas Kedokteran UI.

Pengembangan rumah sakit vertikal

Rumah sakit vertikal adalah rumah sakit yang dikelola langsung oleh Kementerian Kesehatan. Contohnya RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta, RS Kanker Dharmais Jakarta, dan RS Pusat Otak Nasional.

Berbeda dengan rumah sakit umum daerah (RSUD) yang dikelola oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, atau rumah sakit swasta, rumah sakit vertikal memiliki struktur dan rantai komando langsung ke Kemenkes di tingkat pusat.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) melihat data peta sebaran TBC Kelurahan Rambutan saat peluncuran Gerakan Bersama Penguatan Desa dan Kelurahan Siaga Tuberkulosis di Kantor Kelurahan Rambutan, Jakarta Timur, Jumat (09/05).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) melihat data peta sebaran TBC Kelurahan Rambutan saat peluncuran Gerakan Bersama Penguatan Desa dan Kelurahan Siaga Tuberkulosis di Kantor Kelurahan Rambutan, Jakarta Timur, Jumat (09/05).

Di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, peran rumah sakit vertikal menjadi salah satu sorotan, terutama terkait dengan pendidikan dokter spesialis.

Kemenkes berencana untuk memperbanyak rumah sakit vertikal dan menggunakannya sebagai basis utama pendidikan dokter spesialis (PPDS), di luar sistem pendidikan universitas yang selama ini berlaku.

“Reformasi ini bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap layanan kesehatan di seluruh pelosok Indonesia,” tulis pernyataan Kementerian Kesehatan.

Tapi ini juga yang jadi sorotan keprihatinan para guru besar dalam deklarasi Salemba Berseru yang disiarkan akun Youtube Fakultas Kedokteran UI.

“Pendidikan dokter di luar sistem universitas memerlukan kerja sama erat dengan fakultas kedokteran. Tanpa sinergi yang baik, para guru besar khawatir muncul ketimpangan kualitas dokter.”

Menurut mereka pula, “Pemisahan fungsi akademik dan rumah sakit pendidikan dapat mengancam proses pendidikan kedokteran,”

Sementara itu Ketua Umum IDI Slamet Budiarto juga mengkritik rencana pembangunan rumah sakit vertikal yang tidak tepat sasara. “Dia [Menkes Budi] membuat rumah sakit vertikal. Bukannya di tempat-tempat daerah yang terpencil, malah di kota-kota besar. Contoh Surabaya, Palembang, Makassar.”

Cek kesehatan gratis

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan program Cek Kesehatan Gratis yang dikoordinasi dan di bawah tanggung jawab Kementerian Kesehatan.

Semenjak diluncurkan 1,5 juta orang sudah melakukan pemeriksaan melalui program ini kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono seperti dikutip dari laman Tempo.co.

Pemeriksaan tak terikat waktu, “Tidak berulang tahun pun boleh periksa. Yang penting satu puskesmas kuotanya 30 orang per hari,” kata dia.

Peserta bakti sosial operasi katarak mendapatkan pemeriksaan dari dokter muda sebelum menjalani operasi di RSUD Raden Mattaher, Jambi, Sabtu (24/05).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Peserta bakti sosial operasi katarak mendapatkan pemeriksaan dari dokter muda sebelum menjalani operasi di RSUD Raden Mattaher, Jambi, Sabtu (24/05).

CISDI, organisasi nonprofit yang bertujuan memajukan pembangunan sektor kesehatan, menyambut baik dan mendorong agar program ini terus dikembangkan.

Namun, CISDI memberi catatan bahwa program ini perlu ditindaklanjuti dengan tahapan perawatan/sistem rujukan.

” Selain mempersiapkan logistik untuk CKG, pemerintah juga harus memastikan layanan selanjutnya terjamin,” kata Diah Saminarsih Founder dan CEO CISDI dalam jawaban tertulisnya kepada BBC News Indonesia.

Di Indonesia, menurut Diah, ada 10.000 puskesmas, lebih dari 300.000 posyandu, dan lebih dari 70 ribu puskesmas pembantu (pustu).

Itu artinya logistik dan tenaga kesehatan yang dibutuhkan di berbagai fasilitas ini harus lengkap, “agar saat orang datang ke fasilitas kesehatan tingkat pertama tersebut dengan antusiasme dan animo yang tinggi dapat disambut baik dan bisa mengakses pemeriksaan kesehatan gratis,” tutupnya.

Sementara itu Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra melihat kemungkinan lain dari program ini.

Pemeriksaan kesehatan gratis katanya bisa difokuskan pada tiga bidang, “Pencegahan penyakit fokus pada kontrol risiko diabetes, kontrol risiko hipertensi, dan juga bagaimana menangani kesehatan mental yang buruk.”

Pemeriksaan kesehatan mental, katanya belum tercakup dalam paket skrining CKG.

“Kalau kita hanya fokus pada tiga tadi, kita tidak perlu menghabiskan antara 800 ribu sampai 1,5 juta [untuk] pemerikaan sekali [setiap] orang.”

Dengan efisiensi begitu, katanya, cakupan pelayanan CKG bisa diperluas.

Dia memperkirakan paket untuk pemeriksaan paket ini mungkin tidak sampai Rp100.000.

Diprotes kampus-kampus

Sepanjang pekan lalu, sejumlah fakultas kedokteran di Indonesia menggelar sejumlah seruan dan protes yang ditujukan kepada pemerintah dan Kementerian Kesehatan.

Beberapa kampus yang terlibat antara lain Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, Universitas Sebelas Maret, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Gunadarma, seperti yang dirangkum pada laman detik.com.

Beberapa tema protes mereka antara lain mempertanyakan berbagai kebijakan menteri kesehatan yang dianggap mengganggu independensi kolegium dan sistem pendidikan dokter spesialis.

Tapi Kementerian Kesehatan mengatakan berbagai langkah yang diambil merupakan bagian dari upaya mengatasi tantangan mendasar dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia—mulai dari akses, kualitas layanan, hingga pemerataan sumber daya manusia kesehatan yang masih perlu ditingkatkan, seperti yang tertulis dalam keterangan resmi Kemenkes.

Menanggapi protes para guru besar ini, Kemenkes mengatakan, “Reformasi sistem kesehatan yang tengah berlangsung sejak diterbitkannya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dapat menimbulkan perdebatan maupun kesalahpahaman.

“Karena itu, Kemenkes terus membuka ruang dialog dan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak demi mewujudkan sistem kesehatan yang lebih baik.”

Bagaimana peran IDI dalam penyusunan kebijakan?

Berdasarkan catatan IDI, menteri kesehatan kerap kali mengeluarkan kebijakan yang kontroversial yang tidak terlebih dahulu didialogkan.

Kata Ketua Umum IDI, Slamet Budiarto, sikap semacam itu seperti “mengebiri organisasi profesi”.

Sejak 2023, menurut Slamet, IDI tidak lagi dilibatkan dalam berbagai perumusan kebijakan kesehatan. “Dia [Menkes Budi] tidak melibatkan [IDI sebagai] stakeholder. Tidak ada meaningful participation itu.”

Selain IDI, kata Slamet, nasib yang sama juga menimpa organisasi profesi kesehatan yang lain termasuk organisasi bidan dan perawat.

“Padahal undang-undang mewajibkan partisipasi masyarakat yang meaningful [bermakna],” katanya.

Hal ini juga, yang dialamatkan dalam pernyataan para guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang bertajuk ‘Salemba Berseru’ “Kami sangat prihatin karena kebijakan kesehatan nasional saat ini menjauh dari semangat kolaboratif,” tulis seruan itu.

Melalui keterangan tertulisnya, Kementerian Kesehatan mengatakan berbagai proses penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program Kemenkes telah banyak melibatkan dokter-dokter lulusan FKUI, termasuk beberapa ketua kolegium yang juga merupakan alumni FKUI yang aktif berdiskusi dengan Kemenkes.

Tinggalkan Balasan