Seberapa sering kita sebaiknya buang air besar?

Sumber gambar, Emmanuel Lafont/BBC
- Penulis, Jasmin Fox-Skelly
- Peranan,
Apakah Anda termasuk orang yang buang air besar tiga kali sehari? Atau hanya sesekali? Apa makna frekuensi buang air besar bagi kesehatan seseorang?
Frekuensi buang air besar masing-masing orang berbeda.
Setiap kali kita makan, usus besar akan berkontraksi dan mendorong makanan sepanjang saluran pencernaan.
Refleks gastrokolik ini melepas hormon yang membuat kita mulas dan ingin buang air besar.
Namun, sebagian dari orang cenderung menahan dorongan ini. Buang air besar pun menjadi kegiatan sekali sehari atau bahkan kurang dari itu.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
“Orang-orang cenderung terlalu sibuk untuk buang hajat” ujar Martin Veysey, ahli penyakit pencernaan dan dokter penyakit dalam di Canberra Hospital, Australia.
Pergi ke kamar kecil sekali sehari lazimnya dianggap sebagai tanda kesehatan usus yang baik. Akan tetapi, batas “normal” buang jahat tidak diketahui secara pasti.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Bahkan ada studi yang menyatakan buang air besar dari satu kali dalam beberapa minggu atau sebulan hingga 24 kali sehari masih bisa dianggap normal.
Namun, penelitian pelopor dari ilmuwan seperti Ken Heaton di Bristol Royal Infirmary, Inggris, memberi kita pemahaman yang lebih baik.
Pada akhir 1980-an, Heaton dan rekan-rekannya melakukan survei di Bristol Timur untuk mengetahui seberapa sering penduduk setempat pergi ke kamar mandi.
Mereka menemukan kebiasaan buang air besar sangatlah bervariasi.
Walaupun yang paling umum adalah sekali sehari, hanya 40% pria dan 33% wanita yang melakukannya.
Beberapa orang buang air besar kurang dari seminggu sekali, tetapi ada pula yang tiga kali sehari.
Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa “fungsi usus normal konvensional hanya terjadi pada kurang dari setengah populasi. Dalam aspek fisiologi manusia yang satu ini, kaum perempuan muda adalah yang paling menghadapi masalah”.
Ini bukanlah satu-satunya kontribusi ilmiah Heaton dalam penelitian mengenai buang air besar.
Dia kemudian membantu merancang Skala Bentuk Tinja Bristol yang dilengkapi dengan ilustrasi.
Panduan praktis ini banyak digunakan dokter untuk mendiagnosis masalah pencernaan.
Skala ini menampilkan deskripsi tinja yang bervariasi dari “benjolan keras terpisah, seperti kacang” hingga “potongan berbulu dengan tepi bergerigi”.
Zona ‘Goldilocks/Goldilops’

Sumber gambar, Emmanuel Lafont/BBC
Menurut Layanan Kesehatan Inggris (NHS) dan organisasi kesehatan lainnya, batas buang air besar yang normal adalah antara tiga kali sehari dan tiga kali seminggu.
Akan tetapi, normal belum tentu sehat.
Walau penelitian sudah menunjukkan seberapa sering orang buang hajat , tetapi seberapa sering kita seharusnya buang air besar masih belum terjawab.
Di sisi lain, semakin banyak studi yang menunjukkan pencernaan merupakan indikator kuat bagi kesehatan seseorang.
Pada tahun 2023, sebuah studi meneliti kebiasaan buang hajat 14.573 orang dewasa di Amerika Serikat.
Kebiasaan buang air yang paling sering adalah tujuh kali dalam satu minggu atau 50,7% orang.
Jenis tinja yang paling umum digambarkan “seperti sosis atau ular, halus dan lembut”.
Para peneliti kemudian melacak para partisipan selama lebih dari lima tahun untuk menelaah korelasi antara frekuensi tinja dan kematian.
Mereka menemukan bahwa orang yang buang air besar empat tinja lembut seminggu 1,78 kali lebih mungkin meninggal dalam lima tahun daripada mereka yang buang air besar tinja normal tujuh kali seminggu.
Orang yang jarang buang air besar juga 2,42 dan 2,27 kali lebih mungkin meninggal karena kanker dan penyakit kardiovaskular.
Intensitas buang air besar yang baik juga menjadi pertanyaan Sean Gibbons, seorang ahli mikrobiologi di Institute for Systems Biology, Seattle, AS.
Pada tahun 2024, Gibbons memimpin sebuah penelitian yang membagi-bagi 1.400 orang dewasa sehat ke dalam empat kelompok berdasarkan kebiasaan buang air besar mereka.
- Grup sembelit (satu-dua kali buang air besar per minggu)
- Grup normal rendah (tiga-enam kali buang air besar per minggu)
- Grup normal tinggi (satu-tiga kali buang air besar per hari)
- Grup diare
Tim ilmuwan kemudian melihat apakah ada hubungan antara frekuensi buang air besar dan mikrobioma usus seseorang.
Gibbons menemukan bahwa orang yang sering buang air besar—satu hingga tiga kali sehari–memiliki proporsi bakteri “baik” yang lebih tinggi di usus mereka daripada mereka yang jarang ke toilet.

Sumber gambar, Emmanuel Lafont/BBC
Sebaliknya, orang yang buang air besar kurang dari tiga kali seminggu lebih berisiko memiliki racun dalam darah yang sebelumnya dikaitkan dengan kondisi seperti penyakit ginjal kronis dan Alzheimer.
“Di zona Goldilocks buang air besar [kategori normal tinggi], kami melihat peningkatan mikroba anaerobik ketat yang menghasilkan bahan kimia yang disebut asam lemak rantai pendek,” ujar Gibbons.
Salah satu asam lemak rantai pendek (SFAs) ini adalah butirat yang menurunkan peradangan dalam tubuh.
Butirat ini penting karena peradangan kronis dianggap sebagai faktor penyebab penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, dan bahkan Alzheimer.
“Kadar butirat yang lebih tinggi juga memungkinkan Anda mengontrol kadar glukosa dalam darah dengan lebih baik, sehingga Anda memiliki sensitivitas insulin yang lebih baik,” kata Gibbons.
“Butirat juga merangsang sel-sel di usus agar menghasilkan hormon yang membuat Anda merasa kenyang.”
Gibbons meyakini orang yang sembelit memiliki kadar racun berbahaya yang lebih tinggi dalam aliran darah mereka.
Dia menjelaskan bahwa bakteri memakan semua serat dari tinja yang menempel di usus dan mengubahnya menjadi SFAs yang baik untuk kesehatan.
Masalahnya, ketika tinja menempel di usus terlalu lama dan semua serat habis, bakteri justru memfermentasi protein.
Hal ini melepaskan racun berbahaya ke dalam aliran darah yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ tubuh, termasuk ginjal dan jantung.
Contoh salah satu racun ini adalah phenylacetylglutamine, yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
“Apabila zat ini terlalu banyak dan ada dalam tubuh terlalu lama, maka pembuluh darah bisa menjadi kaku atau disebut aterosklerosis. Kondisi ini bisa membuat jantung dan pembuluh darah lain bisa rusak,” kata Gibbons.

Sumber gambar, Emmanuel Lafont/BBC
Meski pedoman klinis menyebut buang air besar tiga kali sehari hingga tiga kali seminggu sebagai kondisi yang sehat, penelitian Gibbons menunjukkan bahwa kelompok tinja normal rendah pun terdapat peningkatan racun dalam aliran darah.
“Sulit untuk tahu pasti, karena kami tidak memiliki data kausal untuk mengetahui apakah orang-orang ini kemudian jatuh sakit di masa depan,” ujar Gibbons.
“Namun berdasarkan apa yang kami lihat, sepertinya buang air besar setiap hari atau beberapa kali sehari adalah yang direkomendasikan.”
Akan tetapi, korelasi bukanlah hubungan sebab akibat. Bisa saja ada orang yang kondisinya memang sudah kurang sehat (karena faktor lain) sehingga lebih jarang buang hajat.
Untuk menajamkan hasil penelitian, Gibbons dan timnya berupaya memastikan para partisipan adalah orang dewasa yang tidak punya masalah kesehatan serius.
Salah satu ukuran kesehatan usus Anda adalah waktu yang dibutuhkan makanan untuk melewati sistem pencernaan Anda .
Ini dikenal sebagai waktu transit usus.
Anda dapat dengan mudah menguji ini di rumah dengan memakan makanan berwarna cerah—seperti jagung manis—lalu mencatat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk buang hajat.
Pada umumnya, makin lama waktu transit usus seseorang, maka kian jarang mereka buang air besar.
Kemungkinan mereka menderita sembelit pun kian bertambah.

Sumber gambar, Getty Images
Pada tahun 2020, peneliti dari King’s College London memberi kue muffin berwarna biru ke 863 orang untuk mengukur berapa lama makanan dicerna dan dikeluarkan dari tubuh mereka.
Ini adalah bagian dari penelitian Predict1, yang mempelajari bagaimana perbedaan genetik, bakteri di usus, dan faktor lain mempengaruhi kadar gula dan lemak dalam darah setelah makan.
Hasilnya menunjukkan bahwa waktu pencernaan setiap orang sangat berbeda, dari kurang dari 12 jam hingga berhari-hari.
Orang yang makanannya cepat dicerna dan sering buang air besar punya jenis bakteri usus yang berbeda dari yang lambat.
Pencernaan yang cepat biasanya berhubungan dengan bakteri usus yang lebih sehat.
Emily Leeming, ilmuwan mikrobioma dari King’s College London, mengatakan bahwa orang yang waktu pencernaannya lebih lama cenderung memiliki lebih banyak bakteri usus ‘jahat’.
“Bakteri ini sebelumnya dikaitkan dengan kesehatan jantung dan metabolisme yang buruk,” ujar Leeming.
Temuan ini paling terlihat pada orang dengan waktu pencernaan 58 jam atau lebih atau yang biasanya buang air besar kurang dari tiga kali seminggu.
Leeming menduga, jika kotoran terlalu lama di usus, bakteri tidak mendapatkan makanan segar. Bakteri pun kemudian beralih dari mengonsumsi serat dan karbohidrat ke protein, yang menghasilkan produk sampingan yang buruk untuk kesehatan.
Selain memiliki bakteri usus yang lebih sehat, penelitian Leeming juga menunjukkan bahwa orang dengan waktu pencernaan yang lebih pendek memiliki lebih sedikit lemak visceral.
Lemak visceral adalah lemak yang berada jauh di dalam perut dan mengelilingi organ perut.
Lemak ini berbahaya karena dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, dan beberapa jenis kanker.

Sumber gambar, Getty Images
Orang dengan waktu pencernaan yang pendek juga menunjukkan respons yang lebih sehat terhadap makanan.
Mereka memiliki kadar gula dan lemak yang lebih rendah dalam darah setelah makan, sehingga menurunkan risiko penyakit jantung.
Temuan King’s College sesuai dengan apa yang sudah diketahui para ilmuwan tentang sembelit dan hubungannya dengan penyakit kronis.
Jika seseorang sering sembelit, risiko terkena penyakit seperti kanker usus akan lebih tinggi.
Namun, bukti yang mendukung hal ini masih beragam.
Sebuah meta-analisis, yaitu jenis penelitian yang menggabungkan hasil dari beberapa penelitian lain yang menjawab pertanyaan yang sama, menemukan bahwa kanker usus tidak lebih sering terjadi pada orang yang sembelit.
“Tapi penelitian kami juga melihat hubungan dengan bagian tubuh lainnya,” ujar Leeming.
“Misalnya, orang dengan penyakit Parkinson bisa mengalami sembelit hingga 20 tahun sebelum menunjukkan gejala gerakan.”
Terpisah, Veysey menyebut ada hubungan antara pencernaan lambat dan batu empedu.
“Ini juga meningkatkan risiko tumbuhnya polip, yaitu lesi pra-kanker di usus, yang kemudian bisa menjadi kanker,” katanya.
Apa makna bentuk tinja bagi kondisi kesehatan?
Leeming menekankan yang sebenarnya perlu diperhatikan bukanlah frekuensi buang air besar karena setiap orang berbeda.
Yang lebih penting, menurut dia, adalah memperhatikan perubahan kebiasaan buang air besar yang tidak biasa.
Leeming juga menyarankan untuk mencatat kebiasaan buang air besar kita, supaya tahu apa yang normal bagi diri sendiri.
“Sebaiknya kita semua memperhatikan kondisi tinja masing-masing. Ini adalah tes kesehatan usus yang bebas biaya,” ujar Leeming.
“Bukan cuma frekuensinya, tapi juga warna dan bentuk kotoran. Yang ideal adalah tipe 3 atau 4 di Skala Tinja Bristol, yaitu seperti sosis yang retak-retak, atau sosis yang halus.”
Dari segi warna, para peneliti menyebut warna hitam atau merah menunjukkan ada darah dalam kotoran.
Meski kemungkinan ini bukan hal serius, warna hitam atau merah bisa jadi merupakan tanda kanker usus besar. Konsultasi dokter perlu dilakukan segera untuk berjaga-jaga.
Peneliti juga menyarankan konsultasi ke dokter apabila sering mengalami diare atau harus buru-buru ke toilet. Begitu pula kalau kita sering kram, kembung, dan gas setelah makan.
Terakhir, buang air besar lebih lancar dapat dipastikan dengan melakukan tiga hal yang sederhana.
“Di penelitian kami, orang-orang yang pencernaannya ideal makan lebih banyak buah dan sayur, lebih banyak minum air, dan lebih aktif bergerak,” ujar Gibbons.
Anda dapat membaca artikel ini dalam versi bahasa Inggris dengan judul How often should you poo? pada laman BBC Future.