Cerita di balik nama ‘Gang Banjir’ di Jakarta Timur – Ketika banjir dan air menjadi nama tempat di Ibu Kota

Sumber gambar, Upali ATURUGIRI / AFP
Jakarta bersama dengan wilayah sekitarnya, seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dilintasi oleh 13 aliran sungai. Itu sebabnya nama-nama daerah di Jakarta mengingatkan penduduknya pada air atau tempat air berkumpul. Bagaimana memaknai nama-nama itu ketika masalah banjir muncul lagi?
Nama Gang Banjir di daerah Kayumanis, Matraman, Jakarta Timur begitu asing bagi beberapa anak sekolah.
Tapi buat orang-orang lansia, Gang Banjir adalah cara mereka mengingat salah satu episode dalam kehidupan saat jalan itu menjadi langganan banjir.
Marni yang tinggal di daerah tersebut sejak 1950-an, mengingat para pekerja yang mau berangkat akan mengantongi sepatu mereka di dalam plastik untuk menembus genangan setinggi lutut orang dewasa.
“Nanti kalau sudah sampai rel kereta, baru dipakai lagi,” ungkapnya kepada wartawan Hilman Hamdoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan

Sumber gambar, Paolo KOCH/Gamma-Rapho/Getty Images
Rel kereta itu kini membatasi Jalan Kayumanis 3 Baru dan Jalan Kayumanis Barat. Nama-nama tersebut adalah yang berlaku sekarang, sekaligus menimpa kenangan warga pada ‘Gang Banjir.’
Marni tak ingat betul kapan nama ‘Kayumanis’ diperkenalkan.
“Sejak ada (jalan) aspal ini kayaknya,” katanya sembari berupaya menarik koleksi ingatannya di dalam kepala.
Kayumanis, sebagaimana kebanyakan kampung lainnya di Jakarta setelah kemerdekaan, adalah permukiman dengan jalanan tanah atau berbatu yang tidak dilengkapi dengan sistem drainase.
Bilamana hujan, air datang semaunya. “Air dari mana-mana ngumpul di sini,” kata Marni.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Umumnya banjir tak betah tinggal berhari-hari.
“Sehari, habis itu surut,” ujar Marni, seraya mengingat saat masih kanak-kanak dirinya dilarang ibunya untuk main-main di genangan air.
Pada saat banjir dia hanya bisa melihat anak- anak sebayanya bermain di kampungnya yang dulu bernama “Salemba Utan Tanah Merdeka.”

Sumber gambar, Hilman Hamdoni
Perubahan nama jalan dan muka kampung kemungkinan besar berlangsung pada akhir 1960-an hingga 1970-an, saat Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) menghelat program perbaikan kampung bertajuk ‘Proyek MH Thamrin.’
Program perbaikan kampung itu juga mencakup pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, dan drainase.
Program ini pula yang mengakhiri riwayat banjir di Gang Banjir yang hingga kini setia dihuni oleh Marni yang telah berusia 80 tahun.

Sumber gambar, Bettmann/Getty

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Nama Gang Banjir juga masih diingat Halimah, yang kini berusia 75 tahun.
Halimah tinggal kurang lebih dua kilometer dari Gang Banjir.
Menurut Halimah, pada 1970-an, air tak begitu jadi masalah sebab masih banyak lahan atau kebun tempat air diserap.
Setiap rumah juga punya semacam sistem pembuangan air yang disebut sebagai ‘kobakan‘.
“Kalo (kobakan) kita di sini, nih,” kata Halimah seraya menunjukkan salah satu pojok dalam rumahnya

Sumber gambar, Hilman Hamdoni
Kota air
Jakarta bersama dengan wilayah sekitarnya, seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dilintasi oleh 13 aliran sungai.
Itu sebabnya nama-nama daerah di Jakarta mengingatkan penduduknya pada air atau tempat air berkumpul.
Sebut saja Cililitan, Cipinang, Cibubur, Cipayung, Cikini, dan Ciracas. ‘Ci’ berasal dari bahasa Sunda yang berarti air.

Sumber gambar, Hilman Hamdoni
Baca juga:
Ada juga nama wilayah yang berawalan dengan ‘rawa’ seperti Rawamangun, Rawasari, Rawabunga, dan Rawabelong. Rawa adalah tempat air berkumpul.
Belum lagi nama kawasan yang berawalan kata ‘kali’ yang juga masih bertahan dalam peta resmi dan papan jalan.
“Nama seperti Roa Malaka. misalkan, ada sumber yang menyebutkan berasal dari kata ‘rawa’ dan ‘melaka’ sejenis pohon ceremai,” kata Nazaruddin, linguis dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Di daerah Cililitan, di dekat wilayah yang kerap jadi langganan banjir ada juga nama ‘tradisional’ seperti Rawa Sepat.
“Nama daerah itu identik dengan ikan sepat yang muncul di bantaran Sungai Ciliwung,” ujar Nazaruddin.
Toponimi atau nama daerah kata Nazar adalah ‘fosil hidup’ untuk mempelajari sejarah, budaya, dan bahasa.
“Toponimi dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana suatu wilayah berubah dan berkembang.”
Akan tetapi, praktik mengabadikan air atau ekosistem yang terkait dengannya pada nama-nama tempat tidak berlanjut atau kurang populer.
Perumahan atau klaster yang tumbuh bak jamur di wilayah seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor tidak terlalu banyak mengambil unsur air di dalam namanya.
Sebut saja nama-nama perumahan seperti Vila Nusa Indah, Pondok Gede Permai, Kemang Pratama, Villa Jatirasa, dan Bumi Anugerah Sejahtera.
Nama-nama perumahan ini terkena dampak banjir yang berlangsung beberapa waktu lalu.
Nama-nama baru itu mungkin melambangkan harapan.
“Terlepas dari baik dan buruknya, perubahan nama itu menjadi cara mereka beranjak menuju masa depan. Dan kadang-kadang (dengan cara) melupakan masa lalu,” kata Nazaruddin.
Menimpa ingatan dengan kekuasaan
Ada banyak cara untuk mengabadikan sejarah, ingatan, atau pelajaran terhadap sebuah lokasi.
Memberikan nama-nama tokoh pahlawan pada sebuah tempat atau jalan adalah praktik yang lazim.
Ini adalah bentuk penghormatan yang kadang-kadang membawa kontroversinya sendiri.

Sumber gambar, Edy Purnomo/Getty Images
“Kasus menarik, ketika Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengubah 22 nama jalan menjadi nama-nama tokoh Betawi. Mungkin niatnya baik. Tapi di sisi lain berarti ada yang hilang di situ, yaitu penamaan yang sesuai dengan ekosistem yang ada. Lingkungan semakin terpinggirkan,” kata Nazaruddin.
Beberapa nama yang diusulkan itu antara lain Jalan Guru Ma’mun untuk menggantikan Jalan Rawa Buaya, Jakarta Barat; Jalan Mashabi dan. Jalan HM Saleh Ishak untuk menggantikan Jalan Kebon Kacang Raya Sisi Utara dan Selatan; Jalan A. Hamid Arief untuk menggantikan Jalan Tanah Tinggi 1 gang 5, Jakarta Pusat.
Ringkasnya, kata Nazaruddin, “Toponimi itu erat kaitannya dengan pandangan politik dan juga otoritas.”