Fenomena gagal bayar pinjol – ‘Sudah lelah gali lubang, tutup lubang’

Sumber gambar, Tempo/Prima Mulia
Fenomena sengaja gagal bayar pinjaman online menjadi perbincangan publik seiring menjamurnya grup-grup di media sosial yang membicarakan upaya lepas dari jeratan utang. Mengapa fenomena gagal bayar (galbay) ini terjadi dan apa dampaknya?
Salah satu warganet di sebuah grup Facebook mengeluhkan mendapat tagihan dari aplikasi pinjaman online yang tak dia gunakan.
Unggahan itu dibalas warganet lain yang menyatakan kemungkinan aplikasi-aplikasi tersebut tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga “halal kalau di-galbay“.
Sementara seorang warga di Sumatra Barat mengaku memutuskan sengaja gagal bayar karena sudah terlilit utang dan denda yang berlipat ganda.
“Awalnya saya berpikiran bunganya hanya sedikit dan setelah melakukan keterlambatan dan saya hitung-hitung ternyata denda keterlambatannya sangat besar dan itu yang membuat saya memutuskan untuk galbay,” kata Febri yang tinggal di Padang.
Akhir dari Paling banyak dibaca
Asosiasi perusahaan pendanaan menyesalkan fenomena galbay yang seolah menjadi ajakan agar para peminjam uang di aplikasi beramai-ramai untuk gagal bayar.

Sumber gambar, Tempo/Tony Hartawan
Ekonom Muhammad Andri Perdana mengatakan tren sengaja gagal bayar ini “hasil dari semakin terdesaknya kondisi masyarakat rentan yang berlangsung saat ini”.
Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta masyarakat “mempertimbangkan aspek kebutuhan dan kemampuan bayar secara cermat agar tidak terjebak dalam pinjaman online ilegal dan praktik gali lubang tutup lubang.”
Di sisi lain, OJK mengingatkan agar perusahaan meningkatkan manajemen risiko dalam hal peminjaman.
‘Sudah capek gali lubang tutup lubang’
Fenomena gagal bayar ini mengemuka di media sosial seperti Facebook.
Di platform media sosial yang dimiliki Meta tersebut, bermunculan grup dengan nama galbay beranggotakan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pengguna.
Di akun-akun tersebut warganet menanyakan bagaimana keluar dari jeratan utang pinjaman online.
“Sudah capek gali lubang tutup lubang untuk pinjol sampe sekarang ini belum juga selesai,” kata pengguna di sebuah grup Facebook.
Warganet yang mengomentari unggahan itu kemudian memberikan saran bagaimana menghadapi tagihan aplikasi.
“Intinya jangan lemah teror balik mereka [debt collector].”
Sebagian dari mereka kemudian menawarkan “jasa konsultasi” mengenai kiat-kiat gagal bayar pinjaman online (pinjol).

Sumber gambar, Kompas.com/Angelya Wulandari
Sementara itu, Febri, 33 tahun, memutuskan tak mau lagi melunasi utang di aplikasi karena alasan ekonomi.
Perempuan yang tinggal di Padang, Sumatra Barat ini mengaku utangnya menumpuk di dua pinjol dan satu aplikasi layanan pembelian tanpa harus pembayaran langsung atau paylater.
Utang terbesar Febri ada di sebuah aplikasi, senilai Rp3,6 juta. Sementara untuk aplikasi lainnya hanya dalam hitungan ratusan ribu rupiah saja.
Febri mengungkapkan alasan dirinya tidak lagi membayar pinjaman tersebut karena sudah telat bayar dan saat memiliki uang ia juga sering menunda pembayaran cicilannya.
“Awalnya saya berpikiran bunganya hanya sedikit dan setelah melakukan keterlambatan dan saya hitung-hitung ternyata denda keterlambatannya sangat besar dan itu yang membuat saya memutuskan untuk galbay,” kata Febri kepada wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (18/06).
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Selama gagal bayar, Febri mengungkapkan bahwa dirinya cukup sering menerima telepon dari debt collector yang mengaku pihak ketiga dari salah satu aplikasi yang ia gunakan.
“Biasanya mereka menelpon untuk menagih pembayaran cicilan hingga meminta untuk melakukan pelunasan dan saya tidak pernah menerima ancaman dari debt collector-nya,” katanya.
Meskipun begitu, pria yang saat ini berprofesi sebagai supir ojek online tersebut mengatakan bahwa dirinya juga pernah dihampiri ke rumahnya oleh seorang debt collector.
“Tapi itu dari aplikasi pinjol yang lain dan setelah dihampiri itu langsung saya lunasi melalui aplikasinya. Sementara untuk tiga pinjol ini tidak pernah menghampiri ke rumah,” katanya.
Menurutnya, pola penagihan yang dilakukan oleh tiga aplikasi hanya memberikan tenggat waktu untuk pembayaran sisa utang dengan bunga serta denda keterlambatan pembayaran yang diterima.
“Biasanya mereka memberikan tenggat waktu selama 24 jam atau beberapa jam. Beberapa kali mereka mengirimkan foto lokasi terkini saya dan saat saya minta bertemu juga tidak pernah dihampiri,” katanya.

Sumber gambar, Getty Images
Febri mengungkapkan ia pernah secara tiba-tiba dimasukkan ke dalam grup aplikasi Telegram yang berisi informasi mengenai isu-isu gagal bayar pinjaman online.
Lewat kanal itu ia mendapat tips-tips dari video yang dibagikan.
“Saya juga tidak mengetahuinya, tiba-tiba akun Telegram saya sudah masuk dalam grup tersebut dan ada berbagai tips yang diberikan di dalam grup itu,” katanya.
Salah satu tips yang diberikan, kata Febri, adalah cara melakukan pengecekan terhadap aplikasi yang legal dan yang ilegal.
“Selain itu, saya juga masih mengingat bahwa dalam salah satu video dikatakan kalau untuk pinjol itu tidak masuk dalam ranah pidana dan kita tidak bisa dipenjarakan karena galbay tersebut,” katanya.
Galbay di lima pinjol
Warga Semarang, Jawa Tengah, Rohmen, mengaku beberapa kali melakukan pinjaman online, mulai dari aplikasi yang terdaftar di OJK hingga yang tidak terdaftar.
Rohmen mengaku, bahwa dulu ia bisa menyanggupi membayar tagihan pinjamannya sesuai tempo pembayaran.
“Waktu itu uangnya saya pakai untuk kebutuhan keluarga dan modal usaha,” ucapnya.
Namun, belakangan dirinya kesusahan mengajukan pinjaman lagi, sementara kondisinya sedang butuh uang cepat.
Pada saat yang sama, dirinya juga masih punya tanggungan di aplikasi yang tidak terdaftar OJK.

Sumber gambar, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia
Rohmen yang bekerja di bank, akhirnya melakukan pengecekan mandiri melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) perihal riwayat utangnya. Di sana ia tak menemukan catatan soal utang, hanya riwayat pinjaman yang sudah dilunasi
“Namun ketika mau pinjem di pinjol manapun sudah tidak bisa,”
“Semenjak itu akhirnya saya galbay semua,” keluhnya.
“Karena agak jengkel, emosi begitu, niatnya bener [bayar rutin],” katanya.
Ia memutuskan berhenti membayar utang-utangnya di lima aplikasi dengan nominal rata-rata pinjam Rp300.000.
“Itu sebenarnya nominalnya kecil, tidak ada yang sampai [Rp1 juta],” tuturnya.
“Sekarang sudah tidak pernah pinjol lagi, karena sudah tidak bisa.”
Rohmen juga mengaku pernah mendapatkan teror dari pihak pinjol via telpon.
“Dulu pernah sempat dikejar, saya sih tidak takut sampai pernah saya diajak ketemu, namun saya tunggu di lokasi sampai Magrib tidak datang,” cecarnya.
Ia juga mengaku pernah diancam akan didatangi di kantornya, tapi ancaman itu tak menjadi kenyataan.
“Sana [debt collector] yang ngajak ketemu, tapi sananya yang enggak berani,”
Saat ini, dirinya mengaku sudah tidak pernah mendapatkan teror sama sekali dari pinjol.
“Mungkin sudah capek yang neror,” tandasnya.
Apa kata asosiasi perihal soal bayar ini?
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, menyesalkan menjamurnya tren sengaja gagal bayar, yang seolah menjadi ajakan agar para peminjam uang di aplikasi beramai-ramai untuk gagal bayar.
Entjik mengatakan akan membawa perkara ini ke ranah hukum, kendati tidak menjelaskan secara detail.
“Ini kan sudah pelanggaran hukum secara perdata. Mental meminjam tapi tidak mau bayar,” ujar Entjik kepada wartawan Riana Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Koordinasi dengan OJK, kata Entjik, juga sedang dilakukan mengingat gerakan semacam ini sudah tumbuh beberapa tahun belakangan.
Menurut pantauan AFPI, lebih dari 50 persen peminjam menggunakan uang hasil utang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
“Misal kerja di bawah 5 tahun. Gajian sekitar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta tanggal 25, nah tanggal 10 sudah habis. Untuk menyambung hidup, bensin, dan lain-lain, ambil pinjol,” tuturnya.
“Umumnya pinjam sekitar Rp1 juta. Yang repot kalau gaji Rp5 juta, kemudian pinjam juga Rp5 juta,” imbuhnya.

Sumber gambar, Kompas.com/ Agustinus Rangga Respati
Entjik kemudian mengatakan program restrukturisasi mungkin dilakukan jika memang peminjam tak sanggup membayar, sehingga tidak perlu sengaja gagal bayar.
AFPI bahkan memiliki sarana pengaduan yang bernama ‘Jendela’ bagi para peminjam yang merasa keberatan untuk melunasi pinjamannya karena berbagai macam alasan.
Tiap tahun, tercatat sekitar 200 pengaduan masuk dan ditangani oleh AFPI.
Sebagian besar hasil penanganan aduan tersebut berbuah perpanjangan jatuh tempo pembayaran, pengurangan jumlah pembayaran, hingga penarikan angsuran.
Akan tetapi, Entjik menekankan prosesnya akan lancar apabila penyedia layanan pinjamannya legal dan si peminjam bisa menyediakan bukti yang valid terkait ketidakmampuannya melunasi utang.
“Bukan terus mengajak tidak bayar. Hubungi kami, kami akan bantu untuk mediasi. Sudah banyak yang kami bantu,” ucap Entjik.
Adapun kriteria yang selama ini lolos untuk restrukturisasi utang adalah mereka yang tidak punya penghasilan.
Antara lain, para karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja, meninggalnya tulang punggung keluarga, bisnis bangkrut, atau bencana.
Mengapa gagal bayar jadi tren dan apa dampaknya?
Ekonom dari Bright Institute Muhammad Andri Perdana, menjelaskan bahwa berkembangnya tren gagal bayar pinjol ini akibat kondisi masyarakat yang semakin terimpit permasalahan ekonomi.
“Kondisi yang mendesak inilah yang merasionalisasi untuk mempercayai perilaku sengaja gagal bayar tersebut hingga bahkan membentuk semacam support group yang saling meyakinkan dan menjustifikasi ajakan untuk sengaja gagal bayar,” kata Andri.
Andri menjabarkan kondisi gagal bayar para peminjam ini muncul seiring tumbuhnya industri pinjol yang mulai menggeliat sejak 2015.
Tren gagal bayar memuncak kala pandemi Covid-19, ketika banyak orang terdampak kelesuan ekonomi global.
Pascapandemi, aksi gagal bayar ini masih tetap berlangsung, seiring terjadi pelemahan ekonomi.
Seperti diketahui, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sempat mengumumkan jumlah pemutusan hubungan kerja, terhitung dari Januari sampai Maret 2025 mencapai lebih dari 70.000 orang, di samping daya beli masyarakat yang menurun.
Menurut Andri secara umum warga tak ingin gagal bayar.
“Masyarakat pada umumnya tidak ada yang ingin berada dalam kondisi terlilit utang, bahkan jika mendengar kalau ada celah untuk lolos dari konsekuensi gagal bayar sekalipun,” katanya.

Sumber gambar, ANTARAFOTO/SIGID KURNIAWAN
Menurut AFPI ada sejumlah hal yang bakal terjadi pada orang yang gagal bayar pinjaman online.
Pertama, peminjam akan masuk daftar hitam SLIK. Seseorang yang masuk daftar ini akan kesulitan untuk bisa mendapat pinjaman di lembaga keuangan manapun.
Kedua, bunga dan denda yang menumpuk. Ketika seseorang terlambat membayar, maka denda dan bunga akan terus berlipat.
Menurut aturan OJK maksimal bunga pinjaman adalah 8% per hari.
Sementara besaran denda keterlambatan adalh 8% persen per hari dari total pokok pinjaman. Adapun untuk denda keterlambatan pinjaman dikenakan maksimal 100% dari total pokok pinjaman.
Ketiga, AFPI menyebutkan upaya penagihan akan terus dilakukan lewat pesan email, SMS, telepon, dan jika ada penunggakan maka akan didatangi debt collector.
“Ini membuat Anda khawatir, tidak bisa tidur dan stres,” pernyataan di situs AFPI.
Apa kata OJK soal tren galbay ini?
Menanggapi fenomena galbay ini, OJK meminta masyarakat berhati-hati dalam meminjam uang secara online.OJK menilai perlu penilaian matang agar pengembalian pinjaman dapat dilakukan.
“Masyarakat agar lebih bijak dalam memanfaatkan fasilitas pendanaan dari Penyelenggara Pindar, termasuk agar tidak melakukan langkah-langkah untuk sengaja tidak membayar utang terhadap Penyelenggara Pindar,” tulis OJK dalam pernyataan tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Rabu (18/06).
Di sisi lain OJK juga meminta perusahaan agar memperkuat perhitungan risiko terhadap para calon debitur.

Sumber gambar, Kompas.com/OJK
“Penguatan manajemen risiko ini diharapkan dapat memperkuat mitigasi risiko terhadap Pemberi Dana (lender) dalam platform Pindar dan memitigasi meningkatnya jumlah Penerima Dana (borrower) yang tidak melakukan pembayaran atau gagal bayar, kata OJK.
OJK menekankan agar perusahaan dapat menolak pengajuan pinjaman yang dilayangkan calon debitur yang sudah terdaftar di lebih dari tiga aplikasi.
Mulai 31 Juli 2025, OJK juga mewajibkan para perusahaan untuk menjadi pelapor dalam sistem SLIK.
“Informasi SLIK ini dapat menjadi salah satu bahan masukan untuk menilai kelayakan calon debitur yg akan mendapatkan fasilitas kredit/pembiayaan oleh Lembaga Jasa Keuangan Indonesia,” kata OJK.