Merince Kogoya dicoret dari Miss Indonesia karena bendera Israel – Bagaimana sejarah dan akar pandangan orang asli Papua tentang Israel?

Sumber gambar, GALI TIBBON/AFP via Getty Images
-
- Penulis, Raja Eben Lumbanrau
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Finalis Miss Indonesia 2025 dari Provinsi Papua Pegunungan, Merince Kogoya, didiskualifikasi dari ajang kontes kecantikan itu, karena video di media sosial yang menampilkan dirinya mengibarkan bendera Israel.
Kecewa dengan keputusan itu, Merince berkata dia mengibarkan bendera Israel dengan landasan nilai keagamaan yang dia jalankan.
Pengibaran bendera itu, kata dia, bukan bentuk dukungannya terhadap negara atau politik yang dijalankan Israel.
Merince mengibarkan bendera dengan gambar Bintang Daud berujung enam saat menjadi penari dalam pembukaan deklarasi acara International Sion Kids Movement (ISKIM) pada tahun 2023, kata pimpinan organisasi itu, Pendeta Marthen Su.
Marthen mengatakan, Sion Kids adalah gerakan rohani kekristenan yang berakar pada sejarah Yerusalem dan Israel.
Akhir dari Paling banyak dibaca
“Kami bukan kelompok pro-Israel dari sisi negara dan agama Yahudi. Kami menyatakan iman untuk pertobatan Israel,” ujarnya.
Penggunaan atribut Israel yang memicu kontroversi bukan baru kali ini terjadi di Indonesia. Sebelumnya, organisasi masyarakat adat Manguni Makasiouw di Bitung, Sulawesi Utara, pernah mengibarkan bendera Israel pada 2023.
“Tuhan kami lahir dan mati di Israel, dan bintang Daud itu adalah lambang dari kami. Ada lambang-lambang Israel di gereja kami, apa harus dicabut?” kata Panglima Besar Manguni Makasiouw, Andy Rompas.

Sumber gambar, Instagram.com/@kogoya_merry
Sebuah foto yang memperlihatkan pertemuan lima simpatisan NU dengan Presiden Israel Isaac Herzog juga memicu polemik pada 2024. Ketua umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, kemudian meminta maaf atas tindak-tanduk simpatisan lembaganya itu.
Yahya Staquf pada 2018 juga pernah menuai kontroversi karena menjadi pembicara dalam lokakarya berskala internasional di Yerusalem, Israel.
Isu yang berkaitan Israel sangat sensitif di Indonesia. Sejumlah pakar teologi dan kelompok umat beragama yang kami hubungi menolak berbicara terkait isu ini.
Faktanya, tidak semua simpati ke Israel dinyatakan secara terbuka. Sekelompok orang di Sumatra Utara khawatir penggunaan simbol Israel akan menyulut konflik dengan warga lain.
Mengapa Merince Kogoya mengibarkan bendera Israel?

Sumber gambar, Instagram @kogoya_merry/ Detikcom
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Dalam video unggahannya di Instagram, Merince terlihat mengenakan pakaian adat Papua dan mengibarkan bendera Israel sambil menari pada 2023.
Dalam unggahannya itu, Merince menuliskan “Giat bagi Sion, setia bagi Yerusalem, berdiri bagi Israel, bangkit bagi negeri dan menuai bagi bangsa-bangsa.” Video itu telah dilihat lebih dari 88,200 kali.
Dua tahun berlalu, video itu ternyata disebut menghentikan langkah Merince mewakili Papua Pegunungan di ajang kecantikan Miss Indonesia.
Dia dipulangkan dari masa karantina pada 26 Juni 2025. Posisinya lalu digantikan oleh wakil lain dari Papua Pegunungan, Karmen Anastasya.
Di Instagram Story-nya, Merince mengaku kecewa dengan keputusan itu. Dia berkata, video itu adalah bentuk ekspresi dirinya dalam menjalankan nilai-nilai agama yang dianut.
BBC News Indonesia menghubungi Merince, namun dia berkata belum bisa berkomentar. “Untuk saat ini kondisi kesehatan saya tidak memungkinkan. Nanti kakak kita bisa komunikasi besok atau lusa setelah kondisi saya mulai pulih, terima kasih.”

Sumber gambar, GALI TIBBON/AFP via Getty Images
Presiden International Sion Kids Movement, Marthen Su berkata video yang menunjukkan Merince sedang menari dan mengibarkan bendera Israel itu diambil pada 2023.
Dia bilang, Merince tampil dalam pembukaan festival tahunan Sion Kids, “yang mengabungkan keimanan dan budaya Papua”.
Festival Sion Kids yang mengibarkan bendera Israel itu, kata Marthen, adalah salah satu bentuk gerakan rohani Kekristenan di Papua, yang berakar dari sejarah Yerusalem dan Israel.
“Kami bukan pro-Israel dari sisi negara dan agama Yahudi. Kami menyatakan iman untuk pertobatan Israel. Kekristenan kami itu arah kiblatnya ke Yerusalem, ke Israel, dan kami pakai itu,” ujar Marthen.
“Setiap ajang tahunan 14 Mei [berdirinya negara Isarel], kami dalam gerakan Sion Kids, selalu melakukan itu dan bendera Israel selalu kami pakai dankibarkan. Jadi sudah berjalan 19 tahun terakhir ini,” katanya.
Baca juga:
Kepala Biro Papua di Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Ronald Richard Tapilatu, menilai pengibaran bendera oleh kelompok Sion Kids tidak berhubungan dengan negara Israel—yang kini disorot secara tajam akibat kebijakan mereka terhadap Gaza.
“Kalau soal Palestina, kita semua peduli. Kami sangat mendukung dan berpihak sekali pada saudara-saudara kita di Palestina,” kata Ronald.
“Tapi yang dilakukan Merince ini adalah ekspresi dari nilai keagamaan, yaitu ibadah perayaan Sion. Tidak ada hubungannya dengan tindakan yang dilakukan negara Israel saat ini,” ujar Ronald.
Ronald menilai yang dilakukan Merince merupakan bentuk dari kebebasan beraspirasi dan berpendapat.
“Bahkan, setiap tahun pasti mereka kibarkan bendera Israel, keliling dengan truk-truk di seluruh Tanah Papua. Di Jayapura, polisi tidak menangkap mereka, biasa saja,” kata Ronald.
Boy Rafli Amar, ketika masih menjabat Kapolda Papua pada 2018 tidak menganggap pengibaran bendera Israel oleh Sion Kids sebagai sebuah persoalan, apalagi mengarah ke pelanggaran hukum.
“Mereka dulu ada sejarah dengan pendeta Israel yang dulu pernah berdakwah datang ke Indonesia. Itu sekarang sudah jadi tradisi dan budaya. Itu saja tidak ada kepentingan lain,” kata Boy kepada kantor berita CNN Indonesia.

Sumber gambar, Rutce S. Bosawer
Perempuan asli Papua yang bergiat di aktivisme sosial, Rutce Bosawer menyebut pengibaran bendera atau penggunaan atribut berlambang Israel bukan suatu permasalahan di Tanah Papua.
“Mungkin itu bermasalah di Indonesia bagian barat, tapi di Papua itu biasa saja. Banyak kami pakai-pakai simbol Israel. Jadi kayak di mobil biasa kita lihat ada bendera Israel, ada di stiker dan di baju,” kata Rutce.
“Kami menggunakan simbol itu sebagai bagian dari kepercayaan iman Kristen, tapi bukan berati mendukung perang atau politik,” kata perempuan berusia 23 tahun dari Maybrat, Papua Barat Daya, itu.
Namun penggunaan atribut Israel sebenarnya juga memicu pro-kontra di internal masyarakat Papua.
Sebagian kelompok yang kerap menentang “tindakan sewenang-wenang” pemerintah Indonesia, terutama yang berbasis di perkotaan, menanggap orang asli Papua tidak semestinya melekatkan diri dengan Israel.
Apa itu Sion Kids?

Sumber gambar, GALI TIBBON/AFP via Getty Images
Presiden International Sion Kids Movement (ISKIM), Marthen Su menegaskan bahwa Sion Kids bukanlah gereja atau agama baru.
Sion Kids, katanya, adalah sebuah gerakan rohani untuk menjaga tradisi kekristenan di Tanah Papua, yang berakar pada Yerusalem dan Israel.
Marthen mengatakan, gerakan ini mulai bergerak di Papua sejak tahun 2005. Setiap tahun, gerakan ini menyelenggarakan festival perayaan Sion pada 14 Mei, sama dengan hari berdirinya negara Israel.
“Jadi kami tidak pro-Palestina, tidak pro-Israel. Kami properdamaian. Lalu, bagaimana perdamaian terjadi? Ketika Israel bertobat,” katanya.
“Tidak ada bangsa manapun di dunia yang bisa beri nasihat kepada Israel untuk bertobat kecuali hanya Tuhan,” klaim Marthen.
“Makanya kami berkumpul dari tiap-tiap kota di Papua untuk mulai berdoa bersama,” ujarnya.
Sion Kids memiliki 126 kelompok doa, dengan 8.000 anggota, kata Marthen.
Salah satu acara terbaru yang dilakukan Zion Kids adalah kegiatan Leadership Conference – Internasional Sion Kids Movement (LC-ISKIM) 2024, pada Rabu (12/06) di Manokwari.
Ketua panitia acara itu, Jacobus Ayomi, menyebut Sion Kids “bertujuan menguatkan iman umat berdasarkan perjanjian Tuhan yang kekal dengan Yerusalem, Israel”. Acara itu dihadiri oleh beberapa pejabat pemerintah daerah.
Jejak kekristenan di Papua dan ‘relasinya’ dengan Israel

Sumber gambar, Detik.com
Teolog Papua, Pendeta Benny Giay mengatakan, agama Kristen Protestan masuk ke Tanah Papua pada 5 Februari 1855.
Misionaris asal Jerman, Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler, mendarat di Pulau Mansinam, Teluk Doreh (sekarang Manokwari). Dari sana, mereka menyebarkan injil ke berbagai wilayah di Tanah Papua.
Selain Ottouw dan Geissler, ada juga misionaris lain yang menyebarkan ajaran Katolik di Papua, yaitu Pater Le Cocq d’Armandville SJ yang pertama kali menjalankan misi keagamaannya di Kampung Sekru, Fakfak, pada 1894.
“Kedua gereja ini mengakar kuat di Papua utara dan selatan, namun tidak di bagian pegunungan,” kata Benny, yang pada 1995 mendapat gelar doktor dari Vrije Universiteit Amsterdam, melalui disertasi berjudul Zakheus Pakage and His Communities Indigenous Religious Discourse, Socio-political Resistance, and Ethnohistory of the Me of Irian Jaya.
Di akhir dekade 1940-an, misionaris dari Amerika Serikat, Australia dan sejumlah negara lain masuk ke wilayah-wilayah Pegunungan Tengah, kata Benny.
“Di bagian Papua tengah, masuknya gereja yang belakangan itu tidak dengan pelayanan keagamaan yang disertai pendidikan, kesehatan, dan pertanian yang baik, jadi menyebabkan gereja kurang mengakar di wilayah ini,” kata Benny.
Hasilnya, kata Benny, tumbuh gerakan-gerakan kekristenan di Papua Pegunungan yang membawa perspektif baru, seperti Sion Kids yang menggunakan atribut Israel.
Benny bilang, Sion Kids menyebar dari wilayah pegunungan ke daerah lain di sekitar Papua Barat, lalu Serui, Biak hingga Jayapura.
Sejak pemberlakuan otonomi khusus, menurut Benny, Sion Kids semakin berkembang. Para pemimpin gereja di Tanah Papua berziarah ke “tempat-tempat suci” di Israel dengan dana dari pemerintah daerah.
“Di sana terjadilah pertemuan dengan kelompok-kelompok agama dan mereka mengembangkan gerakan Sion Kids,” kata Benny.
Pada Desember 2023 misalnya, Pemprov Papua Barat mendanai perjalanan ziarah 51 orang yang terdiri dari warga dan pejabat mereka ke Israel.
Pemprov Papua Barat kembali mendanai kunjungan serupa pada Desember 2024, untuk 83 orang. Seremoni pelepasan rombongan itu dilakukan Yacob Fonataba yang kala itu menjabat pelaksana sekretaris daerah.
Mengapa umat Kristen di Papua kerap menggunakan atribut Israel?

Sumber gambar, Leon Neal/Getty Images
Dalam risetnya yang berjudul Under Two Flags: Encounters with Israel, Merdeka and the Promised Land in Tanah Papua, akademisi Henri Myrttinen melihat setidaknya tiga wacana yang mendasari masyarakat Papua menggunakan atribut-atribut Israel.
Pertama, katanya, sebagian orang Papua melihat Israel sebagai sekutu, yang mereka anggap dapat memberikan harapan dan aspirasi.
“Negara Israel dianggap sebagai sekutu politik orang Papua, dengan keduanya dianggap memiliki tujuan yang sama, seperti perjuangan melawan tetangga yang lebih kuat,” tulis Henri dalam jurnalnya yang masuk dalam buku From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’ Exploring Papuan Temporalities, Mobilities and Religiosities, diterbitkan oleh The Australian National University Press.
Kedua, adanya hubungan spiritual antara Israel atau “tanah suci” dengan Papua.
“Wacana kedua lebih berfokus pada hubungan spiritual yang dibangun melalui agama Kristen dan pembacaan teks-teks Alkitab di mana Tanah Suci itu sendiri, bersama dengan simbol-simbol Yahudi-Kristen, mengambil tempat sentral,” kata Henri.
Alasan ketiga adalah Israel atau “tanah suci” yang mereka pandang sebagai metafora untuk Tanah Papua, atau bahkan menyatu dengannya.
Meskipun Israel tampak menonjol di Papua, Henri mengatakan negara Israel sebenarnya tidak menunjukkan minat apa pun dalam isu yang terjadi di Papua.
“Oleh karena itu, ‘hubungan khusus’ bagi saya tampaknya merupakan urusan yang berjalan satu arah,” kata Henri.
Penelitian Henri muncul saat dirinya mengunjungi Papua pada 2009. Saat itu terjadi serangan Israel di Jalur Gaza dalam operasi militer yang dikenal ‘Cast Lead‘.
Dalam kunjungan itu, dia melihat banyaknya penggunaan atribut Israel, seperti grafiti Bintang Daud di jalanan Jayapura, penduduk asli Papua mengenakan kaus pro-Israel, dan fungsionaris jemaat Kristen menggunakan simbol-simbol Israel dan Yahudi di laptop dan telepon pintar mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Henri kembali mengunjungi Papua dan melihat semakin banyak atribut Israel yang dilukis di etalase toko, stiker di mobil dan sepeda motor, hingga pajangan di pertandingan sepak bola tim lokal Persipura.
Simpati untuk Israel di wilayah lain di Indonesia

Sumber gambar, Detikcom
Fenomena penggunaan atribut Israel juga tidak terbatas di Tanah Papua.
Henri mengatakan, ‘ledakan Israel’ serupa juga terlihat di Sulawesi Utara yang mayoritas beragama Protestan dan di Timor-Leste yang beragama Katolik, meskipun dalam keadaan dan interpretasi yang berbeda.
Pada 2023, bendera Israel berkibar di Bitung, Sulawesi Utara. Organisasi masyarakat adat Manguni Makasiouw terlihat mengibarkan bendera Israel, yang berujung bentrok dengan massa dari Barisan Solidaritas Muslim (BSM).
Bentrokan itu menyebabkan satu korban tewas dan dua korban lainnya terluka.
Panglima Besar Manguni Makasiouw, Andy Rompas, mengatakan penggunaan atribut Israel merupakan representasi dari nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di tempatnya.
Bahkan katanya, di wilayahnya terdapat puluhan kampung Israel, tempat ibadah Yahudi dan museum Holocaust.
“Tuhan Yesus Lahir di Betlehem, dia disalibkan di Bukti Golgota. Itu di tanah Israel. Yang menyalibkan siapa? Orang Israel, orang Yahudi. Jadi tidak bisa dipisahkan antara Israel dan Kristen,” klaim Andy.
“Bintang Daud itu adalah lambang kami. Ada lambang-lambang Israel di gereja kami, apa harus dicabut? Itu maksud saya, apakah bisa dipisahkan kami dengan Israel?” ucapnya.
Namun dia menegaskan, relasi itu bukan berarti dirinya dan kelompoknya membela aksi negara dan politik Israel saat ini. “Kami mendukung Palestina secara kemanusiaan.”
Pandangan senada juga diungkapkan oleh Natanael Liando, pendeta asal Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatra Utara.
“Saya dukung Israel. Karena kalau kita lihat dari Alkitab, Israel itu adalah umat pilihan Tuhan dan kita selaku orang yang percaya akan kebenaran firman Tuhan maka Tuhan akan membela firman-Nya,” ujar Natanel, Senin (30/06).
Meski mendukung, Natanael tak membenarkan tindakan pemerintah Israel di Gaza.
“Dalam hukum Taurat dijelaskan ‘jangan membunuh’,” ujarnya.
Sikap tak jauh berbeda juga disampaikan Audrin Manurung, warga Kota Medan, Sumatra Utara. Ia mendukung Palestina karena alasan kemanusiaan.
“Kalau dari sisi kemanusiaan, tidak mungkin saya tidak membela Palestina, tapi kalau dari sisi konfliknya saya tidak mengikuti dan memang tidak mau mengikuti,” ujar Audrin.
Walaupun demikian, Natanael dan Audrin enggan secara terbuka menggunakan atribut dan menyatakan simpati ke Israel secara terbuka karena khawatir akan menyulut konflik dengan warga lain.
Mereka berharap terjadi perdamaian antara Israel dan Palestina.
Aturan mengibarkan bendera Israel

Sumber gambar, Joseph Prezioso/Anadolu via Getty Images
Larangan penggunaan atribut berlambang Israel di Indonesia tercantum dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 3 Tahun 2019 tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Namun aturan itu mengikat pemerintah daerah dalam konteks diplomatik.
Regulasi itu mengatur lima hal, yaitu:
1. Tidak ada hubungan secara resmi antara pemerintah Indonesia dalam setiap tingkatan dengan Israel, termasuk dalam surat-menyurat dengan menggunakan kop resmi.
2. Tidak menerima delegasi secara resmi dan di tempat resmi.
3. Tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang, dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia.
4. Kunjungan warga Israel ke Indonesia hanya dapat dilakukan dengan menggunakan paspor biasa.
5. Orientasi pemberian visa kepada warga Israel dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Imigrasi. Visa diberikan dalam bentuk afidavit melalui Kedutaan Besar RI di Singapura atau Kedutaan Besar RI di Bangkok.
Ikbal Asra, Nanda Batubara, dan Alfrits berkontribusi untuk artikel ini