KUBET – ‘Transpuan dilarang bernyanyi’ – Surat edaran bupati Gorontalo dinilai diskriminatif dan ‘amnesia budaya’

‘Transpuan dilarang bernyanyi’ – Surat edaran bupati Gorontalo dinilai diskriminatif dan ‘amnesia budaya’

Salah seorang penyanyi transpuan di Gorontalo.

Sumber gambar, Neng Bora-bora

Keterangan gambar, Salah seorang penyanyi transpuan di Gorontalo.

Pemerintah Kabupaten Gorontalo melarang para transpuan tampil bernyanyi dalam pentas-pentas hajatan. Larangan ini dianggap memperbesar diskriminasi dan mengancam penghidupan oleh transpuan dan aktivis.

Surat edaran yang diterbitkan Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi, pada 25 April 2025, menyebut: “larangan kegiatan keramaian hiburan rakyat dan hajatan pesta yang melibatkan waria [transpuan], biduan, alkohol, narkoba, dan judi”.

Para pejabat yang disebut dalam surat diminta berhati-hati memberikan izin kegiatan keramaian, serta memantau dan mencegah “segala bentuk kegiatan dalam hal hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, serta hajatan pesta yang melibatkan waria.”

Surat edaran itu juga melarang biduan melakukan “tarian eksotis yang mengandung porno aksi yang melanggar norma kesusilaan.”

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam sikap pemerintah kabupaten Gorontalo, dengan mengatakan surat edaran ini semakin meminggirkan dan mendiskriminasi transpuan di ruang-ruang publik.

Sejumlah transpuan di Gorontalo yang diwawancarai BBC News Indonesia mengaku kebijakan tersebut “menutup pintu rezeki” mereka, serta “keliru dan hanya memperkuat stigma”.

“Ini bukan soal pakaian, ini soal keberadaan kami sebagai manusia. Kebijakan ini seperti mimpi buruk,” kata salah satu transpuan di Gorontalo.

‘Hidup saya bergantung pada pekerjaan ini dan sekarang semua hilang’

Neng Bora-bora adalah transpuan yang berkecimpung di panggung hiburan sejak SMP dan dikenal sebagai penyanyi dan pembawa acara di Gorontalo.

Sejak surat edaran tersebut diterbitkan, setidaknya delapan pekerjaannya dibatalkan karena panitia atau pemilik hajatan takut terkena sanksi atau tidak memperoleh izin dari pemerintah.

“Sekarang saya tidak bisa lagi tampil di panggung seperti dulu. Hidup saya bergantung pada pekerjaan ini, dan sekarang semuanya hilang,” ungkap Neng Bora-bora.

garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

Pekerjaan sebagai penyanyi dan pembawa acara telah membantu Neng Bora-bora menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA. Kini, sebagai kepala keluarga dengan seorang anak, dia kehilangan sumber penghasilan utama.

“Semua kostum saya adalah pakaian perempuan. Kalau saya dipaksa untuk berpakaian laki-laki, itu artinya saya harus membeli pakaian baru, yang tentunya membutuhkan biaya besar. Sementara pemerintah justru menutup pintu rezeki saya,” katanya.

Soffy Nusi, transpuan pemilik salon di Gorontalo, menjelaskan kebijakan ini tidak hanya berdampak padanya, tapi juga empat karyawan yang dia pekerjaan—semua adalah tulang punggung keluarga masing-masing.

Soffy Nuffy, Neng Bora-Bora, transpuan, Gorontalo

Sumber gambar, Sarjan Lahay

Keterangan gambar, Soffy Nuffy dan Neng Bora-Bora.

Sementara itu, Umi Key, transpuan yang telah lebih dari dua dekade berkarier sebagai penyanyi, pembawa acara, dan perias, sudah merasakan peningkatan stigma negatif terhadap transpuan, bahkan sebelum kebijakan tersebut secara resmi diberlakukan.

Pekerjaan demi pekerjaan dibatalkan, dan kini ia bahkan dilarang mengenakan kostum maskot karnaval yang dulu sering ia pakai saat tampil.

“Saya sekarang hanya diberi tugas untuk merias anak-anak yang ikut parade karnaval. Tidak lagi diizinkan mengenakan kostum maskot. Ini menyakitkan,” tuturnya.

Baca juga:

Setelah surat edaran Pemerintah Kabupaten Gorontalo dirilis, Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, turut angkat bicara.

Dia menyebut penampilan transpuan dengan jilbab dan rok pendek sebagai bentuk pelecehan terhadap ajaran agama dan berpotensi merusak moral generasi muda.

Insiden tersebut diklaim menjadi dasar dikeluarkannya surat edaran ini. Merujuk laporan dari sejumlah media lokal, yang bersangkutan sudah meminta maaf.

Umi Key menanggapi pernyataan wali kota Gorontalo tersebut.

“Pernyataan itu sangat keliru. Moral dan penampilan adalah dua hal berbeda. Saya hidup bersama keponakan-keponakan saya, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang meniru gaya atau pilihan hidup saya,” ujarnya.

Umi Key

Sumber gambar, Sarjan Lahay

Keterangan gambar, Umi Key, transpuan yang telah lebih dari dua dekade berkarier sebagai penyanyi, pembawa acara, dan perias, sudah merasakan meningkatnya stigma negatif terhadap transpuan, bahkan sebelum kebijakan tersebut secara resmi diberlakukan.

Niki Bela, penyanyi transpuan lainnya, mengaku belum mengalami pembatalan pekerjaan secara langsung, namun ia terpaksa akan mengubah penampilan agar sesuai dengan permintaan tuan rumah hajatan.

“Saya harus negosiasi dan mengubah penampilan agar bisa tetap tampil. Mau tidak mau, saya lakukan itu karena ini soal profesionalisme. Tapi jujur, itu sangat bertentangan dengan jati diri saya,” kata Niki.

Kebijakan tersebut menurut Niki keliru dan hanya memperkuat stigma dan mendorong masyarakat untuk semakin membenci dan mengucilkan kelompok transpuan.

“Orientasi dan identitas gender kami bukan sesuatu yang dibuat-buat. Ini bukan soal pakaian, ini soal keberadaan kami sebagai manusia. Kebijakan ini seperti mimpi buruk,” tegasnya.

Ketua Binthe Pelangi Gorontalo (BPG), Melky Mbuty, mengatakan pihaknya sedang melakukan pendampingan terhadap transpuan yang terdampak langsung oleh kebijakan tersebut.

Kebijakan berbuah ancaman

Salah seorang penyanyi transpuan di Gorontalo.

Sumber gambar, Neng Bora-bora

Keterangan gambar, Salah seorang penyanyi transpuan di Gorontalo.

Setelah surat edaran itu dirilis akhir April silam, sejumlah transpuan di Gorontalo juga menghadapi ancaman persekusi dari orang-orang tak dikenal, baik melalui media sosial maupun sambungan telepon dengan nomor tak dikenal, seperti yang dialami Soffy Nusi.

Pemilik salon kecantikan di dekat pusat pemerintahan Kabupaten Gorontalo sekaligus anggota komunitas BPG ini mengaku mulai menerima ancaman melalui pesan langsung dan panggilan telepon dari nomor-nomor yang tidak dikenal.

Ancaman-ancaman tersebut bermula dari viralnya kembali sebuah video yang dibuat Soffy tiga tahun lalu.

Dalam video itu, Soffy mengajak masyarakat untuk tidak mudah menghakimi dosa orang lain. Namun, video tersebut ditafsirkan oleh sejumlah warganet sebagai bentuk pelecehan terhadap ulama, dan sejak saat itu, teror pun bermunculan.

Dia mengaku bahwa mereka mengancam menyerang secara fisik. Ancaman yang menurutnya paling menakutkan adalah, seperti dikatakan Soffy, “akan menginjak-injak kemaluan saya jika bertemu di jalan.”

“Bahkan ada yang mengancam akan menembak saya dengan panah wayer,” lanjutnya, merujuk pada senjata tajam tradisional yang dimodifikasi dari potongan besi.

Karena ketakutan, Soffy sempat menutup salonnya selama dua hari. Ia kini hidup dalam kecemasan.

Dia berharap ada perlindungan yang diberikan kepada komunitas mereka, tanpa memandang orientasi gender.

Ilustrasi transpuan sedang saling merias wajah sebelum tampil dalam sebuah pertunjukan fesyen di Jakarta.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Ilustrasi transpuan sedang saling merias wajah sebelum tampil dalam sebuah pertunjukan fesyen di Jakarta.

“Saat ini saya bahkan belum bisa memikirkan jalur hukum. Bagaimana mungkin kami bisa mencari keadilan, sementara ruang gerak kami sudah lebih dulu dibatasi oleh kebijakan diskriminatif ini,” katanya.

Senada, Windy, transpuan yang bekerja di sebuah salon di Gorontalo mengaku banyak kliennya sesama transpuan mendapat ancaman agar tak lagi menggunakan kostum perempuan ketika tampil.

“Kalau tampil [seperti] perempuan di satu panggung nanti dihajar atau dilaporkan ke pihak yang berwajib.”

Windy, Niki, Neng Bora-Bora, Umi Key, hingga Soffy Nusi, berharap pemerintah membuka ruang dialog dan melibatkan komunitas transpuan dalam setiap kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka.

‘Diskriminatif dan amnesia budaya’

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Salah satu perwakilan komunitas transpuan di Gorontalo, Kikan Kalin, kini sedang berkonsultasi dengan LBH Masyarakat dan sejumlah pengacara di Gorontalo untuk mengkaji aspek hukum dari surat edaran tersebut.

“Tujuan kami bukan langsung menggugat, tetapi memahami celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong pembatalan kebijakan tersebut,” ujar Kikan.

Ia juga menambahkan bahwa pihaknya sedang merancang audiensi dengan DPRD Kabupaten dan Provinsi Gorontalo agar dapat menyampaikan aspirasi dan membuka ruang dialog antara pembuat kebijakan dengan kelompok yang terdampak.

Adapun menurut LBH Masyarakat, surat edaran ini semakin meminggirkan dan mendiskriminasi transpuan di ruang-ruang publik—yang bertentangan dengan hak kebebasan berkumpul dan visi Presiden Prabowo.

“Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui Surat Edaran ini tidak mencerminkan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo,” kata Novia Puspitasari, Koordinator Riset dan Program LBH Masyarakat.

“Poin pertama dari Asta Cita adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia.”

Pelarangan transpuan untuk hadir di kegiatan-kegiatan hiburan juga melanggar tanggung jawab pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi warganya.

Sementara banyak transpuan bekerja di sektor informal, karena mereka kerap kali sudah tersingkir dan terdiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan formal, kata LBH Masyarakat dalam rilisnya.

Alih-alih melarang, seharusnya pemerintah dan DPRD Gorontalo seharusnya bisa melindungi hak pekerja sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia.

Sementara itu, Hendrika Mayora—lebih dikenal dengan panggilan Bunda Mayora, pejabat publik transpuan pertama di Nusa Tenggara Timur, menyebut surat edaran itu pelanggaran hak asasi manusia.

“Menurut saya cukup mengagetkan. Kenapa? Sebenarnya Gorontalo itu merupakan salah satu kota yang dikenal, kota yang cukup inklusif, yang bisa merangkul teman-teman LGBTIQ secara khusus.”

Bunda Mayora memegang bendera pelangi
Keterangan gambar, Bunda Mayora memegang bendera pelangi

Karena sejarah panjang itulah, kata Bunda Mayora, surat edaran ini seperti langkah mundur.

“Nah apakah ini yang disebut dengan amnesia budaya?”

Bunda Mayora juga mengkhawatirkan keluarnya surat edaran ini akan menjadi alat untuk untuk menyebar “narasi-narasi kebencian.”

Dia menganjurkan bupati agar “merangkul semua orang”, termasuk transpuan.

“Karena transpuan juga adalah warga negara Indonesia, juga warga Gorontalo, memiliki KTP Gorontalo. Teman-teman itu orang yang punya usaha salon dan bayar pajak.”

Apa kata Pemkab Gorontalo?

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Gorontalo, Burhan Ismail, menjelaskan bahwa surat edaran ini diterbitkan sebagai respons terhadap meningkatnya keluhan masyarakat atas hiburan yang dinilai melanggar norma kesopanan.

“Maraknya protes masyarakat terhadap aktivitas waria yang dinilai berlebihan menjadi dasar kami mengambil langkah tegas. Surat edaran ini diterbitkan atas instruksi langsung dari Bupati,” ujar Burhan kepada Tribun Gorontalo.

Burhan membuat klaim, kebijakan ini tidak bertujuan untuk menghapus hiburan, melainkan sebagai bentuk pengendalian terhadap acara yang memuat unsur tak senonoh.

“Hiburan tetap diperbolehkan, namun harus sesuai dengan norma kesusilaan. Ini tentang pengawasan dan penertiban,” tegasnya.

Merujuk surat edaran tersebut, kegiatan hiburan dibatasi sampai pukul 23.00 WITA. Alasannya, “demi menjaga ketertiban dan kenyamanan lingkungan sekitar”.

Pembatasan ini juga berlaku untuk pelaku usaha hiburan seperti karaoke dan band organ tunggal. Mereka diimbau untuk tidak menampilkan aksi atau tarian biduan yang dinilai tidak pantas.

Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, menyebut kehadiran transpuan sebagai penyanyi atau pembawa acara dianggap bertentangan dengan nilai agama dan budaya lokal.

“Saya mengajak seluruh masyarakat Kota Gorontalo untuk tidak lagi mengundang penyanyi waria. Kita masih punya banyak penyanyi yang bermoral dan religius,” ujarnya dalam rilis resmi.

Dia menilai penampilan waria dengan atribut seperti jilbab dan rok pendek merupakan bentuk penghinaan terhadap ajaran agama dan dapat merusak moral generasi muda.

“Kami harus lindungi anak-anak dari tontonan yang tidak pantas. Ini demi masa depan mereka,” kata Adhan.

Sarjan Lahay, jurnalis di Gorontalo, melakukan reportase untuk liputan ini

Tinggalkan Balasan