Nestapa ‘anak oleh-oleh’ pekerja migran: Jadi korban pernikahan anak hingga pelecehan seksual – ‘Kami terus terjebak di lingkaran setan’

Sumber gambar, BBC/Hanna Samosir
- Penulis, Hanna Samosir
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Banyak pekerja migran, terutama perempuan, membawa pulang “anak oleh-oleh” hasil hubungan mereka saat bekerja di mancanegara. Di Nusa Tenggara Barat, diperkirakan ribuan “anak oleh-oleh” itu hidup dalam stigma.
“Mama kamu nikah terus. Pantas anaknya enggak bener.”
Siti Aminah, 23 tahun, kerap mendengar orang-orang melontarkan kalimat itu kepadanya.
Aminah lahir di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dari seorang ibu yang merupakan pekerja migran di Arab Saudi dan ayah warga Pakistan.
Dia dan beberapa saudaranya sering diolok dengan sebutan “anak oleh-oleh”.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Istilah ini merujuk pada mereka yang lahir dari hubungan para pekerja migran Indonesia dengan warga asing ketika bekerja di luar negeri.
Seperti oleh-oleh, anak-anak itu dibawa pulang ke kampung halaman karena berbagai alasan.
Sekembalinya ke Indonesia, banyak “anak oleh-oleh” tak punya status kewarganegaraan dan kesulitan mendapatkan hak-hak dasar, seperti pendidikan dan layanan kesehatan.

Sumber gambar, BBC/Hanna Samosir
Dengan paras berbeda dan status orang tua yang tak jelas, nyaris semua “anak oleh-oleh” juga menanggung stigma sosial. Kehidupan mereka pun kian sengsara di tengah jeratan kemiskinan struktural.
Segala permasalahan ini disebut membuat banyak “anak oleh-oleh” terjerumus berbagai masalah, mulai dari pernikahan anak hingga pelecehan seksual.
Kisah Aminah dan saudara-saudaranya hanya contoh kecil. Aktivis memperkirakan ribuan anak oleh-oleh lain di Lombok Timur bernasib serupa.
Pada Maret lalu, BBC News Indonesia berkunjung ke Lombok Timur untuk berbincang dengan sejumlah “anak oleh-oleh” dan mencari tahu rencana pemerintah setempat untuk mengatasi masalah ini.
Peringatan: Artikel ini memuat konten tentang bunuh diri dan kekerasan yang mungkin dapat membuat Anda merasa tidak nyaman.
Terkucil sejak kecil
“Di kehidupan saya itu banyak orang, tapi saya kayak [merasa] sendiri,” kata Aminah sambil terisak.
Sejak kecil, Aminah memang selalu dikelilingi banyak orang. Dia adalah anak keempat dari enam bersaudara.
Keenam bersaudara ini memiliki ibu yang sama, Suniah Sahmin. Namun, mereka lahir dari pernikahan siri sang ibu dengan empat pria berbeda, yaitu dua warga asing dan dua pria Lombok.
Aminah bercerita bahwa Suniah pertama kali menikah dengan seorang pria Lombok dan melahirkan kakak sulungnya.
Sepengetahuan Aminah, Suniah kemudian berangkat ke Arab Saudi sebagai pekerja migran pada 1990-an karena kesulitan ekonomi di Lombok.

Sumber gambar, Dokumentasi pribadi
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Sejak dulu, kemiskinan memang menjadi alasan banyak warga NTB memutuskan bekerja di luar negeri.
NTB pun selalu menjadi salah satu penyumbang pekerja migran terbanyak di Indonesia.
Lombok Timur sendiri merupakan kabupaten dengan angka pekerja migran terbesar kedua di Indonesia setelah Indramayu, berdasarkan catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BPMI) pada 2024.
Saat bekerja di Saudi itulah, Suniah dikabarkan menikah siri dengan sesama pekerja migran dari Pakistan. Dari hubungan itu, lahir tiga anak, yaitu Fatmatulzokrah, Baskan, dan Aminah.
Pada 2003, Suniah kembali ke Indonesia tanpa sang suami. Ia hanya membawa Fatma dan Baskan, beserta Aminah yang masih di dalam kandungan.
Usai melahirkan Aminah, dia kembali ke Saudi, meninggalkan anak-anaknya di Lombok.
Beberapa tahun kemudian, Suniah lagi-lagi hamil di perantauan. Kali ini, pasangannya seorang pria Saudi.
Suniah sempat kembali ke Lombok untuk melahirkan anak yang kemudian diberi nama Esti Agustina. Setelah itu, Suniah menikah siri lagi dengan pria Lombok, lantas melahirkan anak bungsunya.
Koordinator Migrant Care NTB, Endang Susilowati, mengatakan bahwa banyak pekerja migran Indonesia kawin-cerai seperti Suniah karena mereka membutuhkan rekan ketika menjalani kehidupan yang berat di tanah rantau.
“Mereka butuh memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis, dan ini didukung dengan kemudahan pernikahan siri yang hanya butuh wali, tanpa catatan sipil, dan tidak mengeluarkan banyak uang,” kata Endang.
Setelah pernikahan siri terakhirnya, Suniah sendiri memutuskan untuk kembali bekerja di Saudi.
Ia menitipkan keenam anaknya ke rumah kerabat yang berbeda-beda.
“Walau pun [dititipkan ke] keluarga, tetap pahit. Kalau enggak ada uang [kiriman dari ibu], sedikit-sedikit dibentak, sedikit-sedikit dimarahin. Kadang dipukul,” kata kakak Aminah, Fatma, yang kini berusia 25 tahun.

Sumber gambar, Dokumentasi pribadi
Fatma bercerita bahwa waktu kecil, mereka juga tak pernah merasakan kasih sayang dan perhatian orang tua.
“Enggak ada yang kita rasain, apalagi bapak enggak ada,” tutur Fatma, yang mengaku hanya sempat bertemu ayah kandungnya saat masih sangat kecil di Saudi.
Fatma dan adik-adiknya hanya sebagian kecil dari banyak anak pekerja migran yang kekurangan perhatian orang tua.
Rudat Institute, LSM yang berfokus pada isu perempuan dan anak di Lombok, menyatakan bahwa di satu desa di Lombok Timur saja, ada 530 anak ditinggal merantau oleh orang tuanya. Lebih dari 100 di antara mereka adalah “anak oleh-oleh”.
Dengan 239 desa di Lombok Timur, Rudat Institute memperkirakan “ada ribuan anak oleh-oleh” di kabupaten ini saja.
“Stigma membuat kehidupan anak oleh-oleh ini lebih berat dari anak pekerja migran lainnya,” kata Zurhan Santi, salah satu pengurus Rudat Institute.
Aminah, Fatma, dan Esti mengakui bahwa stigma tersebut sangat mengganggu. Mereka sering dikucilkan sejak kecil.
“Katanya, ‘Kamu Arab. Ayah kalian beda-beda’. Jarang ada yang membantu saya. Kakak saya ada, tapi jarang ketemu karena beda rumah,” ujar Aminah.
Terjebak pernikahan anak
Tak betah dengan perlakuan kerabat yang ditumpangi, Fatma memutuskan berhenti sekolah di kelas 1 SMP untuk mengurus adik-adiknya sendiri.
Ia kemudian menikah siri di usia 15 tahun dengan seorang teman “yang seumuran”.
“Lebih baik nikah. Biar ada teman, biar ada yang menafkahi,” ucap Fatma.
Tak hanya Fatma, banyak anak oleh-oleh lain juga menikah di bawah umur, menurut Rudat Institute.
Selain karena keputusan sendiri, pernikahan dini di kalangan anak oleh-oleh juga kerap terjadi karena desakan dari keluarga yang mereka tumpangi.
“‘Nikah sajalah, biar selesai beban saya [kerabat] merawat’. Dengan menikah, mereka jadi tanggungan suami,” kata Turmawazi.

Sumber gambar, BBC/Hanna Samosir
Namun, pernikahan dini berpotensi tinggi berakhir pada perceraian, berdasarkan penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022.
Menurut data BPS, rata-rata 25 pasangan suami-istri di NTB mengajukan perceraian setiap harinya. Angka ini berbanding lurus dengan jumlah perkawinan anak di provinsi tersebut.
Di seluruh Indonesia, NTB menjadi provinsi dengan angka pernikahan anak tertinggi, merujuk pada data BPS dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan penelitian yang sama, karakter anak di bawah umur yang belum dewasa membuat pernikahan mereka kerap diwarnai cekcok dan berujung perpisahan.
Pernikahan di bawah umur bukan masalah di NTB saja.
Merujuk pada data UNICEF, Indonesia menempati peringkat keempat negara dengan jumlah pernikahan anak terbesar di dunia, dengan lebih dari 25 juta perempuan menikah sebelum usia 18 tahun pada 2023.
Indonesia sebenarnya mengatur usia minimal pernikahan 19 tahun, mengacu pada Undang-Undang Perkawinan.
Berdasarkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pernikahan anak juga termasuk dalam tindak kekerasan seksual.
Mereka yang melakukan atau membiarkan perkawinan anak terancam penjara hingga sembilan tahun atau denda maksimal Rp200 juta. Namun, penerapan hukumnya dianggap belum maksimal.
Orang tua juga dapat mengajukan dispensasi atau izin khusus ke Pengadilan Agama jika punya alasan kuat.
Namun dalam banyak kasus, pernikahan anak dilakukan secara agama tanpa permintaan dispensasi, mau pun didaftarkan ke pencatatan sipil.
Masalah ini memang tak hanya menimpa anak oleh-oleh. Namun, Rudat Institute menyatakan stigma yang menempel pada anak oleh-oleh membuat mereka lebih rentan melakukan pernikahan dini lagi jika bahtera rumah tangga sebelumnya kandas.
“Keluarga tak mau mengurus mereka karena tak mau merawat ‘anak yang tidak jelas asal-usulnya,'” ucap Turmawazi.
Ini yang terjadi pada Fatma dan dua adiknya.

Sumber gambar, Dokumentasi pribadi
Pernikahan pertama Fatma berakhir karena “sering bertengkar” dengan suaminya yang belum punya pekerjaan tetap.
Pada usianya yang kini 25 tahun, Fatma sudah tiga kali menikah siri dan memiliki dua anak.
Aminah, yang dua tahun lebih muda dari Fatma, sudah dua kali menikah dan punya satu anak.
Esti, kini 18 tahun, sudah menikah siri dua kali dan memiliki satu bayi.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Lombok Timur, Ahmat, mengeklaim pemerintah daerah sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi praktik pernikahan anak.
Upaya itu mencakup pemberian sanksi seperti tidak memberikan Kartu Keluarga sampai usia pasangan menginjak 19 tahun.
“Kadang anak [dari pasangan nikah anak] juga tidak kami beri identitas kewarganegaraan. Sanksi sudah kami berikan, tapi masih terus terjadi,” kata Ahmat.
‘Anak kecil gendong anak kecil’
Pada Agustus 2019, Aminah terbangun pukul 04.00 WITA. Dia terperangah karena kasurnya bersimbah darah.
Saat itu, dia sedang hamil tujuh bulan di usianya yang masih 16 tahun. Ia tak tahu harus berbuat apa karena ini adalah kehamilan pertama dari pernikahan perdananya.
Ia akhirnya ke puskesmas dan melahirkan hari itu juga. Bayinya lahir prematur dengan “badan kecil dan sakit-sakitan”.
Kembali ke rumah, Aminah yang tak pernah mendapat edukasi tentang kehamilan dan kesehatan anak hanya tahu bahwa ia harus terus menyusui agar bayinya sehat.
“Ternyata air susunya kebanyakan, sampai masuk ke hidung dan saluran pernapasan,” cerita Aminah sembari menatap langit-langit, mencoba menahan air mata jatuh ke pipinya.
“Baru dua bulan [umurnya] sudah meninggal.”
Berbagai penelitian memang menunjukkan bahwa perempuan yang menikah di bawah umur kerap mengalami komplikasi di masa kehamilan dan persalinan.
Kematian bayi dari hasil pernikahan anak pun kerap terjadi.
Penyebabnya, remaja belum siap untuk hamil dan melahirkan, baik secara fisik dan mental.
Badan PBB yang berfokus pada kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender, UNFPA, menyebut ibu remaja berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi karena tekanan darah tinggi, endometriosis pascapersalinan, dan infeksi.
Sementara itu, anaknya juga berisiko lahir prematur, memiliki berat badan rendah, dan meninggal saat bayi.

Sumber gambar, BBC/Hanna Samosir
Lebih jauh, penelitian Center for Global Development (CGD) menunjukkan kehamilan pada remaja di negara berkembang biasanya memperkuat siklus kemiskinan karena dua masalah inti.
Pertama, anak yang dilahirkan cenderung malnutrisi dan rentan terkena masalah kesehatan.
Kualitas hidup anak-anak itu pun akan sangat rendah. Akibatnya, mereka akan sulit mencari kerja saat dewasa.
Kedua, ibu yang menjadi orang tua di usia muda biasanya putus sekolah sehingga pilihan kariernya terbatas.
Inilah yang terjadi pada banyak anak oleh-oleh, kata Zurhan dari Rudat Institute.
“Anak-anak kecil gendong anak kecil, enggak tahu harus apa,” kata Zurhan.
Terjegal kemiskinan struktural
Setelah anaknya meninggal, rumah tangga Aminah retak karena suaminya “semakin sering main fisik”.
“Lama-lama, kenapa seperti ini? Saya putuskan cerai saja,” katanya.
Ia lalu berusaha mencari pekerjaan. Tanpa ijazah, pilihan Aminah sangat terbatas.
Tanpa ijazah, pilihan Aminah sangat terbatas, apalagi stigma yang menempel tak juga lepas.
Menurut Turmawazi dari Rudat Institute, stigma yang menempel pada anak oleh-oleh pada umumnya membuat mereka lebih sulit mendapatkan pekerjaan di Lombok.
“Tidak ada juga yang mau menawarkan pekerjaan kepada mereka karena masih ada stigma-stigma,” kata Turmawazi.
Aminah kemudian merantau ke Jakarta untuk menjadi pekerja rumah tangga, tapi hanya bertahan enam bulan.
Tak lama setelah itu, pada 2020, Aminah mendapatkan tawaran untuk bekerja sebagai pekerja migran.
Pada usianya yang masih 19 tahun, Aminah pun membulatkan tekad untuk berangkat ke Arab Saudi.
Indonesia memberlakukan moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi sejak 2015. Dengan demikian, Aminah berangkat melalui jalur ilegal.
Sesampainya di sana, Aminah mengaku mendapat beban kerja “tidak manusiawi”, sampai-sampai ia hanya bisa tidur 4-5 jam sehari.

Sumber gambar, Dokumentasi pribadi
Tiga bulan bekerja, Aminah mengatakan ingin bertemu ibunya untuk berkeluh kesah. Karena tak diizinkan, ia memutuskan kabur dari rumah majikan.
Namun, dia tertangkap otoritas setempat dan dijebloskan ke tahanan imigrasi.
“Cuma beberapa jam di tahanan. Setelah itu pulang ke rumah majikan, baru ditampar, ditendang,” kata Aminah.
Selama dua tahun menjadi pekerja migran, Aminah memutuskan untuk berhenti dan pulang ke Indonesia. Setidaknya dia sudah bisa menyisihkan uang, pikirnya.
Setiap kali gajian, Aminah memang mengirimkan sebagian uang ke saudaranya di Lombok untuk ditabung.
“Saya pulang tidak bawa apa-apa. Hanya baju yang saya bawa dari Indonesia,” kata Aminah.
Namun setibanya di Lombok, Aminah terkejut karena uang yang ia kirimkan ternyata raib dipakai saudaranya untuk biaya pernikahan.
“Kita yang dihajar habis-habisan, fisik disiksa sampai hilang akal. Rasanya mau bunuh diri saja,” kata Aminah.
Zurhan Santi dari Rudat Institute mengaku cukup banyak menemui kasus serupa.
“Keluarga yang dititipkan itu biasanya hidupnya juga susah, karena cari kerja di sini susah. Banyak pengangguran. Jadi ketika ada uang [titipan], ya diambil,” ujarnya.
Angka pengangguran di NTB memang menurun dalam tiga tahun terakhir, menurut BPS.
Namun, Pemerintah Provinsi NTB melaporkan 70 persen penduduknya bekerja di sektor informal, seperti buruh harian atau pekerja rumah tangga (PRT).
Dengan demikian, upah mereka kecil, bahkan pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Keluarga pekerja migran rata-rata ada di kelas itu,” kata Zurhan.

Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, sepakat bahwa kemiskinan adalah akar dari berbagai permasalahan sosial di daerahnya, termasuk segala problematika anak oleh-oleh.
“Orang pergi bermigrasi dari NTB ke luar itu bukan sebagai pilihan, tapi justru karena tidak ada pilihan di sini,” katanya.
Berdasarkan data BPS, NTB memang sudah keluar dari 10 besar provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi sejak September 2024.
Namun, persentase masyarakat miskin di NTB masih mencapai 11,91 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang berada di angka 8,57 persen.
Tak seperti di Jawa, kata Iqbal, di NTB tidak ada pabrik-pabrik yang menyerap tenaga kerja besar-besaran.
Untuk mengurangi pengangguran di daerahnya, Iqbal mengaku tengah “membangun usaha-usaha kecil dalam jumlah banyak”.
Namun, menyelesaikan kemiskinan tentu membutuhkan waktu panjang. Sementara itu, hidup para anak oleh-oleh masih terus berjalan.
Rentan pelecehan seksual
Pada tahun yang sama Aminah pulang dari Saudi, Esti dan Fatma juga tertimpa masalah.
Suami Fatma dari pernikahan sirinya yang kedua dituduh melakukan pelecehan seksual kepada Esti, adiknya sendiri.
Ketika itu terjadi, Esti panik. Ia mengaku sang kakak ipar mengancamnya agar tak melaporkan perbuatan tersebut kepada Fatma yang sedang terbaring sakit.
Dua bulan setelah kejadian, Esti baru berani bercerita kepada Fatma.
Fatma pun memutuskan untuk berpisah.
“Saya kira dia lebih baik dan dewasa dari [suami] pertama, ternyata malah lebih parah,” kata Fatma.
Setelah itu, Fatma dan Esti mengaku sempat meminta bantuan orang sekitar untuk melaporkan pria tersebut ke polisi, tapi tak ada yang percaya.
“[Kami] sudah dicap tidak baik lah sama orang sini,” ucapnya.

Sumber gambar, BBC/Hanna Samosir
Esti tak sendiri. Jumlah kasus pelecehan seksual terhadap anak di NTB terus meningkat dalam empat tahun terakhir.
Lombok Timur mencatat kasus terbanyak, yaitu 847 laporan sepanjang 2021-2024, menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB.
Turmawazi dari Rudat Institute mengatakan bahwa pelecehan seksual memang bisa terjadi pada anak mana pun. Namun, stigma yang menempel membuat anak oleh-oleh lebih rentan.
Sarkiyah, salah satu kader Rudat Institute, mengaku pernah memediasi kasus pelecehan seksual yang menimpa anak oleh-oleh lain yang masih berusia 3 tahun.

Sumber gambar, BBC/Hanna Samosir
Bukannya dukungan, Sarkiyah justru mengaku menerima cibiran dari para tetangga korban.
“Banyak yang menyalahkan saya, ‘Kenapa kamu mau urus dia? Biarkan saja dia begitu,’ mereka bilang,” ujar Sarkiyah.
“Kata mereka, wajar dia diperkosa karena dia bukan anak sah, tapi anak haram. Itu karma buat dia.”
Stigma ini terus menempel, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu dan korban mulai pulih.
“Kalau dia nakal, ada saja yang bilang, ‘Sudah digituin [dilecehkan] sama orang, kamu nakal lagi. Mau digituin lagi?'”
Karena stigma berkepanjangan semacam itu, banyak anak oleh-oleh diduga takut melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami.
Kepala DP3AKB Lombok Timur, Ahmat, menegaskan pelaku pelecehan seksual terhadap anak harus ditindak tegas.
Namun, kepada BBC News Indonesia, dia juga mengatakan bahwa “kita tidak bisa menyalahkan pelakunya saja” dan anak-anak yang menjadi korban “harus bisa membawa diri”.
“Dia tidak akan [jadi korban] kalau dididik, jadi kita bukan hanya salahkan pelaku, tapi korban juga perlu kita berikan satu pendidikan motivasi dan lain-lain,” kata Ahmat.
Menurut Rudat Institute, proses penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di Lombok Timur memang sulit, karena pemerintah setempat belum memiliki pola pikir yang memihak kepada korban.
Kesulitan melawan stigma
“Anak unta!” teriak sejumlah santri kepada salah satu temannya di sebuah pesantren di Lombok pada 2014 silam.
Turmawazi, yang saat itu masih mengajar di pesantren tersebut, belakangan mengetahui bahwa target dari perundungan itu adalah seorang anak pekerja migran keturunan Arab Saudi.
Menurut Turmawazi, di tahun-tahun itu istilah “anak oleh-oleh” mulai berkembang.
Selain “anak unta”, ada pula julukan “anak sawit”. Sebutan itu kerap diberikan kepada anak oleh-oleh yang berdarah Malaysia karena orang tua mereka kebanyakan bekerja di perkebunan sawit.
“Bahkan terkadang gurunya sendiri yang nyeletuk dia ‘anak sawit,'” kata Turmawazi.
Kelamaan, para anak oleh-oleh juga sering disebut sebagai anak haram. Guru-guru juga sering mencap mereka sebagai anak nakal.
Akibatnya, kata Turmawazi, anak-anak tersebut umumnya menjadi pemalu dan terlalu minder.
Pada masa-masa itulah Turmawazi mulai terlibat dengan lembaga swadaya (LSM) lokal yang memiliki misi meredam stigma anak oleh-oleh.
Dari situ, dia menyadari bahwa masalah anak oleh-oleh lebih kompleks dari yang terlihat di permukaan, dan belum ada tindakan dari pemerintah.

Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Salah satunya masalahnya, banyak anak oleh-oleh tak punya identitas kependudukan karena status pernikahan orang tuanya tidak jelas.
Akibatnya, mereka kesulitan mendapat hak kewarganegaraan, seperti pendidikan dasar dan layanan kesehatan.
Bersama sejumlah LSM, Turmawazi dan Zurhan mengupayakan berbagai program dengan menggandeng pemerintah setempat sejak 2016.
“Kami beri pengetahuan dan mendorong supaya pemerintah bisa memberikan identitas kependudukan mereka,” kata Zurhan.
Dengan bantuan dana sosialisasi dari program sejumlah LSM pula, pemerintah terus melayani permintaan identitas bagi anak oleh-oleh hingga sekarang.
Per tahun lalu, Turmawazi mengatakan hampir semua anak oleh-oleh sudah memiliki identitas sehingga bisa mendapat layanan pendidikan dan kesehatan umum.
Perlahan, stigma yang menempel pada anak oleh-oleh juga mulai terkikis, walau belum benar-benar habis.
“Sekarang sudah tidak ada lagi yang teriak secara terang-terangan meledek, tapi stigma itu masih ada di pemikiran masyarakat, jadi perlakuannya masih terasa. Itu yang masih harus pelan-pelan dikikis,” kata Turmawazi.
Upaya ini, sebut Zurhan, butuh bertahun-tahun dan biaya yang besar. Dia pun berharap pemerintah dapat turun tangan dan tak hanya mengandalkan program dari LSM yang hanya bisa bergerak bila ada program dan dana.
Sementara itu, Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal mengatakan biaya memang menjadi permasalahan utama.
Dia juga menyatakan tak bisa secara spesifik menanggulangi segala permasalahan anak oleh-oleh. Menurutnya, pemerintah harus berfokus pada pengentasan kemiskinan yang disebutnya sebagai “akar dari segala masalah”.
“Penyelesaiannya once and for all, menyelesaikan masalah kemiskinan. Kita sekarang menyisir anggaran-anggaran yang tidak mendesak untuk fokus menangani masalah kemiskinan,” kata Iqbal.
Di sisi lain, bagi anak oleh-oleh, kemiskinan dan stigma adalah dua masalah yang selalu berkelindan.
Gara-gara stigma yang menempel, misalnya, tak banyak orang lokal yang mau mempekerjakan mereka meskipun hanya sebagai pekerja harian maupun pekerja rumah tangga, kata Turmawazi.
“Karena kau anak [oleh-oleh], ya menderita lah sana,” katanya menggambarkan sentimen masyarakat sekitar.
Menurut Turmawazi, berbagai penolakan ini membentuk kehidupan sosial keluarga dengan anak oleh-oleh “menjadi agak tertutup”.
Kehidupan keluarga yang terisolasi seperti itu sangat mudah dijumpai di desa-desa Lombok Timur, kata Turmawazi.
Miskin dan terisolasi
Sepasang mata anak kecil mengintip dari balik kamar di sudut rumah. Keluarga ini tinggal di desa yang bersebelahan dengan rumah Fatma dan keluarganya.
Bocah itu tak berkedip melihat ibunya menangis ketika berbincang dengan tim BBC News Indonesia di ruang tamu. Namun, setiap kali matanya beradu pandang dengan orang-orang, sosok itu langsung sembunyi.
“Anak-anak enggak ada yang berani keluar. Semua sukanya di dalam rumah,” kata Rusehan, ibu anak itu.
Rusehan memiliki enam anak. Hari itu, di dalam kamar ada tiga anak. Dua anaknya yang lain mengurung diri di bilik bambu depan rumah. Satu lagi anaknya merantau ke Saudi.
Perempuan 51 tahun ini adalah mantan pekerja migran yang ke Kuwait pada 1988 silam. Di negara itu, Rusehan mengaku bertemu dengan seorang pria Lebanon, kemudian menikah secara resmi.
Rusehan bercerita bahwa selama belasan tahun, keluarganya hidup bahagia di Kuwait. Hingga pada 2016, Rusehan mengatakan suaminya memboyong keluarganya ke kampung halamannya di Kota Saida, Lebanon.
Saida adalah kota di perbukitan yang berjarak sekitar 400 km dari Jalur Gaza.
“Kami enggak berani keluar. Setiap keluar, kami bisa lihat bom Israel di Palestina. Dentumannya kencang,” kenang Rusehan.
Tiga bulan hidup dalam ketakutan, Rusehan memutuskan membawa pulang keenam anaknya ke Indonesia. Sang suami berencana menyusul setelah menyelesaikan urusan administrasi, kata dia.
“Enggak apa-apa kelaparan di Indonesia, yang penting di sini aman,” ujarnya.

Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Tiba di Lombok, Rusehan dan anak-anaknya mengontrak dari satu rumah ke rumah yang lain.
Anak-anak juga susah beradaptasi di sekolah karena tak bisa bahasa Indonesia, kata dia.
Belum lagi, wajah mereka berbeda dari kebanyakan anak di Lombok Timur.
Ketidakhadiran sang ayah membuat stigma semakin parah, sampai kehidupan mereka kian terisolasi.
Ketika mereka mengalami masalah ekonomi pun, tak ada yang datang membantu.
Tak punya pengalaman kerja apa pun, Rusehan memutuskan menjadi tukang ojek motor panggilan. Tak banyak yang menggunakan jasanya.
“Kadang sehari satu, dibayar Rp50 ribu. Ya, itu saja buat makan sehari-hari. Kalau enggak ada, ya enggak makan,” tuturnya sambil menahan air mata.

Sumber gambar, BBC/Hanna Samosir
Sekitar setahun setelah pindah ke Lombok, Rusehan mendapat kabar suaminya meninggal akibat ledakan bom di Lebanon. Harapannya akan masa depan yang lebih baik pun pupus sudah.
“Enggak ada lagi harapan kita. Cuma satu, dia saja. Enggak ada lagi,” tutur Rusehan.
Tahun-tahun setelah itu, mereka harus bertahan hidup sendiri. Sementara Rusehan mengojek, salah satu putranya membuka jasa reparasi alat elektronik. Anak lainnya berangkat merantau ke Arab Saudi.
Dari situ, Rusehan mengaku bisa menabung dan melunasi cicilan untuk membeli rumah subsidi.
Turmawazi, yang juga guru salah satu anak Rusehan di sekolah, mengatakan rasa percaya diri mereka mulai tumbuh pada masa-masa itu.
Namun, entah apa yang terjadi, pada 2022 mereka kembali menutup diri.
“Mungkin melihat ibunya dihina-hina orang, makanya mereka malu. Mereka juga sering diejek, jadi tidak banyak kehidupan di luar. Kita sendiri saja di sini,” kata Rusehan.
‘Lingkaran setan’
Pada 2022 pula, Esti berupaya bangkit setelah pelecehan seksual yang menimpanya. Ia kemudian menjalani kehidupan yang serupa dengan kedua kakaknya, Fatma dan Aminah.
Putus sekolah dan menikah siri pada usia 14 tahun, Esti hamil, melahirkan, lalu berpisah dengan suami pertamanya.
Setelah “mengemis pekerjaan” ke sana-sini, ia akhirnya mengais rezeki di tempat pemisahan barang rongsok dengan upah Rp35 ribu per hari.
“Dicukup-cukupkan saja buat sehari-hari dan anak,” tutur Esti.
Pola ini akan terus berulang, kata Zurhan dari Rudat Institute.
Dia mengaku tak akan kaget kalau Esti kemudian menjadi pekerja migran, sama seperti banyak anak oleh-oleh lainnya.
“Jadi kayak siklus saja. Mereka pulang, mungkin bawa anak dari sana, di sini hidup susah lagi. Begitu terus,” kata Zurhan.

Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Namun, Fatma, Aminah, dan Esti masih berusaha memutus siklus itu.
Fatma kini sudah menikah siri untuk ketiga kalinya, dengan pria yang disebutnya “sangat dewasa” dan memiliki pemasukan stabil sebagai pegawai institusi pemerintah.
Dengan begitu, ia tak perlu bekerja untuk mencari penghasilan tambahan.
Suaminya, Moniza Fikri Rahman, mengaku terus berupaya mengikis stigma yang menempel pada anak oleh-oleh, termasuk keluarga istrinya.
“Pakai parang pun saya siap pasang badan. Siapa pun yang mengganggu dia, saya siap mati. Yang penting saya bela istri saya,” kata Fikri.
Aminah juga mengaku sebenarnya ingin memutus siklus tersebut. Kini, ia sudah menikah untuk kedua kalinya dan baru saja melahirkan satu anak.
Menurutnya, penghasilan suaminya sebagai pekerja migran di perkebunan sawit Malaysia cukup untuk mereka berdua. Namun, membesarkan seorang anak membutuhkan biaya lebih besar.
“Kalau enggak ada faktor ekonomi, sudah mapan, enggak ingin [menjadi pekerja migran], tapi kalau ada faktor ekonomi begini, bagaimana lagi?” kata Aminah, saat ditanya apakah masih ada keinginan merantau.
Esti pun mengaku ogah merantau ke luar negeri. Ia tak mau jauh dari anaknya.
Selain berusaha sendiri, Fatma juga ingin pemerintah mencari solusi pasti bagi anak oleh-oleh seperti dirinya.
“Kalau enggak, kasihan anak-anak seperti saya, terus saja ada di lingkaran setan ini.”