KUBET – Grup inses di Facebook terbongkar, Indonesia disebut ‘pabrik konten pornografi anak’

Grup inses di Facebook terbongkar, Indonesia disebut ‘pabrik konten pornografi anak’

Ilustrasi seorang anak perempuan menjadi korban konten pornografi.

Sumber gambar, Getty Images/Marcos Calvo

Keterangan gambar, Ilustrasi seorang anak perempuan menjadi korban konten pornografi.

Terbongkarnya grup inses ‘Fantasi Sedarah’ di Facebook yang berisi ratusan konten pornografi anak kian menguatkan posisi Indonesia sebagai ‘pabrik’ kejahatan eksploitasi seksual anak, kata Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Andy Ardian.

Sebutan itu turut didukung oleh laporan organisasi nirlaba asal Amerika Serikat (NCMEC) pada 2024 yang menemukan ada 1,4 juta konten bermuatan kekerasan seksual anak di Indonesia. Jumlah itu terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Filipina.

Itu sebabnya Indonesia dianggap tempat paling aman untuk pembuatan dan penyimpanan konten-konten pornografi lantaran “minimnya intervensi pemerintah”.

Menanggapi hal ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengatakan pihaknya belum berencana membentuk satuan tugas khusus untuk menindak konten-konten pornografi anak.

Direktur Kemitraan Komunikasi Lembaga dan Kehumasan Kementerian Komdigi, Marroli J. Indarto, mengungkapkan sejak Februari lalu, Komdigi mengandalkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN), aplikasi yang didesain untuk mengawasi dan menegakkan kepatuhan terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

Konten apa saja di dalam grup ‘Fantasi Sedarah’?

Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap enam pelaku di balik grup inses ‘Fantasi Sedarah’ dan ‘Suka Duka’ di Facebook.

Dalam konferensi pers yang digelar pada Rabu (21/05) lalu, polisi membeberkan peran para tersangka: MR, DK, MS, MJ, MA, dan KA.

MR merupakan pembuat dan admin grup ‘Fantasi Sedarah’ sejak Agustus 2024 dan menggunakan akun Facebook “Nanda Chrysia”. Dari perangkat telepon genggamnya, polisi menemukan setidaknya 402 gambar dan tujuh video bermuatan pornografi.

DK diketahui anggota aktif dengan akun “Alesa Bafon” dan “Ranta Talisya” dan berperan sebagai penjual konten pornografi anak di grup tersebut dengan harga Rp50.000 untuk 20 konten dan Rp100.000 untuk 40 konten.

Bareskrim Polri menangkap enam orang pelaku kasus tindak pidana distribusi dokumen dan informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan, pornografi serta eksploitasi anak di Grup Facebook 'Fantasi Sedarah' dan 'Suka Duka' yang ditangkap di Pulau Jawa dan Sumatera.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fauzan

Keterangan gambar, Bareskrim Polri menangkap enam orang pelaku kasus tindak pidana distribusi dokumen dan informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan, pornografi serta eksploitasi anak di Grup Facebook ‘Fantasi Sedarah’ dan ‘Suka Duka’ yang ditangkap di Pulau Jawa dan Sumatera.

MS adalah anggota aktif dengan akun “Mas Bro”. Ia pembuat video asusila dengan anak-anak menggunakan ponselnya sendiri.

MJ juga anggota aktif dengan akun “Lukas” dan bertugas membuat serta menyimpan video asusila dengan anak-anak. Polisi menyebut MJ berstatus buronan terkait kasus asusila anak di Bengkulu, Sumatra Selatan.

MA turut menjadi anggota aktif dengan akun “Rajawali” yang mengunduh dan mengunggah ulang konten pornografi anak di grup tersebut. Polisi menemukan setidaknya ada 66 gambar dan dua video di ponsel tersangka yang mengandung unsur pornografi.

KA diketahui anggota grup ‘Suka Duka’ dengan akun “Temon-temon”. Ia disebut bertugas mengunduh dan menyebarkan konten pornografi anak di grup itu.

Apa motif pelaku?

Grup ‘Fantasi Sedarah’ dan ‘Suka Duka’ diduga memiliki ribuan anggota yang aktif berdiskusi dan berbagi konten terkait fantasi inses serta pornografi anak.

Soal motif, polisi menyebut motif tersangka DK demi mendapatkan keuntungan pribadi. Namun demikian, penyelidikan polisi bakal mengungkap kemungkinan adanya jaringan lain.

Dalam kasus ini, polisi menyita barang bukti dari para tersangka berupa 3 akun Facebook, 5 akun email, 8 unit handphone, 1 unit PC, 1 unit laptop, 2 KTP, 6 SIM card, dan 2 kartu memori.

Petugas kepolisian merapikan barang bukti usai konferensi pers ungkap kasus asusila dan pornografi di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu (21/05).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fauzan

Keterangan gambar, Petugas kepolisian merapikan barang bukti usai konferensi pers ungkap kasus asusila dan pornografi di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu (21/05).

Para pelaku dijerat pasal berlapis, antara lain:

Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 52 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 29 juncto Pasal 4 Ayat 1 dan/atau Pasal 30 juncto Pasal 4 Ayat 2 dan/atau Pasal 31 juncto Pasal 5 dan/atau Pasal 32 juncto Pasal 6 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Pasal 81 juncto Pasal 76D dan/atau Pasal 82 Ayat 1 dan Ayat 2 juncto Pasal 76E dan Pasal 88 juncto Pasal 76I UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 14 Ayat 1 huruf A dan B UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Ancaman hukuman bagi para tersangka adalah pidana penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp6 miliar.

‘Indonesia pabrik konten pornografi anak’

Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Andy Ardian, mengatakan terbongkarnya grup inses ‘Fantasi Sedarah’ dan ‘Suka Duka’ di Facebook kian menguatkan posisi Indonesia sebagai ‘pabrik’ kejahatan eksploitasi seksual anak.

Pasalnya pada 2024, organisasi nirlaba asal Amerika Serikat (NCMEC) menemukan ada 1,4 juta konten—terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Filipina—bermuatan materi kekerasan seksual anak.

Kemudian pada 2023, Indonesia menempati peringkat keempat di dunia dengan jumlah materi kekerasan seksual anak yang mencapai 1,9 juta.

“Intinya sejak 2018 Indonesia berada di peringkat lima besar, meski angkanya naik-turun,” ujar Andy kepada BBC News Indonesia, Kamis (23/05).

Petugas kepolisian merapihkan barang bukti usai konferensi pers ungkap kasus asusila dan pornografi di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu (21/05).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fauzan

Keterangan gambar, Petugas kepolisian merapihkan barang bukti usai konferensi pers ungkap kasus asusila dan pornografi di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu (21/05).

Data yang dimiliki NCMEC, terang Andy, berasal dari laporan penyedia layanan elektronik yang terdaftar di Amerika Serikat.

Sesuai aturan yang berlaku, perusahaan aplikasi yang terdaftar di negara itu harus melaporkan setiap materi daring yang mengarah pada pelecehan seksual anak atau perdagangan seksual anak di platform maupun server mereka.

Begitu laporan—yang juga memuat lokasi pengunggahan konten—itu rampung, kata Andy, biasanya NCMEC akan memberikannya ke penegak hukum negara masing-masing.

Selain dari NCMEC, data soal konten daring kekerasan seksual anak atau pornografi anak di Indonesia juga dimiliki Internet Watch Foundation (IWF) yang bekerjasama dengan ECPAT Indonesia.

Tersangka dihadirkan saat konferensi pers ungkap kasus asusila dan pornografi di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu (21/05).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fauzan/bar

Keterangan gambar, Tersangka dihadirkan saat konferensi pers ungkap kasus asusila dan pornografi di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu (21/05).

Pada 2021, kata Andy, terdapat 400 laporan dan ada 10 yang terbukti konten daring kejahatan eksploitasi seksual anak.

“Satu materinya di hosting [disimpan dan dikelola server] di Indonesia, dan sisanya dari luar negeri,” jelas Andy.

Kemudian pada 2022, mereka menerima 481 laporan. Sebanyak 67 terbukti sebagai materi berisi kekerasan seksual anak.

“Empat di hosting [disimpan dan dikelola server] di Indonesia dan 63 dari luar negeri.”

Baca selengkapnya:

Tahun berikutnya, pada 2023, jumlah laporannya naik menjadi 897 dan 204 di antaranya terbukti benar materi kekerasan seksual anak.

“Sebelas di hosting [disimpan dan dikelola server] di Indonesia dan 193 dari luar negeri.”

Dan, pada 2024, terdapat 707 laporan dan 319 di antaranya terbukti bermuatan kekerasan seksual anak.

Yang mencengangkan, tutur Andy, 240 konten disimpan dan dikelola server di Indonesia dan 113 lainnya dari luar negeri.

Mengapa kasus kekerasan seksual anak terus meningkat?

Andy bilang materi kekerasan seksual anak tersebut bukan semata tayangan yang tak ramah anak, tetapi “melibatkan anak sebagai objek maupun subjek dalam konten pornografi tersebut”.

Bentuknya tak cuma video dan foto, namun ada juga percakapan yang mengarah pada kejahatan seksual anak.

Sayangnya, kata Andy, perangkat yang dimiliki pemerintah untuk mendeteksi dan menyaring konten-konten seperti itu di ruang digital Indonesia belum cukup efektif.

“Jadi kalau ditanya kenapa kasusnya terus meningkat? Karena kita enggak punya intervensi khusus dalam hal pornografi anak atau kekerasan seksual anak ini,” jelasnya.

Ilustrasi seorang anak laki-laki berdiri di balik pintu.

Sumber gambar, Getty Images/RinoCdZ

Keterangan gambar, Ilustrasi seorang anak laki-laki berdiri di balik pintu.

Padahal kalau tidak ditangani secara serius, bisa berbahaya.

Ketika konten-konten itu masih terdistribusi di platform digital, maka sebetulnya risiko keselamatan anak masih sangat besar: dari yang sebelumnya menjadi korban paparan materi pornografi—ujungnya bisa menstimulasi mereka untuk jadi pelaku kekerasan seksual anak.

“Siklus itu tidak akan putus jika tak ditangani.”

“Dan yang dikhawatirkan, anak yang sudah jadi korban [paparan konten pornografi] sangat rentan menjadi pelaku.”

“Jadi kalau konten ini tidak diberesin, tidak dicegah distribusinya, akan banyak orang terpapar dan terstimulasi melakukan kejahatan seksual anak karena pikirannya dipenuhi adegan-adegan seksualitas dengan anak.”

Apa yang harus dilakukan pemerintah?

“Salah satu yang kami dorong adalah mekanisme pendataan dan pengembangan mekanisme pelaporan,” ujar Andy Ardian.

Menurut dia, Indonesia membutuhkan sistem pelaporan seperti yang dilakukan NCMEC atau Internet Watch Foundation (IWF).

Dengan begitu, jika ada pengaduan dari warga yang masuk bisa langsung dideteksi dan diintervensi tanpa harus menunggu laporan dari kepolisian internasional seperti pada kasus Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur, yang terungkap berkat informasi dari Kepolisian Federal Australia pada Januari 2025.

Selain itu, kepolisian Indonesia perlu lebih banyak ikut dalam kerjasama internasional untuk penanganan kejahatan seksual anak secara daring.

Hal tersebut penting lantaran para pelakunya berjejaring di sejumlah negara, kata Andy.

“Indonesia baru kerja sama bilateral dengan Amerika dan Australia. Tapi di ASEAN belum.”

Apa langkah pemerintah terkait konten pornografi anak?

Sepanjang Oktober 2024 hingga Maret 2025, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengeklaim telah menangani sebanyak 1,3 juta “konten negatif” berkat aduan dari masyarakat.

Dari jutaan materi itu, sebanyak 233.552 konten terkait dengan pornografi mayoritas berasal dari website (219.578 kasus) dan platform X (Twitter) menempati urutan kedua dengan 10.173 kasus.

Sementara, dari 1.118.849 konten terkait dengan perjudian daring, situs dan alamat IP menjadi sumber utama dengan 1.017.274 kasus, diikuti oleh META (Facebook/Instagram) dengan 46.207 kasus.

Meskipun jumlah konten yang ditangani terbilang besar, tren penyebaran konten negatif masih terus berlangsung. Komdigi mencatat, pada awal Maret 2025 saja, lebih dari 58.000 konten negatif telah ditindak.

Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid (tengah) didampingi Wakil Menteri Nezar Patria (kiri) dan Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Alexander Sabar (kanan) memberikan keterangan dalam acara Ngopi Bareng membahas topik terkini di Kantor Kementerian Komdigi, Jakarta, Jumat (9/5/2025).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/Spt.

Keterangan gambar, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid (tengah) didampingi Wakil Menteri Nezar Patria (kiri) dan Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Alexander Sabar (kanan) memberikan keterangan dalam acara Ngopi Bareng membahas topik terkini di Kantor Kementerian Komdigi, Jakarta, Jumat (9/5/2025).

Namun begitu, Direktur Kemitraan Komunikasi Lembaga dan Kehumasan Kemkomdigi, Marroli J. Indarto, mengatakan pihaknya belum berencana membentuk satuan tugas khusus untuk menindak konten-konten pornografi anak.

“Pornografi ini sejauh ini penanganan masih pengendalian konten dengan sistem SAMAN,” ujarnya dalam jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia.

Sejak Februari lalu, ungkapnya, Komdigi telah menerapkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN), aplikasi yang didesain untuk mengawasi dan menegakkan kepatuhan terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

Melalui SAMAN, Komdigi bakal memastikan PSE bertindak sesuai peraturan sekaligus memberikan ruang digital yang aman untuk masyarakat dari konten pornografi anak, pornografi, terorisme, perjudian online, aktivitas keuangan ilegal seperti pinjol ilegal, serta makanan, obat, dan kosmetik ilegal.

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca

Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Proses penegakan kepatuhan melalui SAMAN meliputi beberapa tahap.

Tahap pertama, SAMAN akan mengirimkan Surat Perintah Takedown kepada PSE apabila didapati ada konten yang melanggar.

Surat perintah tersebut berisikan mandat agar PSE menutup akses ke URL yang ada di dalam surat perintah.

Jika tidak dilakukan, maka PSE akan masuk ke tahapan kedua yakni berupa Surat Teguran 1 (ST1).

Pada tahap ini, PSE diberikan tugas wajib untuk segera menurunkan konten agar tidak berlanjut ke Surat Teguran 2 (ST2).

Adapun apabila ST1 tidak dipenuhi maka artinya PSE akan dikenakan ST2, PSE diwajibkan mengajukan Surat Komitmen Pembayaran Denda Administratif.

Apabila ST2 juga tidak dipenuhi, sudah ada Surat Teguran 3 (ST3) yang menjadi langkah terakhir untuk menurunkan konten yang dimaksud.

Jika ST3 tetap tidak dipatuhi, maka sanksi berupa pemutusan akses sepenuhnya atau pemblokiran layanan PSE di Indonesia akan ditegakkan oleh pemerintah.

Notifikasi terhadap PSE dilakukan dalam waktu 1×24 jam untuk konten tidak mendesak dan 1×4 jam untuk konten mendesak.

Sanksi ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan sekaligus memberi efek jera bagi PSE yang melanggar sistem ini.

Tinggalkan Balasan