‘Harapannya MK tetap netral dan objektif’ – Sejumlah mahasiswa gugat revisi UU TNI ke MK, bagaimana peluangnya?

Sumber gambar, DOK. ABU RIZAL BILADINA
Gelombang penolakan terhadap perubahan UU TNI belum surut meski DPR sudah ketok palu pada 20 Maret minggu lalu. Selain aksi turun ke jalan di beberapa daerah, sekelompok mahasiswa menggugat undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Seberapa realistis peluangnya untuk dimenangkan?
Sembilan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengajukan permohonan uji formil terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 21 Maret 2025.
Langkah hukum ini ditempuh satu hari setelah DPR meloloskan revisi UU TNI dalam rapat paripurna saat demonstrasi berlangsung di depan gedung Senayan.
“Ketika kami melakukan aksi [demonstrasi] pun tidak didengar. Akhirnya kami menggunakan jalur hukum,” ujar Abu Rizal Biladina, mahasiswa FH UI angkatan 2023 kepada BBC News Indonesia pada Senin (24/03).
Rizal, yang bertindak sebagai kuasa hukum pemohon, mengatakan pengesahan perubahan UU TNI “cacat formil” karena melanggar “asas keterbukaan”.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Selain itu, draf revisi UU TNI dan naskah akademik juga tidak dipublikasikan kepada masyarakat, sehingga menghalangi partisipasi publik.
Kelompok pemohon juga mempertanyakan dimasukkannya revisi UU TNI dalam Prolegnas Prioritas 2025 yang dinilai “tergesa-gesa”.
Di sisi lain, salah satu mahasiswa pemohon, Muhammad Alif Ramadhan, menekankan pihaknya sama sekali tidak “mengerdilkan” aksi turun ke jalan yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa lain.
“Semua cara perlawanan—termasuk turun ke jalan—menurut kami adalah mulia dan bermartabat,” ujarnya.
Seperti diketahui, unjuk rasa yang berlangsung di beberapa kota yaitu Kupang, Nusa Tenggara Timur dan Surabaya, Jawa Timur pada Senin (24/03) diwarnai kericuhan dan laporan kekerasan.
Di Malang, Jawa Timur, beberapa pemrotes mengaku sempat ditahan dan dipukuli aparat saat aksi demo pada Minggu (23/03).
Baik Rizal maupun Alif cukup optimis akan kans permohonan uji formil mereka akan dikabulkan MK.
Berkaca dari putusan MK tentang UU Pilkada pada Agustus tahun lalu, Alif menilai MK saat ini “sedang berada pada koridor yang baik dan profesional”.
“Harapannya adalah [permohonan] ini bisa ditelaah secara objektif oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Sementara Alif mengatakan setelah putusan MK pada awal tahun lalu terkait syarat pencalonan presiden sempat menimbulkan kekecewaan, beberapa putusan seperti terkait Pilkada dan penghapusan ambang batas pencalonan presiden diterima baik.
“Tren putusan MK akhir-akhir ini bagus. Harapannya MK tetap netral dan objektif dalam melaksanakan tugasnya,” ujarnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Auliya Rahman
Secara terpisah, pakar hukum tata negara dan aktivis demokrasi, Titi Anggraini, menilai pengujian formil atas revisi UU TNI untuk dikabulkan “berpeluang besar untuk dikabulkan”.
Hal ini, menurut Titi, berkaca dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengajuan uji formil UU Cipta Kerja yang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan suatu UU.
“Proses pembentukan Revisi UU TNI jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip pembentukan undang-undang yang mewajibkan adanya partisipasi masyarakat secara bermakna atau meaningful participation itu,” ujar Titi ketika dihubungi pada Senin (24/03).
“Justru sangat aneh kalau MK menganggap tidak ada masalah dengan pembentukan revisi UU TNI ini.”
Adapun pakar hukum tata negara lainnya, Bivitri Susanti, mengingatkan revisi UU TNI masih belum menjadi undang-undang karena belum ditandatangani presiden.
“Perkara itu bisa menjadi tidak dapat diterima istilahnya. Kenapa? Karena objek perkaranya [revisi UU TNI] dianggapnya sudah hilang,” ujarnya.
Meski begitu, Bivitri mengatakan pemohon masih dapat mengajukan ulang gugatannya begitu UU TNI diundangkan.
Senada dengan Titi Anggraini, Bivitri menilai peluang dikabulkan uji formil ini ada selama MK “objektif dan konsisten”.
Bagaimana ide pengajuan uji formil muncul dari mahasiswa UI?
Alif mengatakan gagasan untuk menggugat ke MK sebetulnya sudah ada sejak 19 Maret 2025 atau satu hari sebelum rapat paripurna DPR.
Dari segi substansi UU TNI, Alif dan para pemohon lainnya menilai “dwifungsi militer” tetap ada tidak peduli jumlah lembaga yang bisa dijabat anggota TNI aktif.
“Walaupun satu lembaga pun, kalau [anggota] TNI aktif bisa menjabat, itu sudah dwifungsi,” ujar Alif.
“Ini juga membuka mata masyarakat bahwa ternyata dwifungsi itu sudah ada sejak lama, tapi kali ini cakupannya diperlebar.”

Sumber gambar, JUNI KRISWANTO/AFP
Alif mengatakan dirinya rekan-rekannya sepakat untuk melihat apakah akan ada perubahan sikap dari DPR di tengah aksi mahasiswa.
Namun, Alif mengaku kecewa akan sikap DPR mengesahkan revisi UU TNI pada sidang paripurna sekitar jam 10.00 WIB tanpa ada upaya untuk menemui masyarakat sipil yang berunjuk rasa.
Alif membandingkan dengan demo Peringatan Darurat atau Garuda Biru di depan gedung DPR pada 22 Agustus 2024. Saat itu beberapa anggota DPR menemui para demonstran pada malam harinya.
“Nah, pada 20 Maret 2025 itu. Enggak ada diskusi sama sekali. Rakyatnya baru mau turun demonstrasi, diketok palu,” ujarnya.
“Mereka bilang sudah ada diskusi masyarakat. Nah, masyarakat yang di luar gedung DPR bagaimana?”
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Pada hari itu juga, Alif, Rizal, dan rekan-rekannya mulai membahas secara intens pengajuan permohonan uji formil itu.
Di rumah Rizal yang terletak di daerah Jakarta Selatan, mereka membahas poin-poin permohonan uji formil kepada MK.
Kebetulan, Rizal sudah berpengalaman mengajukan gugatan ke MK.
Pada tahun 2024, Rizal sempat mengajukan uji materiil pada UU Pilkada khususnya soal ketiadaan persyaratan lokalitas calon kepala daerah.
Pembahasan uji formil UU TNI dilakukan sejak pukul 16.00 WIB pada 20 Maret hingga keesokan paginya pada 21 Maret 2025.
“Kebetulan teman-teman yang lain masih di tahun pertama dan tahun kedua kuliah, jadi cenderung lebih lowong waktunya,” ujar Alif.
Mahasiswa-mahasiswa FH UI lainnya yang terdaftar sebagai pemohon adalah Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R.Yuniar A. Alpandi.
Sementara satu nama pagi, Muhammad, menjadi kuasa hukum seperti Rizal.
“Kami sempat mengikuti kuliah pada pagi harinya lalu langsung ke MK sekitar pukul 10.00 WIB. Kira-kira setelah salat Jumat baru resmi diajukan,” tutur Rizal.
Apa yang digugat para mahasiswa?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Abu Rizal menegaskan pengajuan para mahasiswa FH UI dengan nomor 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025 itu berfokus pada uji formil atau cara-cara pembentukan peraturan perundang-undangannya dari revisi UU TNI.
“UU TNI tahun 2025 yang disahkan oleh DPR pada tanggal 20 Maret merupakan undang-undang yang tidak sah atau cacat formil dan cacat prosedural,” ujar Rizal.
“Yang kami uji itu keseluruhan undang-undangnya, bukan pasal per pasal.”
Rizal mengatakan ada beberapa poin cacat formil dalam pembentukan UU TNI, yang pertama adalah pelanggaran asas keterbukaan.
Rizal mengatakan draf revisi UU TNI dan naskah akademik tidak dipublikasikan kepada masyarakat, sehingga menghalangi partisipasi publik.
“Kami mahasiswa juga bagian dari masyarakat Indonesia yang berhak tentunya mendapatkan naskah dan drafnya,” ujar Rizal.
Terpisah, Alif mengatakan bahkan hingga pengajuan uji formil dilakukan, para mahasiswa kesulitan mendapatkan naskah UU yang telah disahkan.
Kemudian Rizal juga menyinggung laporan adanya rapat tertutup di sebuah hotel yang semakin memperkuat dugaan tertutupnya proses pembentukan revisi UU TNI.
“Kita melihat gaya komunikasi DPR dengan rakyat itu sudah sangat tidak terbuka. Tidak ada transparansi,” ujarnya.
Kedua, Rizal mengeklaim adanya pelanggaran prosedur Prolegnas. Menurut para pemohon, RUU TNI tiba-tiba disahkan, padahal prolegnas Komisi I DPR adalah RUU Penyiaran.
“Tidak masuk Prolegnas. Karena Komisi I DPR itu Prolegnas-nya adalah RUU penyiaran. Tiba-tiba RUU TNI naik, lalu ditabrak RUU penyiaran, itu sungguh cacat formil,” ujarnya.
Seperti diberitakan BBC News Indonesia sebelumnya, revisi UU TNI diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.
Rizal mengatakan para pemohon sekarang mempersiapkan diri untuk menghadapi sidang pendahuluan di MK dengan mempertajam permohonan mereka dan mengumpulkan data-data pendukung.

Sumber gambar, DOK. MUHAMMAD ALIF RAMADHAN
Mereka memperkirakan sidang pendahuluan berlangsung setelah Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 April 2025.
BBC News Indonesia menanyakan kepada Alif mengapa yang dipilih adalah pengajuan uji formil dan bukan uji materiil.
Alif mengatakan: “Dalam pengamatan kami, uji materil itu tentu membutuhkan riset yang lama, karena ada fakta-fakta hukum atau debat atau teori hukum yang lainnya.”
“Saya rasa kami coba upayakan dulu yang uji formil,” cetusnya.
Di sisi lain, Alif mengatakan uji materiil terhadap revisi UU TNI juga dimungkinkan.
Misalnya, dia mencontohkan pada salah satu draf yang beredar, terdapat perubahan pada Pasal 8 Ayat 2 tentang wewenang militer untuk menjaga pertahanan di perbatasan.
“Namun di perubahan ini, bunyinya kalau tidak salah, militer memiliki wewenang menjaga keamanan di seluruh wilayah darat termasuk perbatasan. Artinya ini sudah bisa masuk ke tengah-tengah kota karena termasuk wilayah darat. Ini bisa sangat berbahaya,” ujarnya.
Alif berharap pihak-pihak sipil lainnya dapat mengajukan uji materiil.
“Jadi kita bagi-bagi peran. Kami enggak mau ambil semuanya,” ujarnya.
Seberapa besar kans uji formil ini dikabulkan?
Titi Anggraini, dosen hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyebut uji formil revisi UU TNI berpeluang besar untuk dikabulkan.
Dia membandingkannya dengan pengujian formil pembentukan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) karena dinilai pembentukannya tidak partisipatif dan melanggar tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011.
“Belajar dari praktik uji formil UU Cipta Kerja melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka pengujian formil atas revisi UU TNI berpeluang besar untuk dikabulkan,” ujar Titi kepada BBC News Indonesia pada Senin (24/03).

Sumber gambar, JUNI KRISWANTO/AFP
Uji formil UU Cipta Kerja yang dibacakan MK pada November 2021 menyebut wajibnya partisipasi masyarakat secara bermakna atau meaningful participation dalam prinsip pembentukan suatu undang-undang.
Titi mengatakan proses pembentukan revisi UU TNI jelas-jelas bertentangan dengan prinsip tersebut.
“Justru sangat aneh kalau MK menganggap tidak ada masalah dengan pembentukan revisi UU TNI ini,” imbuhnya.
Di sisi lain, proses revisi UU TNI adalah preseden buruk karena sifatnya tertutup, tergesa-gesa, dan mengabaikan partisipasi publik yang bermakna.
“Apabila hal tersebut dibiarkan dan tidak dilakukan koreksi maka akan dengan mudahnya menjadi terlembaga dan terus direplikasi bagi pembentukan undang-undang dan pembuatan kebijakan publik lainnya,” ujarnya.

Sumber gambar, Getty Images
Sementara pakar hukum tata negara lainnya, Bivitri Susanti, mengatakan ada kemungkinan perkara yang diajukan para pemohon tidak diterima.
Mengapa?
“Ada lima tahapan pembentukan UU: perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan,” ujar Bivitri ketika dihubungi pada Senin (24/03).
Bivitri menjelaskan perubahan UU TNI belum masuk ke tahap pengesahan karena membutuhkan penandatanganan presiden serta pengundangan yakni ketika UU TNI yang baru sudah diberi nomor.
Gugatan uji formil, kata Bivitri, hanya sah diajukan setelah undang-undang resmi diundangkan.
“Jika gugatan diajukan sebelum pengundangan, objek perkara dianggap hilang. Pemohon harus menarik gugatan dan mengajukan kembali setelah RUU menjadi UU,” ujar Bivitri.
Bivitri mengatakan hal ini pernah terjadi pada uji formil UU KPK pada tahun 2019.
Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011, presiden memiliki waktu paling lama 30 hari untuk mengesahkan rancangan UU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah.

Sumber gambar, ANTARA
Di sisi lain, Bivitri mengatakan dalil para pemohon uji formil revisi UU TNI “sudah bagus”
Sama seperti Titi, dia khususnya mengangkat perihal “partisipasi bermakna” dalam pembentukan undang-undang, yang diatur dalam Pasal 96 UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“[Partisipasi bermakna] itu asalnya putusan MK terkait UU Cipta Kerja pada tahun 2021 itu,” ujar Bivitri.
Bivitri juga menilai argumen para pemohon seperti soal naskah akademik revisi UU TNI cukup kuat.
“Jadi kalau MK-nya memang objektif, menurut saya ada kemungkinannya menang,” ujarnya.
Apa dampak perubahan UU TNI ini kepada masyarakat sipil dan demokrasi—dari kacamata pakar tata negara?
Titi Anggraini mengatakan revisi UU TNI berpotensi mengganggu relasi sipil dan militer yang telah terbangun cukup baik pasca Reformasi 1998 dan Perubahan UUD NRI Tahun 1945.
“Indonesia punya sejarah masa lalu yang kelam dan menimbulkan trauma mendalam terkait adanya dwifungsi ABRI dalam kehidupan militer dan sosial politik selama era Orde Baru,” ujar Titi,
“Sangat wajar ketika ruang lingkup tugas TNI diperluas serta merta menimbulkan kekhawatiran besar akan kembalinya dwifungsi militer seperti halnya Orde baru.
Menurut Titi, upaya untuk melibatkan TNI/Polri dalam politik praktis sudah pernah dicoba pada masa lalu.
“Dalam proses revisi UU Pilkada pada tahun 2016, DPR sempat mengusulkan agar anggota TNI dan Polri tidak perlu mengundurkan diri apabila maju sebagai calon dalam kontestasi Pilkada,” ujar Titi yang mengatakan klausul tersebut mendapatkan penolakan luas dari masyarakat.
“Artinya, upaya untuk melibatkan TNI Polri dalam politik praktis sudah pernah dicoba dan bukan tidak mungkin tidak terulang kembali pada masa yang akan datang,” ujarnya.

Sumber gambar, ANTARA
Titi menegaskan keterlibatan militer aktif dalam kehidupan politik merupakan hal yang tidak lazim dan sangat dihindari dalam praktik suatu negara demokrasi.
Hal yang sama dipaparkan Bivitri.
Dia menekankan bahwa dalam pemerintahan demokratis, orang-orang yang memiliki akses ke senjata dan kekerasan tidak boleh mengisi jabatan pemerintahan.
“Ini bukan soal mendikotomikan sipil dengan militer, ini soal prinsip demokrasi,” ujar Bivitri.
“Makanya kalau [prajurit TNI] mau bergabung ke pemerintahan sipil, silakan, [tapi mundur dulu. Kalau enggak mundur, berarti taatnya masih kepada komandan, bukan pada rakyat.”
Apa kata pemerintah dan DPR?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sebelumnya menghimbau pihak-pihak yang masih keberatan dengan perubahan UU TNI terbaru untuk melakukan judicial review di MK.
“Biarkan [revisi UU TNI] diuji, apakah benar bahwa kekhawatiran itu memang sesuatu yang mendasar untuk dilakukan atau tidak,” ujarnya seperti dilansir Antara pada Jumat (20/03).
Supratman juga memastikan UU TNI yang baru tidak mengandung unsur dwifungsi militer seperti yang dirisaukan banyak pihak.
Justru, menurut dia, aturan baru ini justru memberikan batasan yang jelas terkait jabatan sipil yang boleh diisi oleh anggota TNI.
Supratman membantahnya pembahasan revisi UU TNI dilakukan secara tidak transparan.
“Undang-undang ini dulu saya yang menginisiasi waktu di Badan Legislasi, itu tahun 2024,” ujar politikus Partai Gerindra itu.
“Tapi tidak jadi waktu itu, karena memang pemerintah belum menyelesaikan DIM [Daftar Inventarisasi Masalah]-nya. Karena itu, menjadi carry over [dilanjutkan] di periode sekarang.”
Sementara Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto pada 17 Maret 2025 sudah menekankan DPR sudah mendengar aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari pakar, akademisi, purnawirawan, hingga lembaga masyarakat sipil, sebagaimana dilaporkan Antara.