KUBET – Pakistan klaim tembak jatuh pesawat Rafale milik India – Apakah Indonesia perlu was-was?

Pakistan klaim tembak jatuh pesawat Rafale milik India – Apakah Indonesia perlu was-was?

Parade pesawat tempur milik Angkatan Udara India di New Delhi, Januari 2025.

Sumber gambar, Hindustan Times via Getty Images

Keterangan gambar, Parade pesawat tempur milik Angkatan Udara India di New Delhi, Januari 2025.

  • Penulis, Faisal Irfani
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Pakistan telah menembak jatuh lima pesawat Rafale milik India ketika eskalasi konflik antara kedua negara itu meletus, Rabu (08/05) lalu, klaim Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Muhammad Asif.

Klaim tersebut turut disebarkan media pemerintah China, The Global Times, yang direspons oleh Kedutaan Besar India sebagai disinformasi. Pemerintah India secara resmi tidak membantah maupun membenarkan klaim Pakistan tersebut.

Sementara pejabat di Gedung Putih Amerika Serikat (AS) mengatakan pesawat tempur yang digunakan Pakistan dalam menyerang India berjenis J-10 buatan China. Setidaknya dua pesawat India, kata pejabat ini, dijatuhkan Pakistan.

Perkembangan ini mempunyai keterkaitan dengan Indonesia. Sebab, sama seperti India, Indonesia juga memiliki Rafale yang diproduksi Prancis.

Bahkan, jumlah pesawat Rafale yang akan dimiliki Indonesia mencapai 42 unit.

Apakah keputusan pemerintah Indonesia membeli pesawat Rafale buatan Prancis adalah blunder?

Bendera India di depan bangunan yang rusak di Pakistan, 9 Mei 2025.

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images

Keterangan gambar, Bendera India di depan bangunan yang rusak di Pakistan, 9 Mei 2025.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kementerian Pertahanan guna meminta tanggapan atas keputusan pemerintah Indonesia membeli pesawat Rafale. Hingga artikel ini diterbitkan, mereka belum memberikan balasan.

Indonesia mendatangkan puluhan unit pesawat Rafale

Bagian tajuk rilis pers yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan tertanggal 9 Januari 2024 menyebutkan “TNI AU [Angkatan Udara] Akan Semakin Menggetarkan.”

Kalimat itu menanggapi efektifnya kontrak pengadaan pesawat tempur Rafale tahap ketiga berjumlah 18 unit.

Pada tahap sebelumnya, pesawat yang didatangkan mencapai enam dan 18 unit, masing-masing pada September 2022 serta Agustus 2023.

Totalnya, Indonesia mendatangkan 42 Rafale.

Berdasarkan keterangan TNI AU, pesawat Rafale bakal tiba di Indonesia awal 2026 mendatang.

Presiden Prabowo Subianto bersiap untuk memberikan sambutan pada pembukaan Konferensi ke-19 Uni Parlemen Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam atau Parliamentary Union of the OIC (PUIC) tahun 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/05).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Presiden Prabowo Subianto bersiap untuk memberikan sambutan pada pembukaan Konferensi ke-19 Uni Parlemen Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam atau Parliamentary Union of the OIC (PUIC) tahun 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/05).

Rilis itu turut menyebut komitmen Prabowo Subianto, yang kala itu masih menjadi menteri pertahanan, “kembali terbukti” dalam konteks “memberikan alutsista terbaik bagi TNI” dan “memperkuat pertahanan Indonesia.”

Pemesanan Rafale dapat ditarik ke belakang, tepatnya pada Februari 2022 ketika Prabowo bertemu Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly, di Jakarta.

Pertemuan lalu dilanjutkan penandatanganan kontrak pertama dengan Dassault Aviation, perusahaan pembuat Rafale.

Tidak tanggung-tanggung, nilai kontrak Rafale mencapai US$8,1 miliar—setara Rp116 triliun memakai kurs waktu itu.

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Kementerian Pertahanan menyatakan pemilihan Rafale didasarkan pada kemampuan teknis pesawat tempur ini yang bervariasi; dari pertahanan udara, dukungan jarak dekat, serangan in-depth dan antikapal, hingga pengintaian.

Kemudian, tambah Kementerian Pertahanan, keunggulan lain dari Rafale yakni kepiawaiannya dalam menyesuaikan diri dengan berbagai jenis senjata seperti rudal jarak jauh hingga meriam yang dapat menjatuhkan 2.500 peluru per menit.

Pemesanan puluhan pesawat tempur Rafale seperti datang di momentum yang tepat untuk kedua negara.

Bagi Indonesia, pembelian Rafale menambah daftar penambahan alutsista—alat utama sistem senjata—baru di tubuh TNI.

Sejak ditunjuk Joko Widodo menjadi Menteri Pertahanan pada 2019 silam, Prabowo cukup aktif belanja alutsista. Sebelum membeli Rafale, Prabowo, dua tahun lalu, lebih dulu menandatangani nota kesepahaman komitmen untuk pembelian 24 unit pesawat tempur F-15EX dari AS.

F-15EX diklaim memiliki beberapa nilai plus, di antaranya kemampuan muatan sehingga dapat membawa lebih banyak senjata, sistem radar yang canggih, kecepatan, sampai daya tahan maupun daya operasional yang panjang.

Kementerian Pertahanan menyatakan proses pembelian F-15EX masih berjalan dan sedang menunggu persetujuan dari Kementerian Keuangan maupun pemerintah pusat.

Kemudian, pada Juni 2023, Prabowo mengungkapkan ke publik soal pembelian 12 buah pesawat tempur bekas Angkatan Udara Qatar, Mirage 2000-5. Pembelian ini dimaksudkan sebagai transisi menuju penggunaan pesawat tempur Rafale. Meski bekas, Prabowo menampik bakal berdampak terhadap kualitas yang ditawarkan.

“Bisa kita pakai mungkin, minimal, 15 tahun, 20 tahun lagi, dan teknologinya sudah sangat canggih,” katanya.

Pembelian Mirage pada akhirnya batal disebabkan ruang fiskal yang terbatas.

Pesawat tempur milik TNI AU, jelas Prabowo, sudah berumur tua, dengan masa pakai di atas 30 tahun. Oleh sebab itu, Prabowo ingin melakukan peremajaan di semua pesawat tempur.

Dari penjajakan yang dijalankan Kementerian Pertahanan dengan beberapa negara, Prancis lalu muncul sebagai mitra strategis Indonesia. Ini tergambarkan melalui intensitas Prabowo bertemu pejabat Prancis.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berjabat tangan dengan Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat menteri pertahanan Indonesia, sebelum jamuan makan malam di Istana Kepresidenan Prancis, Elysee, Paris, Juli 2024.

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images

Keterangan gambar, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berjabat tangan dengan Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat menteri pertahanan Indonesia, sebelum jamuan makan malam di Istana Kepresidenan Prancis, Elysee, Paris, Juli 2024.

Pada 2020, Prabowo tercatat dua kali mengunjungi Prancis, yakni Januari dan Agustus, untuk bertemu Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly.

Setahun berselang, sekitar Juni 2021, Prabowo kembali ke Prancis dan menandatangani perjanjian kerja sama di bidang pertahanan.

November 2021, giliran Prabowo yang menjamu Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, di Jakarta.

Apabila ditotal, sepanjang 2020 sampai 2024, berdasarkan pemantauan BBC News Indonesia pada pemberitaan di media, Prabowo telah bertemu pejabat tinggi Prancis, termasuk Presiden Emmanuel Macron, sebanyak 13 kali.

Topik pertemuan membahas banyak urusan. Tapi, yang perlu digarisbawahi, sektor pertahanan selalu masuk dalam perbincangan.

Kedekatan Indonesia dengan Prancis bisa dibaca sebagai langkah taktis dalam bidang pertahanan mengingat Prancis adalah pemain utama global.

Prancis peringkat kedua eksportir senjata

Laporan yang dipublikasikan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan bahwa Prancis duduk di peringkat kedua negara eksportir senjata di dunia, menggeser Rusia dan di bawah AS pada periode 2019-2023. Ekspor persenjataan Prancis mencapai 11% dari transaksi global, naik sekitar 47% dari periode 2014-2018.

Sepanjang 2019-2023, Prancis telah mengirimkan senjata-senjata buatan mereka ke 64 negara. Asia dan Oseania menjadi kawasan utama ekspor Prancis dengan porsi 42%, disusul Timur Tengah sebesar 34%.

Pameran pesawat tempur Rafale di Athena, Yunani, Mei 2025.

Sumber gambar, Bloomberg via Getty Images

Keterangan gambar, Pameran pesawat tempur Rafale di Athena, Yunani, Mei 2025.

Pengiriman senjata Prancis nan ekspansif ini terwakili oleh pesawat tempur Rafale. Pada periode 2014-2018, Prancis hanya mengekspor 23 unit Rafale. Periode 2019-2023, angkanya naik empat kali lipat: 94 unit. Per akhir 2023, sudah ada 193 pesawat tempur Rafale yang dipesan—belum dikirim.

Mayoritas pesawat yang sudah dikirim maupun masih dalam pemesanan punya target pasar negara-negara di luar Eropa, salah duanya adalah India dan Indonesia.

India, misalnya, sudah mengoperasikan 36 unit Rafale, dan pada April lalu menambah pembelian sebanyak 26 buah, merespons ketegangan wilayah dengan China dan Pakistan. Pembelian ini rampung usai India sepakat membayar US$7,4 miliar. Pengiriman Rafale dijadwalkan selesai pada 2030, “dengan kru pesawat akan menjalani pelatihan di Prancis dan India,” terang otoritas India.

Popularitas Rafale menanjak lantaran spesifikasi yang melekat padanya. Pabrikan Rafale, Dassault Aviaton, mengklaim pesawat mereka sebagai platform omnirole, atau mampu melakukan berbagai misi, dari serangan darat dan laut, pengintaian, intersepsi, sampai support untuk melawan nuklir.

Sejauh ini, Rafale telah dipakai dalam operasi udara di Libia (Benghazi & Tripoli), Mali, Chad, serta terakhir di eskalasi India-Pakistan.

Menanjaknya nama Rafale turut mengantarkan perusahaan yang menaunginya, Dassault Aviation, ke jajaran 50 besar korporasi senjata global.

Rafale diklaim jatuh, Indonesia perlu was-was?

Situasi yang dialami India memunculkan kecemasan bahwa pesawat ini tidak semumpuni seperti yang dibayangkan.

Lalu, apakah keputusan pemerintah Indonesia membeli pesawat Rafale buatan Prancis adalah blunder?

Kementerian Pertahanan tidak menanggapi pertanyaan BBC News Indonesia terkait ini.

Analis pertahanan, Fauzan Malufti, menjelaskan pemerintah harus selalu menganalisa konflik-konflik global yang meletus—termasuk India-Pakistan—lantaran di balik itu terdapat doktrin, taktik, hingga alutsista yang dapat dijadikan bahan evaluasi untuk kepentingan pertahanan dalam negeri.

Sehubungan dengan klaim Pakistan telah menembak jatuh pesawat Rafale, Fauzan menilai: “kita tidak bisa menarik kesimpulan terlalu dini.”

“Apakah pesawat Rafael itu bagus atau enggak? Sekarang sering dibandingkan dengan J-10 milik Cina yang digunakan Pakistan,” kata Fauzan kepada BBC News Indonesia.

Namun, menurutnya, jawaban pertanyaan tersebut tidak sesederhana itu karena “perang modern sangat kompleks.”

Dalam konteks serangan udara, Fauzan melanjutkan, yang terjadi bukan hanya “pesawat versus pesawat” melainkan “ekosistem militer melawan ekosistem militer.”

Fauzan menganalogikan perang seperti pertandingan sepakbola yang melibatkan banyak orang saling bertarung untuk meraih kemenangan—bukan penyerang melawan kiper, atau gelandang berhadapan dengan gelandang.

“Bahkan enggak cuma 11 pemain lawan 11 pemain, tapi ekosistem di tim itu sendiri. Jadi, ada pelatih, fasilitasi, sampai gaji,” ujarnya.

“Jadi dalam perang India-Pakistan itu tidak bisa dilihat hanya dari pesawat versus pesawat, tapi bagaimana ekosistem militer India dan Pakistan.”

Di setiap perang, Fauzan menjelaskan, tidak ada alutsista yang tahan hancur, meski di beberapa kasus disebabkan spesifikasi yang—ternyata—tidak sesuai yang dijanjikan pabrik pembuatnya.

Ketika bicara konteks pesawat tempur, banyak preseden pesawat modern sekaligus canggih, seperti F-16, F-15, dan F-18, “pernah jatuh ditembak kelompok yang lebih inferior.”

Pengunjung melintasi anjungan Rafale di pameran pertahanan di Athena, Yunani, Mei 2025.

Sumber gambar, Bloomberg via Getty Images

Keterangan gambar, Pengunjung melintasi anjungan Rafale di pameran pertahanan di Athena, Yunani, Mei 2025.

Dalam pertimbangan untuk pembelian alutsista, ada berbagai faktor yang mengikutinya. Di luar performa dan spesifikasi, kesepakatan pembelian alutsista antarnegara juga kerap dibarengi kalkulasi geopolitik, alih teknologi, serta peluang kerja sama nonpertahanan.

“Kenapa Prancis? Ada keinginan pemerintah untuk tidak bergantung dengan pesawat buatan blok Barat, terutama AS,” terang Fauzan.

“Walaupun Prancis bagian dari NATO dan sekutu AS, tapi dalam sejarahnya Prancis itu bisa dibilang sebagai poros tersendiri karena mereka punya doktrin strategis otonomi—dalam beberapa kasus tanpa keterlibatan AS.”

Prancis, tambah Fauzan, juga “negara nuclear power dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.”

Ketika Indonesia membeli puluhan Rafale, kesepakatan ini tidak sekadar berhenti di lingkup pertahanan.

Indonesia dan Prancis, sebagai contoh, turut meneken perjanjian pembuatan amunisi kaliber untuk persenjataan darat yang diwakili PT Pindad dan Nexter Munition. Lalu, kedua negara juga setuju bekerja sama di bidang telekomunikasi lewat PT Len Industri dan Thales Group.

Industri dan sektor pertahanan menjadi salah satu ruang yang digarap serius oleh pemerintah sejak Jokowi menjabat dan kini diteruskan Prabowo. Indikatornya adalah postur belanja anggaran yang cenderung meningkat sejak 2020—kecuali dari 2020 ke 2021—demi, satu di antara lain hal, memodernisasi alutsista.

Pada APBN 2025, Kementerian Pertahanan memperoleh pagu sebesar Rp139,2 triliun, kena pangkas Rp26,9 triliun dari total anggaran yang disetujui sebelumnya, Rp166,1 triliun.

Publik tak sekali mempertanyakan anggaran jumbo di sektor pertahanan, dan mengkritik tatkala kebijakan yang dipandang tak ideal dicetuskan Kementerian Pertahanan, seperti rencana pembelian 12 pesawat bekas Mirage milik Qatar.

Fauzan mengatakan kritik publik “sangat wajar” mengenai anggaran pertahanan, termasuk pembelian alutsista. Ia menyebut pangkal masalahnya ada di “transparansi dan komunikasi pemerintah yang kurang baik.”

“Pembelian alutsista sering disampaikan secara normatif. Kita sedang membeli pesawat ini, harganya sekian, datangnya pada waktu sekian, dan spesifikasinya sekian,” ucap Fauzan yang kini tengah merampungkan studi keamanan global di Johns Hopkins University.

Semestinya, Fauzan menambahkan, pemerintah menyediakan paparan informasi yang lengkap perihal alutsista, mengingat anggaran yang dipakai tidaklah sedikit.

Fauzan membandingkan Indonesia dengan AS dan Australia yang, menurut pengamatannya, cukup komprehensif dalam menyampaikan kebijakan pembelian alutsista.

Informasi perihal alutsista di kedua negara itu didesain “tidak hanya untuk media lewat rilis pers,” ungkap Fauzan, melainkan juga masyarakat umum.

“Kenapa kita, misalnya, membeli dari negara ini? Keuntungannya seperti apa? Apa yang akan kita lakukan dengan pesawat itu?” tuturnya. “Adakah dokumen dan situs yang resmi sehingga publik bisa merujuk maupun mengaksesnya ke sana?”

Selama ini, di Indonesia, kritik dan diskusi mengenai kebijakan pertahanan “baru ramai setelah ada skandal”, pungkas Fauzan.

Tinggalkan Balasan