‘Saya kecewa, kok enggak bisa ditolong’ – Pasien DBD ditolak RS karena ‘tidak gawat’ dan tak ditanggung BPJS Kesehatan

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/ama.
Lembaga advokasi BPJS Watch menyebut “perselisihan” klaim pembiayaan antara rumah sakit dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak boleh mengorbankan nyawa pasien.
Sebelumnya, sejumlah pasien dengan gejala Demam Berdarah Dengue (DBD) di beberapa daerah ditolak rumah sakit—bahkan ada yang meninggal karena terlambat ditangani—dengan alasan tidak ditanggung lagi oleh BPJS Kesehatan.
Dwi Tyas Murni, warga Surabaya, Jawa Timur, mengalami hal itu. Ia mengaku ditolak rumah sakit pada Februari lalu ketika membawa dua anaknya yang diduga mengalami gejala DBD dan Tipes (demam tifoid).
“Saya bawa anak ke Unit Gawat Darurat, diperiksa suhunya 39,8 derajat. Tapi sama dokternya dibilang, ‘Ibu, ini enggak bisa untuk dirawat inap, karena suhunya belum 40 derajat, jadi tidak di-cover (ditanggung) BPJS Kesehatan’,” ujar Tyas kepada BBC News Indonesia.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, mengatakan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 2014, terdapat 144 diagnosis penyakit—salah satunya DBD—yang harus ditangani di layanan kesehatan primer atau fasilitas kesehatan tingkat pertama. Namun, bukan berarti tidak bisa dirujuk ke rumah sakit.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Kecuali, kata dia, “berada dalam kondisi gawat darurat”.
‘Saya kecewa, kok enggak bisa ditolong’
Dwi Tyas Murni masih menyimpan kecewa pada layanan BPJS Kesehatan atas apa yang terjadi pada dua anaknya yang berusia 11 tahun dan 8 tahun.
Pada Februari lalu, Zafir dan Aira mengalami demam tinggi selama lima hari berturut-turut, meski sudah diberikan obat penurun panas.
Menyadari kondisi anaknya semakin mengkhawatirkan—panas tinggi disertai mengigau—Tyas memutuskan memboyong kedua anaknya pakai sepeda motor ke sebuah rumah sakit di Surabaya, Jawa Timur.
“Kebetulan termometer di rumah lagi rusak. Jadi saya langsung bawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit. Sampai sana diperiksa pakai termometer sudah 39,8 derajat,” ungkapnya.
“Sama dokternya dibilang gini, ‘Ibu, ini enggak bisa dirawat inap karena suhunya belum 40 derajat, jadi tidak di-cover (ditanggung) BPJS Kesehatan’.”
“Kalau ingin menentukan kenapanya [diagnosis penyakit], harus periksa darah dan bayar Rp500.000. Tapi saya enggak ada uang segitu, akhirnya mau enggak mau bawa ke puskesmas aja.”

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Mendengar penjelasan singkat dokter tersebut, perempuan 45 tahun ini terkejut tapi tak bisa marah.
Ia tak menyangka bakal ditolak rumah sakit di saat anaknya sangat butuh pertolongan.
Oleh dokter itu juga, Tyas mengaku disarankan memeriksakan sang anak ke fasilitas kesehatan tingkat pertama yaitu puskesmas.
“Mau marah gimana ya, saya kecewa aja, kok enggak bisa ditolong,” imbuh ibu rumah tangga ini.
“Karena hari itu sudah sore, saya ke puskesmas. Sampai sana diukur suhu tubuh anak saya memang tidak sampai 40 derajat.”
“Untung anak saya termasuk kuat, walaupun suhunya segitu, dia masih bisa jalan… bayangin kalau anak yang lain, sudah kejang mungkin.”
Sampai di puskesmas, ia disarankan untuk kembali datang esok hari lantaran petugas laboratorium sudah pulang.
Keesokan harinya, setelah pengecekan darah, diagnosis dua bocah itu mengarah pada Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Tipes (demam tifoid).
Dokter di puskesmas lantas memberikan obat penurun demam, vitamin, dan antibiotik.
Tiga hari setelahnya, panas tubuh sang anak kembali normal. Ia pun tak dipungut biaya apa pun.
Baca juga:
Tyas sekeluarga termasuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Itu artinya iuran mereka ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Meski statusnya peserta PBI, tapi layanan kesehatan yang didapat sama dengan peserta BPJS Kesehatan lainnya: pemeriksaan, pengobatan, dan rawat inap.
Ia bercerita, sepanjang menjadi peserta BPJS Kesehatan baru kali ini ditolak rumah sakit. Sebelum-sebelumnya, tiap kali berobat ke rumah sakit, katanya, selalu diterima.
“Tahun lalu anak saya demam, saya bawa ke rumah sakit langsung ditangani, dirawat inap. Baru kemarin itu ditolak.”
Itu mengapa, Tyas kecewa betul dengan layanan BPJS Kesehatan. Dia merasa peraturan yang baru hanya menyulitkan pasien.
Dia juga bilang selama ini tidak pernah mendapat informasi dari BPJS Kesehatan soal prosedur terbaru terkait 144 penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan di rumah sakit.
“Enggak ada, biasanya saya dapat pesan WhatsApp dari BPJS kalau ada tunggakan. Tapi kalau penyakit-penyakit yang tidak ditanggung, enggak ada.”
“Saya baca berita ada pasien disuruh balik, terus dalam perjalanan meninggal. Itu kan sedih ya… sakit enggak bisa diprediksi, apalagi orang enggak mampu.”
‘Ratusan warga ditolak rumah sakit’
Keluhan seperti yang dialami Tyas, diakui Komisi D DPRD Surabaya yang menangani isu-isu berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
Anggota Komisi D, Johari Mustawan, mengatakan pihaknya menerima banyak pengaduan dari warga Surabaya terkait penolakan rumah sakit.
Dugaannya, ada ratusan warga yang menjadi korban dari ketidaksinkronan aturan baru BPJS Kesehatan yang mensyaratkan pasien DBD harus ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama atau puskesmas.
“Kami lagi reses untuk mengumpulkan laporan dari warga ke masing-masing anggota Komisi D. Besok akan rapat internal tentang kasus ini, supaya bisa tertangani segera di Surabaya. Karena DBD ini kan sudah termasuk kejadian luar biasa (KLB),” kata Johari.
Johari Mustawan juga mengungkapkan, dia mendapat laporan dari keluarga salah satu pasien DBD—pengguna BPJS Kesehatan—meninggal dunia.

Sumber gambar, Getty Images/Witthaya Prasongsin
Pasien berinisial PNA itu meninggal awal Mei lalu, karena diduga mengalami keterlambatan mendapat penanganan medis.
PNA diketahui mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya. Kondisi kesehatannya menurun dan oleh keluarganya dibawa ke salah satu rumah sakit di Surabaya.
Oleh karena aturan dari BPJS mensyaratkan pasien DBD baru bisa dirawat inap di rumah sakit saat trombositnya di bawah 100.000, PNA akhirnya dipulangkan untuk diperiksa kembali di kemudian hari.
“Mungkin karena perkembangan penyakit yang sangat cepat selama 24 jam, pasien merasakan demam tinggi lagi,” ujar Johari.
“Ketika dibawa lagi ke rumah sakit pemerintah itu, kondisinya sudah cukup berat. Kemudian pasien masuk di high care ICU rumah sakit itu, sampai akhirnya pasien wafat di sana.”
“Saya mengawal kasusnya, takziah dan ikut hadir saat pemakamannya,” sambungnya.
Apa isi ketentuan baru BPJS Kesehatan?
Sejak awal tahun ini, beredar informasi di media sosial yang menyebut BPJS Kesehatan merilis 144 daftar penyakit yang tidak bisa dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit.
Setelah ramai diperbincangkan warganet, BPJS Kesehatan mengonfirmasi hal itu.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, mengatakan ada 144 penyakit yang pengobatannya harus dioptimalkan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
Namun, klaimnya, bukan berarti tidak bisa dirujuk ke rumah sakit.
Rizzky menyebut bahwa ketentuan itu sebetulnya merujuk pada aturan lama yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

Sumber gambar, ANTARA/ HO Humas BPJS Kesehatan
Di situ tercantum sebanyak 144 diagnosis yang wajib diselesaikan penanganannya di FKTP—yang meliputi puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter umum, tempat praktik mandiri dokter gigi, serta rumah sakit kelas D pratama.
“Tetapi, diagnosis-diagnosis tersebut tetap dapat dirujuk ke rumah sakit apabila berdasarkan indikasi medis dan kondisi peserta, serta memerlukan penanganan lebih lanjut oleh dokter spesialis,” katanya dalam pernyataan tertulis kepada BBC News Indonesia.
“Rujukan dilakukan setelah peserta terlebih dahulu mendapatkan pelayanan dari dokter umum di FKTP, dan selanjutnya dirujuk ke FKTL, seperti rumah sakit atau klinik utama.”
Baca juga:
Adapun bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berada “dalam kondisi gawat darurat” bisa langsung mengakses layanan di unit gawat darurat rumah sakit terdekat tanpa perlu melalui FKTP.
Soal penentuan status gawat darurat, sambungnya, dilakukan oleh dokter di rumah sakit sesuai ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018.
Penilaian tersebut dilakukan secara objektif oleh dokter dan tenaga kesehatan yang berwenang, berdasarkan kompetensi profesional dan dukungan sarana medis yang tersedia.
“Terkait penjaminan pelayanan terhadap kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), BPJS Kesehatan tetap menjamin pelayanan baik rawat jalan maupun rawat inap, yang diberikan di FKTP maupun FKTL, sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku.”
‘Baik secara teori, tapi membahayakan pasien’
Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Jawa Timur, Hendro Soelistijono, menyayangkan ada rumah sakit di wilayahnya yang menolak pasien dengan alasan “tidak ditanggung BPJS Kesehatan”.
Sebab pada dasarnya, kata dia, rumah sakit punya kewajiban menolong orang alias tidak boleh menolak pasien.
Namun begitu, klaimnya, rumah sakit tetap harus berpegang pada kriteria baru yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan—meskipun, sebutnya, hal itu akan merugikan masyarakat.
“Kami sepakat kriteria itu penting, tapi kondisi orang berbeda-beda,” kata Hendro.
“Misal pada anak-anak, orang tua yang kondisi klinisnya jelek, itu belum sampai kriteria kritis yang ditentukan BPJS Kesehatan, mungkin sudah memburuk…”
“Dan rumah sakit tentunya harus mengambil langkah.”

Sumber gambar, Getty Images/SimpleImages
Kriteria kritis atau gawat darurat itu, semisal untuk kasus DBD antara lain trombositnya harus di bawah 100.000 dan PCV 51.
Jika merujuk pada hasil itu, menurut Hendro, pasien sudah menuju syok atau grade 3, yakni memiliki kondisi yang sangat serius dan memerlukan penanganan medis segera.
“Nah, apakah orang menuju syok dulu baru dibawa ke rumah sakit?” tanyanya.
“Sementara orang kan pasti mencari [fasilitas kesehatan] terdekat dulu. Kalau posisi klinik atau puskesmasnya lebih jauh, masa harus ke sana dulu? Ini kan sangat membahayakan.”
“Kami sepakat perlu ada kriteria, clear, tapi kalau sudah telanjur ke rumah sakit, kami enggak bisa menolak. Tidak boleh rumah sakit menolak.”
Baca juga:
Karena itulah, dia berharap BPJS Kesehatan sedikit melonggarkan kebijakannya.
Dalam hal rumah sakit telah mengeluarkan sumber daya menangani pasien yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, katanya, diberikan penggantian berupa klaim pembiayaan.
“Rumah sakit diperbolehkan meminta penggantian terhadap resources yang sudah dikeluarkan,” tegasnya.
“Jadi kami sarankan kepada semua rumah sakit tetap melayani, dan kami akan upayakan komunikasi dengan BPJS Kesehatan agar mengerti.”
“Karena kriteria itu baik secara teori, tetapi kita tidak tahu kondisi pasien. Manusia itu tidak sama semua, tidak seperti mesin.”
Apa solusinya?
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai ketentuan 144 penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan di rumah sakit, tak hanya karena harus merujuk pada aturan dalam Permenkes.
Tapi ada faktor “perselisihan” lama antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan terkait klaim pembiayaan.
Di sisi lain, pengamatannya, aset BPJS semakin menurun gara-gara pendapatan lebih kecil daripada pengeluaran.
Pada November tahun lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyebut angka defisit pada 2024 bahkan bisa mencapai Rp20 triliun.
Imbasnya, menurut Timboel, BPJS Kesehatan kini harus mengerem pembiayaan.

Sumber gambar, Getty Images/Jacob Wackerhausen
“Pertarungan [klaim] antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan itu kan kerap terjadi di IGD dan kasusnya banyak. Sementara saya berkali-kali bilang, pasien enggak mungkin iseng doang ke IGD. Tapi memang sakit.”
“Tapi karena pertarungan mereka [rumah sakit dan BPJS Kesehatan] menyebabkan pasien jadi korban.”
Timboel bilang sesuai UU Kesehatan, rumah sakit tidak boleh menolak pasien dan harus mengutamakan keselamatan pasien.
Sehingga, kalaupun sekarang ada alasan “tidak ditanggung BPJS Kesehatan”, rumah sakit tetap tidak boleh memakai dalih itu untuk menolak pasien.
Kalaupun klaim pembayarannya ditolak BPJS Kesehatan, pihak rumah sakit sebetulnya punya cara menggugat secara perdata ke pengadilan. Peluang itu terbuka dan ada di UU BPJS Kesehatan.
“Ada ruang menggugat, masalahnya belum pernah ada rumah sakit yang melakukan.”
Terlepas dari itu, Timboel berharap perbedaan pandangan antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan bisa terselesaikan dengan cepat, sebab bagaimanapun nyawa pasien menjadi taruhannya.
“BPJS dan rumah sakit ini equal (setara), harus sama-sama menghormati yang utamanya menjaga keselamatan pasien.”
“Saya khawatir kalau seperti ini terus terjadi, yang jadi korban itu rakyat. Harusnya kan tidak boleh.”
Daftar 144 penyakit yang tidak ditanggung BPJS di Rumah Sakit:
Sistem Saraf
- Kejang Demam
- Tetanus
- HIV/AIDS tanpa komplikasi
- Tension headace
- Migren
- Bell’s Palsy
- Vertigo (Benign paroxysmal positional Vertigo)
- Psikiatri
- Ganggungan samotoform
- Insomnia
Sistem Indra
- Benda asing di konjungtiva
- Konjungtivitis
- Perdarahan subkonjungtiva
- Mata kering
- Blefaritis
- Hordeolum
- Trikiasis
- Episkleritis
- Hipermetropia ringan
- Miopia ringan
- Astigmatism ringan
- Presbiopia
- Buta senja
- Otitis eksterna
- Otitis Media Akut
- Serumen prop
- Mabuk perjalanan
- Furunkel pada hidung
- Rhinitis akut
- Rhinitis vasomotor
- Rhinitis bukan vasomotor
- Benda asing
Sistem Respirasi
- Epistaksis
- Influenza
- Pertusis
- Faringitis
- Tonsilitis
- Laringitis
- Asma bronchiale
- Bronchitis akut
- Pneumonia, bronkopneumonia
- Tuberkolosis paru tanpa komplikasi
Sistem Kardiovaskular
- Hipertensi esensial
Saluran Pencernaan
- Kandidisiasis mulut
- Ulcus mulut (aptosa, herpes)
- Parotitis
- Infeksi pada ambulukus
- Gastritis
- Gastroenteritis (termasuk kolera, giardiasis)
- Refluks gastroesofogus
- Demam tifoid
- Intoleransi makanan
- Alergi makanan
- Keracunan makanan
- Penyakit cacing tambang
- Strongiloidiasis
- Askariasis
- Skistosomiasis
- Taeniasis
- Hepatitis A
- Disentri basiler, disentri amuba
- Hemoroid grade 1/2
Sistem Ginjal, Saluran Kemih
- Infeksi saluran kemih
- Gonore
- Pielonefritis tanpa komplikasi
- Fimosis
- Parafimosis
Sistem Reproduksi
- Sindroma duh (discharge) genital (Gonore dan non gonore)
- Infeksi saluran kemih bagian bawah
- Vulvitis
- Vaginitis
- Vaginosis bakterialis
- Salphingitis
- Kehamilan normal
- Absorsi spontan komplit
- Anemia defisiensi besi pada kehamilan
- Ruptur perineum tingkat 1/2
- Abses folikel rambut/kelj sebasea
- Mastitis
- Cracked nipple
- Inverted nipple
Sistem Endokrin, Metabolik & Nutrisi
- Diabetes Melitus tipe 1
- Diabetes Melitus tipe 2
- Hipoglikemi ringan
- Malnutrisi energi protein
- Defisiensi vitamin
- Defisiensi mineral
- Dislipidemia
- Hiperurisemia
- Obesitas
Sistem Hematologi & Imunologi
- Anemia defisiensi besi
- Limphadenitis
- Demam dengue, DHF
- Malaria
- Leptospirosis (tanpa komplikasi)
- Reaksi anafilaktik
Sistem Muskuloskeletal
- Ultus pada tungkai
- Lipoma
Sistem Integumen
- Veruka vulgaris
- Moluskum kontagiosum
- Herpes zoster tanpa komplikasi
- Morbili tanpa komplikasi
- Varicella tanpa komplikasi
- Herpes simpleks tanpa komplikasi
- Impetigo
- Impetigo ulceratif (ektima)
- Folikulitis superfisialis
- Furunkel, karbunkel
- Eritasma
- Erisipelas
- Skrofulderma
- Lepra
- Sifilis stadium 1 dan 2
- Tinea kapitis
- Tinea barbe
- Tinea facialis
- Tinea korporis
- Tinea manus
- Tinea unguium
- Tinea kruris
- Tinea pedis
- Pitiriasis versikolor
- Candidiasis mukokutan ringan
- Cutaneus larvamigran
- Filariasis
- Pedikulosis kapitis
- Pedikulosis pubis
- Scabies
- Reaksi gigitan serangga
- Dermatitis kontak iritan
- Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant)
- Dermatitis numularis
- Napkin eczema
- Dermatitis seboroik
- Pitiriasis rosea
- Acne vulgaris ringan
- Hidradenitis supuratif
- Dermatitis perioral
- Miliaria
- Urtikaria akut
- Eksantemapous drug eruption, fixed drug eruption
- Vulnus laseraum, puctum
- Luka bakar derajat 1 dan 2
Forensik & Medikolegal
- Kekerasan tumpul
- Kekerasan tajam
Wartawan Roni di Surabaya berkontribusi untuk laporan ini.