Apa yang memicu tren kenaikan penyakit sifilis di Indonesia dan dunia?

Sumber gambar, Getty Images/Peter Dazeley
Kasus sifilis di berbagai belahan dunia terus meningkat, termasuk di Indonesia—yang mencapai 23.000 orang lebih hanya dari tahun lalu. Mereka yang mengidap berusia 15 hingga 16 tahun. Berbagai proyek infrastruktur dan pengembangan kawasan pariwisata perlu diwaspadai sebagai titik transmisi baru.
Perempuan berusia 15 tahun itu datang sendiri ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika, Papua. Pada pertemuan pertama, tak terlihat rasa takut menghadapi pemeriksaan.
“[Pada pertemuan] pertama biasa saja. Setelah dijelaskan penyakitnya, baru mereka kelihatan takut. Karena waktu datang, mereka kan belum tahu penyakitnya apa,” kata dokter Anne Kristina, dokter spesialis kulit dan kelamin di RSUD Kabupaten Mimika.
Beberapa bulan kemudian, pasien lainnya datang, juga sendirian. Setelah tes laboratorium, pasien perempuan 16 tahun ini juga diketahui mengidap sifilis.
“Pada kedatangan berikutnya, saya suruh keluarganya ikut datang,” katanya lagi.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Lebih dari 23.000 orang Indonesia kena raja singa alias sifilis pada 2024, menurut data dari Kementerian Kesehatan. Jumlah ini konsisten naik dari tahun ke tahun.
Otoritas kesehatan juga menyebutkan penyakit raja singa meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2016 hingga 2022, terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari 12.000 kasus menjadi 21.000 kasus.
BBC News Indonesia telah menghubungi direktur penyakit menular Kementerian Kesehatan, namun hingga artikel ini diterbitkan belum mendapat respons.
Peningkatan kasus sifilis di Indonesia, sejalan dengan peningkatan kasus sifilis secara global. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 8 juta orang dewasa di dunia mengidap penyakit ini. Usianya merentang dari 15 hingga 49 tahun alias usia produktif.
Setiap bulan, ada saja pasien baru
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
DKI Jakarta dan Jawa Barat berada di peringkat dua teratas provinsi dengan jumlah kasus sifilis terbanyak, yakni 3.715 dan 3.310 diikuti Papua Barat dengan 2.254 kasus.
Provinsi Papua menduduki posisi ke-empat secara nasional kasus sifilis. Provinsi ini menyumbang 1.765 kasus, menurut dokumen Kementerian Kesehatan yang diperoleh BBC News Indonesia.
Di rumah sakit tempat praktik dokter Anne, kebanyakan pasien sifilis berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Mereka yang hidup dengan sifilis, kebanyakan sudah tak lagi menunjukkan tanda-tanda fisik infeksi penyakit yang disebabkan bakteri ini.
“Paling banyak memang pasien yang sifilis laten karena pasiennya biasanya tidak bergejala. Jadi ditemukan secara kebetulan karena proses MCU seperti itu, itu yang paling banyak,” kata dokter Anne.
Di antara pasien sifilis, juga ada dari kaum ibu. Mereka kemungkinan besar mendapatkan bakteri tersebut dari pasangan seksual.
“Kalau di ruangan rawat inap, paling sering ibu-ibu hamil,” tambahnya.
Para pasien di kliniknya merentang usianya dari 20 hingga 40 tahun. Tapi ada juga yang lebih muda dari itu. Seperti dua perempuan berusia 15 dan 16 tahun.

Sumber gambar, Getty Images/Kitsawet Saethao
Di Pusat Kesehatan Reproduksi Kota Jayapura, Papua, setiap bulan hampir pasti ada saja pasien baru sifilis yang masuk.
“Kebanyakan sih datang untuk skrining. Ketika hasilnya keluar dan ternyata positif, baru mereka tahu saat itu ketahuan ada sifilis juga,” kata Dokter Melisa Hascatri Wulan, dokter umum di fasilitas tersebut kepada Ikbal Asra, wartawan di Papua yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Melisa mengatakan pasien yang datang bervariasi. Tidak cuma orang dewasa, ada juga pasien yang masih muda.
Tapi yang paling banyak dia temukan, paling tidak selama satu tahun berpraktik di pusat kesehatan ini, adalah kasus sifilis yang terjadi pada ibu hamil.
Penyebaran sifilis menurut dokter Melisa juga paling banyak disumbang karena ketidaktahuan pasien pada risiko penyakit.
“Memang kurangnya edukasi membuat mereka menjalani perilaku seksual yang tidak aman. Banyak yang hanya berpikir untuk bersenang-senang, tapi karena kurang pengetahuan, akhirnya berisiko terkena sifilis.”
Tapi sekarang kata dokter Melisa kesadaran untuk memeriksakan diri sudah meningkat. Secara terbuka dan atas kemauan sendiri, banyak pasien yang datang ke kliniknya.
Tapi tentu saja, lanjut dokter Melisa, itu bukannya tanpa tantangan.
“Ada juga pasien yang perlu diyakinkan dulu, terutama yang takut suntik atau malu. Ada yang langsung mau diterapi, tapi ada juga yang menunda karena alasan pribadi atau infeksi lain,” tutupnya.

Sumber gambar, Getty Images
Gibran adalah salah satu pasien sifilis di Papua. Dia mengetahui dirinya mengidap sipilis usai pemeriksaan lanjutan setelah dirinya didiagnosis positif HIV pada 2010.
“Intinya bahwa sudah ada virus yang satu di dalam, kemudian ada bakteri bakteri lain muncul seperti tuberkulosis dan sifilis, apa lain sebagainya,” kata Gibran.
Gibran adalah ketua Rojali Papua, komunitas yang mengampanyekan kesetaraan dan antidiskriminasi, serta memberikan edukasi terkait kesehatan seksual termasuk bahaya infeksi menular seksual seperti HIV-AIDS.
Hingga sekarang Gibran tidak tahu dari mana virus dan bakteri itu berasal. Tapi, menurutnya, mungkin ada kaitannya dengan gaya hidupnya.
“Masa muda dengan segala aktivitas yang membuat kita tidak fokus pada masa depan. Kita tidak peduli dengan kita punya diri mau sehat atau tidak. Yang penting hedon dan tidak penting tanggapan orang tentang kita.”
Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Setelah mengalami berbagai hal, mulai dari penyangkalan hingga penerimaan terhadap penyakit yang dideritanya, hingga diskriminasi dan dilema yang dialami karenanya, Gibran kini fokus pada kondisi kesehatannya.
Dia menjalani gaya hidup sehat dan aktif berkampanye bersama komunitasnya untuk mencegah penyebaran infeksi menular seksual.
“Saya mengingatkan kepada komunitas pilihan hidup dan mati ada di tanganmu, mau lanjutkan obat atau tidak.”
“Jangankan cuma tahu kasih turun celana di bawah, tapi otak di atas tidak mau terbuka,” kata Gibran, seraya menekankan pentingnya informasi dalam pencegahan penularan.
Tren angka sifilis dunia juga meningkat
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 8 juta orang dewasa di dunia mengidap penyakit ini. Usianya merentang dari 15 hingga 49 tahun alias usia produktif.
Pada 2024, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat melaporkan kasus sifilis mencapai tingkat tertinggi dalam lebih dari satu dekade.
Pada 2022 terdapat 203.500 kasus sifilis. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari 2018.
Kasus sifilis meningkat sebesar 17% antara 2021 dan 2022, dan melonjak sebesar 32% antara 2020 dan 2021 untuk mencapai jumlah insiden tertinggi yang dilaporkan dalam 70 tahun.
Data dari UK Health Security Agency (UKHSA) menunjukkan kasus sifilis terus meningkat sejak awal 2000-an, dengan 9.535 diagnosis sifilis tahap awal pada 2024, naik 2% dari tahun sebelumnya.
Jika termasuk sifilis tahap lanjut, total kasus mencapai 13.030, meningkat 5% dibandingkan 2023.
Apa itu penyakit sifilis, gejala dan bagaimana cara penyebarannya?
Sifilis atau raja singa adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan bakteri treponema pallidum.
Sifilis menyebar lewat praktik seks oral, vagina, dan anal. Penyakit ini juga dapat diturunkan lewat kehamilan dan melalui transfusi darah.
Pengidap sifilis dalam kondisi hamil, jika tidak mendapatkan perawatan atau terlambat ditangani, atau penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan gangguan kelahiran hingga 50−80%, kata WHO.
Sifilis adalah salah satu infeksi menular seksual tertua yang dikenal peradaban manusia.
Baca Juga:
Di Indonesia dikenal sebagai raja singa. Penyakit ini punya banyak nama sejak tercatat pertama kali pada 1490-an, misalkan ‘penyakit Prancis’, ‘penyakit Neapolitan”, atau “penyakit Polandia.”
Salah satu nama yang paling populer “si Penipu Ulung” alias “the great imitator”.
Sifilis mampu menyaru sebagai gejala infeksi biasa semacam luka kecil atau ruam, yang diikuti demam, sakit kepala, nyeri otot, atau kelelahan.
Jika dibiarkan, raja singa bisa merembet pada gangguan kerusakan otak, serangan jantung, kebutaan, menular pada bayi, dan bisa menjadi pintu masuk untuk penyakit lainnya: HIV.
Apa ciri-ciri orang yang menderita sifilis, gejala dan tahapan-tahapannya?
Mereka yang datang ke ruang periksa dokter Anne Kristina, dokter spesialis kulit dan kelamin di RSUD Kabupaten Mimika, kebanyakan berasal dari pasien ‘sifilis laten’.
Ini artinya, tidak ada gejala-gejala fisik yang lazimnya terjadi pada fase primer dan sekunder.
“Paling banyak memang pasien yang sifilis laten. Karena pasiennya biasanya tidak bergejala, jadi ditemukan secara kebetulan karena proses MCU seperti itu,” katanya dokter Anne.
Secara sederhana, katanya, sifilis bisa dibagi dalam beberapa tahapan.
“Sifilis primer itu ada luka di mulut atau di kemaluan. Kalau sifilis sekunder itu ada lesi kulit di tubuh”.
Lesi adalah ruam atau bagian kulit yang mengalami kerusakan atau abnormal.
“Tapi yang paling banyak sifilis laten,” katanya.
Umumnya, tambah dokter Anne, periode sifilis primer dilalui dan langsung melompat ke fase laten.
“Jadi enggak melewati sekunder. Jadi kita enggak tahu itu seberapa lama dia sudah terinfeksi,” jelasnya.

Sumber gambar, Getty Images/Stocktrek Images
Dikutip dari laman WHO, di fase pertama atau fase primer, gejala sifilis biasanya diawali dengan munculnya “chancre” semacam luka bulat, tidak nyeri, dan biasanya keras di sekitar alat kelamin, anus, atau di tempat lain.
Pertumbuhan chancre seringkali tidak disadari dan akan ‘sembuh’ sendiri dalam waktu 3-10 hari.
Tapi fase ini segera berlanjut ke fase kedua, fase sekunder.
Ruam-ruam yang tidak gatal mulai muncul di telapak tangan atau telapak kaki disertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening umum, demam, sakit kepala, nyeri sendi, atau rambut rontok yang tidak merata.
Pada fase ini, gejala bisa saja disembuhkan, tapi infeksi tetap ada.
Fase ketiga terjadi manakala sifilis menjadi laten karena infeksi di fase pertama dan kedua tidak terobati.
Di fase ini, tidak ada gejala apa pun, meski bakteri masih ada di dalam tubuh.
Bakteri ini akan terus bertahan seumur hidup inang, jika tidak diobati dan akan menjadi sifilis tersier.
Sifilis pada tahap akhir terjadi pada sebagian kecil orang yang tidak diobati, 10-30 tahun setelah infeksi awal.
Infeksi berpengaruh terhadap sistem saraf, jantung, mata, dan organ lain, menyebabkan kerusakan parah dan terkadang kematian.
Infeksi juga menyebabkan kerusakan kulit, masalah tulang, masalah jantung dan otak.
Sifilis apakah bisa sembuh?
Dokter spesialis kulit dan kelamin, Yudo Irawan, sudah berpengalaman menghadapi banyak pasien sifilis.
Berdasarkan pengalamannya, masih banyak pasien yang salah paham dengan sifilis—yang akhirnya menuntun pada risiko kesehatan yang lebih besar lagi.
“Dia [pasien] bisa merasa aman kalau melakukannya [aktivitas seksual] baru sekali. Atau misalnya tidak sampai melakukan aktivitas penetrasi. Atau bahkan misalnya mengira [sifilis] ini hanya melalui seksual saja. Padahal bisa saja dari ibu hamil ke janinnya,” kata dokter Yudo.
Pada kutub yang lain, kata dia, tak sedikit mereka yang terkena sifilis merasa tak punya harapan akan sembuh.
“Kalau sudah terdiagnosis sifilis, maka [berprasangka] pasti tidak akan bisa sembuh. Jadi sudah pasrah. Ya, enggak bakal sembuh juga ngapain berobat, gitu. Itu sebenarnya salah, karena sifilis ini masih bisa dapat disembuhkan dengan sempurna,” tambahnya.
Ketersediaan penisilin
Dokter Yudo bilang, di belahan dunia mana pun rekomendasi terapi penyembuhan sifilis adalah dengan penggunaan injeksi penisilin.
Jenis antibiotik ini sudah terhitung lama, tapi masih sangat efektif menyembuhkan sifilis.
Tapi perkaranya, penisilin sudah jarang digunakan untuk penyakit-penyakit lain.
“Jadi memang ketersediaannya itu sangat terbatas. Mungkin jadi kurang menarik untuk pihak-pihak farmasi memproduksinya,” katanya.
Ini menjadi persoalan global, kata dokter Yudo.
“Jadi bukan cuma di Indonesia, di dunia itu sudah masalah global karena pabrikan-pabrikan itu tidak banyak yang berminat untuk memproduksi dan mendistribusi,” jelasnya.
Mengapa kasus sifilis meningkat?
Ada banyak faktor yang berkontribusi pada peningkatan jumlah pengidap sifilis, kata dokter Yudo.
Kenaikan itu bisa disumbang semakin baiknya pencatatan dan keterampilan petugas kesehatan dalam mendeteksi penyakit ini.
“Dari sisi positifnya, banyaknya tenaga kesehatan yang sudah mulai mampu mendiagnosis dengan baik.”
“Masyarakat sudah mulai aware (sadar) dengan kondisi kesehatannya atau faktor risiko. Misalnya dia merasa dirinya berisiko tinggi, maka dia melakukan cek mandiri atau melakukan cek sendiri,” katanya.
Faktor lain, perubahan gaya hidup.
“Misalnya orang-orang saat ini sudah mulai banyak yang memiliki pasangan seksual lebih dari satu,” kata dokter Yudo.
“Kemudian juga penggunaan alat pengaman seperti kondom yang juga angkanya masih naik dan turun. Mungkin karena malu membeli atau masih takut di-judge orang.”

Sumber gambar, Getty Images/Kinga Krzeminska
Perkembangan teknologi informasi dan dunia digital juga mesti direken, menurut dokter Yudo.
Mencari pasangan melalui aplikasi kencan, dan kemudahan mencari tempat berhubungan seks juga dicurigai berkontribusi pada peningkatan kasus sifilis.
“Seperti menyewa tempat tinggal staycation harian atau jam-jaman. Atau juga orang-orang yang menjajakannya juga sekarang merambah ke dunia digital,” kata dokter Yudo.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, ikut menyoroti perkembangan teknologi hingga ke pelosok-pelosok yang mengubah gaya hidup.
“Laju kecepatan perilaku yang beresiko ketimbang laju pengendalian dan pengobatan itu kalah cepat. Kalah edukasi,” katanya.
Yang membuatnya lebih parah adalah apa yang disebut Hermawan sebagai “silent behaviour”.
Perilaku yang berisiko ini umumnya hanya diketahui oleh yang bersangkutan sendiri dan jarang terungkap, akibatnya transmisi penyakit juga berlangsung tanpa disadari.
“Ini yang saya sebut silent behavior pada akhirnya terjadi silent transmission,” jelasnya.
Karena itu untuk mengendalikan sifilis, lanjutnya, harus ada upaya peningkatan investigasi dan penelusuran yang kuat, “termasuk akses pelayanan yang ada di setiap komunitas berisiko”.
Mengantisipasi risiko proyek-proyek pembangunan
Yang juga perlu diantisipasi pemerintah untuk mengendalikan angka sifilis, dan berbagai infeksi menular seksual lainnya adalah berbagai proyek-proyek pembangunan infrastruktur atau pengembangan kawasan pariwisata.
“Tentu saja memang di daerah-daerah kota besar, terutama destinasi wisata, ini juga memang berkembang besar,” kata Hermawan.
Aneka proyek pembangunan infrastuktur biasanya menarik para pekerja dari luar wilayah kerap kali diikuti oleh munculnya praktik prostitusi.
Dokter Yudo tidak dapat menutup mata pada fenomena yang bisa menjadi salah satu titik transmisi penyakit menular seksual ini.
“Contohnya ada pembangunan kota baru ternyata diikuti adanya lokasi-lokasi yang rawan dalam tanda kutip gitu. Atau sudah disediakan pihak-pihak yang memang menjajakan [jasa prostitusi],” katanya.
Proyek pembangunan ini bukan hanya di kota besar, tapi juga di daerah-daerah berkembang. Untuk itu, kegiatan-kegiatan promosi pencegahan harus ditingkatkan di daerah-daerah tersebut, katanya lagi.
Bagaimana menekan angka kasus sifilis?
Sifilis dapat dicegah dan disembuhkan.
Penggunaan kondom yang benar dan konsisten selama berhubungan seks dapat mencegah sifilis.
Tes cepat dapat memberikan hasil dalam beberapa menit, yang memungkinkan inisiasi pengobatan pada kunjungan klinik yang sama.
Ketua IAKMI Hermawan Saputra mengatakan untuk menekan angka sifilis harus dilakukan kendali dan pelacakan yang kuat selain memperbaiki sistem penyediaan layanan pengobatan.

Sumber gambar, Getty Images/Peter Dazeley
Kampanye di berbagai sektor yang sebenarnya sudah ada, kata dokter Yudo juga mesti dikolaborasikan—ini yang katanya belum terjadi.
“Yang bisa saya lihat di sini adalah masih kurangnya kolaborasi,” kata dokter Yudo.
Yang tidak kalah penting adalah warga harus mencari informasi dari sumber yang tepat “karena banyak juga yang tidak kompeten”.
“Jadi, jangan mudah termakan hoaks. Atau jangan mudah panik. Silakan, sekarang banyak sekali sumber-sumber berita atau informasi, misalnya dari laman perhimpunan dokter spesialis kami, atau aplikasi Instagram, dan lain-lain, itu silakan monggo dibuka-buka,” katanya.
Bagaimana cara mengobati sifilis?
Dalam skenario yang optimistis, pengobatan sifilis bisa memakan waktu cepat “sekitar satu minggu sampai tiga minggu”.
Tapi dokter Yudo bilang, dalam beberapa kasus individual, lama pengobatan juga akan bervariasi dan bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga tahunan.
“Mungkin yang agak lama itu adalah evaluasinya. Jadi, setelah kita lakukan pengobatan, kita harus melakukan evaluasi. Misalnya, dengan cek ulang laboratorium darahnya, atau misalnya cek ulang gejala klinisnya.
Nah, itu yang bisa mengambil waktu yang lebih lama. Misalnya bisa dalam satu bulan, tiga bulan, bahkan paling lama itu bisa sampai dua tahun,” tandasnya.