Dugaan korupsi pengadaan laptop era Nadiem yang dimulai dari ambisi digitalisasi – Bagaimana duduk perkaranya?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Ferlian Septa Wahyusa
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Kejaksaan Agung memanggil tiga staf khusus mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, sebagai saksi dalam dugaan kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook yang memiliki pagu anggaran senilai lebih dari Rp9 triliun, Selasa (10/6). Dari ketiganya, hanya satu yang datang memenuhi panggilan.
Ketiga mantan staf khusus (stafsus) Nadiem itu adalah Fiona Handayani, Jurist Tan, dan Ibrahim Arif. Fiona datang ditemani tiga kuasa hukum. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi dari kejaksaan apakah Jurist dan Ibrahim memenuhi panggilan.
Pemeriksaan stafsus Nadiem berkaitan dengan pengusutan dugaan kasus korupsi penyediaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi periode 2019-2022, yang diklaim bagian dari program digitalisasi pendidikan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyebut lembaganya telah tiga kali memanggil eks stafsus Nadiem. Pada dua pemanggilan sebelumnya, tak satu pun dari ketiganya yang datang.
Nadiem, dalam konferensi pers, Selasa (10/6), menyebut pengadaan komputer jinjing Chromebook ialah langkah mitigasi menekan risiko bahaya learning loss—hilangnya pembelajaran.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Konteksnya, pengadaan Chromebook dilakukan kala pandemi Covid-19, yang memaksa kegiatan belajar mengajar (KBM) secara offline ditiadakan.
Nadiem membuat klaim pengadaan Chromebook “sudah melewati kajian yang komprehensif.”
Dugaan korupsi yang menyeret tiga mantan stafsus Nadiem ini menambah panjang daftar kasus penyelewengan anggaran di sektor pendidikan.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan terus terulangnya korupsi di bidang pendidikan berakar dari, salah satunya, tata kelola yang tidak akuntabel.
Sementara laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pengelolaan anggaran yang buruk berdampak terhadap pelayanan pendidikan di Indonesia.
Mula kasus dan hubungannya dengan Nadiem
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Pengadaan laptop merupakan ambisi Nadiem ketika menjabat sebagai menteri, yang terangkum lewat kebijakan digitalisasi pendidikan.
Usaha Nadiem untuk membuat pendidikan Indonesia lebih maju dilakukan dengan, setidaknya, empat saluran, yakni Merdeka Mengajar, Kampus Merdeka, Sumber Daya Sekolah, dan Profil Rapor Pendidikan, Manajemen Data, serta Infrastruktur.
Pada 2021, rencana digitalisasi pendidikan direalisasikan lewat pemberian laptop kepada guru dan murid di seluruh Indonesia, dari tingkat PAUD, SD, SMP, hingga SMA.
Dalam terminologi Kemendikbudristek, laptop ini disebut sebagai alat teknologi informasi dan komunikasi alias TIK.
Waktu itu, Nadiem bilang hendak mengirimkan nyaris 200 ribu laptop ke 12 ribu sekolah. Anggaran proyek laptop tersebut bernilai Rp1,3 triliun.
“Sebanyak 100% anggaran itu akan dibelanjakan untuk laptop produk dalam negeri dengan sertifikat tingkat komponen dalam negeri (TKDN),” ujar Nadiem, yang turut mendirikan aplikasi Gojek.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2021 lantas menjadi pijakan dari implementasi atas pemenuhan digitalisasi. Satu pasal memuat poin ihwal pengadaan peralatan teknologi, informasi, komunikasi, dan media pendidikan.
Pembahasan tentang “pengadaan peralatan teknologi” itu dijabarkan cukup detail di bagian lampiran yang menempel pada Permendikbud 5/2021.
Berdasarkan salinan dokumen yang didapatkan BBC News Indonesia, spesifikasi—minimal—laptop yang dibagikan antara lain mempunyai hard drive dengan kapasitas 32 GB. Lalu, monitor berukuran 11 inci dan berdaya maksimum 50 watt.

Sumber gambar, Corbis via Getty Images
Masing-masing kelompok usia pendidikan memperoleh laptop sesuai porsinya. Untuk satu SD, sebagai contoh, diberi jatah 29 unit laptop.
Untuk level SMP, pemerintah menetapkan 45 buah. Walaupun angkanya berbeda-beda, aturan itu mengharuskan setiap laptop memakai chrome sebagai sistem operasinya.
Hitung-hitungan Kemendikbudristek, per 2023, sudah ada lebih dari 79 ribu sekolah yang menerima bantuan alat teknologi dan komunikasi dengan jumlah berkisar di angka 1,38 juta buah. Anggarannya diambil dari belanja kementerian serta Dana Alokasi Khusus (DAK).
Secara keseluruhan, Kemendikbudristek berencana mengalokasikan anggaran sebanyak Rp17,42 triliun hingga 2024 guna mendukung pelaksanaan program ini.
Tidak lama setelah diumumkan, kebijakan tersebut menuai polemik. Kajian cepat yang dibuat ICW dan KOPEL Indonesia menyoroti langkah pembagian laptop dari Kemendikbudristek.
Dua lembaga sipil independen ini menyoroti, salah satunya, tentang prioritas mendasar lain yang lebih mendesak dipenuhi ketimbang distribusi laptop. Mereka menyebut perbaikan fasilitas fisik pendidikan, seperti kerusakan kelas, sebagai contoh.
Menurut ICW dan KOPEL, untuk mencapai keberhasilan digitalisasi pendidikan, pemerintah semestinya mengawalinya dengan pemerataan akses internet, listrik, sampai tenaga pengajar.
Tak kalah penting, ICW dan KOPEL menyebut bahwa penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK), apabila mengikuti ketentuan dari beberapa regulasi, pengusulannya harus berasal dari permintaan pemerintah daerah, bukan dari pusat dan menjadi program kementerian.
Kepala daerah, menurut mereka, semestinya menyusun rekapitulasi rencana kegiatan yang menggunakan DAK fisik, lalu menyampaikannya kepada Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kemendikbudristek.
Setelah mendapat persetujuan, barulah DAK tersebut dibelanjakan sesuai penetapan target keluaran, lokasi, dan rincian.
Persoalannya, “kami tidak menemukan adanya sekolah yang mengajukan dan telah terdaftar sebagai penerima perangkat TIK Kemendikbud ataupun DAK fisik pendidikan,” tulis ICW dan KOPEL Indonesia dalam laporannya.

Sumber gambar, KEJAKSAAN AGUNG
Lima tahun berselang, Kejagung menyelidiki kejanggalan di balik program ini.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, berkata lembaganya sedang mendalami dugaan adanya “pemufakatan jahat” di pengadaan laptop Kemendikbudristek.
Para jaksa menduga beberapa pihak menuntun tim teknis agar membuat kajian yang mengarah kepada “penggunaan laptop berbasis sistem operasi Chrome.”
Kejagung menilai penggunaan Chromebook bukan kebutuhan. Pasalnya, Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbudristek, pada 2019 silam, telah menyelenggarakan uji coba 1.000 unit Chromebook dan menyimpulkan tidak efektif.
Tim teknis di kementerian itu lantas sempat merekomendasikan sistem operasi Windows.
Kemendikbudristek tidak menjalankan rekomendasi mereka dan memilih membuat kajian baru yang mendukung pemakaian Chromebook.
Pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek ini, menurut Kejagung, menghabiskan anggaran sebesar Rp9,9 triliun yang diambil dari DAK dan dana satuan pendidikan, masing-masing senilai Rp6,3 triliun serta Rp3,5 triliun.
Sejauh ini, penyidik dari Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus belum menetapkan tersangka maupun modus yang dipakai dalam dugaan korupsi pengadaan Chromebook.
Kejagung masih menggali informasi atas 28 saksi, termasuk tiga orang mantan stafsus Nadiem.
“Dari 28 orang itu, dalam satu pekan ini, akan didalami terus untuk menentukan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap dugaan tindak pidana ini,” ujar Harli, Senin (9/6), dilansir dari Antara.
Dalam keterkaitan dengan tiga mantan stafsus Nadiem, Kejagung telah berkirim surat pemanggilan resmi sebanyak tiga kali. Dua panggilan pemeriksaan tak digubris, ketiganya lantas dicekal bepergian ke luar negeri.
Kejagung juga menggeledah apartemen mereka, pada 21 serta 23 Mei 2025, dan menyita sejumlah barang bukti elektronik maupun dokumen.

Sumber gambar, AFP via Getty Images
Nadiem, dalam pernyataan terbuka ke publik, Selasa (10/6), menuturkan penyediaan laptop di masa jabatannya ditujukan untuk sekolah-sekolah yang memang punya akses internet.
Sebelum menjalankan program ini, kata dia, “Kemendikbudristek membuat kajian yang komprehensif.”
“Satu hal yang sangat jelas pada saat saya mencerna laporan ini adalah dari sisi harga. Chromebook itu kalau spesifikasinya sama selalu 10–30% lebih murah,” terangnya.
Nadiem membuat klaim yang menyatakan sistem operasi Chrome gratis, sementara dari pabrikan yang lain harus membayar, apalagi jika ingin mengaktifkan “kontrol terhadap aplikasi yang melindungi guru maupun murid dari pornografi, judi online, serta gaming.“
Penyediaan laptop Chromebook, pada waktu bersamaan, difungsikan guna memastikan pembelajaran jarak jauh di tengah pandemi COVID-19 terus berjalan, kata Nadiem.
“Untuk pelaksanaan asesmen nasional berbasis komputer yang menjadi instrumen sensus kami untuk mengukur capaian pembelajaran dan juga dampak daripada learning loss,” ujarnya.
Dalam implementasinya, Nadiem menyebut pengadaan Chromebook didampingi oleh Kejaksaan Agung, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan “demi terpenuhinya asas transparansi dan meminimalisir konflik kepentingan.”
ICW berargumen keputusan menyempitkan spesifikasi laptop berupa Chromebook dan komponen TKDN justru membuka peluang monopoli sebab hanya segelintir perusahaan saja yang dapat menjadi penyedia.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, baru-baru ini berkata akan menghormati sekaligus “mendukung” proses hukum yang sedang berlangsung di Kejagung.
“Kebijakan itu adalah kebijakan murni di eranya Mas Nadiem dan tidak ada hubungannya dengan kebijakan di era saya,” ujarnya.
Kendala jaringan dan mereka yang tidak mendapatkan sama sekali
BBC News Indonesia mencoba melihat bagaimana penggunaan Chromebook di lapangan.
Di Padang, tepatnya SD Negeri 33 Sawahan, ada 16 Chromebook yang sudah diperoleh. Pemanfaatan Chromebook difokuskan kepada anak-anak kelas 6 supaya “tidak gugup dan grogi dalam menggunakan laptop ketika masuk SMP,” kata Kepala Sekolah SD Negeri 33 Sawahan, Nevi Ermana, Selasa (10/6).
Di samping untuk kebutuhan mereka yang duduk di kelas 6, Chromebook di sekolah itu turut membantu dalam proses pembelajaran yang mendorong anak-anak “mencari pengetahuan-pengetahuan baru,” kata salah-seorang guru, Feri Kurniawan.
“Misalnya kami adakan kuis, lalu bikin kelompok, dan kami berikan pertanyaan pemantik. Kemudian mereka mencari di situ, meng-explore pengetahuan-pengetahuan baru yang bisa mereka dapatkan dari proses pembelajaran menggunakan Chromebook,” kata Feri.
Terlebih, penggunaan Chromebook “cukup mudah karena anak-anak sudah terbiasa,” tambah Feri.
Bagi Feri, keberadaan Chromebook membantu dan penting lantaran mampu mengalihkan anak-anak dari penggunaan smartphone.
“Jadi memang mereka belajar dengan menggunakan Chromebook ini,” ucapnya.
Kendalanya tetap ada, sebut Nevi. Karena sifat Chromebook yang begitu bergantung dengan jaringan internet, ia rentan tersendat apabila masalah kelistrikan muncul.
“Kalau listrik mati, otomatis penggunaannya itu tidak bisa kita lakukan. Kurang maksimal,” ungkapnya.
Sementara sebagai guru, Feri melihat dari perspektif lebih luas: tidak semua daerah memiliki jaringan yang bagus. Alhasil, menurut cerita yang ia dengar, banyak anak yang mesti pergi ke “titik yang memang jaringan internetnya mendukung untuk proses pembelajaran.”
Menurut Nevi, Chromebook adalah “salah satu alat bantu media pembelajaran.” Tapi, ia menggarisbawahi, “bukan keharusan.”

Sumber gambar, Darul Amri
Tidak semua merasakan Chromebook dari Kemendikbudristek.
Sejumlah sekolah yang disambangi BBC News Indonesia di Makassar, Sulawesi Selatan, menyatakan tidak menerima fasilitas tersebut.
Di SMA Negeri 10 Makassar, misalnya, menurut informasi dari guru sosiologi, Muhajir, sekolahnya terakhir kali mendapat bantuan alat teknologi yakni pada 2017, berupa 21 buah komputer.
“Tidak ada [pengadaan Chromebook atau laptop]. Terakhir pengadaan dari Kemendikbud itu pada 2017. Itu untuk keperluan siswa. Guru juga kalau mau input nilai,” kata Muhajir.
BBC News Indonesia lalu diajak ke laboratorium untuk menyaksikan sendiri komputer pemberian pemerintah itu. Di sana, ada puluhan komputer berjejeran dengan tulisan “Banper. TIK APBN TH. 2017.”
Hal senada keluar dari Kepala SMA Negeri 1 Makassar, Sulihin Mustafa, yang menyampaikan “sudah beberapa tahun ini kami belum lagi dapat bantuan dari Kemendikbud.”
Situasi tak jauh berbeda BBC News Indonesia saksikan di SMP Negeri 8 dan 17.
Muhajir berpendapat pengadaan laptop untuk sekolah bisa membantu kegiatan belajar mengajar guru serta siswa. Sekolahnya, selama ini, melakukan pengadaan secara mandiri dengan kuantitas terbatas.
“Sesuai kebutuhan. Satu atau dua unit saja. Itu kami pakai gantian dengan guru lain,” sebutnya.
Ihwal dugaan korupsi penyediaan Chromebook yang sedang diselidiki Kejagung, baik Muhajir maupun Sulihin, selaku tenaga pendidik, sama-sama berharap semuanya diproses secara hukum—jika memang terbukti ada penyelewengan.
“Satu kalimat saya yang sederhana. Kalau dalam dunia pendidikan juga terjadi seperti itu [korupsi], bagaimana kita mau mengajarkan karakter kepada anak-anak kita? Ngeri,” pungkas Sulihin.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Auliya Rahman
Siklus korupsi di sektor pendidikan: anggaran jumbo, minim transparansi
Korupsi di sektor pendidikan memang bukan lagi sebatas “kalau.” Korupsi benar-benar terjadi—dan punya jejak yang panjang.
Di Jambi, April lalu, korupsi di sektor pendidikan muncul dalam dugaan mark up harga dan pengadaan barang untuk kebutuhan praktik di SMK, bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik 2022 sebesar Rp122 miliar serta melibatkan Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.
“Sebelum pelaksanaan, sudah ada kesepakatan fee 17% antara pejabat pengadaan dan broker. Barang yang dibeli pun tidak sesuai spesifikasi, tidak memenuhi standar TKDN, bahkan tidak bisa digunakan oleh sekolah,” ucap perwakilan Polda Jambi.
Audit BPK RI mengungkapkan kerugian negara akibat proses tersebut mencapai lebih dari Rp21 miliar. Satu orang, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), ditetapkan tersangka.
Satu bulan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan sehubungan dugaan korupsi dalam pengelolaan belanja hibah barang atau jasa untuk SMK swasta di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2017.
Kala itu, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur mengelola dana hibah barang atau jasa sebesar Rp65 miliar—bersumber dari APBD. Dana ditujukan bagi SMK swasta yang berbadan hukum.
“Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan beberapa item barang yang diterima oleh 25 SMK swasta di 11 kabupaten atau kota di Jawa Timur tidak sesuai dengan kebutuhan jurusan sekolah dan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SK Gubernur,” ujar Kepala Kejati Jawa Timur, Mia Amiati.
Kamis (5/6), ratusan siswa SMA Negeri 9 Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, melakukan demonstrasi terkait dugaan pungutan liar—dibungkus dengan sumbangan dan snack fiktif—oleh kepala sekolah mereka.
Kepala sekolah tersebut lantas dinonaktifkan dari jabatannya, disusul rencana pemeriksaan lebih lanjut oleh pemerintah provinsi Jawa Barat.
Laporan ICW menyatakan sektor pendidikan rawan korupsi, dan konsisten menjadi salah satu lini yang banyak ditindak oleh aparat penegak hukum—setidaknya dari 2016 sampai 2021.
Data ICW memperlihatkan terdapat 240 korupsi di sektor pendidikan sepanjang Januari 2016 hingga September 2021 dengan kerugian yang ditanggung negara menyentuh Rp1,6 triliun.
Kerugian negara, tulis ICW, “kami yakini jauh lebih besar sebab terdapat kasus yang belum diketahui besaran kerugian negaranya.”
“Kami juga menemukan terdapat pengadaan yang tak sesuai kebutuhan dan tak dapat dimanfaatkan, baik karena mangkrak maupun tidak lengkap,” ICW menambahkan.
Korupsi di sektor pendidikan, mengutip temuan ICW, banyak berkutat di penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan 52 kasus (21,7% dari keseluruhan). Lalu di belakangnya ada korupsi pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang atau jasa—buku, arsip, e-learning—yang bersumber dari beragam program dan anggaran.
Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dirilis KPK menemukan 12% sekolah masih menyalahgunakan dana BOS dengan modus bervariasi, dari pemotongan dana, nepotisme, sampai laporan fiktif.
Penyelewenang dana BOS seperti ‘melengkapi’ deretan masalah lain yang didapati KPK di sektor pendidikan: pungutan liar, kongkalikong penyediaan barang dan jasa, penggelembungan biaya, serta manipulasi dokumen.

Sumber gambar, AFP via Getty Images
Selain BOS, korupsi menyasar dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang diresmikan pada 2017 oleh Kemendikbudristek, bertujuan untuk membantu siswa dari kelompok rentan.
Anggaran PIP bisa dikata sangat besar, menyentuh Rp9,6 triliun pada 2022—untuk target 17,9 juta anak. Siswa yang tidak mampu, agar terhindar dari putus sekolah, berhak memperoleh bantuan dalam wujud uang tunai sebanyak Rp225 ribu sampai Rp1 juta.
Realita berkata lain. PIP jadi bancakan korupsi. Pantauan ICW memperlihatkan terdapat lebih dari 30 dugaan kasus korupsi dana PIP di seluruh Indonesia pada 2022. Estimasi kerugian negara menyentuh Rp960 miliar sampai Rp1,9 triliun.
Polanya: dana PIP dipotong dengan dalih “biaya administrasi” atau “tunggakan SPP.” Lalu, ada juga yang membawa kabur uang bantuan itu tanpa pernah tersalurkan ke tangan siswa.
Di Tasikmalaya, pada 2022, dugaan korupsi dana PIP merugikan murid-murid di hampir 300 sekolah.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menuturkan akar korupsi di sektor pendidikan dipicu tata kelola yang lemah, termasuk mekanisme pengawasan serta transparansi.
Sementara di lain sisi, uang yang dianggarkan untuk pendidikan tak sedikit. Sejak 2020 sampai 2025, anggaran pendidikan dari pemerintah pusat konsisten mengalami kenaikan. Tahun ini, ambil contoh, Kementerian Keuangan mengalokasikan Rp724 triliun—meningkat dari 2024, Rp665 triliun.
“Sayangnya, uang dengan perputaran yang besar itu tidak diatur dengan baik, tidak ditujukan untuk manfaat yang sebenarnya,” ucap Ubaid.
Ubaid menjelaskan praktik korupsi di sektor pendidikan kerap terjadi di area yang terlihat jelas oleh mata seperti halnya pungutan liar hingga ruang-ruang tertutup yang cuma bisa dijelajahi pihak-pihak berkepentingan.
Maka dari itu, “harus diterobos,” tandas Ubaid.
Hal utama—sekaligus mendasar—yang dapat diberlakukan ialah menyusun sistem yang “akuntabel dan transparan,” ujar Ubaid.
“Misalnya, seluruh pembiayaan di pemerintah maupun sekolah harus bisa diakses publik secara real time dan dengan mudah,” Ubaid memberi contoh.
“Kalau tidak mempublikasikannya, diberi sanksi.”

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Kembali lagi ke konteks dugaan korupsi pengadaan Chromebook, ICW mendorong Kejagung mengusut hingga tuntas. Pasalnya, “staf khusus tidak mempunyai kewenangan langsung dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan pengadaan barang dan jasa,” ICW memaparkan.
“Dalam pengadaan dengan metode e-purchasing dengan nilai di atas Rp200 juta, Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) merupakan pihak sentral, termasuk yang berwenang melakukan rencana pengadaan dan melaksanakan pengadaan,” jelas ICW.
Menyelidiki keterlibatan stafsus berarti menelusuri pihak yang memberi perintah dan bagaimana stafsus melakukan perannya itu.
Bicara soal korupsi di sektor pendidikan, pada akhirnya, kata Ubaid, “yang dirugikan adalah murid-murid itu sendiri.”
Halbert Caniago (Padang) dan Darul Amri (Makassar) berkontribusi atas liputan ini.