Kabut di sekitar Jakarta – Anomali cuaca atau polusi udara?

Sumber gambar, Andrew Tandra
Sejumlah warga Bekasi melihat kabut di lingkungan mereka pada Minggu (29/06). Meski udara dingin menyelimuti Jabodetabek selama sepekan terakhir, para pengguna media sosial menganggap kabut itu disebabkan polusi udara. Pertanyaannya, apa sebenarnya pemicu fenomena kabut itu?
Ihsan Nurhadi sedang membersihkan mobil ketika kabut di depan rumahnya tampak lebih pekat sekitar pukul 17.00 WIB, Minggu (29/06).
“Dari siang sudah terlihat berkabut. Tapi waktu sore lebih pekat dari biasanya,” ujar warga Bekasi itu ketika dihubungi BBC News Indonesia.
Curah hujan yang tinggi memang terjadi dalam beberapa hari belakangan di sejumlah daerah di Jabodetabek.
Namun, Ihsan yang sejak kecil tinggal di Pekayon merasa bukan cuaca yang menjadi penyebab kabut, melainkan polusi. Dia pun langsung mengecek kualitas udara melalui aplikasi.
Akhir dari Paling banyak dibaca
“Hasilnya buruk,” ujar pegawai swasta itu.
Ihsan mengunggah pemikirannya ke jejaring media sosial X, sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Ternyata bukan hanya dirinya yang merasa kabut ini disebabkan buruknya kualitas udara.
Artikel ini memuat konten yang disediakan X. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca X kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati X pesan, 1
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di XBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Artikel ini memuat konten yang disediakan X. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca X kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati X pesan, 2
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di XBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Namun, tidak semua orang berpikiran seperti Ihsan.
Warga Bekasi Timur, Saffa Uswatun, mengunggah potret jalanan yang dia lalui, pada hari yang sama, 29 Juni lalu. Dia menganggap kabut itu terjadi karena hujan selama dua hari berturut-turut.
“Bekasi berasa Puncak,” tulis Saffa di X.
Artikel ini memuat konten yang disediakan X. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca X kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati X pesan, 3
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di XBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Julukan seperti ‘Bekaswiss’ viral di kalangan warganet. Istilah ini, gabungan “Bekasi” dan “Swiss”, secara sarkastis menyamakan kabut polusi di Bekasi dengan kabut alami di pegunungan Swiss.
BBC News Indonesia menghubungi sejumlah warga di luar jejaring media sosial untuk menanyakan pendapat mereka.
Bayu Septianto, 34, yang tinggal di Pekayon Indah, Bekasi Selatan, melihat kabut saat pulang dari pusat perbelanjaan.
“Awalnya saya kira ada yang sedang membakar sampah,” ujar Bayu sambil terkekeh.
Sama seperti Saffa, Bayu juga merasa kabut yang terjadi disebabkan hujan dan hawa sejuk. Namun, di sisi lain, dia juga mengakui polusi sudah menjadi makanan sehari-hari warga di sana.
“Saya tidak merasa sesak kemarin, tapi apa mungkin itu karena saya sudah kebal sama udara Bekasi? Miris, sih, memang,” ujarnya.

Sumber gambar, ISTIMEWA
Bagaimana penjelasan BMKG?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan kabut di sebagian wilayah di Jabodetabek disebabkan cuaca yang lebih dingin dari biasanya serta kelembapan udara.
Berdasarkan data BMKG, suhu udara di Jabodetabek lebih rendah dari kondisi normal “terutama pada malam hingga dini hari”, menurut Ketua Tim Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, Ida Pramuwardhani.
Beberapa wilayah seperti Kota Baru Cikampek di Bekasi dan Jakarta Utara tercatat mencapai 23,1°C, sementara Jakarta Timur 23,3°C, dan Depok 22,1°C.
“Kondisi ini tidak terlepas dari situasi cuaca yang terjadi sejak siang hari sebelumnya,” kata Ida.
“Pada 28 Juni, Jabodetabek diguyur hujan merata dari siang hingga malam, yang kemudian berlanjut pada 29 Juni dengan hujan ringan dan tutupan awan tebal sepanjang hari.”
Menurut Ida, curah hujan yang persisten dan tutupan awan tebal menjadi pemicu utama kabut.
“Sinar matahari terhalang oleh lapisan awan tebal, sehingga tanah dan udara di sekitarnya tidak memperoleh cukup energi panas. Selain itu, proses turunnya hujan juga disertai aliran udara dari lapisan atas atmosfer menuju ke bawah, yang membawa udara dingin ke permukaan,” papar Ida.
“Suhu yang rendah ini kemudian bertahan lebih lama karena kondisi kelembapan udara yang sangat tinggi dan angin yang berembus pelan.”
BMKG mencatat kelembapan udara mencapai lebih dari 90 persen di beberapa lokasi, yang kemudian memicu terbentuknya kabut tipis pada malam hari. Ida menyebut kabut ini menjadi indikator bahwa udara di dekat permukaan berada dalam kondisi dingin dan lembap yang stabil.
Apakah polusi menjadi penyebab fenomena kabut?
Pihak BMKG menanggapi komentar warganet tentang polusi sebagai penyebab utama kabut pada akhir pekan.
“Pada dasarnya, jika kabut terjadi pada periode yang masih banyak kejadian hujan seperti sekarang ini, hampir dapat dipastikan bahwa kabut tersebut bukan disebabkan oleh polusi,” tutur Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Supari, dalam pernyataan kepada BBC News Indonesia.
Supari menyebut kabut yang disebabkan polusi “umumnya muncul pada kondisi kering, ditandai dengan tidak turunnya hujan selama beberapa hari sehingga atmosfer tidak mengalami proses pencucian”.
“Akibatnya, partikel polutan tetap melayang di udara dan tidak terendapkan ke permukaan bumi,” ujarnya.

Sumber gambar, Aditya Irawan/NurPhoto via Getty Images
Lebih lanjut, Supari mengatakan polusi udara cenderung lebih tinggi pada musim kemarau yang kering alih-alih musim hujan.
Polusi dari pembakaran lahan dan sampah serta aktivitas industri dan transportasi menumpuk akibat tidak adanya “pencucian atmosfer” oleh curah hujan. Udara kering dan stabil pada musim kemarau membuat polutan terjebak dekat permukaan tanah.
“Karena tidak ada hujan dan pergerakan udara terbatas, polusi pun menumpuk dan menyebabkan kualitas udara memburuk,” jelasnya.
Terlepas dari adanya penjelasan fenomena kabut tipis oleh BMKG dari sudut pandang meteorologi, isu polusi tetap menjadi perbincangan di media sosial.
Artikel ini memuat konten yang disediakan X. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca X kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati X pesan, 4
Konten tidak tersedia
Lihat lebih banyak di XBBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal
Nafas Indonesia, perusahaan aplikasi yang bergerak di bidang solusi kualitas udara, menyebut kabut yang dilihat warga pada akhir pekan mengandung polusi.
Data dari jaringan sensor Nafas memperlihatkan kualitas udara sejak Mei 2025 hingga Senin (30/06) cenderung memburuk, menurut Nidaa Fauziyyah, analis data Nafas Indonesia.
Nidaa berkata, situasi seperti ini terjadi seiring masuknya musim kemarau di mana kecepatan angin dan curah hujan berkurang sehingga pergerakan polusi udara lebih sulit untuk terdispersi.
“Kabut itu bukan hanya berisi uap air, tapi ada polusi yang terperangkap di atmosfer akibat akumulasi dari sumber polusi,” ujar Nidaa.

Sumber gambar, NAFAS INDONESIA
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Namun, Clean Air Asia, LSM internasional yang berfokus pada kualitas udara di kota-kota Asia mengatakan “perlu analisis lebih lanjut” untuk membuktikan apakah polusi udara merupakan penyebab kabut pada 29 Juni lalu.
Pembentukan kabut yang berasal dari polusi udara biasanya adalah akumulasi dari polutan PM2.5 dan cuaca yang lembap sehingga polutan PM2.5 terjebak di kabut yang terbentuk, kata Direktur Indonesia untuk Clean Air Asia, Ririn Radiawati Kusuma.
“Fenomena ini biasanya ditemui di daerah urban,” ujar Ririn kepada BBC News Indonesia.
Dalam kasus Kota Bekasi, berdasarkan data historis IQAir yang berasal dari alat pemantau yang dipasang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan satu alat pemantai independen, terlihat bahwa tingkat polutan rata-rata harian PM2.5 sejak 24 Juni 2025 konsisten di atas 55 mikrogram per meter kubik (ug/m3) atau di atas baku mutu nasional harian.
“Hal ini bisa berkontribusi pada pembentukan kabut yang berisi polutan PM2.5. Namun, untuk memastikannya, harus dilakukan penyelidikan lebih lanjut melalui pemasangan alat pemantau kualitas udara di daerah berkabut tersebut atau melakukan investigasi sumber polutan di daerah,” jelas Ririn.
Mengapa banyak warga langsung menyalahkan polusi?
Polemik di media sosial mengenai penyebab kabut tipis mencerminkan keresahan masyarakat atas isu polusi yang tidak kunjung usai.
Hal itu dipaparkan Syahroni Fadhil, Divisi Advokasi Walhi Jakarta, kepada BBC News Indonesia.
“Memang terlalu dini untuk mengatakan apakah kabut ini disebabkan polusi atau tidak,” ujar Syahroni.
“Tapi di sisi lain, Jabodetabek sudah punya catatan yang sangat berat berkaitan dengan polusi udara.”
Menurut Syahroni, meski kabut tipis kemungkinan disebabkan gejala alam, buruknya kualitas udara di Jabodetabek adalah fakta yang tidak terhindarkan.
Dengan begitu, sambung dia, masyarakat yang langsung menuding polusi sebagai penyebab kabut “tidak bisa disalahkan”.
“Polemik yang terjadi murni menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya untuk menangani polusi udara di Jabodetabek,” ujar Syahroni.
Pada November 2023, Mahkamah Agung menguatkan putusan hukum terkait polusi udara di Jakarta yang menghukum, antara lain Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan.
Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Banten juga termasuk sebagai pihak yang dinyatakan bersalah dalam putusan tersebut.
Meski putusan hukum itu sudah berkekuatan hukum tetap, Syahroni menilai masyarakat masih belum puas dengan penanganan polusi udara selama ini.
Sebagai contoh, dia menyoroti kawasan industri yang memproduksi banyak sekali polusi seperti pabrik di Cikarang serta pembangkit listrik yang dikeluhkan masyarakat.
Syahroni pun berharap pemerintah menjadikan polemik media sosial ini sebagai kritik membangun.
“Pemerintah perlu proaktif. Misalnya dengan menyediakan platform yang mewadahi aduan masyarakat yang transparan, partisipatif, dan inklusif,” ujarnya.