KUBET – Tanggul laut raksasa di utara Jawa ‘solusi palsu’ dan ‘bawa masalah baru’, kata aktivis lingkungan

Tanggul laut raksasa di utara Jawa ‘solusi palsu’ dan ‘bawa masalah baru’, kata aktivis lingkungan

Tanggul laut di utara Pulau Jawa.

Sumber gambar, Antara Foto/Aji Styawan

Keterangan gambar, Rencana Presiden Prabowo Subianto membangun tanggul laut raksasa atau giant sea wall (GSW) di pesisir utara Pulau Jawa dianggap sebagai “solusi palsu” untuk mengatasi banjir rob yang justru menyengsarakan masyarakat.

Rencana Presiden Prabowo Subianto membangun tanggul laut raksasa atau giant sea wall (GSW) di pesisir utara Pulau Jawa dianggap aktivis lingkungan sebagai “solusi palsu” untuk mengatasi banjir rob.

“GSW itu solusi palsu yang tidak menyelesaikan masalah, yaitu penurunan tanah. Katanya solusi, tapi malah jadi masalah baru yang menyengsarakan masyarakat,” ujar Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Erwin Suryana.

Peneliti Destructive Fishing Watch (DFW), Luthfian Haekal, mengatakan berbagai masalah itu sebenarnya sudah dapat terlihat dalam pembangunan tanggul laut di Jakarta sebelumnya.

“Karena itu, menurut survei kami, sebanyak 56,2% masyarakat sekarang tidak setuju giant sea wall karena khawatir dampak lingkungan dan mata pencaharian hilang, terutama di kalangan nelayan,” ucap Luthfian.

Lebih jauh, Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, mengatakan dalam jangka panjang, GSW justru dapat menimbulkan banjir yang lebih besar. Pada akhirnya, menurut Elisa, masyarakat malah tambah sengsara.

Bagaimana rencana Prabowo membangun tanggul raksasa?

Pada Kamis (12/06) lalu, Prabowo menegaskan pemerintahannya akan segera memulai proyek pembangunan tanggul raksasa di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa.

“Proyek ini sangat vital dan sudah ada di perencanaan Bappenas sejak tahun 1995. Tidak ada lagi penundaan,” ujar Prabowo dalam Konferensi Infrastruktur Internasional di Jakarta, Kamis (12/06).

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Prabowo menjelaskan tanggul itu akan membentang dari Banten hingga Gresik, Jawa Timur, dengan panjang sekitar 500 kilometer.

Menurut Prabowo, proyek itu diperkirakan bakal memakan dana US$80 miliar atau setara Rp1.298 triliun dengan waktu pengerjaan sekitar 15-20 tahun.

Prabowo mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat akan patungan untuk membiayai pembangunan GSW tersebut. Saat ini, kata Prabowo, DKI Jakarta memang masih menjadi prioritas.

Proyek ini sendiri sebenarnya merupakan perluasan dari pembangunan tanggul laut di utara Jakarta yang sudah dimulai sejak 2014 melalui program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Gagasan memperluas cakupan pembangunan tanggul mulai mencuat di akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pada Januari 2024, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa banjir rob akibat penurunan permukaan tanah di sepanjang pesisir utara Jawa sudah mengkhawatirkan.

Menurutnya, penurunan permukaan tanah di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura) sudah mencapai 1-25 cm per tahun.

Prabowo—yang saat itu masih menjabat sebagai menteri pertahanan—menyatakan pembangunan tanggul laut bisa menjadi jawaban atas segala permasalahan akibat penurunan tanah di Jawa.

Kini, Prabowo memasukkan proyek GSW ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

“Jakarta prioritas. Selanjutnya, Semarang, Pekalongan, Brebes, airnya itu sudah mengancam kehidupan rakyat kita. Harus segera kita laksanakan,” katanya.

Tanggul dikhawatirkan menambah masalah baru

Rencana Prabowo ini langsung menuai kritik dari masyarakat dan pengamat. Mereka khawatir tanggul ini malah akan menimbulkan masalah baru bagi masyarakat pesisir, terutama nelayan.

Kekhawatiran ini muncul setelah masyarakat melihat berbagai masalah yang timbul akibat proyek NCICD di Jakarta sebelumnya.

Survei Destructive Fishing Watch (DFW) yang dirilis pada 30 April lalu menunjukkan 56,2% masyarakat tidak setuju pembangunan GSW di sepanjang pesisir utara Jawa.

“Sebanyak 56,2% masyarakat sekarang tidak setuju giant sea wall karena khawatir dampak lingkungan dan mata pencaharian hilang, terutama di kalangan nelayan,” ucap peneliti DFW, Luthfian Haekal, kepada BBC News Indonesia.

Luthfian menjelaskan berdasarkan pengalaman NCICD, banyak nelayan kesulitan melaut. Setiap melaut, para nelayan harus memutar lebih jauh karena jalur mereka kini terhalang tanggul laut.

Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Erwin Suryana, menuturkan banyak nelayan juga mengeluhkan hasil tangkapan yang berkurang setelah program NCICD berjalan.

Nelayan mengeluhkan hasil tangkapan ikan berkurang.

Sumber gambar, Antara Foto/Andri Saputra

Keterangan gambar, Pembangunan tanggul dikhawatirkan menambah masalah baru bagi nelayan.

Ia menjelaskan pembangunan tanggul melibatkan proses pengerukan. Sedimentasi dari pengerukan itu akan tersebar hingga menutupi terumbu karang.

Jika sudah tertutup, terumbu karang pada akhirnya akan mati.

“Terumbu karang itu kan menjadi rumah buat ikan untuk berkembang biak. Kalau tidak ada, otomatis ikan juga tidak ada. Tangkapan nelayan berkurang,” tuturnya.

Hingga kini, belum ada riset mengenai potensi kerugian nelayan jika proyek tanggul laut dilanjutkan sampai ke Jawa Timur.

Namun, program NCICD di Jakarta saja diperkirakan merugikan nelayan hingga puluhan miliar rupiah setiap tahunnya, berdasarkan kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2016.

Selain itu, kerusakan terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya dikhawatirkan dapat mematikan pariwisata di pesisir utara Jawa.

“Karimun Jawa dan beberapa titik lainnya itu potensi pariwisata lautnya besar sekali, tapi kalau sampai rusak, ya hilang sudah potensi-potensi itu,” kata Erwin.

‘Solusi banjir malah bikin banjir’

Tak hanya khawatir masalah kerugian secara langsung, masyarakat dan pengamat juga ragu tanggul yang dibangun tidak akan jebol dan malah memicu banjir.

“Kalau melihat pengalaman sebelumnya, banyak tanggul jebol. Solusi banjir, malah bikin banjir. Ya, masyarakat malas,” ujar Erwin dari KIARA.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Hardiyanto Kenneth, juga sempat menyinggung ironi ini pada Desember lalu.

“Pada kenyataannya, saat ini banyak tanggul-tanggul di sepanjang garis pantai itu jebol hingga air membanjiri permukiman hingga jalan raya, padahal tanggul itu idealnya dibuat melindungi wilayah pesisir Jakarta dari pasang laut,” kata Kenneth, seperti dikutip kantor berita Antara.

Erwin mengungkap saat ini, para nelayan di pesisir pun sudah pesimistis karena mereka tahu segala konstruksi fisik di laut tidak akan bertahan lama.

“Kalau kita bangun sesuatu di pantai, misalnya pemecah gelombang, pasti dalam jangka waktu tertentu mereka hancur karena sifat air laut lebih abrasif, lebih korosif, sehingga kemudian lebih cepat untuk menghancurkan,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, mengatakan tanggul itu memang tak akan bertahan lama jika pemerintah tak terlebih dulu mengatasi masalah utama banjir rob, yaitu penurunan permukaan tanah atau land subsidence.

“Kalau land subsidence-nya tidak dibenahi, maka temboknya akan turun atau patah seperti yang terjadi Muara Baru pada Desember 2019,” katanya.

Tanggul di Muara Baru.

Sumber gambar, Antara Foto/Rivan Awal Lingga

Keterangan gambar, Tanggul Muara Baru di Jakarta jebol pada 2019.

Elisa mengatakan bahwa segala permasalahan ini seharusnya bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah.

Giant sea wall di Jakarta sendiri sudah dinyatakan oleh IPCC sebagai maladaptive infrastructure, memberikan dampak negatif ke masyarakat, apalagi yang seluruh Jawa,” ujar Elisa.

Elisa merujuk pada laporan salah satu badan PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2022.

Dalam laporan itu, IPCC menyebut bahwa solusi penanganan banjir yang berupa pembangunan infrastruktur dapat menjadi “maladaptasi” jika diterapkan dalam jangka panjang.

IPCC menjabarkan sejumlah contoh kasus, salah satunya proyek tanggul laut Jakarta “yang bertujuan mengurangi risiko banjir malah diperkirakan menambah risiko banjir bagi penduduk urban yang paling miskin.”

Elisa mengatakan bahwa tanggul itu malah berpotensi memicu banjir “karena GSW itu akan menutup teluk-teluk dan muara sungai, maka dia akan mempercepat sedimentasi. Sedimentasi itu memperlambat aliran sungai ke laut.”

‘Narasi sesat’ solusi banjir

Walau sudah dibanjiri kritik sejak NCICD berjalan, pemerintah tetap bersikeras memperluas program itu hingga sepanjang pesisir utara Jawa.

Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan GSW sangat penting untuk melindungi berbagai kepentingan di kawasan itu.

Ia mencatat degradasi di pesisir mengancam keberadaan dari 70 Kawasan Industri, lima Kawasan Ekonomi Khusus, 28 Kawasan Peruntukan Industri, lima Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri.

Di pesisir utara Jawa juga berdiri berbagai infrastruktur logistik nasional, seperti bandara, jalur kereta api, hingga pelabuhan.

“Studi JICA [menunjukkan] pertumbuhan di kawasan Pantura 20% dari GDP Indonesia dengan kegiatan industri, perikanan, transportasi, dan pariwisata,” ucap Airlangga.

“Jumlah penduduk di Pantura itu 50 juta, jadi yang terdampak 50 juta orang. Nah, tentu tidak hanya membahayakan kelangsungan ekonomi dan infrastruktur tetapi juga kelangsungan hidup masyarakat.”

Pengamat menganggap narasi ini berbahaya. Masalahnya, keberadaan industri besar-besaran lah yang memicu penurunan permukaan tanah di utara Jawa.

Kepala Bidang Pengendalian Rob dan Pengembangan Pesisir Pantai Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Ciko Tricanescoro, sendiri sudah mengakui penurunan tanah di pesisir utara itu akibat kegiatan industri.

“Pusat industri semua di utara. Yang membuat penurunan tanah itu pasti aktivitas industri, pelabuhan yang besar. Itu butuh air tanah cukup banyak, makanya fenomena (penurunan tanah) terjadi di utara,” ujarnya.

Walhi pun mendesak pemerintah untuk mencari solusi dari penurunan tanah di utara Jawa yang menjadi akar masalah dari banjir rob.

“Solusinya bukan dengan membangun tanggul laut raksasa, tetapi dengan mengevaluasi dan mencabut berbagai izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa,” demikian pernyataan Walhi.

Tak hanya itu, sejumlah pengamat juga menganggap narasi pemerintah untuk memberikan “rasa aman” dengan pembangunan tanggul ini sebenarnya “sesat”.

Peneliti lulusan Ocean University of China, Elisabeth Augustina Issantyarni, menyatakan rasa aman ini pada akhirnya akan meningkatkan investasi di wilayah pesisir.

Sementara itu, daratan pesisir biasanya terbentuk dari tanah aluvial atau endapan sungai selama ratusan tahun, sehingga strukturnya lebih lunak ketimbang wilayah di tengah pulau.

Semakin banyak struktur bangunan berat yang berdiri di wilayah pesisir, kerentanan fisik tanah itu pun kian meningkat.

“Peningkatan ini termanifestasikan dalam laju penurunan muka tanah yang cepat dan dalam. Bencana banjir pun menjadi keniscayaan, dan ini hanya soal waktu,” tulis Elisabeth dalam jurnalnya pada 2017 silam.

Pembangunan tanggul di utara Pulau Jawa.

Sumber gambar, Antara Foto/Aji Styawan

Keterangan gambar, Rasa aman karena keberadaan tanggul dianggap berbahaya.

Elisabeth pun menyebut pembangunan tanggul ini sebagai paradoks. Di satu sisi, tanggul memberikan rasa aman untuk sementara waktu, padahal kerentanan wilayah pesisir meningkat.

“Kerugian yang ditimbulkan akan lebih besar daripada saat bencana menerjang wilayah tersebut sebelum ada tanggul,” tulisnya.

“Tindakan reaktif pemerintah dan swasta membangun tanggul bukan semata bertujuan melindungi manusia dan ruang hidup, tetapi lebih untuk menjaga modal yang telah diinvestasikan supaya dapat terus berkembang.”

Erwin sepakat. Menurutnya, pembangunan tanggul ini juga pada akhirnya hanya untuk mendatangkan proyek-proyek dan investasi baru.

“Solusi-solusi instan yang bisa mendatangkan proyek-proyek memang sangat disenangi birokrat kita. kalau sudah ada sirkuit-sirkuit modal baru, pasti akan ada cerita perampasan ruang dan penggusuran,” katanya.

“Saya yakin model yang diciptakan ini pasti sepenuh-penuhnya mengabaikan kebutuhan dari mereka yang hidup di wilayah pesisir. Solusi yang katanya untuk masyarakat pesisir, malah menyengsarakan mereka.”

Tinggalkan Balasan